15.1 Perubahan Panggilan

10, Bulan Pekerja. Tahun 1927.

Khass memang sudah menduga bahwa keluarga Caltine pastilah bermartabat dan kaya raya, tetapi tak sekali pun terbersit di pikirannya bahwa rumah itu akan terbengkalai.

Lima hari setelah usaha kabur mereka yang penuh rintangan, Khass dan Elena akhirnya mampu tiba di sebuah perumahan elit. Berbekal bisikan Par dan iblis di tubuh Elena, mereka berhasil menghindari tentara-tentara atau petugas keamanan yang berkeliaran di sepanjang perjalanan. Coba bayangkan, setelah melewati hutan selama semalaman, mereka masih perlu mencapai pelabuhan terdekat. Setelah itu, memanfaatkan tubuh ceking dan nyaris tak berlemak, mereka menyusup ke dalam peti-peti kayu yang diseret para buruh pelabuhan. Setelah tiga hari terapung-apung di laut yang memabukkan, keduanya pun sampai di Kota Appeton yang terletak di ujung utara Gerbang Barat.

Khass sebenarnya masih merasa tubuhnya terombang-ambing, tetapi perasaan bingung akibat alamat yang berakhir pada rumah terbengkalai lebih menguasainya. Elena juga bengong dengan situasi yang menimpa mereka.

"Apa kau tidak keliru mengingat alamat?"

"Tidak. Tidak mungkin." Khass agak ketakutan. "Par bilang ini memang rumahnya. Dia bahkan menyuruhku langsung masuk ... hei, Par, kau gila? Aku membobol rumah orang?"

Elena mendengus melihat Khass sibuk bertikai dengan iblis di dalam benaknya. Gadis itu termangu sesaat dan menyisir rumah-rumah besar di depan matanya dengan gelisah. Rumah-rumah itu kosong dan mulai ditinggalkan.

"Aku ingin pulang," cetus Elena tiba-tiba. Khass kemudian sadar mengapa mereka tidak pulang ke rumah Elena saja, karena menurut kabar iblis di tubuhnya, keluarga Elena menetap di Gerbang Barat setelah kehilangan putri semata wayang. Ayah Elena, yang merupakan anggota parlemen, masih terus berusaha mencari keberadaan anaknya.

"Aku akan mencari telepon." Karena Khass sama sekali awam dengan dunia luar dan kehidupannya, maka Elena mulai mengambil alih situasi saat itu. Ia menghampiri sebuah boks telepon yang masih berfungsi, menggunakan sulur hijaunya untuk mencuri beberapa keping koin dari dalam kotak telepon, kemudian menghubungi nomor telepon kantor sang ayah. Khass menyaksikannya dengan terkesima.

"Apa aku bisa menghubungi Caellan juga dengan telepon itu?"

"Tentu saja. Kau bisa menghubungi siapa pun."

Muncul sepercik semangat di hatinya. "Kalau begitu bisakah kau hubungkan Caellan?"

"Kau tahu nomornya?"

"Nomor apa?"

"Nomor teleponnya," kata Elena, yang segera disambut gelengan. Gadis itu melotot. "Kau tidak bisa menghubungi orang jika tidak tahu nomor teleponnya, Khass." Dan, semangat Khass yang hanya bertahan beberapa detik itu pun padam. Ia hanya mampu mengawasi Elena berseru girang saat teleponnya diangkat. Karena hari masih siang, maka sekretaris ayahnya yang menjawab telepon itu. Melihat ekspresi Elena, sepertinya sang sekretaris pun ikut terkejut sekaligus senang menerima telepon dadakan ini. Sekretaris ... apakah dia orang yang membantu ayah Elena? Sekretaris itu bahkan bukan keluarga, tetapi Elena gembira bukan kepalang saat teleponnya dijawab olehnya. Bagaimana dengan ayah Elena? Muncul sebuah pertanyaan begitu saja di benak Khass: apakah ayah Elena juga seperti Kamitua?

Khass terperangah saat Elena tiba-tiba menangis. Ada apa? Apakah ayahnya marah karena Elena menghilang? Apakah—oh, tidak! Elena tersenyum, lebar sekali. Gadis itu meracau betapa ia merindukan ayahnya, dan bahwa ini benar-benar Elena yang menghubungi. Menurut telepon, ayah Elena langsung meminta alamat keberadaan mereka. Telepon segera ditutup dengan banyak sekali pesan.

Saat Elena keluar dari boks usang itu, ia tidak kuasa menahan rasa bahagia. "Ayahku baik-baik saja!" pekiknya senang. "Ayah akan datang menjemput. Seandainya diperbolehkan, mari kita menunggu di rumah kenalanmu."

