10.1 Menyudahi Masa [*]

Terkadang, saat tidur, Khass terusik dengan mimpi yang sama. Ia sedang duduk bersebelahan dengan seorang pria yang terlihat seperti Par, tetapi Khass tidak yakin jika itu memang dirinya. Par adalah iblis. Pria ini jelas-jelas seorang manusia yang bertubuh jangkung. Khass ingat betul rupanya yang buruk dan mengerikan, dan meski pria ini sama-sama pucat dan bertubuh bungkuk, ia masih lebih manusiawi. Atau, barangkali Par sengaja menjelma menjadi manusia, tetapi apa yang dilakukannya di mimpi Khass? Apakah dia memang nyata? Selama mimpi-mimpi sebelumnya, pria ini tak pernah mengatakan apa pun. Namun, kali ini, ia akhirnya bersuara.

"Lakukan saja."

Khass terlalu terkejut untuk bisa memikirkan jawaban lain, atau hal-hal yang sebenarnya ingin ia tanyakan tiap duduk dalam diam bersamanya. Suaranya benar-benar terdengar seperti Par. "Melakukan apa?"

"Kau sudah pernah melakukannya sekali. Meski berakhir pahit, tapi memang tidak semua upaya akan berakhir semanis gula. Kadang biji kopi itu lezat kalau kau tahu cara menikmatinya ...."

Khass akhirnya sadar kemana pembicaraan ini mengarah. Ekspresinya mengeruh.

"Apa yang kau takutkan?"

Kedua tangan Khass mengepal. "Kau menggiringku tetapi kau meninggalkanku saat aku benar-benar melakukannya. Pada akhirnya, aku jatuh ke lubang yang jauh lebih kelam dan menyakitkan."

"Tuhan menguji keimanan manusianya dalam keadaan terburuk tanpa bantuan, Guru Muda. Kau lahir dan mati sendirian."

"Bukan begitu caranya mencari pembelaan. Kau tidak bisa membawa nama Tuhan saat melarikan diri dari tanggung jawab."

"Apa aku punya tanggung jawab padamu?"

"Punya!" Khass mendadak merasa kesal. "Kau yang membuatku seperti ini."

Pria berkulit pucat itu menoleh, lantas untuk pertama kalinya Khass menatap kedua matanya yang hitam legam. Dia memang Par. Dalam sekejap, Khass merasakan gejolak di dalam dirinya. Dadanya terasak sesak dan pelupuk matanya memanas. Sesuatu dalam kedua mata pria itu terasa menyedotnya. Khass sama sekali tak bisa mengalihkan pandangannya.

Ia ketakutan.

Par dalam sosok manusia itu akhirnya tersenyum lebar. Geliginya yang setajam bilah-bilah pisau menguning seiring ratusan tahun yang berlalu. "Kalau begitu mari kita perbarui perjanjian kita," ujarnya sembari membetulkan posisi duduk untuk menghadap Khass seutuhnya. Sang pemuda masih tak berkutik selain merasakan inderanya menumpul. Lidahnya kelu, dan jemarinya gemetaran. Mengapa Par dalam sosok manusia justru terasa sangat menekan?

"Perjanjian apa?"

"Dahulu kita berjanji di menara desa," Par memulai, "tentang kau membantuku mencari saudara-saudaraku, maka aku pun akan memperluas pengetahuanmu akan dunia luar. Semua nyaris terlaksana: kita pernah menemui Caellan Caltine dan akan menemuinya lagi, sementara kau—di luar rencana yang telah ditetapkansudah mencapai dunia luar."

"Bukan ini dunia luar yang ingin kurasakan." Khass menangis. "Ini neraka. Ini bukan dunia luar."

"Tahu apa kau soal neraka? Inilah dunia luar, Khass." Par menyeringai. "Aku telah berada di sini sejak ratusan tahun yang lalu, menyaksikan manusia datang dan pergi, membangun dan menghancurkan. Maka tanggung jawabku kepadamu sebenarnya sudah usai. Tapi kau masih belum menuntaskan permintaanku, yaitu mengembalikan aku pada saudara-saudaraku."

