26.3 Kungkungan Kutukan

Hadiah perpisahan macam apa ini?

Rayford terkulai lemas. Ia terduduk di lantai, kembali menciprati tubuhnya dengan kubangan darah Desmond. Selama sesaat ia termenung. Hatinya menangis, tetapi tak ada air mata yang keluar. Ia akhirnya tahu mengapa Desmond tak mau menatapnya, dan beruntunglah Caellan cukup tanggap untuk mengalihkan pandangan. Sekarang bagaimana caranya mengembalikan ini? Rayford tak bisa melakukan apa pun. Dia tak tahu apa pun.

Lamunan Rayford terpecah saat tubuh Desmond melesak jatuh dari cengkeraman Caellan. Ia sempat terselip untuk menatap sosok kakak yang ternyata cukup dirindukannya, tetapi kata-kata Rayford tertahan di tenggorokan saat Caellan diam-diam menjilat noda darah di ujung jemari.

"Apa yang kau lakukan?' tanya Rayford marah. Caellan tersentak dan refleks menatap sang adik, tetapi mendapati bahwa tubuhnya tidak ikut meledak membuat Caellan akhirnya pasrah dan mengangkat bahu.

"Kenapa kau tanya? Kukira kau sudah tahu."

"Tahu apa?' Rayford menjadi berang mendengar kata-kata semacam ini. "Aku tidak tahu apa-apa. Apa maksudmu?"

Caellan mendesah. "Kukira selama kau membantunya ... kau juga mencicipinya. Tidak?"

"Orang macam apa aku sampai harus ikut mencicip makanan iblis itu?" tanyanya, lantas terkejut dengan pertanyaannya sendiri. Rayford melotot kepada Caellan. "Apa kau ...."

"Aku tidak mati seperti Desmond saat menatapmu," kata Caellan sembari mengerling kepada mayat Desmond di kakinya, lantas menatap Rayford lagi. "Dan ... aku haus. Kau tidak?"

Sama sekali tak terbayangkan oleh Rayford kata-kata itu akan meluncur dari mulut sang kakak. Selama sesaat Rayford termangu, bingung dengan apa yang sedang terjadi, lantas menyadari ia belum mengenal Caellan seutuhnya. Ia memandang Caellan mengendus tubuh Desmond, menjilat noda yang tersisa di jemarinya, lantas melirik Rayford dengan perasaan malu.

Padahal Par telah pergi, tetapi pengaruhnya sangat kuat sekali. Rayford akhirnya menemukan jawaban mengapa selama ini dia sering merasa haus yang tidak kunjung tertuntaskan tak peduli berapa banyak air yang diminumnya, atau mengapa tenggorokannya sekarang terasa sangat kering. Ketika lidahnya terjulur sedikit untuk mencecap darah hitam di ujung bibirnya, Rayford mendapati tubuhnya menggelenyar nelangsa.

Ya Tuhan—ini enak!

Caellan menelan ludah melihat reaksi Rayford barusan. Ia mendekat dengan niat untuk mengatakan sesuatu, ketika terdengar suara derap kaki yang cukup banyak. Mereka berdua sontak berdiri dan waswas. Beruntung, seekor gagak melesak masuk diikuti beberapa tentara Lakar. Rayford menegang dan Caellan cepat-cepat menutupi kedua matanya.

Para tentara itu sama tegangnya dengan kedua pemuda di dalam ruangan, tetapi mereka tidak serta-merta mengacungkan senapan saat melihat mayat Desmond tergolek bersimbah darah. Tentara yang terdepan melangkah masuk dengan berhati-hati. "Tuan Caltine bersaudara?"

"Ya," kata Caellan. "Dan, tolong, jangan perlakukan kami dengan buruk. Kami sama sekali tidak bersalah—vehemos induk kami yang ...."

"Kami tidak punya kepentingan seperti itu. Jelaskan kepada Jenderal nanti." Sang tentara mengedikkan bahu kepada Rayford. "Kenapa kau menutupinya begitu?"

"Dia dikutuk vehemos kami. Bisakah kau memberi sesuatu untuk menutupi matanya, atau kau akan berakhir seperti pria di belakang kami ini?"

Para tentara dengan panik segera menyebar ke sekitar ruangan. Mereka menggeledah sekadar untuk menemukan secarik kain, lalu melemparnya kepada Caellan karena tak berani mendekati Rayford. Kenyataan bahwa Caellan tidak perlu mempertahankan diri lebih lama menegaskan bahwa para tentara ini takkan menyakiti mereka, seperti para Lakar yang pernah tergabung dengan situs perbudakan. Tentara-tentara Lakar ini berbeda—mereka mengenakan seragam tentara serba putih yang merupakan warna khas Lakar sebenarnya sebelum diubah oleh Dinasti Cortess menjadi serba hitam.

