Bumi Berpulang

Theme Song:

Paris Van Java – Cak Rus
___

Tendra menarik napas panjang, langit di atasnya menggelap. Hutan-hutan menghilang beberapa dekade lalu, dan hujan yang tumpah menjadi semacam momok yang menakutkan saat ini. Daratan sudah tak lagi tampak, setiap permukaan keruh seperti latte, pohon-pohon beradaptasi, tetapi tak banyak yang tersisa. Rumah-rumah mengapung itu tak punya sandaran, maka ketika hujan yang ganas itu menusuk-nusuk punggung bumi, manusia akan terombang-ambing dalam rumah apungnya, sembari berdoa agar lantainya tak terjungkir balik. Bumi bagian Alcapa, setidaknya, sudah menjadi wilayah perairan, pulau-pulau tenggelam, hutan menghilang, dan penduduknya menjadi seperti mayat hidup, pucat pasi dan kecut.

Alam sudah terang-terangan memutuskan tali persahabatannya dengan manusia, menghujat ceruk-ceruk tambang emas, mencibir pada gedung-gedung pencakar langit, menertawakan pembangkit tenaga surya yang kini berubah menjadi puing, menyisakan racun yang membunuh makhluk sekitarnya. Tendra lupa sejarah, dia selalu dihantui ketakutan akan mati tenggelam, maka dia tidak sempat untuk menyalahkan nenek moyangnya yang serakah.

Kerongkongannya kering, Tuhan benar-benar tahu kapan harus menimpakan hujan pada mereka. Kendati hujan selalu seperti badai penjemput nyawa-nyawa pongah manusia, ia tetap membawa sesuatu untuk disyukuri. Tendra memasang karet portabel di samping perahunya, membentangkannya untuk menampung air hujan. Air cokelat penuh polusi di bawah kakinya tidak pernah layak minum, dan dia dipekerjakan untuk mencari cara bagaimana agar air keruh itu menjadi layak minum, tetapi masih gagal sampai hari ini.

Setelah segala kerusakan yang terjadi, manusia masih saja congkak, masih saja berpikir mereka makhluk cerdas yang bisa membolak-balikkan takdir Tuhan. Tendra mengumpat tatkala lengannya terpercik air beracun itu, rasanya panas dan gatal, tetapi demi air tampungan hujan, ia harus menahannya.

Manusia cacat yang tersisa, masih berharap mereka lebih cerdas dari Tuhan, uang sudah bukan lagi harga, tewas, kulit putih bersinar bukan lagi kebanggaan, asal tidak berkoreng, maka kau layak mendapat atensi.

Kekayaan yang disebut manusia masa lalu itu sebagai kemakmuran, telah mendatangkan malapetaka besar di muka bumi. Semua manusia itu punah, menjadi sejarah. Namun, apa yang mereka tinggalkan masih melekat dan membuat generasi selanjutnya sengsara. Musim berubah, mendatangkan petaka. Bukan lagi menjadi suatu anugerah, melainkan sesuatu yang mengancam nyawa.

Tendra tahu, di seberang sana, bumi kering. Ada dua batasan yang menjelaskan perbedaan kedua wilayah itu. Namun, baik di perairan ataupun di darat, bumi bukan lagi menjadi tempat yang layak huni. Seberang sana dilanda kekeringan, kemarau berkepanjangan, seolah-olah hujan memang diturunkan untuk menjadi pelajaran bagi makhluk-makhluk yang suka menjarah hutan, dan matahari yang membakar semuanya dihamparkan kepada mereka yang mengeruk perut bumi demi kepentingan perut sendiri.

Berebut menguras isi perut bumi, berebut meninggikan atap rumah, membangun gedung bertingkat demi memberi makan ego hingga meledak menjadi sesuatu yang tak lagi berarti. Hutan yang hijau menjelma menjadi lapangan berbau besi tembaga, lautan yang biru, kini serupa genangan darah bercampur lumpur, cokelat, nyaris kuning, hina, seperti rupa dasar manusia. Dan hamparan hijau ladang menjelma menjadi gemerlap kota yang kini hanya tinggal sejarah.

Kepuasan sesaat itu menghancurkan peradaban. Semuanya hanya demi perut dan ego. Semuanya hanya demi kepuasaan yang tidak akan pernah habis. Alam digerogoti manusia, manusia habis dimakan usia, usia memunahkan peradaban. Tendra mendesah panjang, mengeluh dan memaki masa lalu, orang-orang di masa lalu pantas bertukar posisi dengannya, agar tidak punah akibat menghamba pada fana. Manusia-manusia tak tahu diuntung itu beranak pinak sembari menghancurkan bumi.

Alam murka padanya, mengamuk pada anak cucu para manusia serakah, dan mereka tidak pernah tahu bagaimana rasanya tenggelam dalam air beracun yang menggenangi pemukiman. Teknologi yang mereka sebut untuk memudahkan kehidupan manusia, telah menghancurkan alam. Teknologi membunuh ladang dan sawah, kemajuan ilmu pengetahuan meracuni perairan, dan kini, gedung-gedung runtuh, manusia turun kasta, menjadi hina. Terbelakang, lebih parah dari makhluk primitif.

Tendra bertanya-tanya setiap hari, tetapi gagal menemukan jawaban yang pasti. Yang dia tahu, manusia di masa milenial itu pongah, rakus, serakah, dan ceroboh. Menggerogoti habis hijaunya bumi dan birunya langit, hanya demi kepuasan sesaat. Menjarah bumi hingga sedemikian kering, tersisa tulang belulang yang rapuh. Belum saja mereka mati karena muntahan lahar gunung merapi, sudah habis digerogoti kekeliruan mereka sendiri.

Bergerak ke tepian, Tendra melihat anak Krakatau bergejolak. Setiap hari, dia terbatuk dan mengeluarkan asap-asap kecil. Seakan menyapa dan memberinya peringatan, waktumu tidak banyak, manusia. Tidakkah kau ingin bersujud meminta kemurahan pada Sang Empunya Langit? Nun jauh, daratan tandus itu berulang kali mencoba menanam padi, mencoba mengaliri sawah dengan air kotor dari perairan, bumi tetap kering. 

Mengapa musim berubah, mendatangkan malapetaka? Tendra tersenyum pada anak gunung yang siap muntah. Hujan sudah berhenti, tetapi asap dari ceruk gunung itu terus membubung. Sampai akhir hayatnya, manusia tetap menjarah bumi. Manusia tetap aniaya.

Tendra menarik penampung karet, menyingkirkannya dari perairan, menggulungnya dan menggiringnya menuju rumah. Namun, perairan tersibak, seperti digulung pada kepulangan, alam kembali murka, mengombang-ambingkan perahu kecil milik Tendra, menjadi satu depa lebih dekat pada anak Krakatau. Tendra tertawa.

Memang seharusnya begitu, alam memberi manusia hukuman dalam bentuk kiamat. Namun, alam sepertinya lebih suka manusia mati pelan-pelan, alam ingin manusia menikmati apa yang telah mereka tabur di masa lampau, seperti kutukan, terhukum oleh apa yang dilakukan oleh kakek moyangmu. Mungkin sudah sedemikian lelah, alam memutuskan untuk menelan mereka semua, makhluk pongah yang berpesta berebut kekayaan dunia.

Tendra tewas, manusia tewas, dan alam, dengan segala lebam dan cacat, tertawa penuh kemenangan. Gejolaknya menghanguskan perairan, menenggelamkan tanah kerontang, sisa-sisa kesombongan sudah punah, bumi berpulang.

***

PS: kalian harus denger lagunya, enak bngt, sumpah!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top