XXIII. Rumit

#Lala pov

Semakin hari perutku semakin besar. Si jabang bayi sudah menetap disana selama enam bulan. Waktu yang cukup lama bagiku karna aku sudah tidak sabar menanti kehadirannya. Aku dan Basri rajin mengecek kandunganku selama ini namun kami sengaja tidak ingin tahu berjenis kelamin apakah dia nantinya, biarlah itu menjadi sebuah kejutan buat kami berdua.

Setiap hari Basri selalu menjagaku dengan baik. Dia sengaja pulang lebih cepat dari biasanya, dia melarangku melakukan aktivitas yang berlebihan. Bahkan dia mengajak aku pulang kerumah ibuku atau ibunya saat usia kandunganku memasuki delapan bulan nanti.

Beruntungnya kondisiku tidak seperti ibu hamil pada umumnya. Aku tidak merasakan sakit yang hebat atau nafsu makan yang berkurang. Aku terlihat baik-baik saja dan bahkan dokter kandungan bilang auraku terlihat lebih bahagia dan sumringah. Terang saja karna Basri selalu menuruti keinginanku


Aku selalu menyempatkan olah raga dipagi hari meski hanya sekedar mondar mandir dijalan. Karna aku tidak mau melewatkan sinar matahari dipagi hari begitu saja. Basri mengajakku untuk berjalan diarea jalanan dekat rumah sejak sesudah sholat subuh
Aktifitas penduduk sudah mulai terlihat, aku terus berjalan kesana kemari tanpa memakai alas kaki. Hingga tidak terasa matahari sudah mulai menampakkan diri. Kebetulan hari ini hari sabtu, baik aku ataupun Basri sama sekali tidak terganggu meski matahari semakin tinggi karna dihari ini kami berdua libur.

Hari ini aku ingin memasak sesuatu untuk suamiku. Hal yang selalu aku lakukan setiap harinya namun akhir-akhir ini Basri melarang, selain karna kasihan denganku juga karna dia selalu ingin makan makanan luar akhir-akhir ini. Dia terkena sindrom 'Bapak Ngidam'. Namun aku tetap ingin memasak sesuatu karna aku lebih suka makanan rumah daripada makanan resto, depot atau warung

Dan kebetulan saat ini sudah ada penjual sayur langgananku yang entah sejak kapan sudah berdiri indah diarea rumahku dan dikerubuti beberapa ibu-ibu yang lain dikomplek ini

"Konon katanya, bayam sangat bagus buat ibu hamil lho mbak" Aku menoleh kearah wanita yang baru saja berbicara padaku saat aku masih sibuk memlilih sesuatu yang akan aku masak

Aku tersentak saat melihat wanita yang masih tersenyum disampingku. Aku pun tersenyum membalasanya namun aku tahu senyumku adalah senyum yang aku paksakan

Dia adalah wanita yang tidak ingin aku temui. Wanita yang aku sudah mengenalnya dari orang lain. Wanita yang pernah melukaiku begitu hebat hingga aku merasa sakit saat hanya melihat wajahnya saja

Wanita itu adalah Maria, istrinya Adi

"Iya. Tapi aku gak suka bayam kok mbak, ini buat suami" aku mencoba bersikap wajar meski setengah mati aku menenangkan hatiku.

Entah mimpi apa aku semalam hingga bisa bertemu dengannya secepat ini. Mungkin bagi orang lain tujuh bulan adalah waktu yang cukup lama, dan baru kali ini aku bertemu dengannya sejak aku tinggal dirumah ini. Memang aku belum pernah melihatnya, aku juga belum menyiapkan diri seandainya aku bertemu dengannya.

Aku belum siap. Hatiku masih sakit

"Sudah berapa bulan kandungannya?" Tanya dia ramah seolah dia tidak tahu aku ini siapa

Atau mungkin memang dia tidak tahu?

"Sudah enam bulan mbak" lagi-lagi aku tersenyum namun sakit yang kurasakan didadaku.