Selepas Caellan membebat kedua mata Rayford dengan kain, para Lakar memberikan isyarat agar Caellan dan Rayford bergabung dengan mereka. Rombongan itu keluar dari bagian belakang rumah, dan selama perjalanan menyusuri lorong Rayford tak henti-hentinya mendongak memandang langit-langit. Sejak kapan ada banyak vehemos kecil yang bergelantungan di lampu-lampu kristal? Bagaimana mungkin ia tidak menyadari jika ada berbagai emblem bunga bakung gunung yang tak kasat mata di sepanjang dinding kayu? Rayford lantas menyadari bahwa hal-hal baru yang tertangkap oleh mata terkutuknya ini merupakan bagian dari hadiah yang diberikan Par. Dia mampu melihat menembus lapisan dimensi, dan itu membuatnya sedih dan gembira sekaligus. Gembira, karena itu adalah salah satu kemampuan yang hanya dimiliki para Kamitua dahulu, dan merupakan salah satu alasan mengapa Rayford—atau Khass, saat itu—tidak keberatan ditunjuk Kamitua untuk menjadi penerusnya kelak. Dan sedih, atas alasan-alasan yang sudah pasti kau tahu mengapa.

Para Lakar tidak membawa rombongan itu melewati lorong-lorong berkelok di dalam rumah. Mereka menemukan sebuah pintu yang mengarah ke pekarangan samping, kemudian bergegas dan menjadi yang terakhir untuk memasuki area pekarangan depan yang sudah ramai. Tiga truk tentara diparkir dan banyak pelayan telah diamankan. Tak terlihat seorang pun dalam balutan pakaian necis, yang kemungkinan besar barangkali telah diamankan terlebih dahulu atau bisa saja kabur. Bagaimana pun juga kediaman Walikota Woodand akhirnya terekspos telah menyembunyikan seorang buronan negara, dan kenyataan bahwa orang-orang ini masihlah tergabung dalam Dinasti Cortess tak memunculkan banyak tanda tanya. Semua mafhum, tinggal bagaimana sang Raja akan menjatuhkan hukuman jenis apa yang pantas untuk sang walikota. Desmond sudah tewas.

Caellan dan Rayford dibawa menuju truk tentara terjauh, bersebelahan dengan mobil sewaan Caellan yang telah dibawa masuk ke pekarangan. Para preman suruhan Jenderal duduk bersandar sembari menunggu luka-luka mereka diobati oleh para Lakar. Elena berada di antara mereka, berselimut dalam kekalutan. Ketika Elena melihat rombongan Caellan dan Rayford, dia menjerit.

"Rayford!"

Rayford sendiri terkejut menyadari Elena berada di sana. Para Lakar pengobat pun bubar untuk mengurus tugas masing-masing, sehingga Elena mampu menghampiri mereka dengan berlarian dan langsung menerjang Rayford dengan pelukan.

"Wow, tenang, Manis," ujar Caellan. "Dia terluka di sana-sini."

Elena tak mendengarkan. Gadis itu sudah terlanjur menangis dan meracau betapa dia sangat merindukan teman satu-satunya itu, dan Rayford hanya mampu menepuk-nepuk punggungnya dengan kalut. Caellan benar. Tubuhnya terasa sakit luar biasa dan serbuan Elena membuatnya berusaha menahan rasa ngilu di sekujur tubuh. Ketika Elena melepaskan pelukannya, Rayford baru bisa bernapas lega.

"Kau tak apa-apa, Elena? Dan ... tunggu, bagaimana bisa kalian bergabung? Bagaimana kalian saling mengenal?"

"Ceritanya panjang! Pokoknya kami berusaha mencarimu ke mana-mana."

Rayford berusaha menyunggingkan senyum, pertama setelah sekian lama. "Maafkan aku telah merepotkanmu."

"Astaga, bagaimana bisa kau sempat-sempatnya berkata seperti itu?" kata Elena, dan nampaknya akan menangis lagi. Caellan mulai gerah dan selembut mungkin mendorong Elena agar kembali ke mobil sewaan. Rayford harus segera diobati. Dan, seolah-olah para Lakar mendengarnya, seorang tentara menyuruh Rayford agar masuk duluan ke truk. Selama sesaat Rayford ragu, karena truk itu jelas mengingatkannya dengan guncangan berhari-hari yang memuakkan. Caellan memahaminya dan menepuk pundak Rayford.

"Kita masuk bersama-sama," katanya tegas. "Kita harus segera pergi dari sini."

Rayford pasrah. Ia menurut dan segera memanjat masuk diikuti Caellan. Dua orang Lakar telah menanti di dalam truk dan menyodorkan handuk basah yang hangat untuknya. Rayford menerima pemberian itu dengan kalut. Bagaimana bisa ia mendapat perlakuan yang begitu ber-beda tahun lalu? Para Lakar berseragam putih ini begitu baik padanya. Tak ada lagi Lakar tiruan berpakaian hijau yang menyodok-nyodok hidungnya dengan moncong ber-aroma venome. Rasanya Rayford bisa saja menangis meng-ingat hal memilukan semacam itu.

Tak lama setelah itu para tentara Lakar mulai memenuhi masing-masing truk dan beriringan meninggalkan pekarangan kediaman Walikota Woodand yang sunyi dan berantakan. Hanya tersisa dua mobil polisi, dan biarlah sisanya menjadi urusan mereka. Para tentara akan membawa rombongan ini kembali ke Stentin, tempat Jenderal Curtis berada. Perjalanan membutuhkan waktu kira-kira tiga belas jam. Semoga Rayford bisa bertahan selama itu dengan tidak tenggelam pada trauma satu tahun lalu.

