16.3 Histeria Hati [*]

It's gonna be a hell of ride. A beta reader of mine said this chapter is surprisingly devastating. Thank you.

---------------------------------

Malam telah lama turun. Resitasi penghujung hari diselesaikan satu jam yang lalu, dan kini para murid telah berselimut di pondok masing-masing. Hanya para Guru dan beberapa murid yang bertugas menjaga hari ini terlihat berkeliaran di sudut-sudut tertentu dengan lumen melilit tangan masing-masing. Suasana malam desa yang hening sangat kentara, bahkan terasa hingga puncak Konservatori tempat Kamitua menghabiskan sebagian hari. Keheningan yang hanya didampingi sahut-sahutan burung nokturnal kini mengentalkan kecanggungan di ruangan itu.

Tidak banyak kata-kata yang tertukar semenjak mereka berdua memasuki ruangan selepas resitasi malam. Rayford menghabiskan waktunya memandang ke sekeliling ruangan yang tidak jelas bentuknya ini. Sisi dinding yang terdapat pintu memiliki panjang kira-kira sepuluh kaki, tetapi dinding di sisi kanan dan kirinya tidak memiliki panjang yang sama. Dinding kanannya cenderung berbentuk setengah lingkaran, sementara dinding kirinya memiliki sudut miring yang berakhir pada ceruk sempit dirupakan balkon yang hanya bisa dimasuki satu orang. Rak-rak kayu memenuhi sebagian ruangan, dijejali oleh buku-buku yang dijahit dengan tali atau gulungan perkamen usang. Lumen merambat dengan liar ke segala penjuru ruangan, bagaikan rumah yang telah menyatu dengan alam seutuhnya.

Rayford menghela napas. Di sinilah ia dulu bertengkar dengan Kamitua, mendapat bekas luka yang kekal di rahang kirinya. Rayford tanpa sadar menambatkan pandangannya kepada sang tetua yang sedang menulis sesuatu di perkamen. Nampaknya ia sudah selesai karena sedang membubuhkan tanda tangan, lantas menggulung perkamen itu dan meja pun kembali bersih.

"Apa yang kau cari di perpustakaan tadi?"

"Doa untuk menekan iblis," jawab Rayford, sedikit malu ketika Kamitua mendengus.

"Iblis itu masih di dalam dirimu." Kamitua tidak bertanya. Ia tahu. "Kau tidak kembali kemari untuk tinggal, bukan?" ketika Rayford tidak kunjung menjawab, Kamitua menambahkan, "Kau tidak bisa menetap di sini lagi karena iblismu itu."

"Perbudakan itu membuatku menjadi satu dengannya."

"Iblis itu bisa saja pergi jika kau mau. Kau tidak boleh menyalahkan perbudakan itu seutuhnya."

Rayford menahan napas. Ia tidak pernah merasa ubun-ubunnya lebih panas dan wajahnya semerah saat ini. "Bagaimana bisa kau mengatakannya seperti itu? Apa kau tahu yang terjadi padaku?" Rayford bisa saja menangis, tetapi tidak bisa. Matanya perih, tetapi bukan karena kesedihan. "Aku tidak akan terlibat perbudakan itu kalau saja kau mau menjawab pertanyaanku saat itu. Kau cukup memberi aku jawaban, tidak perlu memperlakukanku seperti dahulu dan membuatku berakhir di perbudakan."

Kamitua tak merespon selain menatap Rayford tanpa kata. Pemuda itu siap melontarkan lebih banyak kekesalan, tetapi tatapan Kamitua merontokkan keberaniannya. Rayford mencengkeram lengan kursi.

"Kalau aku memberitahu jawabannya saat itu, apa yang akan kau lakukan? Kembali pada keluargamu karena kau tahu masih ada yang hidup, atau tetap berada di sini dan menjadi penerusku yang mengemban amanah mulia?"

Rayford tak bisa merespon. Dia menatap Kamitua dengan kebingungan. Ia pun memilih untuk bertanya hal lain. "Kau tahu Caellan Caltine, bukan?"