Ya Tuhan... kenapa sakit tentang semua itu belum juga hilang?

"Wah sebentar lagi lahir dong. Eh tapi kok gak kelihatan ya perutnya"

"Masa sih mbak? udah buncit gini kok hehehe" sekuat tenaga aku menetralkan hati dan tubuhku agar tidak gemetar

"Mbaknya orang baru ya? kok aku gak pernah lihat sebelumnya?" lanjutku kemudian. Sungguh ini adalah pertanyaan pura-pura karna aku ingin tahu bagaimana dia memperkenalkan diri padaku

"Ehmm gimana ya. Sebenarnya bukan orang sini juga sih hehehe"

"ooohhh gitu, terus?"

"oh iya, kenalin. Namaku Maria" lanjutnya sembari mengulurkan tangan kanannya kearahku

"Panggil Lala aja, mbak. Dan ini rumahku" aku menunjuk salah satu rumah tepat dibelakangku

Dia pun mulai mengajak aku berbincang masih seputar kami berdua, perkenalan dan pengalaman. Entah apa tujuannya dia betah sekali berbicara denganku dan senyumnya masih terpancar jelas diwajahnya. Sementara aku, pikiran jelek dan khawatir sudah muncul dibenakku. Ada perasaan yang sedikit menganggu dikepalaku

Basri, dimana kamu berada?
Aku berharap dia datang memanggilku sehingga aku bisa segera pergi dari sini. Sejak tadi aku sudah ingin pergi namun Maria selalu menahanku dan menanyakan hal-hal yang harus aku jawab.

"La, boleh aku tanya?"

Deg...

Kakiku sudah lemas mendengar pertanyaan darinya. Apapun tentang dia dan Adi, sebenarnya aku tidak ingin dekat-dekat dan tidak ingin tahu apapun. Hatiku masih sakit mengingat semuanya, luka dari mereka sungguh sangat dalam.

"Kenapa, mbak?" Tanyaku ragu bersama senyum palsuku

Dia terdiam sejenak. Seperti sedang merangkai kata

"Seandainya kamu pernah melukai seseorang dan orang itu belum memaafkan kamu, apa yang kamu lakukan?" Tatapan matanya sudah kosong seperti tidak ada harapan disana

"Kenapa mbak Maria pertanyaannya seperti itu?" Jujur aku bingung dengan pertanyaan dia yang menurutku konyol

"Hahaha enggak. Aku cuma nanya seandainya saja" bisa kulihat tawa Maria kali ini benar-benar palsu

"Jika seseorang belum memaafkan kesalahan yang pernah kita lakukan, kemungkinan hanya ada dua. Kesalahan kita terlalu fatal atau kita melukainya terlalu dalam" entah kenapa aku begitu lugas menjawab pertanyaannya. Hingga tanpa sadar kami berdua sudah duduk di dudukan depan rumahku sedangkan tukang sayur tadi sudah raib entah kemana

Mungkin kami berdua terlalu fokus sama fikiran kita masing-masing

"Mungkin. Lalu kita harus apa agar mereka memaafkan kita La?" Lanjutnya masih dengan ekspresi yang sama

"Minta petunjuk sama Allah saja mbak. Agar mereka dibukakan pintu hati untuk memaafkan kita. Dan semoga kita juga minta maaf atas dasar benar-benar menyesal karna bersalah, bukan menyesal karna sedang tertimpa masalah hingga sadar akan kesalahan kita pada orang lain" dengan gamblang aku menjawab pertanyaannya

"Kamu benar, La. Lalu aku ha..."

"Sayang. Kamu dimana?"