Khass tidak tahu harus bereaksi apa selain menyunggingkan senyum kebingungan. "Itu artinya aku harus membobol rumah."

Senyum Elena lenyap. "Oh!" katanya. "Tetapi kau pernah memiliki kuncinya, dan itu berarti kenalanmu memang mengundangmu ke rumah itu. Jika ternyata kita tiba di rumah yang salah, tak ada buruknya kita menunggu sejenak di sana hingga ayahku datang. Kau bisa ikut denganku."

"Sungguh?" Par berceletuk di benak Khass, menghentikan pemuda itu untuk merespon ucapan Elena. "Kau mau ikut dengan ayahnya? Dia anggota parlemen. Jenis orang yang sama dengan mereka yang menggagas perbudakanmu. Orang-orang seperti itu sampah. Kau mungkin tidak tahu, tapi aku tahu."

Khass mengernyit. Ia tidak mengatakan apa pun saat Elena menyeretnya ke rumah Caellan Caltine yang dirambati ilalang. Khass bergumam, sangat pelan, tetapi tetap bisa didengar Par. "Ayahnya terdengar baik."

"Ya, karena Elena adalah putri semata wayang. Bagaimana denganmu? Kau adalah Guru Muda yang melarikan diri. Jika kau ikut dengan keluarga mereka, maka mereka pun akan mengembalikanmu ke Kamitua. Mereka jelas tidak akan membuat Guru tinggal di rumah rakyat. Mau? Lantas bagaimana dengan janjimu kepada Caellan Caltine? Ingat perjanjian kita?"

Gara-gara itu, Khass membatalkan keinginan untuk mengikuti Elena. Ia menyaksikan Elena pergi dengan cepat di hari yang sama, menolak dengan kuat ajakan untuk ikut dengan keluarganya. Khass berdalih bahwa Caellan akan segera datang karena mereka sudah membuat janji. Ia sangat mengotot, dan ayah Elena pun juga tidak ingin berlama-lama berada di rumah itu.

"Kasihan dia." Khass mendengar ayah Elena berkomentar saat mereka meninggalkan pekarangan. "Kau sudah memberikan nomor telepon rumah, kan? Dia pasti akan menghubungi kita kalau kenalannya itu tidak kunjung datang. Aku khawatir dia ditipu. Banyak penipuan akhir-akhir ini ... kau tahu, memanfaatkan anak-anak yang hilang."

Khass tidak yakin jika Caellan menipunya. Bahkan jika itu memang benar, maka Khass akan kehilangan satu-satunya harapan yang bisa dipercaya. Di dunia luar yang begitu kejam dan rumit ini, Khass telah kehilangan banyak orang. Janthell, Maurice, kawan-kawan satu selnya, dan sekarang Elena mulai beranjak pergi. Jika ... jika seandainya Caellan tidak kunjung datang, Khass tidak tahu dia ingin pergi kemana lagi. Dia tidak mungkin kembali ke desa, kan?

Sembari menerawang ke arah mobil ayah Elena yang meluncur meninggalkan perumahan sepi itu, Khass menangis dalam diam di rumah yang terbengkalai.

19, Bulan Pekerja. Tahun 1927.

Sembilan hari kemudian, Khass sudah berganti pakaian menjadi milik Caellan yang harum dan sama sekali tak bernoda. Ia telah menyantap menu-menu luar biasa sejak kedatangan Caellan kemarin. Lampu-lampu gantung rumah menyala terang, dan lilin-lilin wangi dinyalakan. Musik mengalun dari piringan hitam koleksi mendiang ibu tiri Caellan ... atau, ibu kandung Khass, lebih tepatnya.

Dia ... sebentar. Namanya bahkan bukan Khass lagi. Dia harus hidup sebagai Rayford Caltine, sebagaimana janjinya pada Par. Pun, menurut penuturan penuh kejutan Caellan pada malam lalu, sepertinya Khass benar-benar adalah Rayford Caltine.

Tunggu, benarkah? Khass tidak bisa memercayai ini. Kau juga, bukan? Segalanya mendadak terasa semu dan dunia menjadi tempat yang tidak dikenali Khass lagi. Apakah ini nyata? Khass berulang kali menggerakkan jemari kakinya, sekadar merasakan bahwa ia masih menjejak pada lantai marmer dan tidak tengah melayang seperti pada mimpi-mimpi.

