13.3 Mati Masal

+ ps : kalau mampu baca cerita dalam 4 menit, then it's better for you. karena ending musik dan babnya cocok banget (for me). haha.


-------------------------

"Tolong!" serunya. "Ada pembunuhan!"

"Hei, ada apa? Ada apa?" seseorang menarik lengan Jamen yang kebingungan. Para pelayan berhenti melangkah mendapati kawan mereka memucat dan napasnya terengah-engah.

"Pembunuhan!" Jamen nyaris kesetanan saat menyebutkannya. "Ruang bawah ... ruang bawah! Mati semua! Derris!"

Para pelayan saling menatap dengan kaget. Seseorang berkata bahwa semuanya diharap tetap bersikap tenang tanpa menimbulkan keributan, kemudian beberapa pelayan yang sedang berada di ruang makan keluar. Mereka bergegas memasuki ruang bawah. Jamen kembali berusaha mencari Derris, namun seseorang menariknya.

"Apa yang terjadi? Siapa pelakunya?"

Jamen terperangah. Ia mencengkeram lengan kawannya. "Pesulap itu! Astaga, dia masih di sini, Col—kemari, ikut denganku!" ia menarik sang kawan, Col, agar ikut dengannya. Col menyamakan langkah lebar Jamen dengan kesusahan, dan mereka bergegas menuju ruang ganti di lorong sebelah.

Perasaan Jamen tak karuan. Firasatnya mengatakan bahwa sang pesulap pasti sudah kabur. Entah kenapa ia merasa bahwa Nik hanya ingin mengalihkan perhatiannya, meminta diantarkan ke ruang ganti dan toilet. Meski Jamen berdoa agar pesulap itu masih ada, ia amat ragu bahwa itu akan terjadi. Instingnya ... insting sebagai orang yang pernah melakukan hal serupa ... Jamen pun pasti sudah kabur jika ia menjadi pesulap itu!

Ketika Jamen menjeblak pintu ruang ganti, seorang gadis menjerit. Rupanya ia seorang penari yang akan melakukan dansa utama, dan tak terlihat ada sosok Nikolan sang pesulap sama sekali. Jantung Jamen berdentum kencang. Ia menerjang toilet setelah itu, dan hanya menemukan dua orang tamu yang sedang menempati masing-masing bilik. Mereka mengumpat ketika Jamen melotot ke arah mereka.

"Tutup pintunya, sialan!"

"Apakah kau melihatnya?" Jamen memekik. "Apa kau melihat seorang pesulap? Laki-laki tinggi dengan tas di tangannya?"

"Tidak ada! Tutup pintunya!" Jamen pun meminta maaf dan setengah membanting pintu. Ia bertatapan dengan kawannya yang menanti dengan kebingungan.

"Apa yang terjadi? Kenapa dengan pesulap? Pesulap siapa?"

Jamen menceritakan semuanya dengan cepat. Col mengangkat alis dan wajahnya memucat. "Dia pasti kabur," katanya. "Ayo, dia pasti takkan jauh dari sini. Kita pakai mobilku!"

Kedua pemuda itu kemudian meninggalkan mansion. Mereka berlari tanpa suara, masing-masing tenggelam dalam kengerian, sama sekali tak menyangka akan terjadi pembunuhan di pesta semacam ini. Ya, memang ini bukanlah pertama kali, tetapi mereka sungguh tidak menyangka malam yang semula membosankan ini akan berubah menjadi sumber kepanikan. Mobil Col terparkir di belakang mansion dan ia segera tancap gas meninggalkan pekarangan mansion. Beberapa penjaga yang sudah dikabarkan di depan mansion pun mulai menyisir area sekitar. Mereka mengatakan tak sekali pun melihat ada tamu yang pergi, maupun mobil yang beranjak dari pesta. Meski demikian Jamen dan Col tetap bertekad untuk menyusuri jalan sepanjang hutan. Tidak ada yang tenang malam itu.

