2.1 Nona Melayang
Dua jam hampir lewat sejak Amar berpisah dengan Khass di menara. Kenapa bocah itu tak kunjung menyusul ke hutan? Ayam hutan telah lama dikuliti, dijejalkan bumbu-bumbu dapur persediaan para Guru, dipanggang dengan sedemikian rupa di atas bara api yang menggelora. Minyak ayam yang menetes-netes membangkitkan nafsu makan para murid perguruan yang merasa sarapan mereka belum cukup. Seandainya Amar bukanlah murid paling senior, dia bakal sungkan untuk mengambil bagian paha yang paling disukai Khass untuk disimpan. Sementara anak-anak perguruan tidak ingin menanti sang anak kepala desa untuk makan bersama, Amar menunggu cukup lama. Kasihan jika bocah yang dihukum itu harus menyantap ayamnya sendirian. Pun, untuk mencegah ayam mendingin dan minyak yang mengendap, Amar berulang kali memanaskannya di sisa api yang menyalak-nyalak kecil.
Karena itulah, Amar memutuskan untuk meninggalkan para murid yang masih membersihkan sisa-sisa pemanggangan. Ia harus melewati penjaga gerbang yang tak sekali pun mengedipkan mata saat memandang paha ayam dibungkus daun-daun lebar, agaknya protes karena tak disisakan jatah meskipun sang Guru tidak lagi menyandang status sebagai murid.
Sesuai petunjuk Guru penjaga, Amar menghampiri pondok tamu, namun langkahnya melambat saat melihat Khass keluar dari pondok dengan sentakan cepat. Amar tak bisa mendengar suara Khass, tetapi ia yakin bocah itu sedang menunjuk sesuatu dari dalam pondok, kemudian ke arah Konservatori, dan bergegas dengan langkah lebar.
Ada sesuatu.
"Khass!" Amar menghampirinya. Mereka telah mencapai jalan utama desa yang becek bekas hujan dini hari, membuatnya sedikit kesulitan untuk mengangkat sandal tipisnya yang seolah tenggelam tersedot lumpur. Kadang-kadang Amar jengkel dengan liarnya desa perguruan. Ia terlampau sering tersandung bebatuan yang mencuat sepanjang tanah mengular, terutama ketika hujan sering turun, dan berakhir terjerembap dengan wajah tercelup lumpur. Inilah salah satu penyebabnya masih sering terselip mengumpat alih-alih menyebut Tuhan.
"Hei, Khass?" seru Amar sekali lagi, kemudian pandangannya tertuju pada sosok asing yang keluar dari pondok dengan sikap ragu-ragu. Melihat dari caranya berpakaian, Amar yakin ia adalah tamu asing yang barangkali tersesat. Oh, pantas saja Khass tidak kunjung menyusulnya. Bocah itu suka sekali menemani orang asing dan mendengarkan ceritanya, tapi ... kenapa Khass terlihat tegang?
"Amar!" Khass mendekat dengan ekspresi ketakutan. "Anak asing itu kayaknya masih dirasuki iblis."
Amar, yang masih berdiri di ambang urusan Khass dan si orang asing, mengangkat alis. "Uh, apa?" suaranya agak melengking. Anak asing dirasuki iblis? Ini bukan kata-kata yang bisa dicerna begitu saja oleh orang yang baru saja datang! Meski itu perihal yang nampaknya lumrah bagi para Guru, tetapi Amar tidak lahir di situ. Ia baru tinggal di sana selama empat tahun. Mendengar ada orang asing datang membawa iblis masih terdengar mengerikan baginya.
Tidak menyadari ekspresi Amar yang ikut menegang, Khass menarik tangannya. Matanya melirik ke arah pondok tamu dengan tajam. "Temani aku membawanya ke Nona Nujum. Sekarang! Ayo!"
"Tunggu! Tunggu, Khass." Amar mencegahnya berjalan. "Kau harus menemani sang tamu, bukan aku yang menemanimu." Si bocah terhenyak, seolah sadar dengan apa yang seharusnya terjadi, dan mereka pun menunggu si anak asing menyusul dengan alis bertaut.
