13.2 Pesulap Pembunuh

Jamen mengecek jam saku. Waktu lewat hampir satu jam. Seluruh tamu undangan sudah memasuki ruangan dan kini kedua pintu utama ditutup. Tak lama berselang, seorang pria dengan seragam serupa dengannya menghampiri Jamen, mengatakan bahwa ia bisa beristirahat sekarang. Gembira karena waktu kerjanya sudah usai, Jamen bergegas masuk melalui pintu belakang mansion. Pintu belakang itu terhubung dengan lorong panjang yang akan membawanya ke dapur, kemudian berujung pada aula di sisi lain lorong.

"Hei, Jamie," seorang pelayan menyapa saat kembali dengan nampan kosong. "Waktumu sudah habis, bung? Kau mungkin ingin mencoba beberapa potong kue buah, rasanya luar biasa!" ujarnya seraya menunjuk ke arah ruang makan para pekerja di seberang dapur.

"Ya, tentu, aku akan memanggil Derris. Waktu jaganya juga sudah habis, bukan?"

"Ah, Derris," pelayan itu menyahut. "Aku tidak tahu apakah dia salah makan, tetapi nampaknya tukang pukul satu itu agak pucat. Ia nampak waswas, apakah ... apakah pesta yang di bawah itu lancar?" ia berbisik di kalimat terakhir. Tidak semua pekerja dan pelayan di mansion itu tahu bahwa ada pesta khusus di ruang bawah tanah, dan siapapun yang mengetahui sebaiknya tidak membicarakan hal itu sama sekali.

"Karena itulah aku akan mengajak Derris makan." Jamen menyeringai. "Ia selalu punya cerita tentang tamu-tamu yang tidak biasa itu. Mungkin ia melihat beberapa wajah yang pernah terpampang di koran. Siapa tahu?"

Kedua pemuda itu tertawa dan si pelayan menyuruh Jamen untuk bergegas. Ia membetulkan seragamnya, memastikan bahwa penampilannya masih sempurna untuk memasuki aula. Jamen lantas mendorong pintu, berpapasan dengan seorang pelayan yang akan masuk dengan nampan kosong, saling tukar sapa, kemudian memasuki aula dengan menahan napas. Aroma semerbak parfum-parfum langsung menyengat hidungnya.

Pintu yang dijaga oleh Derris, tukang pukul rangkap pengawal, nampak lengang. Tak terlihat adanya sosok kekar yang tak pernah berhenti siaga dan memerhatikan sekelilingnya. Jamen mengernyit. Ke mana pria satu itu? Jika ia ke toilet, seharusnya ada seseorang yang menggantikannya. Jamen mendekat dan mencoba menguping ke pintu, barangkali terdengar suara Derris. Namun ia segera teringat bahwa pintu ini kedap suara, sebagaimana ruangan di baliknya, maka Jamen pun memutuskan untuk mengintip sedikit.

Tidak ada salahnya ....

Jamen tersentak ketika seseorang muncul dari balik pintu. Orang itu, yang segera ia kenali sebagai Nik sang pesulap, juga akan membuka pintu. Mereka bertatapan dalam diam selama sesaat, terkejut akan kehadiran masing-masing.

"Ah."

Jamen mengerjap. "Tuan Nik? Bukankah Anda akan tampil di ...."

"Ah, ya, tentu saja!" Nik dengan cepat menyambar. Ia mengambil alih pintu dan menutup di belakang punggungnya, menghalangi Jamen. "Kau tahu, ada sedikit kesalahpahaman. Aku bertanya pada orang yang salah dan aku hampir kehilangan waktu tampilku! Katakan, dimana aku harus bersiap-siap? Waktu berlalu dengan cepat, ataukah sebaiknya aku langsung naik ke atas panggung?"

Jamen kewalahan karena lelaki itu membingungkannya. Ia tak punya pilihan selain mengekori sang pesulap dan segera menunjukkan ruang yang dikhususkan bagi para penampil, terletak di pintu sepi yang menuju lorong lain. "S-saya meminta maaf atas ketidaknyamanan itu, Tuan. Sekiranya Anda tahu siapakah yang memberi informasi kurang tepat itu, saya akan menemuinya."

"Sebaiknya begitu, tetapi aku tidak terlalu ingat wajahnya. Semua terjadi begitu cepat!" Pesulap itu mengeluh. "Tapi, tidak masalah. Selama pesta belum berakhir, dan selama waktu tampilku tidak direbut oleh penampil lain. Nah, aku bukan orang yang rumit untuk masalah itu."

Jamen membukakan sebuah pintu di lorong. Sang pesulap mengintip sejenak, kemudian menatap Jamen lagi dari balik topengnya. "Baik sekali! Tetapi, ah, dimana toiletnya? Aku harus ke toilet dahulu."

"Toilet di sebelah sana, Tuan." Jamen bergegas menghampiri pintu lain di ujung lorong. Sang pesulap menyusul dengan puas dan tiba-tiba ia menyelipkan sesuatu di kantong rompi Jamen.

"Kau orang yang baik," bisik sang pesulap. "Semoga kau menikmati pestanya."

