24.2 Mengejar Monster
Di sisi lain provinsi Gerbang Barat, lurus dengan arah pandang Par sejauh seratus kilometer, Caellan menyelesaikan pertemuan singkat itu dengan sangat puas. Para pria ini berkoordinasi dengan baik. Tentu saja, mengapa tidak? Elena juga tidak lagi terlihat setakut sebelumnya sehingga Caellan tidak lagi repot-repot berusaha untuk menghapuskan kecurigaannya. Gadis itu telah menghabiskan beberapa waktu terakhir mencoba memastikan bahwa Caellan mau memaafkannya atas kelancangan memberitahu Elliot. Elena takkan mencoba menempatkan Caellan dalam daftar pertama kecurigaannya lagi.
Operasi pertama mereka akan berlangsung besok. Sekarang, dimana Elliot? Pemuda itu harus diberitahu karena Caellan yakin dia masih harus tampil di panggung. Setelah mengantarkan para pria suruhan kembali ke parkiran dan pergi, Caellan pun berpisah dengan Elena yang harus membantu para staf memasang kabel-kabel lampu dan sebagainya.
Dan, ah ... Caellan lebih mudah mengendus keberadaan siapa saja tanpa perlu bertanya dahulu kepada orang lain sekarang. Perasaan janggal yang sudah lama tidak dirasakannya ini seperti mencoba mengenakan pakaian kesayangan saat usianya masih sepuluh tahun. Sesak, aneh, tetapi nostalgis dan menyenangkan. Itulah yang dirasakan Caellan, dan kendati satu sisi di dalam hatinya memprotes tindakan ini, sebagian besar dirinya kini dapat menikmati hidup lebih tenang. Senyum setia tersungging di bibirnya, dan jantungnya senantiasa berdetak dalam kecepatan normal. Tak ada lagi gelombang psikedelik yang memancar hebat dari dalam tenda sirkus saat ia menoleh. Dunia tiba-tiba nampak begitu tenang, sunyi, dan damai.
Inilah ekstasi sesungguhnya! Caellan melangkah ringan ke dalam kompartemen Elliot dan mendapati pemuda itu memegangi lehernya sambil menunduk lesu. Caellan menyelinap ke bangku di seberangnya.
"Ada apa, bung?"
Elliot mengangkat wajahnya yang pucat. Ia hanya menggeleng.
"Kau mau kubuatkan teh? Kau terlihat sakit. Sesuatu terjadi?"
Elliot menghela napas. "Bagaimana jika kukatakan kepadamu bahwa aku baru saja menemui adikmu? Dia punya bekas luka melintang di rahang kiri, benar?"
Senyum Caellan melenyap. "Apa?" katanya. "Dimana kau melihatnya?"
Elliot mengangkat tangan, memberikan isyarat agar Caellan tak buru-buru mendesaknya. Alih-alih menjawab, ia meraih cangkir kosong di dekatnya dan menuangkan air. "Aku tidak tahu persisnya dimana. Sejak memutuskan untuk mencarinya kemarin, aku terus berpindah fokus dari gagak di satu kota ke kota lain. Aku mencoba merasakan Energi yang familiar denganmu. Lantas, aku ... aku baru saja menemukannya, setelah melewati lima titik sesuai arahan China. Aku tidak tahu persisnya dia di mana, tetapi menurut kestabilan fokusku ... dia barangkali berjarak sekitar seratus kilometer dari kita."
"Itu memakan waktu tiga jam dengan mobil." Caellan memicing. "Dan? Mengapa kau memegangi lehermu?"
Elliot menelan ludah. "Vehemos itu ... Par ... dia merenggut gagakku dan mematahkan lehernya."
"Mm, ya, tipikal Par."
Elliot menatap Caellan dengan gusar. "Aku tidak pernah bertemu dengan vehemos gila semacam ini. Baik monsterku maupun yang lain adalah vehemos-vehemos netral yang selalu memperlakukan hewan dengan baik, meski mereka membenci manusia. Ada apa dengan vehemos-mu?"
"Itulah kenapa dia pantas disebut iblis, bung." Caellan mengangkat bahu. "Apa kau mengenal ciri-ciri kotanya? Sesuatu yang khas, eh? Paru adalah kota pelabuhan, misalnya, kau bisa melihat pelabuhan dari sudut mana pun."
Elliot menggeleng. "Kotanya kecil. Itu saja. Tak ada yang spesial."
"Oh, ini akan memakan waktu sebentar, bukan?" Caellan beranjak dan mengambil salinan peta provinsi Gerbang Barat milik China. Ia menyusuri nama-nama kota yang berjarak seratus kilometer dari tempat mereka sekarang. "Apakah banyak pohon, atau lebih banyak rumah penduduk?"
"Banyak pohon."
