22.1 Menghidupkan Mimpi
"Kenapa kau menjilatinya, sih? Menjijikkan. Sungguh ... binatang." Rayford menelan ludah melihat tingkah Par.
Malam itu, sekali lagi, mereka melancarkan aksi kepahlawanan—atau begitulah yang selama ini Par sebut-sebut. Kastil yang telah mereka awasi sejak tadi sore kini menjadi saksi lenyapnya sejumlah tentara yang disembunyikan di ruang bawah tanah. Pemilik kastil, bangsawan sayap kiri yang masih tertidur dengan lelap bersama istrinya di puncak menara, takkan tahu apa yang terjadi pada pasukan yang ia sembunyikan sejak pemberontakan lalu. Setidaknya sampai jam sarapan tiba besok pagi.
Dan ... ah, Rayford mengalaminya lagi.
Pemuda itu terduduk lesu di pojok ruangan. Pakaiannya robek di bagian punggung. Ia merasa sekujur tubuhnya lumpuh. Tulang punggungnya kembali menjulur menjadi belasan tentakel dan menewaskan tentara-tentara seperti pembantaian para ilmuwan di situs dulu. Par pun sama saja. Iblis itu sangat gembira dan kini menengadahkan kepala di bawah mayat para tentara yang tergantung di langit-langit, meneguk darah mereka yang mengucur bagaikan hujan di musim kemarau. Par membasahi kulit kepala kelabu pucatnya dengan darah seolah-olah sedang keramas. Rayford ingin muntah.
Berbeda dengan politikus sebelumnya, mayat-mayat tentara itu cukup diikat dengan perut menganga tanpa ada kaki yang menancap. Sebagian isinya menjuntai keluar. Par sesekali akan menggoyangkan ikatan sehingga para mayat akan berayun-ayun bagaikan hiasan gantung di kereta bayi. Par tertawa-tawa saat isi perut mereka menampar-nampar wajahnya.
Rayford menatap nanar seorang tentara yang menghadapnya. Ia mengenal wajah itu, tetapi lupa dengan namanya. Dia tentara yang menyeret Rayford ke dalam truk dan memukulkan popor senapan ke kepalanya, lantas menahan pemuda itu di belakang kakinya semalaman. Dulu, Rayford sempat mendoakannya. Ia sama sekali tak menduga situasi bisa berbalik begitu saja dalam waktu kurang dari dua tahun.
Siapa yang bisa menduga Rayford bakal menggorok isi perutnya belasan bulan kemudian?
"Mereka tak ada hubungannya dengan Desmond," kata Rayford lemas. Jika ia terlalu lama berdiam diri dengan situasi ini, ia akan menjadi gila. Benaknya tanpa henti menangis memohon ampun kepada Tuhan. Itu pun jika Tuhan masih mau memaafkannya.
Ini bukan salahku. Ini semua karena Par.
"Apa kau tidak tahu, Ray?" tanya Par dengan dramatis. "Mereka mencabik para wanita hingga tewas, menginjakinjak anak seusiamu, bahkan ada yang lebih buruk! Kau biarkan orang-orang ini kabur dan hidup tenang dalam persembunyian? Kau tahu apa hukumnya?"
Rayford tak menjawab. Ia seharusnya benci kepada para tentara ini, dan memang itulah yang terasa, tetapi ia lebih benci pada kenyataan Par yang menyeruput darah mereka bagaikan minyak ayam panggang yang gurih dan hangat.
"Terlebih, aku sedikit heran denganmu karena masih sempat-sempatnya mengasihani dia." Par tiba-tiba memutar ikatan itu sehingga sekali lagi tentara yang pernah menyiksa Rayford menghadapnya. "Bukankah dia pernah mengejekmu sebagai Guru Muda? Dia tidak takut lagi kepada para Guru. Dia menghina Tuhan dan ciptaan-Nya. Apa kau tidak marah?"
Rayford tertegun. Ia sama sekali tidak mengingat hingga Par menyebutkan dengan jelas detil kenangan yang menyebalkan itu. Ia sebatas mengingat sensasi menyakitkan saat tentara itu menyiksanya, namun sekarang Rayford bisa mengingat lebih banyak. Saat itu namanya masih Khass, dan mengetahui bahwa Guru tak lagi dihormati membuatnya menangis. Khass di momen seperti itu masih memohonkan ampun untuk tentara ini, tetapi sekarang Rayford sudah membunuhnya.
Lagipula namanya bukan Khass lagi. Dia Rayford—seorang Caltine—dan merupakan keturunan dinasti penjajah. Tentara itu menghina Tuhan dan para Guru. Jika Rayford tidak bisa mengampuni tentara itu sebagai seorang Guru, maka ia akan memaafkannya dengan cara lain. Pantas bagi si tentara untuk mati dengan cara seperti ini. Rasa gelisah di hatinya mulai meredup.
Tak ingin membahasnya lebih lama, Rayford mendesah. "Kenapa kau terus melakukan ini? Apa kau tidak mual?"
"Jangan bercanda. Ini makananku. Kau kira semua iblis sama seperti manusia—makan kentang dan brokoli rebus? Bah. Pemikiranmu sempit sekali," jawab Par.
"Tetapi kau minum terlalu banyak," kata Rayford. "Untuk apa? Para vehemos di desa dahulu tidak makan sesering ini. Mereka cukup makan sekali setahun."
"Oh, Rayford." Par menyeringai. "Jika aku menjadi semakin kuat, maka akan lebih mudah bagiku untuk membantumu. Kau bahkan tak perlu bersusah payah kelak."