Aha..!! akhirnya muncul juga nih orang

"Mas.. kenalin ini mbak Maria. Mbak Maria, ini suamiku" dengan sopan aku mengenalkan mereka satu sama lain

Ada pandangan aneh dari mata suamiku. Aku rasa dia sedang menebak 'Maria' siapakah yang aku maksud

"La. Aku pamit dulu mungkin lain kali kita bisa ngobrol-ngobrol lagi. Aku lupa kalau ditunggu suami dirumah"

"Iya mbak" ada perasaan sakit saat dia menyebut kata 'suami' saat itu

--

"Yang"

"Hmm"

"Ngapain istrinya Adi deket-deket kamu"

"Entahlah"

"Jaga jarak dulu sama dia. Aku khawatir sama kalian"

"Mas kok suudzon gitu"

"Bukannya gitu. Aneh aja, mendadak dia datang ke kamu setelah bertahun-tahun tidak berfikir untuk sekedar mengenalmu. Yang, waspada kan tidak dosa daripada menyesal. Nanti kalau Maria datang lagi pastikan ada aku ya, kalau tidak gak usah ditemui. Kamu bilang sedang sibuk atau apa gitu, ya?"

Aku tahu lelaki ini sangat mengkhawatirkanku. Namun apa yang dia ucapkan ada benarnya, kenapa Maria tiba-tiba datang padaku?

Aku tidak mau membuat suamiku yang terlalu baik ini khawatir. Dia selalu tahu tentang diriku bagaimanapun aku menutupinya. Dia mengenalku lebih baik daripada diriku sendiri.

"Yang? Kebiasaaan ngelamun kamu" ucapnya sambil melambaikan tangannya didepan wajahku

"Hehehe. Siap bos! Perintah dilaksanakan" jawabku dengan suara seperti anggota densus yang dapat titah dari atasanya

Dia hanya tersenyum mengelus puncak kepalaku lalu mencium keningku. Sarapan pagi yang sempurna. Basri selalu membuat hari-hariku penuh makna.
Tuhan, aku ingin berterima kasih telah Kau kirimkan dia disini. Disampingku menemaniku melewati semuanya

--

Kondisi badan dengan perut yang semakin membesar seperti ini tidak membuatku mati gairah dengan pekerjaan. Aku tetap saja beraktivitas seperti diriku sebelumnya. Melayani kebutuhan perusahaan juga menerima beberapa tamu yang berkunjung ke perusahaan. Orang disekitarku juga tidak lelah mengingatkan agar aku sedikit mengurangi aktivitasku itu. Namun percaya atau tidak, perutku akan sakit jika aku hanya duduk manis tidak melakukan apa-apa. Rupanya anaknya Basri ini enggan makan gaji buta, dia selalu menendang-nendang perut ibunya jika aku hanya duduk bermalas-malasan dikantor.

Aduh nak, kamu mirip sekali sama bundamu ini..

"Bumil. Ada telepon" ucap salah satu temanku yang duduk bersebelahan denganku saat aku hendak pergi mengambil minuman. Mungkin sudah tradisi dikantor atau bagaimana, setiap yang hamil kita selalu memanggil dengan sebutan 'bumil' maksudnya ibu hamil. Jika nanti sudah melahirkan panggilan itu berubah menjadi 'busui' yang artinya ibu menyusui, entah itu benar menyusui atau hanya sebulan dua bulan saja lalu digantikan dengan susu formula.

"Halo"

"Mbak Lala? Ini ada titipan barang untuk mbak Lala"

"Dari siapa bu?

"Waduh, tidak tahu mbak. Tidak ada nama pengirimnya. Sepertinya ini makanan, biar diantar temen saya kesitu ya mbak?"

"Ok. Makasih ya bu.. maaf merepotkan"

"Sama-sama mbak. Sudah tugas kami"

Ibu Sari, satu-satunya security wanita dikantor ini. Beliau sangat baik padaku, semenjak pertama kali datang hingga sekarang banyak yang bilang sering ditegor bu Sari dengan tegas, sedangkan aku belum pernah.

Paket yang dimaksud bu Sari pun sudah ditanganku. Sepertinya ini bukan paket karna hanya dibungkus dengan tas plastik. Ini pengirimnya tidaklah jauh kalau dilihat dari bungkusnya yang sederhana seperti jika kita membeli nasi goreng didekat rumah

Perlahan aku membuka bungkusan tersebut yang aku yakin pasti makanan lah isinya. Benar dugaanku!