Rayford sendiri memeluk lutut. Kendati kedua matanya tertutup, dia masih takut untuk mengawasi para Lakar di dalam truk. Padahal jumlah mereka tidak banyak, hanya sekitar tujuh orang. Dua di antaranya duduk berseberangan dengan Rayford dan Caellan karena harus membantu mereka membersihkan luka. Lima sisanya duduk di dekat pintu, saling bercengkerama dan membicarakan bahwa karir Walikota Woodand akan hancur, atau betapa leganya mereka karena perlahan nama baik Lakar akan kembali jika sisa-sisa kejahatan terekspos. Pembicaraan itu seharusnya cukup untuk mengembalikan semangat mereka yang terpuruk, tetapi Rayford masih tenggelam dalam kegelapan di antara lipatan kedua tangannya.

Oh, tenanglah, Rayford! Mereka tidak akan menyiksamu!

Caellan mengawasi adiknya sedari tadi. Ia memutuskan untuk mengalungkan tangannya di bahu Rayford dan menepuk-nepuknya pelan. Rayford merespon kebaikan itu dengan melemaskan tubuhnya dan mencondong sedikit pada Caellan.

"Maafkan aku." Rayford akhirnya bersuara setelah sekian lama. Suaranya parau. "Maafkan aku karena tiba-tiba kabur dan sebagainya. Aku ... aku hanya ingin kau jauh dari Par, karena sesungguhnya aku sudah lama curiga bahwa dia itu iblis yang jahat. Jadi aku berusaha menge-luarkan dia dari tubuhku dengan melakukan apa yang dia inginkan .... Tapi, sungguh, aku tidak tahu kalau ternyata bisa sampai begini."

Caellan merasakan hatinya mencelos. "Kukira kau benar-benar termakan oleh bujukannya. Sungguh, Rayford, jika hanya tersisa engkau dan dirinya di dunia ini, kau tetap tidak pantas untuk memercayainya. Dia itu monster yang benar-benar seperti iblis."

Rayford termenung sejenak. "Aku memang sempat memercayainya di awal."

Caellan tanpa sadar menggoyang bahu Rayford dengan gemas. "Jangan." Geramnya, hingga Rayford tersentak kaget dan Caellan buru-buru melonggarkan cengkeraman. Ia menghela napas. "Kau itu Guru Muda. Peranmu paling benar di antara kami semua," tambahnya pelan, lantas teringat akan pembunuhan para politikus yang sempat mengguncangnya. "Par ... mudah sekali membuatmu memandang yang salah menjadi benar, atau sesederhana meragukan segala sesuatu. Tapi kau Guru Muda, Ray, aku yakin kau seharusnya sudah tahu mana benar salah menurut kitab yang kau hapal."

Rayford merasa kepalanya begitu berat untuk mengangguk. Ia menggigit bibir kuat-kuat untuk menahan gejolak menyakitkan di matanya. "Aku ... aku tahu."

Caellan tahu betul Rayford akan menangis lagi. "Tak apa," bisiknya, meski rasanya ia ingin sekali mencari Par sekali lagi dan mencabik seluruh lapisan kulitnya. "Dia sudah pergi sekarang. Apa yang sudah terlanjur maka biarkanlah. Apa yang belum terjadi, maka jangan sampai itu terwujud."

"Tapi ini sudah selesai, bukan?" tanya Rayford kalut. "Kenapa aku masih merasa ada yang mengganjal?"

Caellan tidak menyuarakan pendapatnya yang serupa. Benar. Dia juga merasa demikian. Seharusnya kepergian Par tidak menyisakan duka lagi bagi mereka, tetapi Caellan telah menembus batasnya sejak tadi pagi. Dia melampaui peringatan Camon dan Donatino, melepas belenggu di dalam tubuhnya dan membiarkan kutukan Par kembali ke dalam dirinya. Caellan tahu harga yang harus dibayar adalah kebebasan Par, dan mungkin karena itu pulalah Par memperlakukannya dengan sangat baik dan tak menakut-nakutinya separah dahulu. Par pergi begitu saja dari hadapannya, tetapi itu karena Caellan pula. Kini, kedua kakak beradik itu ditinggalkan dalam keadaan terkungkung dengan kutukan masing-masing, tak tahu bagaimana cara meredamnya kembali.

Caellan terus menepuk pundak Rayford dengan pelan. "Apa pun itu, Par sudah pergi dari kita. Entah untuk waktu yang sebentar atau lama."

Rayford menunduk dalam-dalam. Suaranya makin gemetaran. "Dia memberiku kutukan. Dia mengutukku dengan hal yang paling kubenci. Apa dia memberikan hal yang sama padamu? Dan mengapa kau tidak ... tidak bernasib seperti profesor saat menatapku?"

"Sederhana." Caellan mendesah. "Karena kita berbagi sel yang sama darinya."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top