11. Kebebasan!
Segalanya berubah kacau dengan cepat. Khass tidak mampu menelaah dengan baik situasi di sekelilingnya. Sesak! Tubuh kurus Khass terimpit oleh desakan para pekerja yang berusaha mencapai pintu keluar, menghindari serpihan langit-langit yang menghujani lorong tiap terjadi benturan, dan itu nyaris setiap detik. Bola-bola besi dihantam di belakang mereka, saling menyusul dan seolah tak memberikan kesempatan bagi para manusia yang terperangkap di dalam bangunan untuk kabur.
Hei, siapapun kalian, masih ada manusia di dalam bangunan! Masih ada kami, para budak, bukan hanya para penindas saja!
Khass bahkan tidak perlu berlari. Saking ringan tubuhnya, ia terbawa arus begitu saja. Kakinya terseret oleh impitan para pria yang ototnya merekah akibat bekerja tanpa henti setiap hari. Bau-bau keringat dan aroma tanah basah mengaburkan indera penciumannya. Beruntung oleh tubuhnya yang tinggi, Khass masih mampu melihat kepala orang-orang yang saling berdesakan di lorong itu. Dimana Elena? Dimana Maurice dan kawan-kawannya yang lain? Oh! Serpihan-serpihan dan debu ini membuat semua rambut nampak kelabu sama rata.
"Belok kiri! Belok kiri!" sahut-sahutan para pekerja diantara hingar-bingar jeritan membuat Khass makin pusing. Nyaris pasrah dengan situasi ini dan hanya mampu berdoa akan keselamatan, tempurung kepalanya tiba-tiba berkedut.
"Jangan belok kiri," Par menyentak. "Ada bola-bola besar yang menghancurkan sisi kiri! Beloklah ke kanan, kemudian baru belok ke kiri. Tetaplah berlari dan kau akan menemukan jalan keluar."
Suara Par menggema keras di kepala, membuat Khass merasa gila. Namun, tangannya refleks untuk menggapai sosok seperti Elena. Gadis itu tidak jauh-jauh darinya. Saat Khass mampu menjambak rambut Elena yang panjang, ia menariknya keluar dari kerumunan dan buru-buru belok ke kanan.
"Khass!" Elena menjerit kesakitan. "Apa yang kau lakukan?"
"Belok sini!" Mereka berderap menyusuri lorong yang lumayan sepi. Hanya ada beberapa pekerja yang berlari jauh di depan mereka, bingung ketika menghadapi ruangan-ruangan kosong. Khass tidak tahu mengapa ia percaya saja pada Par. Namun, ia juga tidak mau seandainya iblis itu berbohong. Par bisa dengan mudah mengetahui keadaan dunia luar, tidak seperti para pekerja yang buta arah dengan peta laboratorium ini hingga dipaksa kabur. Apa pun itu, Khass yakin Par akan membawanya keluar!
"Maurice!" suara Elena tersela napasnya yang patah-patah. "Yang lain!"
"Tidak ada waktu!" Khass membentak. Ia menarik Elena berbelok ke lorong di sisi kiri mereka. Lorong itu lebih sempit, dan hanya ada sepasang pintu di ujung. Langkah mereka terhenti. Selama sesaat, kedua anak itu berusaha mengatur napas dengan kebingungan.
"Khass, jalan buntu. Ayo kembali!"
"Tidak," jawab Khass. Saat mata mereka akhirnya bertatapan, Khass menyadari bahwa Elena telah menangis. Matanya yang pucat menatap nanar.
"Kenapa?" gadis itu terisak. "Apa kau juga mendengarkan iblismu?"
Khass tak mampu memercayai pendengarannya, tetapi situasi di sekeliling mereka bahkan terlalu kacau untuk bisa dipahami. Khass menghela napas.
"Kenapa tidak?" Khass bergetar saat mengatakannya. Benar, mengapa tidak? Par memang menyebalkan, tetapi dia selalu berhasil menyelamatkan Khass dari berbagai situasi.
Elena menggeleng lemas. "Mereka menghantuiku. Menggangguku. Mereka juga memasuki tubuh Janthell dan Profesor, lantas mengapa aku harus mendengarkan mereka?"
Tepat setelah Elena selesai berbicara, ujung lorong di belakangnya dibobol oleh kepala sebuah truk raksasa yang tingginya mencapai dua lantai. Roda-rodanya yang mahabesar menggilis lantai dasar, dan samar-samar terdengar lolongan para pekerja dari bawah. Khass dan Elena melonjak kaget. Sama sekali tak ada waktu untuk berdebat kecuali berlari menuju satu-satunya jalan di depan mata: pintu yang tertutup.
Khass menjeblak pintunya terbuka dan mendapati mereka memasuki toilet. Khass mendesis gemas saat melihat ada beberapa jendela yang tertutup rapat. Kacanya dicat sehingga hanya sedikit sekali sinar yang bisa merembes masuk. Benarkah itu jalan keluarnya? Apakah Par hanya ingin mengujinya, atau bagaimana? Oh!
Truk itu berputar. Moncong kepalanya yang panjang mengarah ke mereka berdua. Khass tak membuang waktu lagi dengan meringsut menuju jendela terdekat, menumbuhkan tulang-tulang yang panjang dan keras di baku-baku jari, kemudian menghancurkan kaca jendela itu dengan hantaman kuat. Elena mengumpat ketakutan di belakangnya.
