XXII. Entahlah

#Lala pov

Aku berjalan dengan air mata yang beruraian. Beribu penyesalan karna keputusanku yang setuju dengan Adi mengantarkan aku pulang kerumah. Harusnya aku memilih menunggu supir kantor hingga datang saja daripada aku harus menelan kenyataan pahit ini. Aku merasa tidak tenang setelah ungkapannya tadi

Adi terus mengejarku dengan alasan minta maaf atau berteman lagi. Namun aku tidak bisa. Aku takut jika orang lain mendengarnya mereka akan berfikiran aku datang kembali dan menggodanya. Susah payah aku bersikap biasa saja layaknya orang normal pada umumnya dengannya namun Adi sendiri yang belum menerimaku seperti orang lain. Entah seperti apa jalan pikirnya. 

Aku tahu permintaannya tidak banyak hanya maaf dariku atas kesalahan yang dia lakukan dulu, atas hubungan kita yang tidak ada akhir bahagianya. Dan hatiku masih saja sulit untuk menerimanya kembali, Aku belum siap jika Adi datang dan menyapaku. Aku lebih nyaman jika kita seperti orang  yang tidak pernah mengenal sebelum nya. 

Apa permintaanku begitu sulit, Pakde?

Aku memasuki rumahku dengan gontai. Kondisi tubuh yang kurang fit beserta kepalaku yang rasanya seperti mau meledak. Andai saja Basri dirumah, dia pasti sudah bersiap membopongku masuk kedalam kamar dan beristirahat disana. Namun sayangnya berbaring disofa depan televisi lebih menguntungkan buatku karna jarak ke kamarku yang cukup jauh. Mungkin nanti jika sudah kuat aku akan pindah ketempat yang lebih pantas

Tok..tok...tokk

Suara ketukan pintu utama rumahku cukup mengangguku. Entah siapa yang datang kerumahku siang bolong begini. Tetangga sekitar sini tahu kalau aku dan suamiku sedang kerja jadi rasanya tidak mungkin salah satu atau beberapa dari mereka bertamu kemari. Atau ada yang tahu kalau aku sedang dirumah? Tapi siapa dan mau apa?

"Iya..." suara lirihku tiba-tiba terhenti. meski kepalaku pusing namun penglihatanku masih cukup jelas

"Nak, apa kamu sakit? kata Adi tadi kamu pingsan dikantor" Ibunya Adi selalu membuatku susah berpaling darinya

"Iya buk gak tahu kenapa. Mari masuk dulu buk" aku membuka pintu rumahku sedikit lebih lebar dari sebelumnya, mempersilahkan orang yang sudah baik hati menjengukku karna khawatir akan keadaanku

"Ibu masih repot La, ibu cuma mau mengantar makanan ini aja biar kamu baikan" beliau memberiku satu mangkuk bubur dan satu gelas teh hangat yang mungkin baru saja dibuanya

"Aduh buk gak usah repot-repot. Ini kan ceritanya Lala jadi nyusahin ibuk" aku merasa tidak enak dengan perlakuannya yang menurutku 'cukup berlebihan'

"Tidak kok, kan ibu sudah janji sama suamimu untuk menjagamu sementara"

"Makasih ya buk, Lala gak tahu harus bilang apa. Maaf merepotkan"

Beliau tersenyum simpul "Sudah ya, ibu balik dulu banyak kerjaan soalnya. Kamu kalau ada apa-apa atau perlu sesuatu datang ke ibu saja"

"Iya bu" Aku memandang punggung wanita paruh baya itu berlalu dan menutup pintu rumahku. Aku sedikit tersentuh, andai saja wanita itu ibu mertuaku. Ibu mertuaku yang sekarang juga baik dan sudah seperti ibu kandungku sendiri, namun entah kenapa aku selalu tersentuh dengan ibunya Adi

Drrtt.... Drtt....