"Saudara-saudaramu!" Khass melolong. "Caellan dan Rayford Caltine, eh? Kita telah menemui Caellan. Seandainya kau bisa membawaku keluar dari tempat ini, aku akan mengembalikanmu pada Caellan secepatnya. Bukankah kau iblis? Bukankah kau hidup selama ratusan tahun? Kau seharusnya bisa mengeluarkan aku!" suara Khass semakin meninggi dan napasnya semakin tertahan. Ia menjadi kacau.

"Ya, tentu saja. Aku bisa, aku bisa." Par masih tenang seperti biasa. Ia menangkup kedua tangan Khass dengan jemarinya yang dingin. Khass tidak bisa menarik tangan-tangannya. Jemari keriput dan panjang itu mencengkeramnya. "Kita akan menemui Caellan Caltine, tetapi bukan-kah Rayford belum ditemukan, Khass?"

"Lantas bagaimana?" Khass menjadi amat pasrah. "Kamitua tidak mau memberitahu siapa Rayford. Apakah dia masih di Desa? Atau dia sudah lama diangkat menjadi Guru dan berkelana seperti Amar? Bagaimana?"

"Bukan, bukan." Par masih tersenyum. "Aku kenal Rayford. Aku sangat mengenalnya sebagaimana aku pernah bersama Caellan. Rayford anak yang baik, tetapi nasib malang ditimpakan kepadanya. Dia tidak mengenal siapa dirinya. Dia perlu keluar dari cangkang palsunya."

"Tolong jangan berlama-lama denganku. Aku sudah lelah."

"Kalau begitu kupersingkat. Mari kita sudahi riwayat Khass karena dia sesungguhnya tidak pernah ada. Jadilah Rayford, jalani kehidupannya, maka Rayford akan hidup seutuhnya."

Suasana menghening. Khass nyaris saja menyuarakan sepatah "apa?" tetapi inderanya benar-benar menumpul. Lidahnya menolak untuk bangkit dari dalam mulut. Otaknya tiba-tiba seperti diperas, diputar-putar, dan dipaksa untuk menerima informasi-informasi baru. Matanya masih tersihir pada kedua lubang gelap serupa mata di wajah manusia Par. Hidungnya berusaha meraup seluruh oksigen yang ada karena dadanya sungguh sesak.

Khass melemas. "Tolong jangan membingungkan."

"Rayford adalah kamu." Par mengelus bekas luka di rahang Khass dengan lembut. Jari Par yang kurus kemudian menyusuri helai-helai rambutnya yang cokelat kelabu. "Kamu adalah Rayford. Aku akan mempermudah proses pengenalan jati dirimu yang sebenarnya agar kau tidak bersusah payah kelak, karena aku sangat kasihan dengan nasib yang tidak seharusnya kau alami ini. Ingat keranjang bayi itu? Itu milikmu. Kuncinya? Milikmu juga. Kau datang ke desa dalam balutan selimut bayi, ditemukan oleh Kamitua dan dibesarkan tanpa diberitahu siapa sebenarnya keluargamu. Kau paham mengapa Kamitua selalu bersikap keras padamu, menahanmu agar tidak keluar desa, dan memukulmu saat kau berusaha mencari tahu siapa Rayford? Karena kaulah Rayford. Rayford yang dilupakan namanya, diganti menjadi Khass sebagaimana calon-calon Guru lainnya, dan diusahakan untuk tidak pernah kembali pada kehidupan lamanya. Bukankah itu hakikat untuk menjadi seorang Guru?"

Khass bergetar. Kepalanya pusing. "Aku Khass. Masa aku Rayford? Jangan mengada-ada. Bukankah Debri yang seharusnya menjadi Rayford?"

