25.1 Kehilangan Kewarasan

Rayford mematung. Dia menatap Par dengan mulut menganga tanpa kata-kata. Ketika akhirnya dia mampu menemukan suaranya, tenggorokannya terasa amat kering.

"Apa?"

"Dia menunggu. Di dalam."

"Bukan. Kenapa kau ...." Rayford kehilangan susunan kalimat yang tepat di kepalanya. "Kau ... bagaimana kau tahu—tidak, bagaimana kau bisa tenang—tidak. Kau tahu?"

"Aku bisa merasakannya."

"Tidak. Kau tidak akan setenang ini."

"Bagaimana kau tahu?" Par menyeringai. "Apa yang kau tahu tentangku?"

Tiba-tiba saja, Rayford merasa wajahnya baru saja ditampar sesuatu tak kasat mata dengan sangat keras. Jantungnya berdegup dalam ketidaknyamanan dan otaknya diperas untuk memahami situasi yang telah terjadi. Rasa bingungnya lantas berubah menjadi emosi yang menggelegak di dalam diri. Mengingat Tuhan tidak lagi cukup ampuh untuk meredam kekesalannya.

"Kenapa kau tidak mengarah kemari saja sejak awal? Kau sudah tahu, bukan?"

Par berdecak, tetapi itu tidak menghentikan senyumnya untuk melebar. Jemarinya yang panjang meraih Rayford untuk mengelus pipinya. "Rayku yang manis," ujarnya. "Dimana letak kesenangannya? Dimana letak ... puncak dari segala ketegangannya? Kau mungkin tidak tahu, tetapi dalam sebuah pesta makan malam, kau tidak bisa langsung menyantap menu utamanya! Bagimu yang cuma makan kentang tumbuk, brokoli rebus, dan semur daging seumur hidup tidak akan tahu kalau kau perlu serangkaian menu pembuka!"

"Tidak masuk akal!"

"Sejak awal, apakah ini semua masuk akal?" Par terkekeh, lantas mengibaskan tangan. "Mau masuk, tidak? Desmond tidak sesenggang dirimu, nak. Dia berpindah setiap kalinya."

Rayford masih ingin mendebat Par, tetapi aroma alkohol yang mencekik dari ruangan itu telah menggoda Rayford untuk bergegas masuk. Dengan sekujur tubuh yang berkedut-kedut ringan, Rayford melewati pintu. Matanya memicing menyapu ke seluruh penjuru ruangan yang luas untuk dihuni seorang buronan. Ruangan itu serupa rumah kecil tanpa sekat—kursi-kursi panjang, tempat tidur, meja makan bundar kecil dan sepasang kursi makan, serta meja kerja yang jumlahnya sedikit terlalu banyak dan bertumpuk-tumpuk buku. Alat-alat penelitian yang tak asing bagi Rayford disingkirkan di pojok ruangan, kecuali toples-toples raksasa yang menyimpan ... astaga, apakah itu bayi-bayi vehemos yang diawetkan?

Dan, puncak dari seluruh ketegangan Rayford berpusat pada seorang pria yang sedang merapikan tumpukan buku di dekat tempat tidur. Ketika mata mereka bertatapan, Desmond yang nampak sangat segar dalam balutan kemeja dan jas laboratorium itu tersenyum lebar.

"Ah, Rayford! Putra Aland yang baik, eh? Masih bertahan hidup, rupanya!"

Ketika Rayford tak mengatakan apa-apa selain bengong di posisinya, Desmond menambahkan, "Kaukira aku tidak tahu? Saat kau bilang namamu Khass, aku masih tidak bisa mengenalmu dengan baik." Desmond terus menceracau, tidak peduli apakah Rayford bakal mampu menerima terjangan informasi darinya. "Namun kau membawa kunci rumah Caltine, jadi kuasumsikan kau adalah putra bungsunya yang hilang. Ternyata benar. Tapi kau dibuang, bukan hilang. Tapi untuk apa? Pada akhirnya kau kembali pada kami. Dan, ah, sudahkah kau menyapa suami istri Woodand? Mereka pernah mengabdi pada kakekmu."

"Rayford, ayolah. Jangan kaku begitu." Par mencolek bahu pemuda yang masih terheran-heran. Rayford bergeming, tetapi ketika Par mendorongnya agar mendekat kepada Desmond, Rayford sontak menatapnya.

Matanya berkilat marah. Suaranya bergetar saat berkata, "Hentikan. Kalian bukan kerabatku."

"Sudah berapa banyak yang kaudengar tentangku, Rayford? Kau sudah bertemu dengan kakakmu Caellan? Terakhir aku bertemu dengannya saat aku berkunjung ke rumah kalian saat kau masih bayi! Caellan adalah anak yang cerdas, sungguh."