Ponselku berdering dan membuatku segera berjalan menuju kearahnya yang tergeletak diatas meja. Aku tersenyum melihat nama yang tertera disana. Aku merindukannya!

"Assalamualaikum, mas"

"Sayang? kamu tidak apa-apa?" pekiknya yang tidak sabar

"Nggak, emang kenapa?"

"Aku tadi telpon kekantormu karna ponselku ketinggalan dihotel. Resepsionisnya bilang kamu pingsan lalu pulang. Kamu kenapa, yang?"

"Sudah tidak apa kok, mas. Aku cuma lupa sarapan dan sepertinya anakmu ini mau ngajak ibunya  malas-malasan, makanya aku pulang"

"Aduh yang, kamu itu masih saja bandel. Sarapan aja apa susahnya sih? Yasudah, besok aku akan pulang kerjaanku akan kuselesaikan lebih cepat"

Aku hanya terkekeh mendengar Basri yang cerewetnya seolah-olah dia yang hamil lalu mengakhiri percakapan singkat kami.

Memang sejak aku hamil Basri selalu mengkhawatirkan keadaanku yang menurutku itu berlebihan. Trimester kehamilan pertama justru Basri lah yang mengidam dan lebih sering mual-mual.

Dan pernah suatu hari aku kesal dengan keinginannya itu, dia memintaku memakai baju dia yang jelas-jelas seperti daster jika aku pakai. Terpaksa aku tidur dengan memakai kemeja panjangnya yang berwarna soft blue sesuai permintaannya. Untung saja cuma kemeja, coba saja kalau dia meyuruhku memakai cukur jambalnya, dipastikan dia akan aku telan mentah-mentah

--

Hari ini aku memang mendapat ijin untuk tidak masuk kerja, ya meski cuma satu hari tapi lumayan aku bisa bermalas-malasan dirumah. Bawaan bayi yang cuma ingin ibunya tidur-bangun-makan-tidak melakukan apa-apa. Satu hal yang masih aku syukuri, nafsu makanku tidak berubah, justru bertambah.

Biasanya ibu hamil akan susah sekali menelan makanan, berbeda denganku, semua makanan terlihat menggiurkan. Bahkan yang sebelumnya tidak aku sukai sekalipun

Dan satu hal lagi yang membuatku senang, hari ini Basri akan pulang. Lebih cepat dari perkiraan bukan?

Tok..Tok..

"Assalamualaikum, Yang?"

Orang yang dibicarakan sudah muncul rupanya. Dengan semangat 45 aku berjalan menuju pintu depan untuk menyambut kedatangannya

"Waalaikumsalam mas" aku langsung menabrakkan tubuhku kedalam pelukannya. Pelukan yang sangat aku rindukan. Pelukan yang bisa kutemukan kenyamanan disana

"Aku mencemaskan kalian" ucapnya lirih lalu mengecup keningku lama

"Maaf membuatmu khawatir" 

"Aku kangen kamu Yang"

Aku merasa bersalah selalu merepotkan dia, entah dari tenaga atau fikirannya. Sifatku yang cuek terkadang jengal dengan apa yang disampaikan Basri. Mungkin aku yang salah karna sekarang aku sudah tidak berhak mengatur hidupku sesuai keinginanku sendiri, ada suami dan calon anakku yang juga berhak atas tubuhku.

Lelaki ini masih memelukku erat tanpa berbicara apapun. Hanya duduk didepan televisi dan sesekali mengomeliku. Jangan ditanya bagaimana aku, sudah pasti aku hanya diam dan tersenyum bahagia dengan perlakuannya

"Dengerin, jangan nyengir kalau dibilangin!" bantahnya yang sadar akan ekspresiku

"Iya iya, galak amat! Orang kangen juga diomelin! "

"Ya kamu susah kalau dibilangin. Aku tidak mau terjadi apa-apa sama kalian, Yang! kamu tidak tahu gimana aku saat dengar kamu pingsan"

"Ehem!!"

