12. POV: China
10, Bulan Pekerja. Tahun 1927.
Terakhir kali China Lau menginjakkan kaki di trotoar, ia masih mengenakan mantel bulu kelabu sepanjang lutut. Salju membenamkan sepatu bot kira-kira sepuluh sentimeter, dan China Lau benci hidungnya tersumbat karena cuaca yang membeku. Namun kini, di bawah biru lembut yang nyaris tanpa noda, China Lau melenggang puas dengan sepatu hak merah menyala. Berulang kali ia menghirup udara dalam-dalam, sedikit tak keberatan ketika asap mobil menerjang dadanya, karena itu jauh lebih baik dari apa pun yang pernah dialaminya sebelum ini.
China Lau puas. Ia bahkan tak menyangka akan keberuntungannya pagi ini. Ia mampu melangkah dengan bebas di trotoar. Langkahnya lebar, dagunya terangkat bangga, dan ia tak segan-segan untuk sesekali menyapa orang-orang yang menatapnya dengan decak kagum. Wanita ini penuh percaya diri, bukankah begitu? Tentu saja, mengapa tidak? Untuk pertama kalinya pada tahun ini, China Lau telah memastikan bahwa dirinya bisa melenggang di trotoar mana pun tanpa kecemasan membayang.
China Lau melangkah melewati sebuah kotak pos. Puluhan selebaran menyembunyikan warna merahnya yang semburat kelabu kotor. Semula kau akan berpikir bahwa selebaran itu membosankan dan mengganggu, tetapi percayalah, tiga kata bercetak tebal yang memenuhi seluruh bidang kertas itu memiliki makna yang jauh lebih besar daripada ketebalan hurufnya.
KELAHIRAN ERA BARU!
Tidak mungkin China takkan menyadari selebaran itu. Semua papan, dinding kosong, kotak pos, bahkan tiang-tiang dihias oleh selebaran serupa. Sambutan atas kelahiran era baru terasa jelas ketika kau mengangkat kepala dan mengarahkan pandangan ke ujung blok di sana, di mana sebuah bendera raksasa berdiri gagah di tengah-tengah pusat kota, menyingkirkan panji-panji bakung gunung perak berlatar biru kelam yang menjemukan. Terpampang wajah seorang pria paruh baya yang masih terlihat segar dan penuh semangat di wajahnya, siap membawa perubahan yang sangat berarti bagi negeri yang kini dipimpinnya. China menghirup napas dalam-dalam sekali lagi, kali ini sarat dengan kebanggaan. Ia telah menghadap pemilik wajah itu sekali, mendapatkan kepastian, dan inilah alasan mengapa ia mampu melenggang di mana pun tanpa merasa ketakutan.
China beranjak. Ia tak bisa berlama-lama karena harus menemui seseorang. Orang itu tidak kalah penting dengan keberadaan sang Raja, dan China tak bisa datang terlambat. Oh, tentu tidak! China sangat menghormati orang tersebut. Tanpa sadar China mempercepat langkahnya hingga lokasi pertemuan mereka nampak dalam wawasan pandang.
Tidak sukar untuk menemukan sebuah bistro berkanopi hijau muda dan krem di antara sederet bistro modern lainnya yang terpaksa memasang kepekatan biru tua. Bistro itu, kendati terlihat paling kuno, seolah-olah telah mempersiapkan perayaan era baru yang penuh warna sejak berdirinya dahulu. Bistro-bistro lainnya juga dalam tahap melepaskan warna-warna suram yang dicintai oleh penindas mereka, tidak segan-segan mengikuti jejak bistro pertama yang menduduki salah satu blok paling sibuk di Distrik Applebaker. Ketika China makin dekat, ia melihat sosok seseorang yang telah dinantinya duduk tepat di balik jendela-jendela besar. Meski sebagian besar rupa orang itu tertutup oleh koran yang dibentangkan, tetapi China yakin jika hanya pria inilah yang kehilangan jari kelingking di tangan kanannya. Maka China bergegas masuk ke dalam bistro, membiarkan bel berdentang nyaring, dan segera menghampiri meja yang hanya dihuni satu cangkir kopi hitam dan sepiring kue tiramisu.