"Aku tidak tahu sampai kau sendiri yang menanyakannya kepadaku," kata Kamitua, masih dalam ketenangan yang mengintimidasi. "Dan untuk apa aku mempedulikannya? Kau dibuang sejak masih bayi, anak muda. Kau tidak dibutuhkan."

"Apa yang kau tahu soal keluargaku?"

"Kau kira aku tidak tahu apa-apa?" Kamitua menyipitkan mata. Ketenangannya seketika sirna. "Bayi keturunan dinasti terkutuk yang dibuang di Gerbang Utara, nasib mana lagi yang lebih beruntung daripadamu? Kau seharusnya berterima kasih padaku. Aku tidak membiarkanmu tahu siapa keluarga besarmu, sehingga kau tidak menjadi bagian dari mereka dan menambah daftar pendosa di catatan Tuhan. Aku telah berusaha sedemikian keras untuk mengarahkanmu menjadi seorang calon kamitua, memberimu makan dan pengertian akan kebaikan hidup. Kau bahkan, mungkin saja, adalah keturunan pendosa pertama yang berhasil menjadi seorang penunjuk kebenaran Tuhan!"

Rayford merasakan napasnya memberat. Kamitua lantas menambahkan, "Dan begitulah kau, anak muda yang tidak tahu berterima kasih, lebih menuruti hawa nafsumu untuk mengetahui segala sesuatu! Tidak semua baik untuk diketahui, tetapi kau lebih mengikuti perkataan mereka yang menyudutkanku karena telah menahanmu. Apa yang mereka tahu? Hanya aku dan Tuhan yang tahu! Tetapi kau membiarkan orang asing masuk ke kehidupanmu, menuruti tipu daya iblis, dan menyalahkan semua ketika kekejaman dunia menyantapmu." Kamitua mencondongkan tubuh, nyaris memenuhi wawasan pandang Rayford dengan wajah berkeriputnya yang mengintimidasi. "Sekarang, anak muda, apa yang akan kau minta dariku?"

"Cerdas sekali." Cemooh Par, suaranya begitu keras di benak Rayford hingga mengejutkan sang pemuda. "Kau tidak boleh goyah, Rayford. Kau tidak boleh lupa kalau dia sengaja merahasiakannya darimu! Kenapa pula dia harus menyembunyikannya seperti itu? Kau sudah dibentuknya menjadi anak yang baik, dan jika keluarga kandungmu memang seburuk itu, aku yakin anak sebaik kau pasti akan tetap berada di sini! Tetapi dia tidak mengatakannya. Apa kira-kira yang masih disembunyikannya?"

Rayford menarik napas dalam-dalam. Dia biasanya mencoba mengabaikan Par, tetapi tak ada yang bisa dilakukannya saat ini. Caellan tak ada di sampingnya, dan situasi semacam ini melempar Rayford kembali ke masa-masa saat dirinya masih bernama Khass, meringkuk ketakutan dan pasrah dengan setiap hukuman yang diterimanya.

"Kau bukan Khass! Khass sudah mati, dan apa kau mau Rayford juga mati seperti Khass?"

Rayford terperangah dengan sentakan Par, lantas menatap Kamitua dengan melotot. "Aku selalu menyertakan engkau di setiap doaku, Kamitua, dan apa itu tidak cukup? Lagipula apa salahnya kau memberi jawaban? Aku bertanya, tetapi kau tidak menjawab, karena itulah aku mencari jawabannya di luar! Seandainya kau memberikan jawaban itu sejak awal, maka aku tidak akan mengais-ngais seperti itu. Memang apa salahnya dengan mengetahui keluargaku sendiri? Aku memang masih muda, tapi aku tidak bodoh! Jika mereka buruk, maka aku akan tetap tinggal di sini, mendoakan kebaikan untuk mereka. Kau harusnya tahu itu, tetapi kau tetap mengacuhkanku." Rayford menarik napas dalam-dalam. "Dan beginilah jadinya! Sungguh, Kamitua, apa yang kau inginkan? Kenapa tidak kausampaikan sejak awal? Sekarang aku sudah tahu semuanya, dan tak ada satu pun jawaban yang datang daripadamu. Begitukah kau akan menuduhku; tidak tahu berterima kasih dan menuruti hawa nafsu, ketika yang ingin kuketahui hanyalah keluarga kandungku sendiri?"

