1.1 Ayam Panggang
Apakah kau tahu jika desa tempat Khass tinggal adalah yang terbaik di dunia? Jika belum, mendekatlah ke jendela-jendela tanpa kusen itu! Namun, berhati-hatilah, jangan terlalu dekat dengan Khass. Bocah itu sedang sibuk dengan Kamitua. Mungkin sekitar tujuh belas cambukan lagi dan dia akan menghampirimu.
Mari, alihkan perhatian dari Khass sejenak. Rasakan embusan angin yang sedari tadi mengelus pipimu. Hirup dalam-dalam oksigen murni yang akan membuat kepalamu pusing. Lubang hidungmu kembang kempis dalam kebahagiaan, bulu-bulu hidung menari dalam kegembiraan karena bahkan tak ada polusi sedikit pun pada udara itu! Astaga, bibirmu secara otomatis tersenyum lebar merasakan ini. Udaranya memang dingin, tapi kau tidak butuh mantel. Perut kembung yang akan kau rasakan tidak sebanding dengan kejernihan udara ini. Kapan lagi kau diizinkan masuk ke desa perguruan tanpaku?
Sekarang, bersandarlah pada dinding batu yang dingin. Kau tak perlu mengintip, cukup renggut pemandangan di balik jendela dengan matamu yang lebar. Saksikan hamparan hijau kekuningan bagai ombak tsunami yang membeku. Gemerisik dedaunan dan kicau burung seperti kasak-kusuk yang lebih berisik daripada erangan tertahan Khass di sampingmu. Oh, jangan! Jangan menoleh dulu. Biarkan anak itu menerima cambukan keempat puluhnya. Sebentar lagi dia akan selesai.
Hamparan hutan berakhir pada garis perak yang mengular di kaki bukit. Matahari tampak putih dari sini, dan tak lebih panas daripada di luar hutan. Pantulannya sangat lemah pada sungai serupa kaca beriak. Kabut tipis memenangkan sinarnya, dan kenyataannya, kabut tak pernah sekali pun beranjak dari desa ini.
Kemudian ... ah, sepertinya kau tidak bisa menikmati lebih lama lagi. Erangan lirih Khass lebih mengusikmu daripada apapun. Sayang, padahal si bocah berusaha kuat untuk menempatkan seluruh perhatiannya pada langit biru pucat di luar jendela. Kedua tangan mungilnya menapak pada lantai batu. Ujung-ujung jarinya memutih, dan giginya menggigit bibir bawah sedikit terlalu kuat. Ada noda merah di bawah gigi taringnya.
"Jangan diam saja, Khass. Apa yang kau lihat?"
"Hutan—ciptaan Tuhan—sangat inda—AH!" Khass berjengit saat Kamitua mengeraskan cambukannya. Dia cepat-cepat melanjutkan sebelum Kamitua menyadari erangannya, "Tuhan ... memberkati kita dengan ... dengan nikmat yang banyak ...."
"Bicaralah yang jelas, Nak."
Khass menahan napas. "Aku tidak akan menyia-nyiakan pemberian Tuhan dengan berbuat buruk!"
"Sebut kesalahanmu."
"Aku tidak akan membuang makanan lagi! Jika aku membuangnya, aku akan mengaisnya, mencucinya, dan memakannya kembali."
Cambukan terakhir mendarat pada pinggangnya. Kamitua melempar tali tambang berserabut kasar ke lantai, lantas menarik sarung Khass kembali ke posisi semula. Bocah itu masih tidak bergerak dari pangkuan sang ayah.
"Jangan lupakan tugas terakhirmu, Nak. Sampai saat itu, aku tidak ingin melihatmu berkeliaran. Kau bukan murid biasa. Kau anakku; putra kepala Guru dan kepala desa, maka jadilah contoh sebaik-baiknya untuk kawan-kawanmu itu."
"Baik, Kamitua."
Tidak merespon suaranya yang serak, Kamitua mendorong tubuh Khass agar berdiri. Beliau pergi tanpa mengatakan apa pun. Suatu hal yang sebenarnya menyedihkan, tapi sangat Khass butuhkan saat ini. Air matanya mengalir deras saat gesekan sandal kulit Kamitua tak terdengar lagi.