"Analisamu dangkal. Kau mengira Debri adalah Rayford karena ia memiliki bau yang sama dengan Caellan Caltine. Bah. Apa kau tidak mencium bau semua manusia di sini? Mereka sama. Karena apa? Karena mereka bukan Guru, yang hidup di tanah suci dan udara tak terkotori. Mereka semua berbau serupa; keringat, asap, dan penuh dosa."

Khass menangis. "Kalau begitu aku Rayford dan Caellan adalah kakakku? Jadi kemarin aku bertemu kakakku?"

"Kita bahas itu nanti. Ini tidak akan selesai. Akan lebih baik jika kau mempercayai Caellan, menemuinya, dan mencari kejelasan bersamanya. Bukankah Caellan adalah kakak dari Rayford? Maka temukan kebenaran bersama dengannya. Selama itu, cobalah hidup sebagai Rayford! Maka kau akan paham. Kau akan mengerti apa yang sebenarnya terjadi."

Khass tak menjawab. Ia berubah menjadi linglung. Par gemas dengan sikap Khass yang mendadak lelet. Sang iblis pun menangkup wajah Khass dan menggoyangkannya. "Kita sepakati ini dulu dan aku akan mengeluarkanmu dari penjara ini sebagai gantinya."

Khass menggigit bibirnya ragu. Benarkah dia Rayford? Kenapa tiba-tiba nasib seolah menertawakannya? Lalu untuk apa dia hidup sebagai Khass? Seandainya ... astaga, terlalu banyak seandainya, yang membuat Khass semakin merasa kebingungan. Benarkah ini mimpi? Bukankah ia memang sedang bermimpi? Maka, jika ini memang mimpi, ia akan bangun dalam keadaan seperti biasa. Ia hanya Khass, bukan Rayford. Mungkin Khass bermimpi seperti ini karena ia terlalu memikirkan Par, Caellan, dan siapa sebenarnya Rayford. Benar, bukankah mimpi selalu memuat hal-hal yang memusingkan kita?

Pada akhirnya, pemuda itu menghela napas dan mengangguk pelan. Semoga ia bisa bangun setelah ini.

"Bagus. Kalau begitu kita sepakat, Rayford." Par lantas mengulurkan tangannya. Khass menjabat tangan itu dengan ogah-ogahan, tetapi sebuah sensasi mengejutkan membuatnya tersentak.

Ketika jari mereka bersentuhan, tubuh manusia Par tiba-tiba berubah wujud, mendestruksi rupanya dalam sebuah pusaran yang merasuk ke dalam jemari Khass. Pemuda itu menjerit. Ia terjungkal dari kursi dan memandang ngeri saat asap hitam menyerbu jemarinya menuju pergelangan tangan, kemudian sekujur lengan dan berlari ke pundaknya. Khass meronta-ronta saat seluruh nadinya berdenyut-denyut dan berpendar dalam warna hitam seperti saat cairan obat Desmond disuntikkan kepadanya. Kemudian warna hitam itu semburat semakin lebar dan cepat, sulur-sulur asapnya berlomba-lomba mencapai wajah Khass dan kedua matanya yang sepucat kulit pir.

Ketika sulur-sulur asap hitam itu akhirnya menjalin menutupi seluruh mata Khass dan tubuhnya, pemuda itu tersentak. Seorang gadis—oh, tidak, beberapa. Beberapa wanita dan pria menjerit.

"Tolong!"

Khass bangun dengan susah payah. Kelopak matanya terasa berat dan sakit. Ia mengerang pelan saat berusaha menggerakkan tubuhnya dan ... oh, rasanya ia mengenal matras terkutuk ini. Namun, mengapa tak ada besi-besi yang mengaitnya? Khass mengangkat kepalanya yang pening luar biasa, berusaha mengerjap-ngerjap, kemudian menganalisa hingar-bingar kekacauan di sekelilingnya.