Angin menyerbu masuk ke ruang toilet. Khass nyaris menangis nelangsa saat menyaksikan hamparan hutan terbentang di balik jendela. Asap mengepul, tetapi tidak ada truk-truk maupun alat berat yang nampak di bawah bangunan. Hanya pohon-pohon yang menjulang, dan terlihat beberapa ilmuwan berhasil melarikan diri melalui sebuah pintu rahasia di dasar bangunan.
"Ayo!" Khass menarik Elena mendekat. Gadis itu takut-takut saat menyadari bahwa mereka berada pada ketinggian beberapa ratus kaki. Medan tanah menurun curam dan dilimpahi bebatuan yang besar, sebelum berakhir pada pepohonan yang lebat. Khass mendesis gemas saat Elena tidak kunjung turun.
"Tunggu apa lagi?"
"Kau mau kita melompat?" Elena memekik. "Kita bisa mati!"
Khass memutar otak dengan cepat. Di sisi lain lorong, truk itu bergerak makin jauh menuju ke bagian dalam laboratorium. Tidak mungkin mereka akan kembali dan mencari jalan lain, lagipula hutan sudah di depan mata! Maka Khass berdoa di dalam hati, menyumpahi Par agar mau membantunya turun entah bagaimana caranya, dan menarik Elena melompat keluar dari jendela.
"Khass!"
Jeritan Elena mengiringi angin yang menerpa mereka dengan kuat. Khass memejamkan mata, sama sekali tidak ingin melihat permukaan tanah yang semakin dekat ... tidak ada tanda-tanda Par membantunya ....
Oh Tuhan, dia akan mati ....
Dan—BUM! Khass terpental. Tubuhnya terlempar agak jauh, tetapi sesuatu melilit perutnya dengan cepat dan mencegahnya terbanting ke tanah.
Suasana menghening, kecuali suara kerikil dan batu yang merosot jatuh ke dasar hutan.
Selama sesaat, Khass masih memejam. Napasnya tersengal-sengal. Ia berusaha mencerna apakah kematian memang terasa ringan, lalu ia tersadar bahwa tubuhnya masih mampu diraba. Khass perlahan membuka mata dan menyaksikan dirinya sedang melayang di atas tanah. Sulur-sulur hijau menyelubungi perut dan kakinya.
Khass mengawasi Elena yang mengangkat tangannya dengan frustasi. Sekujur tubuhnya juga dililit sulur-sulur hidup, yang terus tumbuh dari tanah di bawah kakinya.
"Oh, ya Tuhan ...." Elena terduduk lemas. Ia memandang kedua tangannya, menggeleng tak percaya, kemudian mengusap wajahnya dengan frustasi. Khass pun menapak tanah. Kakinya terlalu rapuh untuk menopang tubuhnya yang gemetaran. Ia ikut berlutut dan meringsut kepada Elena.
"Apa kau yang melakukannya?"
Elena semula menolak untuk menjawab, tetapi kepada siapa lagi dia akan berkeluh soal ini? "Aku tidak mau ... tapi aku juga tidak ingin mati!"
Khass mengangguk kalut. "Tidak apa-apa. Tak masalah. Kau bisa melakukannya ... kau hebat. Terima kasih."
Tangis Elena pecah semakin keras. Khass mendesah. Oh, gadis ini ternyata lebih cengeng daripadanya. Bagaimana caranya agar mereka bisa segera kabur? Bola-bola besi itu masih menghantam! Maka Khass menggoyangkan pundak Elena dengan frustasi.
"Ini belum selesai. Ayo, kita harus tetap berlari." Khass menariknya agar segera berdiri. Ia berdoa kepada Tuhan dan meminta kepada Par. Kuatkanlah kakinya! Sudah lama sekali ia tidak berlari, dan kini rasanya tulang-tulang di sekujur kakinya bisa pecah kapan saja. Lututnya gemetaran hebat, dan peluh membanjiri punggung serta dahinya.
Elena berdiri dengan tertatih-tatih. Tubuhnya juga terasa sama berat, tetapi serpihan bangunan yang mulai berjatuhan di sekeliling mereka membuat kedua anak itu segera beranjak memasuki hutan.
Sial. Khass bahkan tidak tahu kemana hutan ini berakhir.
"Bagus sekali!" Par bersorak di benaknya. "Teruslah berlari tanpa henti. Kebenaran ada di depan matamu, wahai saudaraku. Hutan ini tidak panjang, tetapi bermedan berat. Jika kau mampu melewatinya, kau hanya perlu melalui rintangan-rintangan kecil hingga sampai ke Caellan."
Khass memasuki hutan dengan ragu-ragu, tetapi langkahnya terus terpacu. Ia mencabut beberapa lumen dan memerintahkan Elena untuk melakukan hal serupa. Hari memang masih terang, tetapi mereka tidak tahu kapan tepatnya bisa keluar dari hutan.
"Kemana kita pergi, Khass?" Pertanyaan Elena cukup rumit untuk dijawab seandainya Khass tidak punya tujuan. Namun ia memiliki Par di benaknya, dan keyakinan bahwa kedua anak itu mampu memanfaatkan iblis masing-masing untuk pertahanan diri sejauh ini.
Maka, dengan mantap Khass menjawab, "Appevile. Kita pergi ke rumah seseorang yang mau membantu kita."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top