Mie goreng lengkap dengan sayurnya yang banyak, ditambah kecap yang cukup banyak dan irisan cabe. Tunggu, irisan cabenya dimana? Bukankah lebih enak jika dimakan pedas

Ini salah satu makanan favoritku. Yang mengirimnya pastilah orang terdekatku yang tahu akan kebiasaanku sekecil itu.
Aku mencari ponselku yang berserakan bercampur lembaran kertas diatas meja kerjaku. Aku akan menghubungi suamiku dan memprotesnya. Bagaimana bisa dia mengirimkannya tanpa potongan cabe!!

Belum aku menemukan nama Basri disana tiba-tiba sebuah pesan sudah masuk dari lima menit yang lalu. Tanpa nama, hanya nomor asing yang terlihat

"Jangan lupa makan yg banyak, awas saja kalau pingsan lagi. Jgn cari cabenya aq emang sengaja hilangin drpd km mules"

Ini bukan orang yang kumaksud!

Ini bukan Basri suamiku!

Aku semakin yakin jika pengirim pesan itu bukan Basri. Pikiranku tertuju pada Adi. Ya!! Siapa lagi jika bukan makhluk satu itu yang sok perhatian, sama istri orang pula!!

Nafsu makanku menghilang seketika. Menu yang tadinya terlihat menggiurkan tiba-tiba eneg. Bukan karna makanannya melainkan karna pengirimnya






*******

#Adi pov

Satu hal yang aku suka dari Maria, dia jarang cemburu padaku bahkan hampir tidak pernah. Bukan maksudku sengaja atau bagaimana, teman se-profesi yang kebanyakan model selalu datang menggodaku meski niat mereka hanya bercanda. Bahkan tak jarang aku keluar beramai-ramai dengan teman-temanku dan sama sekali dia tidak melarang atau mencegahku. Dia selalu membiarkanku melakukan apapun yang aku suka, dan diapun tidak pernah terlalu detail menanyakan apa yang aku lakukan. Meski ada kalanya aku ingin dia cemburu seperti wanita pada umumnya

Namun dari semuanya aku lebih suka Maria yang sekarang ini. Dia lebih mau mendengar omonganku tanpa protes atau melawan, memang dia tidak pernah memprotes bahkan melawanku, hanya saja dulu dia menganggap apa yang aku katakan seperti angin lalu, yang datang berhembus lalu hilang begitu saja

Mentari bersinar begitu cerah seakan lupa bahwa saat ini sedang musim penghujan. Musim dimana sinar matahari tidak bisa ditebak akan kemunculannya.
Dan pagi ini aku sudah bersiap diri akan mengantarkan ibuku ke suatu tempat. Aku sudah seperti sopir pribadi ibu yang harus menurut perintahnya kemanapun yang beliau inginkan

Seperti biasa, saat sedang menunggu ibu aku hanya duduk dikursi panjang didepan rumah. Dibawah pohon kursi itu berada tanpa seorang pun ingin hinggap diatasnya. Hanya aku seorang diri. Namun jika sore atau malam kursi panjang berwarna putih ini akan jadi rebutan beberapa orang

Aku menghirup dalam-dalam udara disekitar. Antara menikmatinya juga karna aku harus lebih sabar menunggu ibu untuk segera beranjak pergi denganku. Begitu ibu sudah bersiap pergi ada saja yang masih harus diselesaikan oleh tangan ibu langsung, begitu seterusnya hingga aku merasa bosan

Biasanya aku akan masuk dan menanyakan ibu jadi berangkat atau tidakn. Namun tidak kali ini.
Aku masih betah dengan posisiku. Mataku menatap lurus kedepan. Ada sosok seseorang yang entah sampai kapan mampu membuatku berpaling dan melupakannya.

