16.2 Pulang (ke) Perguruan
Rayford nyaris saja melalui pagi hari yang mendung itu dengan kesenduan yang senada. Ia hampir membiarkan pertanyaan-pertanyaan mengerikan akan kejadian semalam menghantuinya, tetapi setelah Caellan menyatakan keinginan untuk menemani Rayford ke desa, bocah itu mengurungkan niat. Apalagi Caellan dengan berbaik hati mengajaknya untuk memangkas rambut (dan Rayford amat terkejut melihat penampilan barunya yang seperti para pemuda tampan di kota-kota besar), ke toko kue di sebelah stasiun untuk memenuhi kantong besar dengan pai-pai kecil yang hangat, dan menempati kompartemen paling mahal di kereta. Rayford tidak terbiasa dengan kemewahan itu, dan sama sekali tak berusaha menyembunyikan kenorakannya. Kebaikan dan senyum Caellan hari itu bahkan menyihir Rayford bahwa kejadian semalam mungkin hanya ilusi saja. Barangkali Par mulai bermain-main dengan kesadarannya. Banyak sekali kejadian di perbudakan yang kini terasa amat semu bagi Rayford, terutama yang melibatkan Par. Ia tak mau repot-repot mengingat peristiwa pembantaian para ilmuwan oleh tentakel tulang yang tumbuh dari punggungnya. Yang jelas, peristiwa itu terasa seperti potongan adegan sandiwara saja di benaknya. Dia tak pernah bisa menumbuhkan tentakel tulang lagi, atau menyaksikan Par keluar dari tubuhnya.
Benar. Itu hanya ilusi.
Rayford hampir saja mendesis, mengusir Par yang terkekeh di benaknya, tetapi dengan sangat berhati-hati mengunci bibir. Ia sadar betul Caellan menjadi super sensitif saat Rayford kedapatan berbisik kepada Par. Rayford tanpa sadar membentuk kebiasaan baru untuk mengawasi Caellan acap kali Par muncul di benaknya. Apakah sang kakak tiri bisa menyadari kehadiran Par?
Perjalanan dari Appeton menuju pelabuhan paling utara di Gerbang Barat memakan waktu sehari, ditambah dengan sehari lagi untuk berlayar menuju Gerbang Utara. Setelah itu mereka Kembali menempuh perjalanan empat jam dengan kereta untuk mencapai kota besar terdekat dekat, lantas menaiki bis menuju kota kecil di kaki bukit desa perguruan (yang belakangan Rayford baru tahu namanya sebagai Kota Miggle). Perjalanan yang panjang itu membuat kedua pemuda capek, tetapi tetap tidak menyurutkan semangat Rayford yang makin membara. Dan, karena ia masih ingin menghormati desa, maka Caellan tidak diajak naik ke bukit. Sang kakak tiri tidak memaksa dan memutuskan untuk menginap di salah satu rumah yang dekat dengan alun-alun Kota Miggle, bersebelahan dengan satu-satunya pub yang rutin didatangi para gadis.
Akhirnya, Rayford mendaki bukit dengan jantung berdebar-debar.
Setiap langkah yang dilalui Rayford terasa sangat berat, lambat laun kakinya mulai menyeret seolah-olah ada tangan-tangan yang menahannya untuk mendekat lebih jauh. Tidak. Yang satu ini bukan ilusi. Seiring dengan semakin rapatnya pohon-pohon yang menjalin di sekeliling, terdengar bisikan-bisikan mengusir yang berpilin dengan desau angin. Ketika gerbang desa nampak di depan mata, Rayford menyadari bahwa sulur-sulur tipis telah merambati kakinya. Rayford tidak menyerah. Jika dirinya yang dulu, Khass, diperlakukan seperti ini, ia pasti bakal menangis memohon ampun. Kenyataannya sekarang dia datang ke desa ini sebagai Rayford Caltine, dan langkahnya sangat mantap saat mengibaskan Sulur Biru dari kaki. Ia bahkan berniat menginjak, kalau saja tidak dikejutkan dengan teriakan arwah yang mengumpatinya. Rayford terdiam sejenak, merasakan gejolak darahnya yang mengalir deras di dalam tubuh, lantas menghela napas panjang.
Ia menghampiri gerbang desa. Terlihat seorang pria berbalut sarung yang bersandar mengantuk pada tongkat kayu. Rayford memberi salam, cukup untuk menyentak sang Guru penjaga gerbang. Ia buru-buru berdiri, dan keterkejutannya menjadi berkali lipat saat menyadari siapa yang datang.
"Ya Tuhan, Khass!" serunya tak percaya. Mulutnya menganga lebar, bingung antara berlari ke dalam desa untuk mengabarkan kemunculan sang putra Kamitua yang menghilang selama setahun, atau memeluk pemuda itu. Namun ia tak melakukan keduanya, selain menatap sang bocah dari ujung kaki hingga rambut, dan menggeleng takjub. "Ya Tuhan, ya Tuhan, kau selamat! Dan, kau nampak sangat ...."
Rayford berusaha keras memasang senyum, ketika Par tertawa-tawa di dalam benaknya dan memberitahu bahwa sang Guru penjaga gerbang mengira ia barangkali telah tewas. Rayford mengabaikan iblis berisik itu. "Segala pujian tertinggi untuk Tuhan, Kakak! Dan aku ... aku sangat senang melihatmu kembali."