Khass mendelik. Para ilmuwan kepayahan di sekelilingnya. Sebagian berusaha melarian diri dari tentakel-tentakel tulang yang menggapai-gapai dengan agresif. Sebagian lagi telah remuk, terhempas begitu saja seperti bantal yang dipukul-pukul pada dinding bersemen. Tentakel-tentakel tulang itu hidup! Khass menjerit histeris menyaksikan para ilmuwan mulai tewas satu per satu, kecuali mereka yang berusaha mengerahkan kekuatan iblis di dalam diri. Mereka berusaha memotong tentakel-tentakel yang tumbuh dari jari-jari kaki Khass, tetapi acap kali setiap tentakel terpotong, maka akan tumbuh satu lagi yang segera melempar ilmuwan pengacau ke dinding laboratorium. Ruangan itu dengan cepat bersimbah darah dan berlumur potongan-potongan tubuh.

"Par! Hentikan!" Khass tidak tahu bagaimana, tetapi ia yakin ini adalah perbuatan Par. Pemuda itu buru-buru turun dari matras, tetapi tubuhnya luar biasa nyeri dan berkedut-kedut. Punggungnya sangat berat! Ia baru sadar jika dirinya terlelap selama proses pengobatan, entah bagaimana, dan itu membawanya untuk bertemu Par. Kini Par telah kembali, dan tubuhnya mengalami kekacauan keseimbangan! Khass terhuyung-huyung berusaha berdiri, kemudian gagal. Tentakel-tentakel yang tumbuh dari punggungnya itu sangat berat dan Khass terjatuh ke lantai. Ia menangis ketakutan menyaksikan tubuhnya sendiri membantai ilmuwan-ilmuwan itu, dan—YA TUHAN! Apa yang terjadi? Apa yang dilakukannya? Bukan ini maunya!

"Par, hentikan ... hentikan ...." Khass meraung. Ia berusaha membanting punggungnya ke lantai, berharap tentakel-tentakel itu agar berhenti. Dan, ternyata, berhasil! Khass memandang ngilu saat tentakel-tentakel itu berhenti menggila dan langsung ambruk, menyisakan denyut nyeri yang membakar punggungnya. Tubuh para ilmuwan hidup yang masih diguncang-guncang di udara terlepas, kemudian jatuh berdebam dengan suara erangan yang menyakitkan. Mereka terlalu lemah untuk bisa melawan lagi, dan dalam sekejap, ruangan itu sunyi.

Khass terengah-engah. Ia menggapai punggung dan mencabut paksa tentakel belulang itu. Dulu, saat Par masih sering menolongnya, ia bisa melepaskan tulang-tulang dari tangannya dengan mudah. Sekarang, tentakel itu copot begitu saja dan sensasi nyeri membakar di punggungnya menghilang. Tak ada rasa sakit. Yang ada isak tangis trauma Khass dengan tubuhnya sendiri.

"Cengeng."

Khass tersentak. Itu suara Par! Semula, ia mengira iblis itu mencemooh di dalam pikirannya, tetapi Khass menyadari bahwa suara itu terdengar dari sisi lain matras. Khass mengintip dari bawah kereta matras dan mendapati Par berjongkok di pojok ruangan. Potongan tubuh ilmuwan entah siapa tercecer di tangannya, darah melumuri sekujur mulutnya. Par menyeruput darah dengan khidmat. Iblis dengan rupa kulit menggelambir yang menempel pada belulang tanpa daging itu terlihat bahagia.

"Jangan cengeng. Kau harus terbiasa. Ya? Karena aku sudah kembali, jadi ... oh, oh. Rayford!"

Khass sama sekali tidak mendengarnya. Yang ia tahu, setelah kedua matanya menyaksikan sosok Par secara jelas di depan mata tengah mencecap potongan tangan manusia, pandangannya menggelap dan kesadarannya menipis.

Khass akhirnya pingsan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top