26.2 Pukulan Pemungkas
Seruan Caellan membangunkan para penjaga yang malas-malasan, dan itu buruk. Di cuaca yang panas seperti ini, siapa yang mau bekerja di bawah terik matahari? Di dalam pos, para penjaga masih sempat berdebat siapa yang harus keluar duluan, hingga akhirnya dua yang paling dekat dengan pintu menyeret kaki keluar. Seragam mereka sudah cukup gerah untuk dikenakan di cuaca yang sangat cerah, lengkap dengan sabuk dan sepatu bot berat. Wajah mereka yang gusar pun menjadi kemerahan saat tersengat matahari. Mereka mengumpat karena tak mengenakan topi dahulu. Bagusnya, tak ada senapan yang menggantung di bahu mereka. Tentu saja, apa yang mengancam dari seorang pemuda berpakaian necis dan gadis muda yang pucat ketakutan? Tetapi, jangan khawatir, mereka yang bertahan di dalam pos sedang menyiapkan senjata.
"Maaf, Tuan, ada keperluan apa kemari?"
"Mm, tuan walikota sepertinya menyembunyikan seorang buronan negara. Biarkan aku masuk," kata Caellan, sedikit terengah-engah.
Kedua penjaga itu saling tatap. Mereka kira mampu menertawakan hal ini, tetapi kenyataannya dahi yang mengernyit menandakan bahwa ucapan Caellan bukan sekadar omong-kosong. "Apa pun itu bukan kepentingan Anda kecuali ada surat resmi penggeledahan, Tuan. Anda membawanya?"
"Memang bukan urusanku, tapi adikku dalam bahaya," kata Caellan sembari mengusap tengkuknya. Elena, yang berada di belakang Caellan, menyaksikan tanpa cela bahwa Caellan tak sekadar menggaruk. Dia menarik sesuatu keluar dari balik kemejanya, menghentaknya dengan cepat, dan menyabetkan tongkat baton ramping ke penjaga terdekat. Gerakannya begitu tiba-tiba. Penjaga kedua yang berjarak lebih jauh butuh waktu sesaat untuk menyadari apa yang terjadi dan buru-buru merangsek maju tanpa perlindungan. Ia menghantamkan tinju, tetapi tubuhnya yang besar kalah cepat dengan Caellan yang merunduk dan menyerang bagian perutnya. Elena melongo menyaksikan adegan itu terjadi begitu cepat, bahkan para penjaga di dalam pos kelabakan mengeluarkan senapan mereka.
"Caellan, awas!" seru Elena, tetapi percuma saja. Caellan sudah menyadari lebih dahulu. Dia meraih pistol dan menembak seseorang yang baru saja melangkah keluar pos. Elena lantas sadar bahwa keberadaannya sama sekali tak berarti jika tidak melakukan sesuatu, maka Elena berusaha menumbuhkan sulur. Namun, dia terlalu ketakutan sehingga sulur itu menghantam jendela pos. Setidaknya cukup untuk membuat para penjaga di dalamnya segera berhamburan keluar dan mempersingkat waktu Caellan untuk menyerang mereka terlebih dahulu. Pemuda itu terlalu gesit.
Kekacauan itu tidak berhenti sampai di sana saja. Seorang penjaga barangkali telah memberikan peringatan ke pihak rumah karena sekarang pintu-pintu dan jendela-jendela menjeblak terbuka, dan banyak pelayan mengacungkan senapan kepada mereka.
Sial! Caellan buru-buru bersembunyi ke balik pos dan menarik Elena bersamanya. Sementara Caellan mengambil salah satu senapan para penjaga dan menembak balik, Elena pun menggunakan kesempatan itu untuk menumbuhkan sulur-sulurnya dari dekat rumah walikota. Ia berkonsentrasi keras, tetapi sahut-sahutan suara tembakan membuatnya ketakutan. Ia sibuk menutup telinga, sementara Caellan sendiri yang menyaksikan tanah tiba-tiba bergetar dan merekah di dekat rumah itu. Sulur-sulur raksasa tumbuh bagaikan batang pohon yang mencuat tajam dan meliuk-liuk marah. Sulur-sulur itu bergerak tak karuan seperti makhluk tak terkontrol, menghantam banyak jendela dan pintu hingga membuat para pelayan berhamburan masuk. Kebisingan itu mulai berkurang dan Caellan terhibur karenanya.