"Hei, Khass. Kau di situ?" seseorang bersuara dari arah luar ruangan. Khass cepat-cepat menyeka air mata. Oh, tidak. Dia kenal suara itu. Gawat! Merah di pipi dan hidungnya takkan bisa hilang semudah menghapus tangisan!
Tanpa menunggu Khass merespon, seorang remaja menyembul dari balik pintu. Rambutnya kemerahan dan kedua matanya sepucat wajahnya saat melihat keadaan Khass. Dia bergegas masuk dengan sebuah kotak kayu dan gulungan perban.
"Demi Tuhan, suara cambukannya terdengar sampai luar menara. Teman-teman ingin menemuimu, tapi mereka tidak berani kalau Kamitua masih berkeliaran. Mereka sangat menyesal."
"Tidak apa-apa, Amar." Keduanya segera duduk di bawah jendela, sebisa mungkin menghindari embusan angin yang bakal menyayat luka basah di pinggang Khass. Amar dengan lihai segera merawat luka-luka yang melintang di punggung bocah itu.
"Sumpah, aku tidak menyangka beberapa potong asparagus sisa bisa membuatmu mengalami ini."
"Jangan bersumpah."
"Ya Tuhan, keselip. Maksudku, aku benar-benar tidak menyangka. Kau masih sepuluh tahun. Apakah hukuman cambuk itu tidak boleh diganti sesuatu yang lebih manusiawi?"
Khass terdiam agak lama, dan Amar menyadari suaranya nyaris menghilang saat menjawab. "Jangan manja. Sekali salah memang salah. Hukumannya sudah begitu, kalau dikurang-kurangi nanti tidak menimbulkan rasa kapok."
"Bung, kau sudah paham bahwa itu salah, jadi bukankah hukuman yang lebih ringan takkan membuatmu mengulanginya lagi? Ini keterlaluan."
"Amar, kalau kau belum tahu, itu sudah tertulis di Aturan Kitab. Setelah ini kau jadi Guru Muda, aturan hidupnya berbeda dengan orang-orang awam. Kau harus taat, tidak bisa kasih kendor kayak mereka."
"Bukan begitu ... ah, sudahlah. Ikutlah aku dan teman-teman berburu ayam hutan setelah ini. Kau butuh daging empuk yang enak."
Khass ingin menangis lagi, terlebih-lebih Amar mengoleskan salep terlalu kasar pada tepian lukanya yang pedih. "Aku menyusul saja. Aku harus ambil sisa-sisa asparagusnya."
"Kasihan sekali kau bocah! Tak apa, kami akan menyisakanmu bagian paling besar. Jangan terburu-buru, pinggangmu sedang sakit. Kau juga harus berhati-hati kalau menuruni batu besar itu. Kau tahu, gara-gara semalam hujan turun deras, Noah dan Amed terpeleset sekitar situ saat membersihkan tepi sungai tadi."
Kedua pemuda itu bergegas meninggalkan menara. Mereka berpisah setelah menjejak tanah kembali. Sementara Amar menghilang menuju pondok tabib, Khass dengan tertatih-tatih menghampiri sebuah pendapa terbuka tempat para murid perguruan biasa makan bersama, lalu mencari sisa-sisa asparagus yang seharusnya tersembunyi di retakan lantai batu. Rupanya sudah menghitam menjijikkan bekas terinjak, tapi Khass harus memungut potongan-potongan itu. Dengan susah payah ia menahan rasa sakit saat berjongkok, dan kembali mengerang saat berusaha mengangkat tubuhnya berdiri. Oh, kuatlah, Khass! Dia hanya perlu membawa sisa makanan ini ke kebun dan menumbuknya. Menjadikan sisa makanan sebagai kompos adalah cara terakhir jika mencuci dan memakannya kembali tidak memungkinkan.
Setelah melewati hampir satu jam penuh dengan penyesalan, Khass akhirnya bisa melangkah dengan senyum tipis di bibirnya. Bayangan akan ayam hutan yang kini sudah dikuliti dan dilumuri bumbu membuat perasaannya lebih ringan. Rasa sakit di pinggangnya memudar, sehingga langkahnya semakin cepat seiring dengan tepi hutan yang berada dalam jarak pandang. Khass perlu melewati satu-satunya gerbang desa dan ... oh, siapa itu?