Col mengumpat karena mansion itu terletak di puncak bukit yang dikelilingi hutan. Ia harus menyetir dengan hati-hati karena medan jalan yang tidak terlalu mulus, dan sesekali mengerem ketika seekor tupai melompat di depan mereka. Jamen tak pernah sekali pun mengalihkan pandangannya dari jendela pintu di sisinya. Ia menajamkan pandangan, berusaha untuk melihat sosok yang setidaknya mungkin berkeliaran di kegelapan, memanfaatkan keremangan alam untuk menyembunyikan sang pesulap.

"Aku tidak menyangka ini, bung. Maksudku, sungguhan, pesulap jalanan itu? Apakah dia yang membunuh mereka?"

Jamen hanya mengangkat bahu. Ia tidak punya kata-kata yang tepat untuk merespon. Pertanyaan itu pun telah memenuhi benaknya sedari tadi. Pesulap yang bersikap baik padanya ... apakah ia benar-benar melakukannya? Jamen menggigit bibir. Tidak. Bukan berarti jika seseorang memperlakukanmu dengan manis dan memberi sejumlah tip, maka dia adalah orang baik seutuhnya.

"Stop!" Jamen berseru. Col otomatis mengerem mobil dan mereka nyaris terjungkal. "Aku melihat sesuatu. Ada yang bergerak."

"Kau yakin itu bukan hewan?"

"Tidak, aku melihat itu setinggi manusia." Jamen membuka pintu. "Kau tunggulah di sini."

"Hati-hati, bung." Col mengeluarkan pistol dari bawah jok dan melemparkannya ke Jamen. "Barangkali dia membawa senjata."

Jamen mengecek pistol tersebut. Pelurunya bukan peluru biasa. Ada cairan bening di setiap peluru, membuat darah Jamen berdesir. Peluru ini bisa melukai semua makhluk tanpa terkecuali dengan aroma khas yang menyengat; sebuah peringatan bahwa hutan yang akan dimasuki Jamen tidak aman sepenuhnya. Ia meninggalkan Col dan segera melompat ke tanah yang ditutupi dedaunan basah. Ia memetik setangkai lumen. Setidaknya bunga ini bisa membantunya menginjakkan kaki di tempat yang benar.

Jamen bersin. Udara di sekelilingnya mendadak terasa berat. Hawanya tidak sekadar dingin, melainkan agak membeku, padahal masih menjelang musim gugur. Jamen memperlambat langkah saat sudah mencapai jarak sekitar beberapa puluh meter. Matanya menyipit. Embusan napasnya mulai kasat mata. Ia mengangkat lumen tinggi-tinggi, lalu menyadari bahwa ia tidak sendirian.

O-oh.

Jamen menurunkan bunga itu perlahan. Ia mengangkat pistol sebagai gantinya, namun tangannya sudah terlanjur bergetar hebat. Jantungnya berdentam-dentam tak nyaman. Ia ... ia tidak sendirian. Ia tidak sendirian. Ada sesuatu. Ada makhluk lain. Jamen menyadarinya saat mengangkat pandangan. Ada sejumlah iblis yang bertengger di atas pepohonan. Tubuh mereka dua kali tinggi manusia dan memiliki perawakan serupa tubuh kelelawar, hanya saja tanpa bulu dan kulitnya menempel pada relung-relung. Kedua kaki yang besar menancap pada dahan pohon. Jamen kini mengutuk kebodohannya. Sosok yang ia kira adalah manusia itu ... ternyata sekumpulan iblis kelelawar dengan moncong pesek yang kini bertengger di dahan pohon dan menatap tajam ke arahnya.

"Sial," umpatnya pelan. Jamen mundur teratur, tetapi sekumpulan iblis itu tiba-tiba memekik nyaring. Jamen sontak menjatuhkan diri ketika mereka mengepakkan sayap dan meninggalkan Jamen dengan embusan besar. Jamen mengerang ketakutan, meracaukan doa yang mampu diingatnya dengan cepat, dan setelah menyadari bahwa tak terdengar suara lagi, Jamen segera beranjak.