"Elena, ayo!" serunya, baru saja berniat membawa Elena masuk ke dalam pos untuk membawa lebih banyak senapan, ketika Par tiba-tiba berderap dari arah hutan dan melompati pagar, menjulurkan tangannya yang panjang, dan langsung merenggut Caellan ke udara.
"Caellan!" Elena menjerit.
"Kau!" Par berseru, kendati seringai muncul di bibirnya yang lebar. Dia menikmati setiap jengkal ketakutan yang terpancar dari mata Caellan saat mereka bertatapan begitu dekat, sementara tubuhnya dicengkeram erat oleh Par di ketinggian tujuh kaki dari tanah. Caellan sama sekali tak berusaha meronta. Dia tak mau panik karena sudah terlanjur ketakutan. Par semakin gemas dengan tingkahnya dan mencondongkan wajah, membuat kedua mata pemuda itu melotot dalam kengerian. Par membuka mulutnya lebar-lebar.
"Kau mau kumakan, eh? Tubuh enam tahunmu cuma bakal jadi pengganjal perut, tetapi tubuh dua puluh tahunmu akan membuatku kenyang selama berbulan-bulan!"
"Enyah!" Caellan menggeram. Alih-alih melepaskan diri, ia justru merenggut wajah Par dan menancapkan kuku-kuku yang memanjang pada lapisan kulit tipis dan pucat di wajahnya. Par tertawa, meski ada raungan kesal di antaranya.
"Kau tidak akan bisa, dasar anak payah!" seru Par, mendesis saat Caellan masih berusaha mengoyak wajahnya. Kulitnya yang amat elastis terulur-ulur, tetapi sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda akan robek. "Kau cuma punya hadiah perpisahanku, tidak lebih dari itu!"
"Hadiah gundulmu!" umpat Caellan, cukup kesal hingga akhirnya berhasil menarik kulit wajah Par dan muncul luka robek melintang di pipinya. Par mengerang kesal, dan alih-alih membanting Caellan ke tanah, ia justru melebur ke udara.
Caellan menghilang bersamanya.
Par muncul di ruangan Desmond dengan Caellan di cengkeraman, dan sang iblis seketika tertawa-tawa saat Caellan muntah. Ini adalah pengalaman pertama Caellan berpindah begitu cepat! Caellan sempat kehilangan keseimbangan, tetapi setelah berhasil muntah, rasa sesak di dada pun berkurang. Ia lantas menyadari bahwa ruangan itu sendiri disesaki oleh barang berserakan, tentakel tulang Rayford yang berayun-ayun liar serupa sulur Elena, dan Desmond dalam rupa setengah-iblisnya yang menjijikkan sedang menahan adiknya di lantai.
"Ray!"
"Jangan!" seru Rayford. Desmond sendiri teralihkan perhatiannya akan kehadiran dua sosok baru di ruangan, dan Rayford memanfaatkan kesempatan itu untuk menendang Desmond menjauh dan melempar tubuhnya. Untuk pertama kalinya, Desmond akhirnya benar-benar terhempas ke dinding dengan debuman yang keras.
Par tertawa sembari bertepuk tangan. "Waktu yang sangat pas, Ray! Kau sudah berkembang lebih cepat, meski aku tidak paham bagaimana Desmond bisa menahanmu seperti itu! Kau lebih kuat, Nak. Kau lebih kuat."
Caellan mendesis. Ia menembakkan pistol berisi venome kepada Par, yang segera ditampik dengan malas olehnya. "Sudahlah. Tembak saja sahabat ayahmu itu. Jangan buang-buang peluru kepadaku. Aku sudah berbaik-baik membawamu kemari, kau tahu? Kau tak perlu membuang waktu mencarinya!"