Pria itu jelas menginginkan sesuatu. Sebab, sebelum China sempat menyapanya, perhatian sang wanita teralihkan ke berita utama yang terpampang di halaman depan koran, yang sengaja dinaikkan tinggi-tinggi agar menarik perhatian siapa pun yang meliriknya sekilas:
CIRQUE DE LUMIA ISYARATKAN BERAKHIRNYA HIATUS?
ERA BARU HIDUPKAN HARAPAN MASYARAKAT
"Pers boleh saja berkata demikian," seolah-olah mengetahui kedatangan China, pria tersebut bergumam. "Walau aku tetap ragu karena tidak mudah untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat."
China tidak tahu mesti membalas apa. Kata-kata sambutan yang sudah siap di tenggorokannya kini tertahan, bahkan sepertinya perlahan lenyap. Tidak habis akal dengan keadaannya, China buru-buru menjawab, "Semakin besar niat baikmu, Jenderal, maka akan semakin besar pula perjuanganmu. Saya yakin kau pasti mampu mengatasinya."
Pria paruh baya itu akhirnya menurunkan koran. Ia tersenyum. "Begitu pula denganmu, China. Selamat atas kembalinya sirkusmu. Duduklah."
Wanita itu tersenyum lebar saat menjabat uluran tangan sang jenderal. Ia mengambil posisi di seberang pria berkepala botak itu dan tiba-tiba saja ribuan kata-kata yang ia ingin ucapkan sedari tadi menyesaki dadanya. Oh! Betapa ia ingin sekali menceritakan banyak hal kepada seniornya ini. Namun, sebagai wanita yang terhormat, China amat mengetahui keadaannya. Ia memerhatikan dengan sabar sang jenderal yang melipat korannya dan berganti menyentuh cangkir kopi.
"Jadi, apakah prosesnya lancar? Apa kata Raja?"
"Ada banyak sekali hal yang ingin kusampaikan kepadamu, Jenderal," China membalas dengan cepat. Matanya berbinar. Jantungnya terpompa cepat seolah baru saja berlari belasan kilometer. Astaga, ia sudah lama tak merasa sebahagia ini di pagi hari! Tidak. Tidak, semenjak apa yang terjadi bertahun-tahun lalu.
"Jadi begini, Jenderal." Ia berdeham. "Satu bulan yang lalu, aku mendapat undangan ke kerajaan. Raja memberiku titah untuk kembali meneruskan sirkusku. Meneruskan, Jenderal! Engkau tidak tahu betapa gembiranya anak-anakku saat mereka mendengarnya! Maksudku, tidak hanya kami, tetapi apakah kau tahu betapa besar antusiasme masyarakat saat mendengarnya? Aku benar-benar tak bisa berhenti tersenyum kalau melihat orang-orang membeli koran untuk membaca beritanya. Sungguh, aku sama sekali tidak sabar untuk mengadakan tur dan, oh, kami juga ingin merekrut orang baru, kemudian kami akan segera menyempurnakan latihan untuk konsep-konsep baru yang telah kami rancang. Aku bahkan berencana menggratiskan tiket tur perdana nanti."
Trevor tersenyum mendengar penuturan China yang seolah tak ada jedanya. Saat wanita itu akhirnya berhenti dengan wajah agak memerah, Trevor mengangguk. "Sudah waktunya bagimu untuk menjalankan peran dengan baik. Tidakkah kau lihat wajah-wajah di sekeliling kita, China? Mereka membutuhkan dorongan dan kepastian yang benar-benar nyata di sekitar mereka ... karena kita telah memasuki era baru. Era dimana tidak akan ada lagi pemaksaan besar-besaran. Penindasan. Tidak, kita tidak lagi hidup pada masa keterpurukan yang amat menyiksa itu. Kita harus menegaskan kepada masyarakat bahwa kita telah memasuki hidup yang lebih baik. Kebebasan! Sirkusmu, dengan segala keajaiban yang engkau miliki dan anak-anakmu, telah lama menjadi simbol kebebasan yang penuh sukacita."