Dia selalu mengalihkanku dari apapun yang kulakukan. Dia bisa merebut perhatianku, senyumku dan hatiku

Melihatnya begitu saja aku sudah bahagia. Setidaknya aku tahu bahwa kondisinya sedang sehat dengan perutnya yang semakin membuncit.

Aku tersenyum sendiri seperti orang gila

"Adi! Kita berangkat satu jam lagi ya. Ibu ada pesanan mendadak!" Seru ibuku dari dalam dan kujawab dengan anggukan

"Iya" sahutku kemudian karna aku baru sadar ibu tidak akan mendengar anggukan kepalaku meski sampai terlepas sekalipun

Biasanya aku akan kesal jika ada penundaan seperti ini. Namun berbeda dengan sekarang, hati dan pikiranku terlihat baik-baik saja dengan semuanya. Bahkan aku berharap ibu akan menunda dua sampai tiga jam lagi

Oke. Aku sudah tidak waras kali ini

PYAAAARRRR

Suara piring pecah itu menghentikan senyumku. Banyak lalu lalang orang disekitar sini namun tidak ada yang mencoba membantu meski mereka mendengar suara itu. Dan bukan salah mereka juga karna sumber suara berasal dari teras sebuah rumah, akan sangat aneh jika orang langsung menyelonong masuk untuk sekedar membantu

Berbeda denganku. Aku langsung berlari tanpa pikir panjang apa yang akan terjadi berikutnya. Dipikiranku hanya keadaan wanita itu, dia pasti sangat kaget dengan apa yang terjadi padanya

"Kamu tidak apa-apa?" Jujur aku sangat mengkhawatirkannya. Aku langsung berjongkok mengambil serpihan pecahan piring dan mangkok yang berserakan. Karna kondisinya yang hamil tua sangat menyulitkannya melakukan hal itu

"Maaf merepotkan" ucapnya yang selalu membuatku kesal. Sejak dulu aku selalu benci setiap dia mengucap kata maaf padaku. Entah dia melakukan kesalahan atau dia tidak mampu menjadi atau memberi apa yang aku harapkan. Dia tidak pernah tau kalau aku tidak mempermasalahkam apapun kondisi dia, aku selalu menyayanginya. Seperti sekarang, meski dia menikah dan mengandung anak dari lelaki lain pun aku masih menyayanginya

Dia mempersilahkan aku duduk dikursi teras lalu mengikuti. Aku tahu dia tidak akan membiarkan aku masuk kedalam rumahnya karna suaminya sedang tidak ada dirumah. Hal yang membuatku semakin sakit karna telah melepasnya. Wanita yang menjaga kehormatan dirinya dmi suaminya. Jarang sekali ditemui dijama seperti sekarang ini

"Kok gak kerja?" Ucapku basa basi

"Aku sudah mulai cuti sejak dua hari yang lalu" jawabnya yang membuatku sedikit lega karna bukan mengundurkan diri dari tempat kerjanya

"Emang kapan lahiran?"

"Perkiraan dokter sih satu minggu lagi"

Obrolan pun terjadi antara kami. Aku selalu mabuk dengan senyum manisnya. Aku menikmati setiap tawa khas yang keluar dari suaranya. Tawa yang dari jarak jauh dan menutup mata sekalipun aku masih bisa mengenalinya.

Aku bahagia dia sepertinya sudah bisa menerimaku tanpa aku tahu dia juga sudah memaafkanku atau tidak.

Bodoh amat!

Yang terpenting saat ini aku masih duduk berdua dengannya tanpa kabur atau sembunyi-sembunyi seperti sebelumnya

BRUUMMM.. BRUM..

Aku melihat sebuah mobil sport warna putih berhenti didepan rumah Lala, yang saat ini aku dan pemiliknya sedang duduk diterasnya. Kami berdua pun menoleh kearah mobil seolah bertanya siapa yang bertamu di jam seperti ini

"Assalamuailaikum"

"Mas. Kenapa balik?"

Nafasku tercekat melihat Basri turun dari mobil dan disambut dengan Lala yang mencium patuh tangan Basri

"Ada yang ketinggalan, yang. Eh ada tamu? Sudah lama Di?" Basri mengulur tangannya kearahku dan menjabatnya dengan kuat.