Langkah Khass melambat. Ada seseorang asing yang tertahan di gerbang bersama Guru penjaga. Dia tampak seusia Amar, sedikit lebih pendek dan ceking. Ia mengenakan pakaian khas anak kota seperti saat Amar pertama kali datang dahulu: kemeja menguning yang mencuat keluar dari celana selutut, tak ada sabuk, dan topi baretnya dipenuhi tambalan. Serupa dengan kulitnya yang gosong karena setiap pagi dan sore menjaja koran, nyaris seluruh kemeja dan celananya ternoda lumpur kering. Kedua matanya yang tajam telah menangkap sosok Khass yang mendekat.
Jantung Khass berdetak cepat. Ada semangat yang terpercik di dalam hatinya saat melihat pemuda asing itu. Karena—hei!—ada orang baru!
"Salaam, Khass." Wajah sang Guru Penjaga berubah lega saat melihatnya. "Tepat sekali kau datang kemari. Apa kau akan menyusul kawan-kawanmu? Jika demikian, barangkali kau tidak keberatan untuk membantu sebentar. Tamu kita sedang terluka! Bawalah ke pondok tabib."
Meskipun Khass senang dengan kehadiran pemuda asing itu, ia tak bisa mengelak rasa sakit yang berdenyut di pinggangnya. Permintaan itu dengan cepat menyurutkan kegembiraan. Kamitua sudah menyita waktunya untuk menikmati ayam hutan, dan sekarang ini? Oh, mengapa tidak minta tolong yang lain saja?
Sementara Khass berkutat dengan rasa kesal yang kembali muncul di benaknya, pemuda asing itu diizinkan melewati gerbang kayu yang berat dan berongga-rongga. Ia menghampiri Khass dengan ragu.
"Um, hai."
"Kau terluka?"
"Ah, ya." Anak asing itu menunduk, mengisyaratkan pada luka-luka basah yang diselimuti noda lumpur. Dia sepertinya tersandung oleh liarnya hutan dan ... yah, kedatangan anak asing ini jelas memunculkan banyak pertanyaan. Biasanya, anak-anak dekil dan carut-marut—begitulah anak-anak yang tersesat selalu tampil—datang kemari karena bermain terlalu jauh, atau kehilangan jejak ayahnya, dan beberapa datang karena keluarganya direnggut para penguasa. Tapi itu bisa ditanyakan nanti. Meski ini adalah alasan Khass merasa senang, si bocah harus segera mengantarnya ke pondok tabib dan cepat-cepat menyusul Amar. Cerita bisa menunggu, namun perut yang keroncongan tidak!
Pondok tabib terletak di dekat Konservatori, dan kau harus tahu kalau Khass sangat suka bertandang ke sana. Ribuan jenis herba dengan aroma bercampur aduk menjadi penenang jiwa Khass yang menjadi pasien langganan. Bagaimana tidak, punggung dan kakinya dijadikan sasaran amuk Kamitua jika ada kesalahan yang melibatkannya. Dan kini, sembari mendamba paduan aroma eucalyptus dan melati yang semerbak, Khass berharap penuh Kamitua tidak sedang berada di sana.
Namun, oh, malang nasibnya! Saat Khass mengintip ke dalam pondok, beliau sedang duduk bersama sang tabib, membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan bekas luka cambukan. Kamitua dengan segera menyadari keberadaan Khass. Obrolan seketika terputus.
Sang bocah memberi salam dengan gugup. "Ada ... ada tamu. Dia terluka."
Guru tabib beranjak dan menyambut si anak asing, sementara Khass merapat pada pintu dan berusaha menghindari tatapan Kamitua yang terus terarah kepadanya.
"Sudah kau tanyakan nama dan sebabnya datang kemari, Khass?"
Aduh. Dia lupa. Salahkan perutnya yang terus meronta! Khass menggeleng pelan. "Maaf, Kamitua. Aku akan menanyakannya."