China tersenyum lebar sebagai tanda persetujuan. Trevor kemudian menyilakan untuk memesan sesuatu. China hanya memesan secangkir kopi seperti sang jenderal. Segera setelah sang pelayan meninggalkan meja mereka, China memilih untuk menikmati pancaran lembut sinar matahari dari luar jendela, menyaksikan orang-orang berlalu lalang—terkadang hampir saling bertabrakan dan tersenyum saat mengucap maaf, menyingkap debu yang bertebaran tanpa arah di udara. Terlihat dua pemuda berpakaian lusuh menjajakan koran dengan lantang, tersenyum lebar ketika seorang pekerja kantoran berhenti sejenak untuk membeli satu bundel. Seorang pemuda lainnya terlihat memasang banyak selebaran Era Baru di dinding-dinding atau tiang-tiang yang masih kosong, sama sekali tidak takut terdamprat siapa-siapa. Kebebasan penuh sukacita. China Lau hanya menyaksikan kemerdekaan di pagi yang cerah ini.
"Pagi yang amat cerah setelah mendung beberapa kali, Jenderal," China berceletuk. "Banyak sekali orang di jalan dan lihatlah bagaimana mata-mata itu saling menyapa. Tidak ada lagi rombongan yang menunduk atau terlihat lesu ... seperti sedia kala. Ingatkah kau ketika semua berjalan dengan memandang kakinya sendiri?"
"Pagi yang baik," sahut Trevor, "tidak dimulai dengan membicarakan masa lalu." Ucapannya cukup untuk membungkam China. Ia mengerling kepada wanita yang mengawasinya dengan rasa bersalah itu dan tatapannya melembut. "Tetapi, dimulai dengan perencanaan masa depan yang baik."
"Oh, tentu saja." China tersenyum tipis. "Apakah itu berhubungan dengan permintaanmu untuk bertemu di sini?"
"Ya. Kabar gembiranya adalah kami telah membersihkan lokasi terakhir proyek ilegal itu diadakan, China, di Gerbang Utara. Alasan mengapa aku bisa menemuimu di sini karena Raja akhirnya mengizinkanku untuk menyelesaikan semuanya."
"Akhirnya, Jenderal!"
Trevor Curtis tidak ikut tersenyum. "Mungkin saja ini akan menjadi pertemuan terakhir kita pula." Pria itu menyandarkan punggung pada kursi, menghilangkan kelegaan di wajah bekas muridnya. "Penantian lamaku untuk menyelesaikan ini semua akan tiba pada ujungnya. Apa saja bisa terjadi ketika semuanya usai, begitu pula dengan kehidupanku. Kau mungkin—dan aku yakin sekali—takkan memanggilku 'Jenderal' lagi saat itu."
Alis China berkedut. "Bukankah perubahan telah dijamin dengan pergantian raja, Jenderal? Aku ... aku tidak yakin kau pantas mengatakan hal itu. Apa yang telah ditetapkan kepadamu bisa saja akan berubah."
"Pantas, selama Raja belum mengesahkan hukum-hukum baru. Jika beliau merasa kebijakan-kebijakan imperial sebelumnya masih layak dilaksanakan, maka apa pun yang akan kulakukan ini—tidak peduli seberapa besar arti pengorbananku untuk negeri—maka pengkhianatan tetaplah pengkhianatan."
China terhenyak lemas di kursinya. Matanya telah berulang kali memandang kopinya yang baru saja terhidang dengan lesu. Semula ia mengira pertemuan ini akan membuahkan kegembiraan melimpah ruah, tetapi lama-lama harapan itu sirna juga. Ia tidak merasa mampu menatap sang jenderal lebih lama lagi jika pembicaraan seperti ini berlanjut.