"Mm, mari asumsikan itu dekat dengan gunung atau hutan lebat. Kota-kota semacam itu ada di ... Kota Balic dan sekitarnya. Jika dari arah kita, maka ada gunung yang harus dilintasi! Oh, sempurna. Ini akan menjadi perjalanan yang lebih panjang dan memuakkan."
"Mereka bisa berpindah dengan cepat."
"Itu urusan belakangan," kata Caellan saat jemarinya berhenti pada satu titik merah, letaknya tak jauh dari kota besar Balic. "Ada siapa atau apa di kota Woodand?"
"Woodand? Ada Walikota Woodand."
"Ya, semua juga tahu. Apa hubungannya dengan Desmond?"
Elliot menatap Caellan selama sesaat dengan heran. "Kau tidak mengenalnya? Walikota Woodand—dan semua garis pendahulunya—adalah bagian dari Dinasti Cortess. Dia Cortessian yang cukup populer, dan berafiliasi dengan klan con Caltine. Bisa dibilang dia adalah kerabat jauhmu."
"Oh, tidak."
"Desmond adalah ilmuwan seperti mendiang ayahmu juga, bukan? Barangkali ... ah, aku tak tahu pasti. Hanya Nona China dan Jenderal yang tahu. Barangkali Woodand memiliki relasi baik dengan Desmond?"
"Kita ke sana sekarang."
"Kita? Aku harus tampil tiga jam lagi!"
Caellan menatap Elliot tajam. "Ya, kalau begitu kenapa tidak suruh gagak-gagakmu untuk membuntutiku? Jika kau sempat mengikuti adikku untuk seterusnya, setidaknya tunjukkan jalan kepadaku jika kami terlambat."
Elliot menjentikkan jarinya. "Cerdas."
"Oh, aku tidak akan menjadi tangan kanan Don kalau tidak bisa berpikir semacam ini." Caellan nyaris saja mengumpati bosnya sendiri, tetapi segera sadar bahwa lawan bicaranya adalah bocah bangsawan yang sama sekali tidak berhubungan. Caellan mengulum senyum dan bergegas keluar gerbong.
Jantungnya berdebar-debar, tetapi kali ini bukan karena ketakutan. Langkahnya lebar. Semangat membara di kedua matanya yang pucat.
Caellan akan bertemu Par lagi!
Setelah menarik Elena dari tenda, Caellan menghubungi para pria suruhan Jenderal dan menyuruh mereka untuk bertemu di dekat rumah Walikota Woodand. Elena sendiri tidak menyangka mereka akan bertemu Rayford secepat ini. Elena memang menantikannya, tetapi entah kenapa ketika kesempatan itu akhirnya tiba, Elena merasa gugup dan tegang betul. Mereka berdua segera menyewa mobil dan meluncur dengan cepat. Beberapa ekor gagak melesat di depan.
+ + +
Rayford masih belum terbiasa. Ketika Par memeluknya dari belakang dan membekap mulutnya dengan jari-jari keras dan dingin, hamparan kota di depannya melebur menjadi sebuah lorong panjang yang gelap, dengan karpet biru tua menjengkelkan dan lampu-lampu kristal perak yang mengerikan. Udara bebas dan cuaca musim gugur yang terik memadat sesaat, kemudian memburai menjadi aroma karpet dan cuka yang menguar dari dinding kayu di sepanjang ruang. Sensasi memuakkan dari perpindahan sekejap itu membuat Rayford mual seperti biasa, dan Par menahan mulutnya agar tidak membuka.
"Tahan!" bisik sang iblis. "Kau tidak mau mengotori karpet mahal ini. Kita tidak akan merusak apa pun. Kita hanya mencari Desmond."
Rayford menggerutu dalam hati. Setiap kerusakan yang terjadi pada peristiwa-peristiwa lalu disebabkan oleh Energi tak terkontrol yang keluar sebagai tentakel-tentakel tulang mengerikan. Apakah itu salah Rayford?
"Mengapa kita ada di sini?" bisik Rayford. "Ini masih siang. Orang-orang bisa saja berkeliaran dengan bebas di rumah ini, dan ... hei!"
Par sendiri telah melangkah mendahuluinya menyusuri lorong. Kedua tangannya yang panjang kadang-kadang menapak di karpet, dan nampaknya iblis itu lebih suka berjalan dengan kedua kaki dan kedua tangannya. Tubuh tingginya yang membungkuk menonjolkan tulang-tulang punggung yang tajam, seolah-olah mampu menembus lapisan kulit putih pualamnya yang sangat tipis dan menggelambir. Rayford mengekorinya dengan gusar.