Ucapan iblis itu membuat Rayford ingin sekali bertanya. Bersusah payah apa? Tetapi Par tidak menjawab. Rayford juga tak mampu menahan gejolak di perutnya. Ah, apakah ini bisa disebut sakit perut? Perutnya bergemuruh hebat, tetapi tidak mulas. Ia menelan ludah dan merasakan tenggorokannya yang kering.
Rayford haus.
+ + +
7, Bulan Puncak. Tahun 1927.
Mimpi buruk Caellan mampir lagi. Kali ini kejadiannya berbeda.
Caellan saat itu sedikit lebih tua, barangkali usianya sembilan tahun. Kecepatannya berlari sudah mampu mengalahkan anak-anak seusianya di kota kecil itu, sebab tak ada yang berlari sebanyak dirinya selama setahun terakhir.
Tolong!
"Nak! Ayo main!"
Caellan berlari makin kencang. Ia menutup kupingnya rapat-rapat dengan mulut terengah-engah. Rasanya ia akan pingsan! Caellan sudah berlari cukup lama, tetapi kenapa iblis itu tidak kunjung pergi? Caellan tak mau menoleh. Suaranya terlalu dekat.
"Caellan!"
"Pergi!" bocah itu menjerit. Langkahnya tak bisa dipercepat lagi! Caellan pun meninggalkan pekarangan menuju area trotoar dengan jalanan yang amat sepi. Tiang-tiang lampu menjadi saksi bisu seorang bocah yang melarikan diri di jam satu dini hari, menghindari iblis putih yang satu langkah lebarnya sama dengan enam kali lompatan sang bocah. Iblis itu menjulang, tingginya sama dengan tiang-tiang lampu yang menunduk beku. Caellan menangis.
"Oh, ayolah, Nak. Kau tak punya tempat lagi. Ikutlah denganku."
"Pergi!" Caellan meraung. Matanya membeliak mendapati trotoar akan segera berakhir pada dinding pembatas di depannya. Pelabuhan! Dia sudah tiba di bagian tepi kota dan berbatasan dengan pantai sialan yang menjadi tempat kedatangan pertamanya di sini. Napas Caellan tercekat. Tenggorokannya terbakar dan dadanya sesak sekali. Dia sudah tidak kuat!
Caellan jatuh berdebam ketika kakinya salah menginjak lubang kecil di trotoar. Tubuhnya bergesekan dengan permukaannya yang kasar, lantas menyadari bahwa lututnya nyeri luar biasa. Bocah itu berbalik, memastikan bahwa iblis mengerikan itu tidak—ASTAGA! DIA DI ATASNYA!
"Lututmu berdarah, eh!" kedua mata iblis itu menganga lebar dalam kebahagiaan. Kegelapan di dalam rongga-rongganya menyedot jiwa Caellan seutuhnya, melemparkan bocah itu ke dalam jurang trauma yang lebih dalam lagi, hingga—
Caellan saat ini telah sadar seutuhnya bahwa dia sedang bermimpi, tetapi tubuhnya tak bisa bergerak. Jantungnya berpacu cepat dan jarinya gemetaran. Dia berusaha meronta tetapi matanya tak mau membuka. Sial, dia harus bangun!
Par beringsut mendekat. Wajahnya memenuhi bingkai pandang Caellan muda yang ketakutan setengah mati. Bocah itu menangis, dan sementara matanya memburam akibat air mata yang menggenang, Par menjulurkan lidahnya—OH, AYOLAH! BANGUN!
SEKARANG!!
Caellan tersentak bangun, dan—sebanding lurus dengan kepalanya yang berdenyut parah serta jantung yang rasanya akan segera meledak—kegelisahan menyerbu secepat kilat. Jemarinya refleks meremas lutut hingga kukunya menancap dalam, menembus lapisan celananya. Selama beberapa saat Caellan berusaha mengatur napas, tetapi sakit di kepalanya tak kunjung beralih. Dengan mata berkunang-kunang dan gemetaran, ia bergeser keluar dari tempat tidur di kompartemen kereta. Lampu masih menyala terang. Ia tak mau mematikannya sama sekali meski Elena menawarkan juntaian lumen.
Elliot sialan dengan gagak-gagaknya itu ... ia yakin gagak terakhir yang terus menatapnya itu adalah jelmaan Elliot. Entah apa yang diinginkan bocah itu, tetapi menatap kedua mata hitam legam si gagak mengingatkannya dengan mata Par. Akhirnya mimpi yang paling dibencinya itu datang lagi malam ini.
Caellan mengusap wajah. Padahal usianya sudah dua puluh tahun. Kejadian itu sudah terjadi sebelas tahun yang lalu, maka sampai kapan ia akan disapa mimpi semacam ini ketika mengalami kejadian-kejadian buruk sebelum tidur? Apakah mimpi ini akan mampir lagi ketika ia berusia enam puluh tahun kelak? Bagaimana jika mimpi ini ternyata menjadi hal terakhir yang Caellan rasakan sebelum dia mati? Yang benar saja.
Caellan menandaskan minuman yang tersisa di gelas dan termangu sesaat di tepi tempat tidur. Satu-satunya pengusir keheningan hanyalah suara roda kereta yang bergesekan dengan rel serta dengungan mesin yang berisik. Caellan menyingkap tirai, sekadar mengecek barangkali mereka sedang melewati sebuah kota. Dugaannya benar. Dari kejauhan tampak titik-titik cahaya yang segera pergi dengan cepat. Langit tidak segelap malam, dan rupanya waktu menunjukkan sepuluh menit menuju pukul enam. Di balik kota yang jauh, langit telah memucat. Pagi yang kelabu akan segera mewarnai langit dalam satu jam.
Caellan memandang bayangan dirinya yang terpantul di jendela. Bahkan dalam bayangan samar tembus pandang itu wajahnya nampak pucat betul. Tanpa sadar tangannya mengepal.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top