Aku tahu bahasa tubuh yang diberikan olehnya. Dengan tatapannya yang susah dijelaskan dia seakan bertanya "Apa yang kamu lakukan disini, huh?!!"

"Kebetulan aja lewat pas istrimu memecahkan piring dan mangkok ditangannya" aku berusaha menjelaskan yang sebenarnya agar Basri jangan berfikir yang tidak-tidak. Karna aku tidak mau dia kemudian bersembunyi dan membawa Lala juga seperti waktu dulu

"Iya, yang? Kamu tidak apa-apa kan?" Tanya dia panik yang hanya dijawab Lala dengan gelengan kepala lalu memeluk istrinya dengan lembut

Aku merasa seperti kambing congek disini!

Sialan!!

Lebih baik aku pergi sajalah daripada hatiku panas membara dan hilang arah.

"Aku pamit dulu kalau gitu Bas!"

"Thanks ya Di. Aku pastiin ISTRIKU akan baik-baik saja" kata dia sambil menekankan kata "istri" kearahku

Aku hanya tersenyum pahit lalu pergi

**

"Bu, mampir ke toko bayi bentar ya" ucapku pada ibu dan sudah membelokkan mobil ke toko perlengkapan bayi yang terlengkap dikota ini tanpa menunggu persetujuannya

Ibu hanya mengikuti aku saat memilih berbagai macam perlengkapan bayi yang disediakan toko ini. Semua terlihat lucu dan menggemaskan buatku. Ingin rasanya aku membeli semuanya namun aki masih cukup waras untuk tidak melakukannya

"Buat apa sih?" Kata ibu yang membuatku tertawa

"Ya buat bayi lah bu"

"Iya. Bayinya siapa? Maria hamil?" Katanya penasaran

"Bukan. Tapi buat anak ku juga?"

"Ibu gak ngerti jalan pikiranmu, Di"

"Buat bayinya Lala bu, sebentar lagi kan dia melahirkan"

"Apa maksudnya dengan anak kamu? Kamu tidak bermain gila dengan Lala kan?" Nada ibu yang pelan dan penuh emosi membuatku semakin tertawa meras

"Adi sih mau-mau aja bu, tapi Lala nya yang gak mau main gila sama Adi" aku teryawa dan ibu semakin geram melihatnya

"Ya enggak lah bu. Kan kalo Lala jadi nikahnya sama Adi berarti sekarang kan Lala lagi hamil anaknya Adi. Lagipula ngapain Adi main gila saat kami sudah tua begini. Sama-sama dosa mending dulu kita gila nya saat Adi tidak di ijinkan menikah dengannya" aku mengambil salah satu kasur lantai bayi yang cukup besar.
Aku menanyakan pendapat ibu akan kado pilihanku saat kulihat ada perasaan lega disana

Akupun berjalan kekasir, membayar dan membawanya pulang

"Aku nitip ditaruh dirumah ibu ya. Takut kalau Maria melihatnya" ucapku saat kami sudah memulai perjalan pulang dan terjebak sedikit kemacetan jalan raya

"Jangan nutupi dari Maria"

"Bukan nutupi. Nanti Adi jenguk bayi Lala pun bareng sama Maria. Adi cuma gak mau Maria semakin sedih melihat segala sesuatu yang berbau bayi. Makanya tadi Adi beli sama ibu saja. Kalau sama Maria yang ada gak jadi belanja, dia akan semakin menjerit melihat perlengkapan dan baju bayi yang menggemaskan tadi" ucapku panjang lebar dan hanya dibalas dengan sennyuman cantik dari wanita ini. Cinta pertamaku ..