Nama aslinya adalah Rayford Caltine, dan meski ini sulit dipercaya, tetapi Khass harus mencobanya. Sebagai upaya paling besar untuk mendukung keputusannya yang penuh keraguan, maka mulai saat ini Khass akan dipanggil sebagai Rayford Caltine.

"... Ray? Rayford?"

Rayford tersentak. Bukan karena panggilan itu, tetapi karena ketukan di pintu. Ia masih merasa bahwa Rayford Caltine bukan dirinya, tetapi ia berusaha. Mungkin masih butuh waktu agak lama agar ia tahu dirinya sedang dipanggil jika nama "Rayford" diucapkan.

Rayford mengawasi Caellan yang memasuki kamar dengan langkah lambat-lambat. "Maaf, ada apa?"

"Tidak." Caellan tersenyum tipis. Ia memerhatikan sekeliling ruangan dengan berkacak pinggang. Kamar itu, yang baru saja dibersihkan mereka berdua, akan menjadi kamar sementara Rayford selama tinggal di sana. Mereka menumpuk buku-buku mendiang ayah mereka, Aland Caltine, yang sekiranya berhubungan dengan keluarga untuk dipelajari Rayford. Ada album-album foto tua dan serangkaian catatan tentang karakteristik kedua anak. Menurut Caellan, Aland suka sekali mencatat perkembangan anak-anaknya untuk diteliti. Aneh? Tidak juga. Aland Caltine adalah orang yang lebih aneh daripada tindakannya sendiri. Rayford baru mengetahui bahwa Aland Caltine adalah seorang ilmuwan, dan itu mengingatkannya pada Profesor Desmond. Apakah mereka sejenis?

Rayford memerhatikan Caellan menepuk-nepuk kasur. "Aku ingat persis, Da dulu membeli kasur ini untukku. Tapi, ahh, aku tidak menyukai kasur yang hanya untuk satu orang begini. Kau tidak masalah kalau aku tidur di kamar Da, kan?"

"Oh," Rayford tidak tahu harus merespon apa. Apa? Apa yang harus dikatakannya? Dia tidak mengenal Aland Caltine, dan posisi Rayford saat ini seperti seorang kawan yang mendengarkan kenalannya bercerita. Ia tidak merasa menjadi bagian dari keluarga itu ... dan apakah Caellan baru saja meminta izin darinya? Aneh. Pada akhirnya, Rayford merespon dengan sangat canggung. "Yah ... tidur saja di sana. Kau yang selama ini mengelola rumah."

Caellan menatap lekat-lekat Rayford. "Kau masih merasa canggung, ya?"

"Kau tidak?"

Caellan tersenyum lagi. Senyumnya begitu hangat dan tulus, sampai-sampai Rayford merasa sungkan. Seolah-olah hanya dirinya sendiri yang merasa canggung.

"Aku tidak tahu. Bagaimana menurutmu? Yang kurasakan sekarang adalah ... ini begitu berbeda dari apa yang kubayangkan. Jangan salah, dan kuharap kau tahu, bahwa selama ini aku terus mencarimu. Aku hanya tidak menduga jika akhirnya kita bertemu, maka akan menjadi seperti ini. Lagipula, apa yang seharusnya terjadi, eh? Kita berpisah selama empat belas tahun sejak kau masih bayi. Kita tidak mungkin berkumpul dengan cepat, menjadi dekat dalam sekejap, dan hidup seperti kakak beradik pada umumnya."

"Masuk akal." Rayford menghela napas lega. Caellan sungguh pintar dalam menyuarakan isi pikirannya. Sepertinya ia bisa belajar segala sesuatu dari lelaki ini.

"Bagaimana perasaanmu? Jika kau masih berat meninggalkan kehidupan Khass, aku tidak masalah. Aku ingin menghormati keputusanmu."

"Tidak masalah. Lagipula, ada yang lebih penting daripada itu. Alasan kenapa aku ingin mencoba menghidupkan Rayford."

Rayford menarik kursi dan menghadap Caellan. Perasaannya bercampur aduk. Sejauh ini, ia belum mengatakan apa pun perihal Par. Mereka juga sama sekali tidak membicarakan apa-apa tentang perbudakan, usaha Desmond dalam menginjeksi sel-sel iblis ke tubuh Rayford, dan sebagainya. Caellan mengira Rayford trauma dengan itu, sehingga tidak ingin membicarakannya. Mereka menghabiskan seharian berdiskusi tentang Rayford Caltine dari kisah Caellan yang dirasa lebih masuk akal dan logis.

Rayford mendesah. "Aku belum cerita padamu," katanya. "Tentang perbudakan."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top