Jamen tersipu seperti bocah sepuluh tahun sungguhan yang dipuji idolanya. Ia mengucapkan terima kasih sembari mengawasi punggung sang pesulap menghilang di balik pintu toilet. Ia tersenyum tipis, tak menyangka masih ada orang terkenal yang mau peduli padanya. Akhir-akhir ini setiap penampil di pesta-pesta bangsawan memandang diri mereka terlalu tinggi. Sebagian dari mereka bahkan tidak muncul setiap hari di panggung, tetapi mengapa mereka begitu congkak? tetapi pesulap ini, Jamen yakin, akan memiliki nama besar yang baik. Nik adalah pesulap jalanan yang terkenal dari mulut ke mulut, dan Jamen akan menjadi salah satu pendukungnya. Ia berjanji akan mengunjungi setiap festival malam di Stentin demi menonton pesulap ini.

Jamen meninggalkan lorong dan kembali ke pintu khusus tadi. Ia nyaris lupa kalau Derris menghilang dari pandangan. Hingga saat ini, Derris pun tak menampakkan batang hidungnya. Ia harus menegurnya. Bagaimana mungkin ia membiarkan seorang pesulap memasuki ruangan khusus itu? Jamen pun membuka pintu, merasakan kegelapan mengundangnya untuk masuk.

Jamen menutup kembali dengan punggungnya. Kemeriahan pesta di aula langsung redam, berganti dengan kesyahduan yang diiringi oleh alunan musik samar jauh di bawah kakinya. Tak ada wanita yang mendendang ... ah, apakah pestanya akan usai?

Derris tak terlihat, dan hidung Jamen mencium ada bau aneh ... yang familiar. Pemuda itu mengernyit. Ia tak menyukai aroma ini. Instingnya membawa Jamen untuk menuruni tangga dengan penuh kehati-hatian. Mengapa ia tak mendengar ada suara gemerincing koin yang dilempar ke meja, atau sekadar obrolan dan canda tawa para tamu? Ia mengenal betul suasana pesta-pesta eksklusif, lengkap dengan asap putih yang mengebul pekat di langit-langit ruangan. Namun, pesta kali ini nampak senyap, bahkan terlalu tenang untuk bisa dikatakan pesta.

Dan, bau itu semakin menguat. Jamen merasakan jantungnya berdegup kencang setelah mengenali bau ini dengan baik. Bau besi dan gosong yang pekat.

Jamen mempercepat langkah. Ia bahkan berlari menyusuri tangga melingkar yang tak berkesudahan hingga nyaris terpeleset. Ia tersentak saat menyadari bahwa lantai tangga itu basah. Sepatunya menginjak bercak kental.

Tunggu, apa yang—

Jamen mengangkat kepala, berusaha menjernihkan pandangan di ruangan temaram di bawahnya, dan nyaris memekik.

"Tidak!!" Ia menjerit. Jantungnya berdentam-dentam melihat puluhan orang tergeletak di lantai, saling mengerang dan bersimbah darah. Darah mengucur dari masing-masing tubuh akibat peluru dan hantaman yang menyasar ke segala arah. Kaca-kaca dan perabotan-perabotan hancur di tubuh para tamu undangan. Pria-pria berpakaian gelap tergeletak begitu saja di sisi-sisi dinding, dengan lebih banyak peluru bersarang. Jamen bahkan tidak salah melihat beberapa tubuh yang telah kehilangan bagiannya.

Belum pulih dari keterkejutannya, sesuatu menetes di rambut. Dengan gemetaran Jamen mendongak, berharap bahwa cairan pekat yang menetes bukanlah apa yang dipikirkannya, tetapi sayangnya memang benar darah. Ruang itu tidak semata-mata temaram karena pencahayaan yang buruk—bayang-bayang yang bergoyang di atas timbunan jasad adalah ulah lampu gantung yang mengayun gelisah, yang tidak menyukai kehadiran potongan kepala yang ditancapkan pada kail lampu. Jamen mengenalinya sebagai salah satu bos geng yang cukup berulah.

"Derris? Derris?" Suaranya bergetar. Jantungnya berdentam tak karuan dan kepalanya pusing. Ia bahkan tidak tahu ke mana kakinya harus melangkah. Setiap jengkal lantai sudah digenangi oleh darah. Matanya jelalatan menyusuri setiap mayat, namun ia nampaknya terlambat. Mereka semua mati. Hanya beberapa yang masih mengerang, namun ajal sudah menunggu. Jamen tahu tidak ada yang bisa diselamatkan.

Apa yang terjadi? Tunggu! Pikiran Jamen sontak melayang ke pesulap tadi. Ia keluar dari ruangan ini dalam keadaan baik-baik saja, dan—ASTAGA! Apakah ini perbuatannya? Jamen sontak merasa ngeri. ia kembali naik ke atas dengan tergopoh-gopoh. Bukan saatnya mengajak Derris makan. Seseorang—tidak, semua pelayan—harus tahu apa yang terjadi!

Dan, pesulap itu!

Jamen kembali ke aula. Ia sempat terhenyak dengan suasana pesta yang makin ramai. Orang-orang masih berdansa dan menari, tertawa tanpa mengerti apa yang sedang terjadi. Tak sadarkah mereka bahwa puluhan orang mati di bawah kaki mereka? Oh, tak ada waktu untuk memikirkannya! Jamen berlari ke pintu menuju dapur dan menjerit.

"Tolong!" serunya. "Ada pembunuhan!"


-----------------------


+ps : the moment I found this picture, I screamed "NIKOLAN!" right away. Yes, my darlings, Nikolan looks exactly like that in my imagination.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top