Suara deheman dari luar sontak membuat kami berdua kaget. Dan aku lupa menutup pintu, astaga Lala!!

Aku melihat Adi dan ibunya sudah berdiri diambang pintu. SI ibu dengan senyum ramahnya sementara makhluk disampingnya dengan tatapan mata elangnya

"Sepertinya kami menganggu"

"Ah, silahkan masuk Bu" Basri berdiri dan mempersilahkan mereka berdua

Ibu itu dengan senyum ramah menanyaiku bagaimana kondisiku dan bayi yang ada dalam perut. Dengan penuh perhatian beliau menasehati aku harus bagaimana dan tidak boleh melakukan apa-apa yang memang dilarang. Ibu ini juga membawakan aku bubur dan menyerahkan aku kembali kepada yang berhak

Aku rasa sedang ada serah terima disini!
Mereka pikir aku barang yang harus dititipkan?!

"Maaf nak Basri, ibu belum bisa jaga istri dan anakmu dengan baik. Ibu masih kecolongan kemarin"

Perbincangan pun terjadi antara kami. Baik aku, Basri dan Ibu sudah larut dalam perbincangan kami yang  terasa kekeluargaan sekali. Namun Adi, matanya selalu tajam menelisik tiap sudut mataku. 

Tidak lama kemudian si ibu pamit. Saat kami ingin mengantarkan keluar tiba-tiba Adi merangkul pundak Basri dan mengambil alih Basri dari sampingku. Entah apa yang mereka bicarakan, aku rasa topiknya tidak jauh dari aku. Aku sempat melirik mereka yang berbisik-bisik namun aku tidak bisa mendengar apa itu. Karna ibunya Adi terus mengajak aku berbicara hingga pintu depan rumah. Hati dan pikiranku sudah tidak tenang apa yang dikatakan Adi kepada Basri, aku takut itu akan merubah Basri padaku meski itu tidak mungkin terjadi

Ah!! Kenapa aku selalu berfikir negative tentang Adi

"Ngomong apa si Adi, mas?" saat ini kami sudah duduk berdua menyaksikan acara televisi yang sempat kami hentikan tadi.

"Ngomong apaan?" Basri menatapku tajam seperti mencari kejujuran dalam mataku

"Tadi Adi kek nya ngomong sesuatu gitu sama kamu?"

"Oooh itu. Urusan laki-laki, yang. Kamu mau tahu aja ih" Jawabnya dengan seringai usil diwajahnya sambil memelukku erat. Aku merasakan pelukannya kali ini kasar dan posesif. Bukan pelukan lembut seorang Basri yang penyayang seperti biasanya

Aku hanya diam mencoba percaya. Aku akan mengikuti permainan Adi. Awas saja kalau dia berani merusak ketentramanku sama Basri. Akan aku buat perhitungan dengannya. Akan aku cabik-cabik dia seperti harimau mencabik mangsanya. Dia belum tahu bagaimana jika harimau betina hamil sedang mengamuk.

Sabarlah duhai Adi. Sebentar lagi kamu akan menyasikannya jika kamu mau!

"Yang"

"Hmm.." Aku melihat Basri yang masih menatap lurus kearah televisi, dan kepalaku yang berada didada bidangnya mau tidak mau harus mendongak untuk melihat apa yang akan dia ucapkan.

"Apa kamu percaya sama aku?"

"Maksudnya? Kenapa kamu ngomongnya gitu?" dia masih mengelus punggungku dengan lembut dan memberikan kenyamanan disana

"Kamu percaya kan kalau aku tidak pernah main-main. Ya meskipun aku tidak selalu ada disampingmu saat kamu butuh, tapi aku benar-benar sayang sama kamu. Aku tidak mau kehilangan kamu, yang. Aku akan berusaha menjaga apa yang telah jadi milikku dan tidak akan aku biarkan orang lain mengambil atau bahkan menyentuhnya walau sedikit saja."

"Mas?"