"Ada apa sih? Kenapa kalian terburu-buru begitu?" tanya si anak asing, memunculkan lebih banyak pertanyaan di benak Amar.
Amar nyaris mengaku jika sama bingungnya, namun itu hanya akan membuatnya terdengar dungu. Amar adalah murid perguruan tertua, yang sebentar lagi akan resmi menjadi Guru. Ia harus terlihat meyakinkan. Maka Amar pun beralih memandang si bocah. "Khass, kita akan membawanya ke Nona Nujum?"
Pertanyaan itu menyimpan makna berlebih, tetapi bocah berusia sepuluh tahun yang ketakutan tidak bisa menangkapnya. Ia justru mendorong Amar agar menemani Debri berjalan, sementara Khass memimpin mereka. Tak ingin memperpanjang masalah yang masih abu-abu, Amar pasrah dan mengisyaratkan Debri supaya mengikuti.
Amar melirik Debri sepanjang perjalanan. Anak asing ini ... dia nampak seusianya. Tinggi mereka pun hampir sama, dan penampilannya sedikit mengingatkan Amar saat datang kemari dahulu. Ah, namanya bahkan bukan Amar waktu itu .... Tetapi, sebentar, bukan itu yang seharusnya Amar perhatikan sekarang. Khass menyuruh orang ini agar dibawa ke Nona Nujum, para wanita yang mampu melihat menembus ke dalam jiwa seseorang. Atau, melihat jauh nasib seseorang. Atau, yah, apa pun itulah, pokoknya mereka juga bisa melihat apakah seseorang sedang dihipnotis atau dirasuki iblis. Khass tadi menuduh orang ini dirasuki iblis, tapi Amar—yang masih empat tahun belajar menjadi Guru—tak bisa mengendus tanda-tanda adanya pengaruh makhluk kuno penghuni dunia itu.
Perjalanan menuju Konservatori penuh rintangan dan berliku-liku bagi Debri, tetapi kekaguman pemuda itu mengalahkan rasa sakitnya. Konservatori, sebagai tempat peribadatan sekaligus bangunan terbesar di desa, terletak di atas sungai. Bangunannya berupa sisa kuil Konservatori raksasa yang dahulu telah runtuh: undakan batu sebagian telah hancur, dan tak bisa dilewati oleh dua orang berdampingan. Jika dua orang terpaksa berhadapan, maka seseorang harus kembali ke atas kuil atau ke tanah, dan karena undakan itu memiliki setidaknya lima puluhan anak tangga, maka tindakan ini membuat siapa pun yang terburu-buru akan kesal. Beberapa lubang menganga di lantai kuil ditutup oleh berlapis-lapis anyaman kulit pohon. Beberapa murid terdahulu menyelipkan sulur-sulur lumen, sehingga para Guru bisa menghindar dari terjatuh saat malam hari. Kuil itu tak memiliki penerangan yang cukup selain ratusan lilin dan lilitan lumen yang berjuntai di langit-langit.
Sementara bangunan kuil menjulang ke atas dan semakin mengerucut menjadi petak terbuka sebagai atap, tempat sembahyang terletak pada dasar bangunan yang langsung terhubung di sungai. Pilar-pilarnya berdiri kokoh menjulang, mengalahkan tinggi pondok-pondok sederhana para Guru, berlapis lumut dan permukaannya sedingin aliran air. Bagian tengah lantai kuil sengaja digali, sehingga sungai yang mengalir di bawah lantai batu bisa dijangkau dengan mudah. Di ruangan inilah para Nona Nujum selalu berada untuk menjaga kesucian.
Ketiga anak itu memasuki Konservatori dengan kaki telanjang. Khass membawa kedua pemuda menaiki lima puluhan undakan batu, berbelok ke lorong-lorong sempit yang terbuka, kemudian menuruni undakan yang lebih banyak menuju lengkungan pilar yang menjadi pintu masuk menuju ruang sembahyang. Dari sini, suara gemericik sungai menggaung di ruang berdinding. Kesenyapan tak lazim yang meliputi ruangan itu membuat Debri bergidik saat melangkah masuk.