"Bagaimana bisa kau berbicara kepadaku seolah-olah kau mengenal kami?" Rayford merasakan ubun-ubunnya terbakar. Keberadaan Tuhan nyaris hilang dari benaknya, tergantikan tawa Par yang menggaung, padahal iblis itu hanya berdiam di ambang pintu dengan senyum terkulum. "Bagaimana bisa kau baik-baik saja di sini? Kau seharusnya ... kau seharusnya sudah mati. Janthell menusukmu."

"Janthell mati, tetapi aku hidup. Kenapa pula aku harus mati?" Rayford mengatupkan bibirnya mendengar jawaban itu. "Siapa saja yang selamat, eh, nak?"

"Itu bukan urusanmu."

"Oh, aku bisa saja menemukan mereka suatu saat. Jenderal Curtis mengumpulkan para penyintas. Aku bisa mengenal siapa yang pernah berbaring di kasur pesakitanku." Desmond terkekeh saat meletakkan buku terakhir, lantas beranjak menghampiri Rayford. Dia sama sekali tidak terlihat kesulitan dengan statusnya sebagai buronan. Rayford semula membayangkannya dengan rupa acak-acakan dan rambut memanjang yang tak sempat dipotong, atau kerut-kerut wajah yang tak kalah banyak dengan seorang kakek-kakek. Kenyataannya Desmond setiap hari bercukur, meminyaki rambutnya dan menyisir dengan rapi tanpa ada helai yang menjuntai lagi di dahinya. Dia bahkan terlihat lebih gemuk, dan Rayford menyadari ada nampan dengan setumpuk mangkuk kosong di salah satu meja kerja.

Rayford ingin sekali menangis. Dengan berbagai kesulitan yang dilalui dan teman-temannya yang tewas, Desmond ternyata masih bisa menyantap bermangkuk-mangkuk makan siang di bawah perlindungan seorang walikota, mengenakan jam tangan mengilap di pergelangan kiri, dan merapikan buku-buku yang tercecer di dekat tempat tidur.

Dan mereka semua adalah kerabat Rayford!

"Jenderal ... Jenderal Curtis akan menangkapmu."

Ketika Desmond dan Par terkikik geli, Rayford melotot kepada mereka. Par akhirnya berbicara setelah sekian lama mendengarkan. "Tak usah sok tahu, kau bahkan sudah kabur sebelum bertemu dengan jenderal itu. Lagipula ia sama saja. Dia adalah ... ah, lupakan. Maksudku, dia memang menghancurkan keluarga kerajaan dan antek-anteknya, tapi tahu apa kau soal Dinasti Cortess? Walikota Woodand masih bisa hidup dengan tenang di sini dan menyembunyikan Desmond. Nak, kau masih belum tahu apa-apa soal dinasti. Sudahlah. Tidak usah urus soal itu. Selesaikan saja urusanmu dengan Desmond."

"Kenapa kau tidak membunuhnya?" Rayford baru teringat sesuatu dan menatap Par heran. "Kau membunuh para tersangka demi kebaikan, lantas mengapa tidak dengan dia? Dia mengambil selmu sampai kau melemah! Dia membunuh banyak temanku!"

"Oh, Tuanku, aku sangat menyesal kau harus bergantung pada bocah naif semacamnya." Desmond mendesah. "Seandainya aku bisa menemukan Caellan lebih cepat, itu akan lebih mudah bagimu. Caellan sangat cerdas."

Tuan?

Par mengibaskan tangan. "Bah. Caellan sangat ingin membunuhku sampai-sampai mengacaukan anak ini, tetapi tak masalah. Selalu ada kejutan, seperti yang kubilang! Kau tak perlu khawatir soal itu. Aku sudah bebas sekarang."

"Ternyata memang lebih mudah melalui Rayford, eh?"

"Tentu saja," kata Par, dan jemarinya mengacak rambut pemuda malang itu seolah-olah dia adalah seorang ayah yang sangat bangga atas prestasi sang anak. "Rayford adalah anak yang sangat baik dan penurut, ia tidak membangkang seperti abang dan ayahnya."

"Anak yang sangat baik, benar?" kata Desmond sembari menatap Rayford dengan pandangan teduh yang menyebalkan. Dia tersenyum. "Kau sangat baik, Rayford. Aku yakin sekali apa pun yang kau lakukan sebelumnya hingga menentang keyakinanmu sebagai seorang Guru hanyalah sebuah upaya untuk membantu tuan kita Par. Sekarang semuanya sudah beres, dan kau bisa menemuiku lagi. Kau takkan membunuhku, bukan? Sebab membunuh karena kau marah akan membuatmu berdosa."

Sungguh, Rayford sama sekali tidak mengira jika Kamitua yang pernah menjadi momok terbesar di dalam hidupnya tak berarti apa-apa dibanding kedua makhluk di dalam ruangan ini sekarang.

Tuhan, apakah dia sedang memasuki neraka? Ruangan ini dipenuhi iblis.