"Aku bisa gila jika sampai kehilangan kamu, yang. Aku bisa gila" Mata tajamnya yang biasanya memancarkan kasih sayang kini berubah menjadi mata yang sayu, bisa kurasakan Basri terlihat ketakutan akan sesuatu. Tapi apa itu? entahlah..

"Mas, kita sudah sejauh ini dan kamu masih menanyakan itu? apa kamu tidak lihat aku sudah  menyerahkan hidupku padamu?  Sepertinya kamu yang tidak percaya sama aku mas. Aku memilihmu mas, memilih seorang yang bahkan belum aku ketahui semuanya tapi aku sudah percaya. Aku dengan ikhlas menyerahkan semuanya padamu karna aku percaya"

Mataku sudah berkaca-kaca. Ada sedikit perasaaan sakit dengan pertanyaan Basri. Bahkan sampai aku mengandung anaknya ternyata dia masih meragukanku.

"Apa Adi mengatakan sesuatu padamu?" lanjutku dengan cairan bening yang sudah  mengalir dari sudut mataku.

"Jangan sebut nama itu, yang. Aku sedang tidak ingin membahas siapapun. Aku hanya ingin membicarakan kita berdua"

"Lalu kenapa kamu menanyakan hal itu? seolah kamu meragukan aku mas" aku terisak kembali. Dan Basri menarik kepalaku semakin dalam kedadanya.

"Maafkan aku, yang. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa kamu segalanya bagiku. Aku harap kamu jangan pernah meragukanku. Aku akan berusaha menjadi suami yang baik buatmu. Menjadi ayah yang baik buat anak-anak kita. Maafkan aku, yang. Maafkan aku" suaranya serak tanda diapun sedang menahan airmatanya

Aku  semakin mengeratkan pelukanku ditubuhnya. Aku juga tidak mau kehilangan dia. Walau ditukar dengan dunia dan seisinya aku tidak mau. Yang kuinginkan hanya dia, suamiku, ayah dari bayi didalam perutku. Basri Fatahillah





*******

#Adi pov

Entah apa aku sedang gila atau sengaja mengibarkan bendera perang dengan Basri. Dengan sadar dan bodohnya aku mengatakan hal itu pada seorang lelaki yang sudah jelas mencintai wanitanya dengan sangat. Aku seperti tidak peduli jika seluruh dunia melawanku, namun aku tidak pernah ragu dengan apa yang aku katakan dan aku lakukan. Aku memang bersungguh-sungguh akan merebut Lala jika suaminya tidak mampu menjaganya dengan baik. Aku akan mengambil alih wanita itu

Hah! aku terlalu percaya diri sekali!

Apa aku tidak memikirkan apakah wanita tersebut bersedia? Melihat aku saja terkadang dia muak

"Mas. Kamu gak makan?" Maria tiba-tiba datang dan duduk disampingku. Malam yang dingin dan aku hanya duduk seorang diri didepan televisi diruang keluarga rumahku. Aku senang sekali saat Maria datang dan menghampiriku. Beginilah yang aku inginkan dari seorang istri, dia selalu paham dan mengerti akan kondisiku. Dan rasanya baru kali ini Maria paham akan maksudku tanpa kami berdebat hebat terlebih dahulu.

"Iya"

"Mas, aku mau ngomong"

"Tentang apa?"

"Gimana kalau kita terapi. Ya bukan kita sih, maksudnya aku yang terapi" ucap Maria saat kami berdua sudah duduk didepan meja makan mungil dirumah kami

"Terapi apaan?"

"Aku ingin punya anak, mas" aku merasa sedih melihat dia yang tadinya ceria dan tiba-tiba terdiam lesu

"Ya tidak apa. Apa salahnya kita coba. Namanya juga usaha" Jawabku untuk membahagiakan dia. memang benar apa salahnya jika mencoba

"Yang bener, mas?!"