Kamitua mengibaskan tangan. "Lupakan. Bawa saja dia ke pondok tamu setelah ini." Perintah itu cukup untuk mengubah rasa lapar di perut Khass menjadi mulas tak berkesudahan. Kamitua lantas menghadap si anak asing. "Siapa dan mengapa kau berada di sini?"
Khass memerhatikannya, dan cukup terkejut saat anak asing itu tak sekali pun mencoba mengalihkan pandangan dari Kamitua. Dia justru terlihat takjub kendati Kamitua tidak menyambutnya dengan cukup ramah seperti biasanya.
Khass tiba-tiba merasa tidak nyaman. Kembali, salahkan rasa lapar yang menyita perhatiannya sedari tadi. Tak pernah sekali pun ia melihat ada seorang pemuda yang tak gentar dengan kehadiran Kamitua. Ia justru nampak terheran-heran dengan kakek tua berjubah yang sinis.
"Aku Debri," katanya, "dan aku, jujur saja, aku 'gak ingat apa-apa sampai aku jatuh di hutan. Kepalaku pusing sekali dan perutku sangat lapar."
Kamitua terdiam sesaat. Tatapannya yang tajam menguliti pemuda asing itu. "Darimana kau berasal?"
"Perau Port. Gerbang Selatan? Ini kayaknya bukan tempat di Gerbang Selatan, deh."
Kamitua dan guru tabib saling bertatapan. Tak ada kata-kata yang tertukar namun ekspresi mereka menyiratkan suara yang sama. Khass mencoba menerka arti tatapan itu. Bingung? Tidak juga. Penasaran, tentu. Mereka curiga akan sesuatu.
"Kau tahu tempat ini, nak?"
Debri mengangkat bahu. Alih-alih menjawab, ia mengambil waktu yang cukup lama untuk memindai situasi di sekelilingnya. Selain pondok yang nampaknya telah dibangun sejak beribu tahun yang lalu, berulang kali Debri memerhatikan Kamitua dari ujung rambut hingga kuku kaki. Lihatlah orang tua ini! Rambut keperakannya menyentuh pinggang dan diikat seutas kain sarung. Janggutnya tak kalah lebat dengan cemara-cemara raksasa di hutan, sangat persis dengan orang-orang suci yang digambarkan pada panggung sandiwara. Matanya ... oh, mengapa Debri tak menyadarinya? Kamitua memiliki mata paling pucat yang pernah dilihatnya. Kemudian Debri teringat, bahwa para guru yang ditemuinya di desa ini—kecuali si bocah—memiliki mata-mata yang cerah dan pucat. Seketika Debri terpana, melupakan lilitan sarung dan jubah panjang para guru yang tadi membuatnya terheran-heran.
"Entah, tapi kalian berpakaian ... mata kalian ... sangat aneh. Coba kutebak, eh ... Guru? Guru, ya? Tadi dia panggil kau Kamitua." Debri menunjuk Khass, kemudian matanya mengerjap. "Wow, keren. Aku berada bersama para Guru. Aku merasa ... suci."
Khass terpana dengan cara pemuda itu mengobrol. Dia tidak pernah mendengar aksennya yang menjengkelkan. Khass tidak paham betul, tapi nadanya seperti merendahkan Kamitua. Pemuda macam apa yang berani melakukan hal itu? Apakah semua penduduk Gerbang Selatan seperti Debri? Luar biasa!
Kamitua justru tidak memperdulikan itu. Nadanya tetap datar, namun Khass menangkap ada ketegasan tanpa toleransi di dalamnya. "Desa ini bukanlah desa sembarang, Nak. Ada alasan mengapa kau, yang berasal dari nun jauh di sana, bisa berakhir di sini, di Gerbang Utara tanpa kesadaran."
Penuturan Kamitua membuat kedua anak lelaki di pondok itu terkejut, masing-masing dengan alasan yang hampir sama. Guru tabib membenarkan. "Luka-luka ini hanya bisa didapat jika kau tidak paham dengan medan hutan dan situasinya. Lihat ini, Kamitua, goresan ini hanya bisa dibuat oleh Sulur Biru, dan ...."