Sebuah tamparan keras mendarat di kepala Rayford. Pemuda itu terjungkal dari kursinya, tetapi ia mampu berdiri dengan cepat dan memandang Kamitua dengan jantung berdentam-dentam. Tetua itu mengacungkan tongkatnya, kedua matanya menyala-nyala dalam ketakutan yang tidak lazim dan amarah yang berkobar-kobar. "Iblis!" raungnya. "Keluarkan iblis itu dari tubuhmu!"

Pintu menjeblak dan menutup secara tiba-tiba. Angin berembus keras, dan lumen yang menyinari ruangan itu berkedip bergantian dalam kecepatan yang mengerikan. Keterkejutan Rayford tak bertahan lama ketika udara di sekelilingnya terasa mampet. Mulutnya megap-megap, berusaha menggapai oksigen yang mendadak menipis di sekitarnya. Tubuh Rayford terasa ringan saat Kamitua mengangkat tangannya, membakar sekujur tubuhnya dalam pusaran hawa panas yang mencekik.

Par menjerit di dalam benak, sementara Rayford mengejang di udara. Kamitua terus merapalkan doa-doa yang menyerupai desau angin mengerikan yang menusuk-nusuk telinganya. Rayford mengerang saat sesuatu bergejolak hebat di dalam dadanya, berusaha mendesak keluar melalui tenggorokannya yang panas dan kering luar biasa. Ia seperti akan memuntahkan sesuatu! Rasanya sakit sekali—oh, apakah ia akan memuntahkan jantungnya?

Sensasi menyakitkan itu membuat Rayford menjerit lebih keras. Kedua tangannya mencekik leher, menahan apa pun itu yang mendesak di tenggorokannya, dan kedua kakinya meronta-ronta di udara. Jantungnya tak pernah terpompa secepat ini selain ketika ia kabur dari situs perbudakan, menghindari bola-bola besi yang sewaktu-waktu bisa saja menghantamnya. Kepanikan, serta oksigen yang melenyap dari sekelilingnya, membuat kepala Rayford seperti akan pecah. Pandangannya menggelap, tetapi alih-alih mendapati tubuhnya terjatuh lemas, ia merasakan denyutan menggelikan di kedua tangan dan kakinya. Rayford melepaskan tangannya dari leher, mengibasnya seperti kesetanan, mengabaikan jeritan dan erangan yang memenuhi seisi ruangan.

Rayford tak bisa melihat apa-apa! Dadanya begitu sesak! Ia butuh cahaya, ia butuh udara, ia butuh ketenangan pada kedua tangan dan kakinya yang kejang-kejang! Rayford membanting diri, berusaha melepaskan sensasi-sensasi mengerikan di sekujur tubuhnya.

"PAR!!"

Rayford berhasil menemukan suaranya, dan ketika sepatah kata itu terucap, segalanya tiba-tiba terasa kembali seperti semula. Rayford terkesiap, matanya terbuka lebar dan mendapati cahaya lumen menyinari ruangan sepenuhnya, seolah tetumbuhan sulur itu tak pernah berkedip-kedip dalam irama yang meneror. Angin tak lagi menghantam ruangan dengan keras, Rayford bahkan tak bisa merasakan belaiannya di kulit. Dadanya naik turun, mengatur nafas dan menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang mulai mendingin.

Rayford terpaku di tempat. Apa yang terjadi barusan? Dia tiba-tiba menggila ketika Kamitua membacakan bait-bait resitasi pengusiran iblis yang paling hebat. Omong-omong soal Kamitua, Rayford tak mendengar suaranya lagi ....