**

Masih dengan suasana hatiku yang baik. Aku menikmati malam yang indah dibalkon rumah. Malam yang bisa kunikmati dalam hitungan jari selama hidupku

Saat masih muda setiap malam aku selalu sibuk dengan kegiatan bersama teman-temanku. Aku ngeband setiap sore hingga malam. Tidur sebentar tengah malam nantinya aku lanjut balap motor liar. Karna aku joki yang handal maka aku tidak pernah absen hadir dimanapun. Meski selalu menang tapi uang hasil kemenangan itu selalu aku bagi bersama teman-temanku sisanya aku kumpulin untuk beli motor dan merombaknya sesuai standart motor balap liar.

Ibu selalu pusing dengan rumah yang sudah seperti rongsokan besi tua. Bapak selalu marah setiap dirumah aku bersama teman-temanku membuat gaduh dengan suara bengkel dadakan.

Akhirnya aku pun sadar entah sampai kapan aku akan seperti ini. Hingga pada suatu hari ibu jatuh sakit dan itu seperti menampar hatiku. Tidak selamanya aku bergantung dengan orang tua meski aku tidak pernah begitu selama ini.
Aku hanya ibu dan bapak bisa pensiun dari usahanya dan giliranku yang menggantikan

Maka sejak itu, setelah lulus kuliah sebagai seorang sarjana tehnik sipil aku membuka cabang rumah makan punya ibu. Awalnya aku meminjam semua modal dari orang tuaku dan melunasinya dengan menyicil beberapa tahun kemudian.

Dan sekarang disinilah aku, berdiri diatas kakiku sendiri meski belum sepenuhnya aku berhenti dari hobiku dimasa lalu. Namun untuk joki aku sadar diri, semakin tua aku bisa dengan mudah dikalahkan yang muda-muda. Yaa seperti aku dulu

"Mas" tiba-tiba Maria datang dan duduk dikursi balkon sedangkan aku berdiri dengan bertumpu tangan di pembatas balkon rumah

"Hmm"

"Kamu mikirin apa?"

"Tidak ada. Cuma megingat masa kenakalanku dulu"

"Ooo"

Hening beberapa saat. Aku melihat dia yang seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat "kamu kenapa? Ada masalah?"

Dia tersentak

"Mas, seandainya aku tidak bisa memberimu keturunan, aku rela kamu pergi dan menikah dengan wanita lain" aku menatap lekat mata bulatnya yang kini sudah menatap sayu kearahku dari samping

"Ngomong apaan kamu" aku sedikit emosi dengan ucapan dia yang tanpa pikir panjang bisa langsung keluar begitu saja

"Sudah tiga tahun kita menikah. Kamu juga sehat tidak ada masalah, aku yakin masalahnya pasti di aku. Aku tidak mau kamu menderita hanya karna aku tidak bisa memberi keturunan"

"Baru tiga tahun dan kamu sudah putus ada. Ada yang lebih lama dari kita puluhan tahun dan baru diberi momongan. Kenapa kamu selemah ini? Atau kamu yang memang menyesal menikah denganku?" Jawabku setenang mungkin meski hatiku sudah panas menahan emosi

"Bukan begitu. Aku menyayangimu mas bahkan lebih. Karna itu aku tidak mau kamu semakin menderita. Aku tahu kamu sudah memginginkan anak. Aku.. aku.. hiks" aku mendekatinya dan merangkulnya dari sampung. Dia sudah tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Hanya menangis dan menangis sebisanya

"Sudah. Jangan berpikiran yang macam-macam. Ucapan adalah doa. Kamu mau itu benar-benar terjadi pada kita?"

Dia menggeleng dan semakin terisak didadaku.

Baiklah. Malam ini akan lebih panjang lagi

**
Rutinitas yang kulakukan selalu sama. Dari senin sampai minggu, dari pagi sampai malam semua terlihat hampir sama. Namun aku tidak merasa bosan karna aku menikmati dan mensyukurinya

Seperti pagi ini. Aku selalu datang ketempat ibu, meski sudah banyak yang membatu orang tua ku itu namun aku belum merasa puas jika belum memastikannya sendiri. Entahlah mungkin aku terlalu khawatir dengan mereka

Disatu sisi aku juga sekedar sarapan ditempat ibu. Mski lelaki aku termasuk anak yang maja dengan ibunya. Biar saja aku tidak peduli

"Kamu tumben pagi buta begini sudah sampai disini" sapa bapak saat aku mengucap salam

Aku hanya terkekeh tanpa menjawa pertanyaanya.