"Benar!" Debri tiba-tiba memekik. "Ada sulur hidup! Dia berusaha mengikatku! Sumpah, aku 'gak pernah lihat—"
Debri terkesiap saat Kamitua mengangkat tongkatnya. Ujung tongkat yang meruncing tajam menyentuh dagu sang pemuda, membuatnya pucat seketika. "Peraturan pertama dalam desa perguruan, anak muda; berlaku sopan."
" ... Baiklah. Kukira tidak ada yang menyumpah?"
Kamitua menarik tongkatnya dan menatap Khass. Bocah itu mematung. Apa yang akan dikatakan beliau? Mari berharap bahwa Kamitua takkan menyuruh Debri tinggal di sini. Anak itu memang terluka, tetapi dia sepertinya akan segera membuat satu desa memusuhinya. Untuk pertama kalinya, Khass tidak ingin mendengar apa-apa dari bocah asing itu dan menginginkannya pergi.
"Tugasmu, anak kepala desa." Khass terperanjat kala Kamitua mengerling kepadanya. "Ajarkan saudara Debri beberapa peraturan dan antarkan dia ke pondok tamu. Jangan tinggalkan dia sendirian sampai dia paham kondisinya. Nanti malam, dia akan menemui para Nona Nujum."
Khass mengangguk meski hatinya protes sekuat tenaga. Kamitua pun pamit dari pondok tabib, menyisakan kesenyapan yang janggal. Khass kini memandang sang tabib dengan memelas.
Guru tabib itu tersenyum tipis. "Kau tidak bergabung dengan Amar, Khass? Dia sepertinya akan berburu lagi dengan yang lain di tepi sungai."
"Dia sudah mengajakku." Khass tanpa sadar menggerutu.
Sang tabib tertawa kecil. Khass sungguh berharap sang tabib akan berbaik hati mengambil alih tugasnya untuk mengantar Debri, tetapi itu tidak mungkin. Sekali Kamitua menelurkan perintah pada seseorang, maka itu tanggung jawabnya. Tabib bertugas di pondok kesehatan, bukan menemani tamu. Menyesali situasinya, Khass mendaratkan tatapan pada si anak asing.
Debri juga sadar jika anak Kamitua ini tak repot-repot menyembunyikan kekecewaannya. Dia menyeringai. "Jika aku tidak salah tangkap, sepertinya aku menyita waktumu. Maafkan aku, bocah."
Khass melotot pada kalimat terakhir. Itu cukup untuk membuat Debri mengalihkan pandangan. "Santai saja, dong," cetusnya, kemudian meringis saat sang tabib mencoba mengeluarkan serpihan batu dari luka-lukanya yang basah.
Khass tidak bisa santai. Anak ini menakutkan. Pertama, dia tidak gentar oleh Kamitua dan berkomentar seenaknya. Semua anak yang datang dari dunia luar selalu bersikap malu-malu atau ketakutan, dan tak pernah sekali pun berbuat kurang ajar terhadap Kamitua. Tidakkah dia merasakan kharisma Kamitua? Oh, mengejutkan! Dan, kedua, dia bahkan tidak sadar telah berpindah antar provinsi dan mengarungi laut menuju sebuah desa terpencil. Khass memang tidak pernah keluar desa, tapi ia hapal peta negeri ini. Jarak antar Provinsi Gerbang Selatan dan Provinsi Gerbang Utara mencapai enam malam dengan kapal layar.
Khass mulai menerka-nerka apakah pemuda ini sedang dipengaruhi hipnotis. Anak-anak berpenampilan nakal seperti dia biasanya suka bermain jauh-jauh, kemudian tidak sengaja bertemu dengan semacam makhluk kuno—kau tahu, orang-orang luar menyebut mereka iblis—dan anak-anak pembangkang bakal selalu jatuh ke perangkap iblis. Lagipula, pemuda ini terlihat jarang mengunjungi Konservatori. Orang-orang tanpa petunjuk begitu mudah ditakut-takuti makhluk lain. Mungkin itulah alasan mengapa Kamitua menyuruhnya menemui Nona Nujum.
Khass mendesah. Ah, dasar merepotkan.
Selamat tinggal, ayam panggang hangat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top