Makhluk-makhluk itu pergi! Jamen tidak pernah selega ini sebelumnya. Ia sudah begitu ketakutan ketika para iblis memekik dan mengepakkan sayap. Ia berpikir mereka akan menancapkan kuku pada tubuh Jamen dan berpesta atasnya, tetapi nampaknya Tuhan masih mau berbelas kasih kepadanya saat ini! Jamen berlari kesetanan kembali ke mobil Col.

"Col, Col! Aku tidak percaya apa yang baru saja kulihat!" seru Jamen saat meninggalkan hutan. Langkahnya terhenti saat ia mengintip dan menyadari tak ada Col di jok pengemudi. "Col?" serunya. Ia menengok ke jok belakang namun tak ada Col yang terlihat. Jamen menelan ludah. Mengapa perasaannya tidak enak? Pintu pengemudi terbuka. Ah, mungkin Col sedang buang air, siapa tahu? Jamen menanti dengan sabar, dan setelah sekitar dua puluh menit berlalu, Col tak kunjung kembali. Jamen mencoba mencari ke sekeliling, tetapi tak ada tanda-tanda kehadiran Col. Jamen pun tak berani meneriaki namanya. Ia khawatir akan ada iblis lain di hutan, dan kehadiran sekumpulan iblis tadi sudah cukup untuk merenggut separuh sisa nyawanya.

Maka Jamen segera melompat ke jok pengemudi, berharap bahwa Col akan menyusulnya kembali ke mansion, apa pun yang terjadi. Ia tidak bisa mencari Col sendirian. Ia harus memberitahu yang lain bahwa Col kemungkinan menghilang, kemudian menemui sang count untuk menemuinya secara langsung. Seseorang pasti sudah mengabarkan sang count.

Jamen menyetir lebih ugal-ugalan daripada Col. Ia memang tidak terlalu pandai menyetir, tetapi setidaknya ia bisa membawa mobil Col kembali ke mansion dengan aman. Ia memasuki pekarangan dan berniat untuk memarkirkan mobil ke tempat semula, namun perhatiannya sudah tersedot duluan ke arah pintu utama mansion yang menjeblak terbuka. Kaca-kaca raksasa di sepanjang dinding pecah, menghujani taman yang semula indah menjadi penuh dengan serpihan.

Serta, darah yang berceceran di depan pintu.

"Tidak!" Jamen mematikan mesin mobil dan melompat ke tanah. Ia berlari menerjang mansion. Wajahnya memucat ketika kakinya mencapai pintu utama. Langkahnya terhenti.

Ia berani bersumpah tidak pernah melihat pemandangan semengerikan yang terhampar di hadapannya. Ia sudah cukup menyaksikan puluhan orang tergeletak jauh di bawah mansion dan nyaris diserang sekumpulan iblis. Tubuhnya sudah lelah menopang dirinya, dan ia tak bisa menahan gemetar yang merambat hebat hingga ke otaknya.

Aula itu kosong. Tak ada alunan musik, tak ada canda tawa, dan tak ada kawan-kawannya yang berkeliaran mengisi gelas-gelas anggur. Lantai aula tidak putih cemerlang lagi, melainkan banjir oleh genangan pekat. Sorot lampu yang memantul pada genangan darah menyilaukan mata Jamen, satu-satunya barang yang masih menggantung sempurna ... atau tidak lagi. Lampu itu bergoyang-goyang, dan tak lama kemudian jatuh ke genangan darah. Kristal-kristal hancur dan jatuh ke segala arah dengan tekanan tinggi, menciptakan gelombang cipratan yang cukup besar untuk mampu membasahi wajah Jamen.

Pemuda itu terduduk di posisinya. Angin berderak keras, membenturkan pintu-pintu yang berada di sisi-sisi lain aula.

Apa yang terjadi?

Jamen tak bisa memikirkan apa-apa selain merekam dengan sempurna kekosongan dan lautan merah yang terhampar di depan matanya. Dengan sempoyongan, ia berusaha menopang diri agar bangkit kembali.

"Po-polisi ...."

Jamen tertatih-tatih menuju mobil Col yang pintunya masih terbuka lebar. Ia memanjat masuk, menutup pintu, dan alih-alih menyalakan mobil kembali, ia tergolek pingsan di jok pengemudi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top