Aku mengangguk melihat dia yang begitu bahagia hanya dengan jawaban iya dariku

Begitu antusias dia menceritakan berbagai macam tempat terapi yang rupanya dia sudah mencari tahu terlebih dulu. Beberapa informasi dia dapat dari temannya yang sudah pernah mencoba dan berhasil. Bahkan ada yang sengaja datang dari jauh hanya untuk ketempat itu.

Aku sempat berfikir, memang anak adalah tujuan seseorang menikah. Tujuan pulang seseorang ketika mereka tua. Begitu juga aku, entah nanti aku atau istriku yang pergi terlebih dahulu, tentunya kami ingin ada anak yang menemani kami dimasa-masa seperti itu.

Usia pernikahan kami sudah 3 tahun. Namun belum ada tanda-tanda dari Maria menunjukkan kehamilan. Ya mungkin rejeki itu belum datang menghampiri kami. Aku berusaha ikhlas meski dalam hati ingin berontak.

Aku tahu aku salah tapi aku juga menginginkan seorang anak. Banyak pasangan yang baru menikah dengan mudahnya diberi keturunan. Bahkan tidak sedikit pasangan yang pernikahannya dikarenakan mereka sudah mendapatkan anak terlebih dahulu.

Aku sangat iri dengan mereka. Rasanya Tuhan dengan mudahnya mempercayai mereka untuk dititipi makhluk kecil bernama anak. Lantas aku kurang pantas menerima itu?

Apa hanya pasangan yang saling menyayangi dengan tulus baru mendapat keturunan?

Aku teringat dengan Lala dan suaminya. Pernikahan mereka belumlah lama dan sekarang didalam perut Lala telah tumbuh seorang malaikat kecil buah cinta mereka. Ada perasaan sakit hati mengingat itu. Sakit hati karna cemburu dan iri yang tidak aku pungkiri

--

Sudah beberapa hari semejak kejadian Lala pingsan waktu itu. Aku sama sekali belum pernah melihat dia datang ketempatku ataupun muncul didepan rumahnya seperti biasanya. Hanya saat pagi hari sepintas aku melihat Basri yang berkeliaran didepan rumahnya. Entah kemana Lala bersembunyi? Lantas untuk apa dia bersembunyi?

Setiap Tari datang ketempatku aku selalu menanyakan keberadaan Lala. Tari mengatakan dia tetap masuk kerja seperti biasanya meski awalnya Tari memarahiku habis-habisan entah karna apa. Sepertinya Tari membenciku sekali kalau aku menanyakan apa-apa tentang Lala.

Dia tidak tahu betapa aku sangat menyayangi temannya itu. Bagaimana efek yang ditimbulkan oleh sahabatnya itu padaku! dia tidak pernah tahu!!

Mungkin jika aku tidak salah hitung ini sudah hampir satu bulan Lala menghilang didepanku. Aku memutuskan mencari sendiri hal yang membuatku penasaran. Kita hanya terpisah jalan raya setiap harinya, tapi apa mungkin dia bisa bersembunyi dariku. Aku berfikir mungkin dia punya ilmu menghilangkan diri

Aku memakai motor saudaraku yang membantu  dirumah makan ibu. Memakai baju yang baru saja aku beli dan sedikit merubah penampilanku yang biasanya memakai celana pendek kini aku memakai jelana jeans panjang. Sungguh bukan gayaku. Aku harap Lala tidak bisa melihat bahwa itu aku. Dengan helm balap aku duduk diatas motor disamping gerbang kantornya, yang tidak lain disebrang rumahku sendiri.

Bagaikan pencopet yang mengintai mangsanya, aku melirik kesana kemari saat orang-orang keluar dari kantor tersebut. Aku menunggu dan terus menunggu. Satu persatu pegawai disana sudah pulang, jam juga menunjukkan sudah lewat 30 menit dari jam pulangnya. Namun ujung batang dan penampakan orang yang aku cari belum ketemu. Aku harus sabar menunggu karna aku tahu hari ini dia datang kekantor sesuai info dari Tari tadi siang.