Omong-omong, dimana para Nona Nujum yang disebut-sebut itu? Debri tak melihat seorang pun. Meski begitu, Khass menghendakinya untuk melangkah ke ceruk sungai. Debri ingin protes, karena air sungai yang terlampau dingin membekukan kaki telanjang dan menusuk-nusuk bekas lukanya yang masih basah. Namun Khass tidak sendirian. Pemuda berambut merah yang lebih tinggi dan besar daripada Debri itu mendekat dalam jarak yang mengintimidasi, memaksanya untuk menghampiri sungai. Debri dengan pasrah menuruni tangga terakhir menuju tepi lantai Konservatori. Air sungai yang mengalir dengan deras menciprati bajunya yang belepotan lumpur. Kakinya menjulur dengan ragu-ragu hingga menyentuh permukaan sungai, dan—oh! Tubuh Debri spontan menggigil. Ia nyaris mengangkat kakinya lagi, namun Amar telah menahan punggungnya dengan kuat.
Mengalihkan rasa dingin yang membuat kakinya mati rasa, Debri memerhatikan Khass beralih ke tepi dinding. Apa yang akan dilakukannya? Tunggu, bocah itu mengetuk dinding? Debri tak bisa melihat apa pun di dinding selain lumut dan noda basah yang tak pernah hilang. Apakah ada pintu tersembunyi? Apakah ada ....
Debri merasa tertekan saat udara di sekelilingnya memberat. Perlahan muncul kabut dari langit-langit ruang, menyeruak cepat memenuhi setiap sudut. Kabut semakin menebal saat menyentuh lantai dan serentak memadamkan seluruh lilin di ruangan. Debri panik. Kenapa para Guru Muda ini terlihat santai saja? Mereka justru memejamkan mata dan duduk dengan khidmat di posisi masing-masing. Debri adalah satu-satunya yang mengawasi kabut itu saling merapat dan bergumul, membentuk sosok-sosok tinggi menjulang yang mengenakan jubah. Sosok-sosok itu tanpa wajah, atau nampaknya begitu, karena mereka hanyalah kabut yang memadat serupa manusia!
Astaga, mereka sama sekali tidak mirip gadis-gadis perawan yang semula dibayangkan Debri!
Debri melongo, mengabaikan kedua Guru Muda di sisinya yang mengucapkan salam kepada para nona. Khass beranjak dari tempatnya dan saat itulah Debri menyadari bahwa bocah itu sebenarnya juga agak ketakutan. Ekspresi yang meliputi wajahnya tidak lagi disebabkan oleh Debri, melainkan sosok-sosok asap padat yang melayang-layang di dalam ruangan. Amar pun demikian. Berkebalikan dengan sosoknya yang menjulang dan besar, matanya mengawasi sosok itu tanpa kedip dengan gemetaran.
Khass bersimpuh tepat di tepi lubang sungai. Sarungnya basah seolah diguyur oleh kubangan lumpur yang dilintasi kuda berlarian. Suaranya terbata-bata khas anak baru belajar bicara. "D-dengan nama Tuhan yang maha esa, p-pemberi ampun atas segala dan ... dan menyayangi tiap-tiap ... izinkan kami membawa saudara untuk bergabung bersama kami. Berkenanlah ia untuk ... untuk kembali ke ranah yang murni."
Ketiga pemuda menciut saat sosok-sosok itu mengangkat tubuh dan berputar-putar dengan cepat. Dengung dan bisikan memenuhi seisi ruangan, menyertai doa-doa yang dirapal lirih oleh kedua murid perguruan. Udara mendesak dan merenggang dengan cepat di sekeliling Debri, membuatnya megap-megap akan kebebasan bernapas yang selama ini tak pernah disyukurinya. Pemuda itu dengan sendirinya bergerak, merangkak menuju aliran sungai yang terhubung langsung dengan dunia luar. Oh, udara! Debri membutuhkan udara! Dia menginginkan udara bebas!