Ada beberapa alasan yang membuatku tersenyum tadi saat didepan bapak. Yang pertama aku juga heran kenapa pagi-pagi sekali sudah disini, dua jam lebih cepat dari biasanya.
Yang kedua, aku juga tidak tahu kenapa hari ini aku seperti ingin tersenyum sepanjang hari. Mungkin aku sudah mulai gila

Aku hanya duduk-duduk setelah menikmati sarapan pagi yang disiapkan khusus dari ibu buatku. Baru sebentar saja kemudian aku mendengar suara gaduh diluar sana. Sebelumnya aku hanya cuek tidak peduli namun setelah melihat beberapa orang berlarian aku cukup panik juga.
Kalau dijalan raya kemungkinan nesar kecelakaan, namun ini diarah rumah Lala. Hatiku semakim cemas dibuatnya dan ikut berlari kearah sana

"Ada apa ini?" Tanyaku panik saat beberapa orang masih berada diluar rumah Lala dan beberapa lagi di teras depan dan ada juga yang masuk kerumahnya

"Mbak yang punya rumah tadi kepleset mas, karna sedang hamil besar kami pun berlarian" aku terkejut dan takut apa yang terjadi dengannya

"Terus sekarang bagaimana?" Aku ingin berlari masuk kedalam rumahnya namun kakiku masih terasa lemas susah digerakkan

"Sedikit pendarahan tadi kayaknya mas"

Ya Tuhan.. Lala!

Ini sudah tidak bisa ditoleran lagi. Aku sudah tidak bisa hanya menahan diri sampai disini. Aku harus memastikan keadannya bagaimana.

"Lala! La..?!" Aku menghampiri dia yang tergeletak lemas namun masih bisa mengenaliku ditengah kerumunan orang

Dia tersenyum

Dia tersenyum padaku. Senyuman manis yang dulu hanya untukku. Hatiku luluh melihat senyumnya itu. Aku tahu dia tulus tersenyum padaku danvaku bahagia. Meski entah kenapa dia tersenyum begitu bodoh amat, yang penting aku bahagia. Meski dia tanpa sadar melakukannya pun aku tidak peduli

Yang penting aku bahagia saat ini. Lainnya aku tidak peduli

"Kita kerumah sakit ya. Kamu berdarah gini"

"Enggak usah. Aku tunggu suamiku aja"

"Aku antar tidak apa. Nanti biar suami kamu langsung kerumah sakit" jujur aku sangat mengkhawatirkan kondisinya saat ini, juga tidak tega melihat dia meringis kesakitan

"Mas Basri sudah perjalanan, makasih" rasanya aku ingin menyeretnya pergi kerumah sakit. Sebegitu gengsinya kah hingga tidak mauvaku menolongnya?

Atau sebegitu seramkah aku hingga dia takut aku akan melakukan hal yang menyakitkan buat dia.. lagi!!

"Mbak Lala sebaiknya ikut mas Adi. Darahnya semakin banyak mbak, nanti mas Basri biar gak terburu-buru juga. Kalau mbak Lala takut biar saya temenin" ucap mbak Ria, salah satu tetangga kami yang duduk mendampingi Lala.

Dia hanya melirik kearahku seolah mempertanyakan pendapatku. Aku hanya mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Dia tersenyum dan mengangguk juga ke mbak Ria. Lagi-lagi aku juga tersenyum

Benerapa orang wanita membantu membopong tubuh jangkungnya untuk masuk kedalam mobil yang sudah kusiapkan didepan rumahnya. Ditemani mbak Ria dan satu orang lagi entah siapa namanya aku tidak begitu mengenalnya meski tetanggaku juga

--

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top