Adzan maghrib sebentar lagi berkumandang. Mataku mulai gelap dan bosan. Aku tidak pernah sesabar ini menunggu sesuatu dan Lala pun tahu itu. Jika saja dia tahu aku seperti sekarang ini mungkin dia memberiku hadiah atas kesabaranku itu. Aku melihat ada mobil yang mulai mendekat kearahku dari arah depan. Sempat aku berfikir mungkin itu beberapa orang yang tadi keluar dan kini kembali lagi karna ada barang miliknya yang tertinggal. Aku menunduk kembali memainkan handphone ditanganku, tiba-tiba klakson mobil tersebut berbunyi sontak membuat aku menoleh kearahnya. Melihatnya berlalu dan aku tahu bahwa dia bukan bermaksud menyapaku. Aku melihatnya dari kaca spion motor mobil itu mendekat ke pintu gerbang kantor Lala. Dan masuklah wanita hamil memakai rok terusan hitam dan dipadukan dengan blazer warna hijau tosca-nya. Wanita itu masuk ke mobil dengan pelan dan senyumnya yang merekah. Wanita itu yang membuatku hampir gila tak berkesudahan, hingga hari ini aku seperti tidak percaya bahwa aku telah melakukan semua ini demi wanita hamil itu, Lala

Aku terus memandanginya hingga mobil mereka berputar dan berlalu kemudian hilang diantara gelap dan keramaian jalan raya. Basri sigap sekali menyembunyikan istrinya dariku. Mungkin dia takut dengan apa yang aku sampaikan padanya waktu itu. Baguslah, artinya dia memang sungguh-sungguh menjaga istrinya

Akupun membuntuti kemana mobil itu menuju. Aku harus pintar-pintar menjaga jarak agar tidak ketahuan. Terus mengikuti hingga mobil tersebut berhenti. Ternyata mereka masih menempati rumah yang sama, tapi kenapa untuk melihatnya saja begitu susah. Terkadang aku datang ketempat ibu lebih pagi dari biasanya namun tidak melihatnya keluar rumah juga.

Akupun memutuskan kembali kerumahku sendiri sebelum orang disekitar melihat dan menemukan aku yang seperti orang bodoh. Berdiam diri diatas motor ditepi jalan didepan tempat tinggal ibuku.

Sepanjang jalan pikiranku dipenuhi dengan berbagai pendapatku sendiri. Aku masih bertanya-tanya kenapa mereka seolah bersembunyi dariku. Bahkan ibuku juga merasakan hal yang sama, ibu yang biasanya bisa melihat Lala dipagi hari atau pada hari libur selalu berkeliaran disekitar rumahnya. Belum lagi suaminya, Basri sering datang ketempat ibu sekedar membeli sesuatu atau menanyakan hal lain. Namun dalam kurun waktu yang sama sepertiku, ibu merasa tidak melihat mereka akhir-akhir ini. Sempat ibu ingin mendatangi dan menanyakan ada masalah atau apa namun aku menghentikan niat ibu tersebut. 

Aku merasa ada yang Basri dan Lala hindari atau jauhi dariku. Apapun itu yang berbau tentangku

Aku tersenyum sinis pada diriku sendiri. Aku merutuki diriku sendiri. Atas apa yang aku katakan pada Basri saat itu

"Bas, aku minta kamu jaga Lala dengan baik. Jika sekali saja kamu melalaikan atau bahkan menelantarkan dia. Aku akan merebutnya kembali!"

"Tanpa kamu minta Di. Dan tidak akan aku biarkan siapapun mengambilnya dari tanganku bahkan lalat sekalipun!!"



--

Saat ini aku sedang mengantarkan Maria kesebuah tempat pengobatan tradisional. Tempatnya ramah seperti rumah sendiri, sama sekali tidak menimbulkan kesan tempat berobat atau tempat datangnya orang yang sakit. Halaman yang luas dengan beberapa pohon rindangnya membuat siapa saja yang duduk diteras seperti ini bisa mengantuk seketika. Aku memang tidak ikut Maria untuk masuk kedalam, entah kenapa dalam hatiku sama sekali tidak berkeinginan untuk menemaninya atau apa. Aku hanya pasrah dengan apapun keputusan yang akan terjadi dan menunggunya diluar seperti sekarang.