+ + +

"Caellan, awas!"

Caellan menginjak rem tepat ketika seorang anak yang tiba-tiba berlari melintasi jalan berhasil melewati maut yang nyaris menimpa. Anak itu menjerit sambil tertawa, lantas menyusul kawan-kawannya yang terbahak-bahak. Elena sendiri hampir membenturkan kepalanya, sementara Caellan mencengkeram kemudi erat-erat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia mengumpat.

"Pelankan saja kecepatannya! Kau sudah mengebut sejak tadi!"

Caellan tak menggubris omelan Elena. Gadis itu berulang kali memekik dan protes sepanjang perjalanan. Tiga puluh menit lagi. Mereka sudah melewati jalanan berkelok dan memusingkan yang mengitari gunung, dan kini mereka melewati sebuah kota kecil. Masih ada waktu tiga puluh menit untuk mencapai rumah Walikota Woodand jika Caellan tetap mengebut seperti ini. Sekarang dia harus memastikan takkan ada lagi orang-orang yang menyeberang seenaknya. Sebagian jemarinya mengambang di atas klakson mobil, siap mengejutkan siapa pun yang menantang maut dengannya. Seandainya ini bukan jalan ramai dan hukum tidak berlaku, Caellan dengan senang hati akan menabrak mereka. Ia tidak punya waktu untuk menunggu.

Tiga puluh menit terasa amat lama bagi Elena yang mual dengan cara Caellan menyetir yang ugal-ugalan. Dia mencoba mengarahkan cuping hidung kecilnya ke udara bebas, menarik napas dalam-dalam dan sesekali akan terbatuk ketika asap mobil lain terhirup alih-alih oksigen pepohonan. Caellan benar-benar tidak memedulikannya! Elena gondok dengan kenyataan itu, dan membuat rasa mual dan pusing makin membesar. Dia sendiri sudah tegang sedari awal memikirkan bagaimana caranya menggunakan kekuatan untuk menyelamatkan Rayford nanti, dan kalau-kalau ia harus melawan sesuatu. Sekarang semua permasalahan itu berkumpul dan membuat mualnya menjadi semakin hebat. Oh, dia ingin sekali muntah di mobil sewaan ini!

"Kalau kau muntah, kau harus membersihkannya sampai wangi." Seolah-olah tahu apa yang sedang terjadi, Caellan bersuara. Elena mengatupkan bibir kesal dan memilih untuk terus memandang ke luar jendela terbuka.

Ketika mobil hitam itu akhirnya melambat di jembatan menuju kediaman Woodand sekitar dua puluh menit kemudian, Elena rasanya ingin sekali menjeblak pintu terbuka dan muntah. Namun, perhatiannya segera terfokus pada para preman suruhan Jenderal yang telah menunggu di bawah jembatan. Caellan menghampiri mereka, memberi instruksi, hingga akhirnya empat dari mereka segera berpencar. Dua sisanya mengekori Caellan menuju mobil dan seseorang mengambil alih kemudi. Alih-alih melewati jembatan, mobil itu berputar balik dan menembus hutan renggang di sisi kiri jembatan. Elena mengira mobil itu akan dibawa menembus rerumputan tinggi dan sesemakan, tetapi mobil hanya melaju beberapa meter dan diparkir tersembunyi, berpagar semak-semak bunga liar dan bugenvil. Caellan segera menyambar Elena agar mengikuti para preman itu menyusuri hutan. Elena menyesal kenapa dia hanya mengenakan rok selutut dengan sepatu mary jane. Sama sekali tidak cocok untuk dipakai menerobos sesemakan dan ranting-ranting tajam. Kesal dengan situasinya, Elena pun refleks mengacungkan tangan dan sulur-sulur hijau menebas semak-semak di hadapan mereka untuk membuat jalan.

Caellan bersiul. "Kau sudah merasa baikan, Manis? Karena itulah yang kubutuhkan."

Elena menggerutu. Dia tak mau menjawabnya karena Caellan terus mendiamkannya selama bermobil tadi. Elena sendiri berkonsentrasi melilitkan sulur kecil ke sekujur kakinya yang tak dilindungi kaos kaki agar tidak bertambah lecet. Lumayan berhasil. Rasa mualnya juga berkurang karena hempasan angin selama kedua kakinya terus berlari mengikuti para pria yang berlangkah lebar. Gadis itu kepayahan, terutama ketika medan mulai menanjak lumayan drastis. Untunglah seorang preman bertubuh besar memperlambat lari, mengulurkan tangan kepada Elena yang langsung disambut tanpa pikir panjang, dan mengayunkan tubuh gadis itu ke punggungnya. Elena menjerit. Tapi, yah, digendong lebih baik daripada berlari mendaki bukit, bukan? Seumur hidup baru kali ini Elena mengalami hidup yang begitu liar sebagai putri tunggal seorang politikus!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top