Debri tercebur ke sungai. Khass dan Amar sama-sama terkejut, namun mereka menahan diri untuk tidak beringsut menolong. Mulut mereka semakin cepat berkomat-kamit. Sosok-sosok putih itu mendekat ke lubang dan mengulurkan tangan-tangan berasap. Sebentar lagi Debri akan diangkat dari sungai. Kedua murid itu pernah menyaksikan ini berulang kali sebelumnya; jika anak manusia itu muncul dengan mata melotot dan bertingkah seperti kesurupan maka dia memang dihipnotis, jika dia hanya melemah dan batuk-batuk seperti orang sakit maka dia baik-baik saja. Tapi, jika dirasuki ... nah, sesungguhnya keduanya pun tak pernah tahu seperti apa reaksi anak manusia jika mereka sedang dirasuki. Apa yang akan terjadi? Tanpa sadar Khass dan Amar menahan napas menunggu saat-saat Debri diangkat kembali dari sungai.
Ketegangan Khass memuncak. Alih-alih menyentuh Debri, para Nona Nujum tahu-tahu berputar sangat cepat bagaikan angin ribut, bergumul dan bertumbuk, hingga dengung dan bisikan mereka berubah menjadi lengkingan tinggi yang memekakkan telinga. Putaran asap itu lantas melebur dan menghilang dalam udara, menyisakan kabut-kabut tipis yang membingungkan kedua murid perguruan.
Um ... Apa tadi barusan?
Sementara itu Debri merayap bangkit dari sungai sembari megap-megap. Seluruh tubuhnya basah kuyup. Rambut ikalnya menjuntai kusut di dahi dan kulit gosongnya nyaris berubah kelabu. Matanya melotot, membuat Khass mengira ia memang terhipnotis, namun Debri segera mengerjap-kerjap karena kedinginan luar biasa.
Khass dan Amar sontak saling tatap dalam kengerian. Ini tidak pernah mereka lihat! Jika Debri seandainya baik-baik saja, para Nona Nujum tetap akan bertahan dan mengabarkan bahwa sang anak manusia siap untuk menjadi bagian dari Persaudaraan Guru atau dipulangkan kembali ke rumahnya. Itu saja. Berputar semacam angin ribut dan menghilang tak pernah terjadi, atau—setidaknya—dalam kurun waktu pembelajaran kedua anak ini. Mereka sama sekali mengabaikan Debri yang terbatuk-batuk sambil terkapar. Dia meringkuk dan protes karena kedinginan, hampir mengucap sumpah serapah karena diperlakukan seperti ini oleh para Guru Muda yang maniak.
Kemudian Debri menunjuk pintu tempat mereka datang, dan kedua Guru Muda seketika tersadar bahwa situasi menjadi lebih runyam. Ternyata masih ada satu sosok Nona Nujum di sana, namun keberadaan Kamitua yang entah sejak kapan mengawasi dari tangga membuat Khass spontan panas dingin.
Kamitua tak mengatakan apapun selain menatap ketiga pemuda itu dengan tajam. Khass menolak untuk mengunci pandangan pada ayahnya. Ini mengerikan. Ini jauh lebih menakutkan daripada memanggil para Nona Nujum sendirian.
Sosok Nona Nujum yang tersisa itu kemudian menghadap Kamitua, mengatupkan kedua tangan di depan dadanya seolah berpamitan. Setelah Kamitua membalas salamnya, Nona Nujum itu menghampiri para pemuda yang ketakutan. Debri nyaris pingsan.
Ucapan itu singkat. Diantara desisan, Nona Nujum itu berbisik pada benak masing-masing murid perguruan: anak manusia itu sendirian. Tubuhnya hanya ditempati satu jiwa. Itu sudah cukup jelas dan melegakan bagi Khass dan Amar sebelum Nona Nujum berhamburan menjadi udara lepas.
Sayang, kelegaan itu tidak berlangsung lama karena kehadiran Kamitua benar-benar menekan para pemuda itu. Gesekan sarungnya dengan lantai batu, atau alas kaki dari anyaman kulit pohon yang ringan, terasa seberat batu-batu sungai yang ditimpakan pada masing-masing bahu para pemuda.
"Apa-apaan ini?"