"Tentu, Khass! Aku pun senang melihatmu! Astaga, masuklah, adikku. Masuklah! Akan kukabarkan pada semua." Guru penjaga gerbang itu kemudian berbalik, bersamaan dengannya muncul dua arwah yang mengawasi Rayford dengan tatapan tajam. "Saudara-saudaraku! Sampaikan berita gembira ini kepada seisi desa—Khass telah kembali!"
Rayford gatal untuk menyanggah di balik bibirnya yang terkatup rapat. Para arwah itu pasti telah mengetahui apa yang terjadi selama Rayford berjalan kemari, dan apa yang nyaris dilakukannya pada Sulur Biru di hutan. Rayford hanya tersenyum tipis.
"Kamitua... Bagaimana kabarnya?" tanya Rayford, tak bisa menahan diri untuk tidak menanyakan satu ini.
Rayford telah menduga bahwa sang Guru penjaga akan bercerita bagaimana terpuruknya Kamitua, atau situasi desa berubah karenanya, tetapi cukup terkejut dan kecewa saat Guru penjaga itu tersenyum. "Oh, Kamitua? Beliau baik-baik saja, meski terlihat cepat sekali menua saat kau pergi, Khass. Beliau masih tetap seperti dulu. Jangan khawatir."
Ada kegelisahan yang muncul di hati Rayford. Kamitua tidak berubah banyak, apakah itu berarti kehilangannya tidak begitu berarti? Rayford merasa sakit hati, terlebih-lebih ketika Kamitua selalu menjadi beban pikirannya, tetapi ada yang membuatnya lebih gugup daripada ini.
Bisakah dia mengorek masa lalunya dari Kamitua yang berpendirian keras itu?
Rayford dipersilakan melewati gerbang dan memasuki desa seorang diri. Kala kaki-kakinya menginjak tanah berselimut dedaunan kering khas desa, kenangan lama akan dirinya yang berlarian sepanjang jalan bersama kawan-kawan seperguruan menyertai. Rasanya seperti sudah lama sekali! Dan, realita bahwa kepalanya mulai terasa pening menjadi pengkhianatan tersendiri bagi dirinya. Rayford telah terbiasa menghirup debu dan kotoran, bernapas dalam kungkungan dinding bebatuan yang tajam dan berlapis penyakit. Menghirup udara desa seperti mencelupkan besi berkarat ke dalam cuka. Dadanya terbakar, tenggorokannya kering, kepalanya terasa berat, dan Rayford mulai mengira pandangan matanya agak berkunang-kunang. Inikah yang dirasakan Debri dan para manusia biasa saat mendatangi desa ini? Padahal Rayford telah terbiasa hampir empat belas tahun hidup di Desa, tetapi mengapa satu tahun di dunia luar saja telah membuatnya seperti ini?
Saat Rayford mencapai alun-alun desa, terlihat banyak anak perguruan dan Guru pendamping sedang berkumpul. Pemandangan itu sama sekali tak ada bedanya dengan setahun yang lalu, atau bahkan tiga tahun yang lalu. Mereka baru saja selesai makan dan sedang menumpuk piring, ketika kedatangan Rayford menggemparkan siang itu. Semua terjadi dalam sekejap di mata Rayford: ia diserbu, ditarik dan dipeluk, bahkan tak sedikit yang menangis saat melihat kondisi tubuhnya yang jauh lebih kurus daripada sebelumnya. Suasana dengan cepat menjadi hangat, mencairkan ketegangan Rayford yang ketakutan jika semua orang akan menghakiminya. Kenyataannya, pemuda itu sekarang dibawa beramai-ramai menuju Konservatori desa. Mereka akan membantu Rayford membersihkan diri.
Namun, langkah para murid seketika terhenti ketika mereka baru saja mencapai puncak tangga Konsevatori, menyadari Kamitua yang telah berada di samping sebuah pilar, dan kedua matanya menatap tajam ke arah kedatangan mereka. Kerumunan yang semula bersorak dalam kesenangan itu seketika hening. Rayford, yang baru saja dilanda kegembiraan atas sambutan kawan-kawannya, kembali tegang, bahkan jantungnya berdentam-dentam lebih nyaring. Senyumnya hilang, berganti kegetiran di lidah, dan dengan perlahan ia menghampiri pria tua bertubuh jangkung itu.
"Kamitua," bisiknya tercekat. Ia menelan ludah dan berusaha keras untuk tidak menunduk dan bersimpuh di kedua kakinya. Ia tetap mempertahankan matanya untuk bertatapan dengan Kamitua. Setiap detik yang dilalui terasa menjerat leher.
Ketika Guru penjaga gerbang mengatakan bahwa Kamitua cepat menua semenjak peninggalannya, Rayford mengira sang kepala desa akan terlihat lebih kurus, dengan semakin banyak kerutan di dahi dan di bibirnya. Perkiraannya tidak meleset jauh, tetapi Rayford jelas tahu ada sesuatu yang hilang dari Kamitua saat mereka kembali bertemu.
Kamitua bukan lagi ayahnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top