Pemuda itu mengarahkan pandangan matanya ke arah kursi tempat Kamitua tadi duduk. Posisinya yang tengkurap di lantai tak bisa melihat apa pun selain meja kerja Kamitua yang nampak menjulang. Dengan susah payah, Rayford bangkit dan merasakan sekujur tubuhnya berdenyut-denyut ringan. Ia menyeret kakinya menghampiri meja. Tak ada Kamitua.

Rayford mengernyit. Kemana tetua itu pergi? Apakah dia kabur saat mendapati Rayford kejang-kejang, lantas—

Rayford terkejut saat sesuatu menetes di rambutnya. Jemarinya mengusap kepala, melotot saat mendapati jari telunjuknya bernoda merah. Darahnya berdesir. Dalam sekejap, Rayford mendengar ada suara erangan yang tertahan di atasnya, dan lebih banyak lagi tetesan yang membasahi rambut dan pundak.

Rayford mendongak, dan bersamaan dengan mulutnya yang menelurkan nama Tuhan, matanya bertatapan dengan Kamitua yang tertancap di langit-langit, dengan ratusan bilah tulang menembus sekujur tubuhnya.

"Kk—Khhass ...."

Rayford tak mampu berkata-kata. Matanya pedih, wajahnya memucat, dan lidahnya kelu. Rayford tak bisa berkutik ketika darah mengalir lebih banyak dari mulut Kamitua dan lubang-lubang yang tercipta di sekujur tubuhnya, menghujani sang pemuda dengan cairan kental merah gelap. Seandainya tidak muncul suara keretak dari langit-langit di balik punggung Kamitua bersamaan dengan tewasnya sang tetua, Rayford akan mematung di tempat itu barangkali sampai pagi datang. Namun langit-langit mulai runtuh ketika ujung rambut Kamitua melebur menjadi debu, merambat hingga ke tubuh dan meranggas sampai ke ujung kaki. Ketika jasad Kamitua menghilang seutuhnya dari pandangan Rayford, langit-langit ruangan itu terpecah belah. Pemuda itu melonjak kaget dan segera berlari keluar ruangan.

Seolah kengerian itu belum cukup, ketika Rayford mencapai anak tangga dan bertemu dengan seorang Guru yang akan berpatroli, lelaki itu tiba-tiba mematung saat bertatapan dengan Rayford. Belum sempat sang pemuda berkata-kata, tubuh sang Guru melebur menjadi debu. Bangunan Konservatori mulai bergemuruh, bergetar di bawah kakinya. Rayford tak punya waktu untuk berpikir, selain membawa kedua kakinya berlari sejauh dan secepat mungkin, melompat keluar dari Konservatori yang segera runtuh dengan suara semengerikan situs perbudakan yang hancur oleh hantaman bola-bola besi. Suara jeritan para arwah memecah keheningan malam itu. Pondok-pondok dan seluruh bangunan yang dilewati Rayford saat berlari hancur dan ambruk begitu saja. Setiap kehidupan yang terlihat di mata Rayford melebur menjadi debu, dan ketika pemuda itu berlari kesetanan ke arah gerbang Desa, tubuh sang Guru penjaga telah meranggas sebagian bersama dinding yang membatasi desa dengan dunia luar.

Saat Rayford mencapai hutan di tepi desa, ia tersandung sebuah akar yang mencuat. Pemuda itu terjatuh dan bergulung. Ia terlempar hingga beberapa meter jauhnya, lantas menghantam sebuah batang pohon yang besar. Rayford terbatuk-batuk, dan disela-selanya ia menyaksikan desa melebur menjadi debu dan menyisakan hamparan hutan yang gelap dan rimbun, seolah tak pernah ada bangunan kuno yang berdiri megah di sana. Belum sempat Rayford memahami kenyataan bahwa desa telah lenyap karena perbuatannya, sesuatu terjatuh dari pohon yang ditabraknya dan menimpa kepala pemuda itu, membuatnya pingsan saat itu juga, seolah-olah menunjukkan betapa marahnya hutan akan perbuatan bocah yang tidak tahu berterima kasih ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top