Tak ada yang berani menjawab, tentunya. Namun Amar dengan sangat berjasa tidak melirik Khass yang memiliki tanggung jawab terbesar di sini. Beruntunglah, para pemuda itu tak berlama-lama larut dalam ketegangan. Beberapa detik yang terasa seperti hitungan jam berakhir saat Khass berdeham.
"Mohon ... mohon ampun, Kamitua, tetapi saudara Debri menunjukkan tanda-tanda tidak lazim saat di pondok tamu." Suaranya bergetar hebat, mengalahkan sensasi saat memanggil para makhluk dari dimensi lain. Tangannya mengepal di atas kedua lututnya yang merapat.
Kamitua, sementara itu, sama sekali tak mengalihkan pandangan dari Debri yang meringkuk lemas, pasrah karena tahu tak akan ada yang menolongnya dari siksaan ini sementara waktu.
"Mengapa?" Suara Kamitua datar, tetapi itu terdengar seperti raungan iblis di tengah kobaran api bagi Khass. "Apakah aku tidak cukup jelas saat mengatakannya, Khass? Kehendakku tidak lain dikarenakan berbagai alasan yang sangat baik dan tidak akan merugikan siapa pun. Suatu keputusan terburu-buru yang dibuat atas ketakutan semata takkan menghasilkan apa-apa. Pahamkah dirimu atas apa yang telah terjadi barusan?"
Amar yakin Khass hampir menangis lagi saat menjawab. "Para ... para Nona Nujum menghilang, Kamitua."
Jawaban itu sudah sangat jelas. Seandainya Kamitua belum mencapai ruangan itu saat para Nona Nujum lenyap, itu tidak mengabaikan kemungkinan bahwa Kamitua telah mendengarnya dari Nona Nujum terakhir yang mendampinginya. Kamitua adalah kepala Guru dan kepala desa; ia tidak hanya mengepalai para Guru. Ia juga memiliki kekuasaan atas makhluk-makhluk lain yang mendiami desa ini semacam para Nona Nujum dan para iblis, yang terkunci jauh di dalam desa ini, tak terjangkau oleh para Guru Muda yang masih gemar mengejar ayam hutan.
"Kukira kau sudah memahami buku-buku pendamping kitab, anakku, karena kau jelas memanggilnya dalam ritual yang tidak sopan. Ibarat kau meminta seseorang bersalah untuk diadili, kau harus melewati berbagai prosedur. Kau tak bisa serta-merta datang ke ruang pengadilan kosong, menyeret terdakwa, menelepon para hakim dan jaksa untuk hadir, kemudian meminta mereka untuk memulai pengadilan saat itu juga. Tidak, anakku, tidak begitu caranya. Kau adalah Guru Muda berkualitas, calon kaum beradab yang menjadi junjungan tidak hanya bgi para manusia, melainkan para Guru kelas bawah yang tersebar di kota. Kau akan menjadi junjungan tingkat tinggi."
Suara Kamitua semakin meninggi dan menghina. Khass terpuruk dalam duduknya. Amar ingin sekali mendekati bocah itu dan merangkul pundaknya, meyakinkan bahwa ini akan segera berakhir. Namun Amar juga telah menyeret dirinya sendiri ke masalah-masalah tanpa ujung antara Kamitua dan putranya yang serba ingin tahu. Ia sebaiknya diam saja.
Kamitua, tentu saja, menyadari keberadaan Amar dan menodongnya dengan tongkat jalan. "Kau akan menjadi Guru sebentar lagi, kemana kepantasan itu kini?"
Amar cepat-cepat membungkuk. "Saya mohon maaf, Kamitua. Saya akan membimbing adik saya dengan lebih baik daripada yang telah saya lakukan."
"Rawat anak manusia ini dan perlakukan dia sepantasnya. Kau sudah dengar apa kata Nona Nujum; maka bersikaplah dengan pantas dan akui kekurangajaranmu itu."
Kamitua melengos. Kepergiannya ikut mengangkat beban berat yang menggelayut di ruangan. Khass dan Amar akhirnya saling tatap, kemudian pada Debri yang bernapas dalam kegelisahan.
"Sudah selesai, belum?" Suaranya serak betul. "Aku kayaknya mau mati."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top