"Jika menurut pada kebijakan imperial sebelumnya, tentu perbuatanku akan membuatku dihukum mati. Aku menggagas pemberontakan pada situs-situs yang dibuat oleh para atasanku sendiri," kata Trevor lembut. "Namun, sampai raja baru kita memutuskan untuk menetapkan hal-hal baru, tentu hal seperti itulah yang akan terjadi. Aku yakin, perubahan besar pasti muncul. Kita tak menginginkan kondisi negeri ini sama seperti sedia kala, bukan? Meski sekarang ancaman-ancaman yang nyata hampir tersapu bersih, tetap saja ada sisa-sisa yang menempel di balik karpet. Begitu pula dengan tukang sapu nakal yang justru mendorong kotoran-kotoran agar tersembunyi di bawah meja. Namun, di atas itu semua, masih ada harapan jika kau tetap ingin berharap."
"Aku pantas memiliki masa depan yang baik, karena itulah aku takkan berhenti berharap," China menjawab dengan tegas. "Kendati aku takkan meletakannya terlalu tinggi, karena aku tahu batasan-batasanku. Lagipula aku tidak yakin Raja akan mempertahankan hal-hal kuno. Itu bakal percuma saja."
"Kau tidak tahu, dan kita tidak akan pernah tahu," Trevor masih bersikeras. "Beliau terlahir, terdidik, dan akan mati di lingkup kerajaan. Beliau telah berada di sana bahkan sebelum hal-hal buruk itu mencuat. Ia memiliki andil, dan patut kita syukuri bahwa keterlibatannya justru menggulingkan tirani raja sebelumnya. Namun, bukan berarti pengaruh dari masa lalu, maupun dari pihak-pihak yang tidak kita inginkan, bisa terlepas begitu saja ketika ia menduduki posisi raja."
"Baiklah, aku mengerti." Wanita itu mengangguk enggan. "Waktumu tidak banyak, dan aku paham itu. Banyak orang yang menantimu di luar sana."
"Baik sekali, China, dan itulah mengapa kau yang kumintai tolong untuk datang kemari. Mari kita langsung ke inti pembicaraan; lokasi terakhir ini telah dipastikan membawa peran terbesar dalam proyek ilegal .... Kebanyakan terletak di Gerbang Utara, karena di sanalah bibit-bibit terbaik untuk percobaan itu berada. Semua ilmuwan yang terbaik pun bekerja di sana ... mari kusebut; Profesor Desmond dan timnya. Para korban penelitian mereka berkualitas ... atau setidaknya, banyak yang berhasil berubah menjadi Host. Jika aku mampu mendapatkan para Host, aku akan menyerahkan kepadamu. Apa pun caranya, aku akan membuat mereka berakhir dalam pengasuhanmu sesegera mungkin, sebelum semuanya terlambat."
Wajah China menegang. "Host! Tentu saja. Apakah aku perlu mengikutimu, Jenderal?"
"Tidak, itu urusanku. Kau hanya perlu mengurus sirkusmu sekarang. Aku akan menghubungimu kalau ada perkembangan. Kabar apa pun yang akan kusampaikan kepadamu nanti, kuharap kau siap untuk meneruskan permintaanku. Kau adalah murid terbaik yang pernah kubimbing, China, dan aku sangat memahamimu. Kuharap kau tidak akan mengecewakanku."
Setelah melewati lautan emosi yang cukup menggebu-gebu di dalam benaknya, China mampu menemukan senyumnya kembali. Rasa percaya diri yang menyertainya di sepanjang perjalanan tadi telah mengalahkan segala kecemasannya barusan.
"Percayalah. Kau tidak salah telah memanggilku, Jenderal."
--------------------------------------------------------
+ China Lau's vibe ✨
[http://www.dazeddigital.com/fashion/gallery/20127/7/how-yves-saint-laurent-changed-fashion]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top