Par tidak berhenti pada setiap pintu tertutup yang ia lewati. Dengan mudahnya ia mengibaskan tangan pada setiap pintu, memberikan isyarat bahwa tak ada yang menarik di baliknya. Sesekali ia baru akan menempelkan kepala pada sebuah pintu, ditambah gerakan dramatis dengan merapatkan jari-jarinya, tetapi itu hanyalah akal-akalan Par karena tahu tak ada apa-apa di dalamnya. Tingkah ini tidak menghibur Rayford sama sekali. Kenapa Par terlihat seperti tahu kemana akan melangkah?
Apakah dia pernah ke rumah ini sebelumnya?
Namun, daripada memikirkan itu, Rayford lebih khawatir kalau-kalau pelayan atau—parahnya lagi—seorang anggota keluarga mendamprat mereka. Rayford seringkali menoleh ke belakang, memastikan bahwa lorong itu masih tak kedatangan tamu. Di penghujung yang bercabang pada dua lorong di kanan dan kiri, Rayford mulai berpikir jika rumah ini barangkali tidak memiliki banyak penghuni. Atau, mereka menempati lantai teratas. Rumah-rumah besar hanya ramai di lantai dasar atau di ruang bawah tanah. Di sanalah para pelayan berkeliaran.
Par tanpa ragu-ragu mengarahkannya ke lorong sebelah kiri. Mereka baru saja berbelok ketika terdengar suara pintu dibuka dari lorong sebelumnya. Rayford sontak kaget, tetapi Par terus melangkah.
"Par!" Rayford berusaha sekuat mungkin bisikannya cukup keras untuk didengar iblis itu, tetapi tidak bagi pemilik langkah kaki yang terdengar menghantui.
"Dia tidak akan kemari," jawab Par kalem, dan tentunya suara langkah kaki itu memelan hingga tak terdengar sama sekali, lalu berganti suara pintu lain yang dibuka di ujung lorong satunya. Rayford nyaris mendapati jantungnya meledak.
"Omong-omong itu nyonya Woodand, ibunya pernah bekerja pada kakekmu yang membelot itu."
"Apa?" Rayford melotot mendengar penjelasan santai Par. Pantas saja dia tidak merasa asing dengan paduan warna karpet dan lampu-lampu maupun ornamen di sepanjang lorong. Biru tua dan perak adalah warna kebanggaan Dinasti Cortess yang amat dibenci penduduk Nordale. Warna biru tua mengingatkan pada laut dan danau tempat penduduk asli tanah ini dibuang, dan perak mengingatkan akan pedang-pedang bergagang kelabu mengilap yang menewaskan siapa pun yang mencoba melawan kedatangan Cortess, kira-kira lima ratus tahun lalu.
"Ini kediaman Walikota Woodand. Kau pikir kenapa aku membawamu masuk kemari tanpa menyuruhmu mengawasi siapa saja yang keluar masuk?"
"Kau sama sekali tidak memberitahuku!"
"Pelajaran baru bagimu; jangan bergantung apa-apa padaku."
Rayford terhenyak, tetapi itu tidak menghentikannya mengikuti Par yang mulai menjauh. Dengan perasaan bercampur aduk pemuda itu berjalan dalam diam, menyusuri lorong yang rasa-rasanya tidak memiliki ujung. Mereka berbelok, berjalan lurus, menuruni beberapa anak tangga, kemudian menyusuri lorong-lorong lagi, sehingga Rayford sempat menduga jika rumah besar ini hanya diisi lorong-lorong saja dan ruangan-ruangan di balik pintu itu barangkali menyimpan hal-hal berharga. Semua pintu terlihat sama, seolah-olah ingin mengecoh penyusup yang datang kemari.
"Par, sebenarnya kita akan kemana?"
"Sebentar lagi. Aku bisa merasakan sesuatu."
"Apa?"
Par tidak menjawab. Ia terus melangkah dengan membungkuk karena lorong itu tidak cukup tinggi baginya. Setelah waktu yang terasa lama bagi Rayford dan diwarnai dengan suara langkah kaki dan pintu buka-tutup yang menegangkan, mereka akhirnya mencapai sebuah lorong yang sempit, tanpa ornamen dan lampu-lampu kristal, melainkan lampu bohlam gantung yang bergoyang-goyang ringan dengan dinding plester yang dingin. Di ujung lorong sempit yang sangat kontras dengan lorong-lorong megah sebelumnya, hanya ada satu pintu yang sama sekali tak bercelah.
Pintu itu mengingatkan Rayford pada pintu-pintu laboratorium di situs perbudakan, dan darahnya berdesir. Rayford tak bisa bereaksi ketika Par dengan tenangnya menghampiri pintu itu, mengetuk, lantas menariknya membuka.
"Silakan, anakku," ujarnya dengan senyum paling tenang dan memuakkan. "Desmond telah menunggumu di dalam."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top