Caellan benci mengakuinya, tetapi Par memang benar. Maka Caellan pun menembakkan sisa pelurunya kepada Desmond yang meraung-raung marah. Peluru itu membuat lubang-lubang yang berasap, mengucurkan darah segar dari luka-luka basahnya. Desmond beringsut maju untuk menyerang Caellan, tetapi tentakel Rayford dengan cepat meraihnya, melemparnya lebih jauh ke sisi lain ruangan. Desmond menjerit murka. Dia membabi buta berusaha mematahkan tulang-tulang Rayford, yang percuma saja, karena tentakel-tentakel itu tumbuh dengan cepat dan lebih tajam, kemudian menghunjam tubuhnya tanpa ampun. Caellan menyaksikan adegan itu dengan ngeri, sementara Par terkikik geli dan makin senang.
"Percuma kau melawan mereka, Desmond! Mereka itu tuanmu, karena mereka anak-anakku. Cobalah bertahan hidup. Dan ... ya, selamat bersenang-senang, anak-anakku! Selamat reunian. Aku juga harus bertemu kawan-kawan lamaku. Aku pasti dirindukan."
"Tidak!" Desmond melolong saat Par melebur kembali ke udara bebas. Caellan dan Rayford mengabaikan sang iblis pergi karena itulah yang mereka inginkan, dan sekarang amarah mereka terpusat pada pengkhianat di tengah ruangan.
Caellan kemudian melompat, memanfaatkan kesempatan untuk mengunci kedua tangan Desmond dan membuatnya menghadap Rayford.
"Ray, lakukan!"
"Lakukan apa?" Rayford terkesiap. Dia masih menutupi matanya yang terasa perih. Pandangannya memburam, dan anehnya sekarang ia mampu melihat menembus jemarinya! Sungguh, apa yang Par lakukan pada matanya sampai Desmond berusaha keras untuk mencoloknya? Sementara itu, Caellan berkutat keras menahan Desmond yang meronta-ronta. Sang ilmuwan kepayahan. Dia nampak tidak seprima seperti saat di perbudakan dahulu kendati tubuhnya telah seutuhnya berubah, Caellan bahkan masih bisa menahannya.
Seolah mengerti apa yang berkecamuk di benak Rayford, Caellan berseru, "Dia membunuh ratusan orang, jangan ragu-ragu!"
Rayford teringat celotehan Desmond beberapa saat yang lalu tentang bagaimana dia akan menemukan para penyintas, dan itu cukup untuk membuat Rayford yakin. Maka dia mengerjap-kerjapkan matanya, menghalau rasa perih, lantas bangkit dan menatap Desmond dengan marah.
Caellan menahan napas. Dia mengalihkan pandangan dengan cepat ketika merasakan sekujur tubuhnya berdenyut-denyut sakit, seolah ada sesuatu yang memaksa menjebol di dalam dirinya. Caellan segera menancapkan kuku-kukunya pada wajah Desmond yang berusaha melepaskan diri, memaksa pria itu untuk menatap kedua mata Rayford, dan Desmond menjerit keras.
Darah merah kehitaman muncrat dari kedua telinga, lubang hidung, mulut, dan berbagai lubang di tubuhnya bagaikan air mancur. Tubuhnya tidak lagi meronta-ronta dengan kuat dan semakin melemah, hingga akhirnya tergolek di cengkeraman Caellan macam boneka yang telah kehilangan isinya. Darah terus mengalir dan menggenangi lantai, menciprati kedua pemuda itu seperti aliran hujan dari talang air. Mereka sama-sama terhenyak.
"Apa ini?"
Caellan masih menolak untuk menatap mata Rayford. "Matamu," ujarnya serak. "Apa yang Par berikan padamu?"
Rayford kebingungan. Dia tak tahu harus melakukan apa dan mendadak tubuhnya menjadi lemah tak berdaya. Tentakel-tentakel di punggungnya berhenti menggelepar dan menyusut. Rayford cepat-cepat meraih sebuah potongan kaca di dekatnya, tersentak saat mendapati bahwa kedua matanya melegam, serupa kedua lubang mata Par yang menyimpan kegelapan.
Hadiah perpisahan macam apa ini?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top