Aku duduk dihalaman dengan beberapa lelaki yang mungkin juga sedang mengantarkan istri atau keluarga mereka yang lain. Namun kebanyakan mereka datang karna ingin sembuh dari sakit yang diderita, berbeda denganku yang berobat namun tidak sakit.

Apa benar Maria tidak sedang sakit?

Entah perasaan jahat mana yang menghampiriku. Kenapa aku berfikiran kalau Maria ada masalah dengan dirinya lebih tepatnya kandungannya. Sudah tiga tahun kami menikah namun belum ada si jabang bayi menemani kami.
Pikiranku melayang terlalu jauh. Aku memikirkan banyak hal yang belum tentu terjadi dan aku mulai mengkhawatirkannya.

"Mas" Aku menengok ke arah sumber suara dan Maria sudah berdiri disana

"Gimana hasilnya?" Tanyaku tidak sabar

Tidak ada satupun jawaban yang aku dapat darinya. Dia hanya tersenyum dan tetap berdiri dengan posisinya

"Pulang yuk, Mas" suara lembutnya seakan tak terdengar olehku ditempat yang tidak ramai ini

Sepanjang perjalanan aku melihat Maria hanya terdiam tanpa ingin membahas apapun. Maria jenis orang yang tidak terlalu banyak bicara jika ada sesuatu hal. Berbeda dengan Lala.

"Kamu kenapa? Ada masalah?" Aku seperti sudah tidak tahan dengan situasi dia yang diam dan entah bagaimana lagi aku menggambarkan kondisinya saat ini

"Apa? Oh, tidak kok mas. Makan yuk mas aku lapar" senyum sekilas yang terlihat tulus namun aku tahu bahwa itu palsu

"Kamu jangan pernah menyembunyikan  sesuatu dariku. Aku tidak suka main rahasia-rahasiaan. Kamu tentunya juga sudah tahu itu"

"Oo masalah terapi tadi. Iya nanti aku ceritain, sekarang kita makan dulu. Aku sudah lapar" aku rasa istriku ini pandai sekali berakting. Dengan gampang dia merubah raut wajahnya dalam hitungan detik. Aku semakin yakin ada hal yang disembunyikannya, dan aku semakin takut akan hal itu

Saat kami memasuki sebuah kawasan tempat makan ditengah kota, beberapa manusia sudah datang mendahului kami. Memang ini sudah bukan jam makan siang namun masih banyak orang yang ingin makan saat hari sudah menjelang petang

Maria memilih sebuah tempat makan dengan nuansa alam terbuka. Bangunan di lantai atas dengan pemandangan seluruh kota yang bisa terlihat dengan mudah. Tempat ini adalah tempat pertama kali kita kencan. Lebih tepatnya saat aku memutuskan menerima perjodohan dengannya waktu itu. Ada perasaan sakit saat mengingat tempat ini karna mengingatkanku akan peristiwa tiga tahun lalu. Tahun dimana aku berjanji akan mencintai istriku meski hingga saat ini belum kulakukan sepenuhnya

"Mas, ngelamunin apa? Kamu ingat tempat ini kan?" Tanyanya yang membuyarkan lamunanku

"Tempat pertama kali kita makan malam berdua"

Dia tersenyum. Dan aku merindukan senyumannya akhir-akhir ini

"Mas, kita harus lebih sabar lagi menanti si buah hati. Allah masih belum percaya padaku untuk diberi titipan Nya itu"

"Sabarlah, jika nanti sudah waktunya juga datang. Jangankan satu, sepuluh juga aku terima jika memang rejekinya" aku mencoba menghiburnya saat aku tahu ada semburat kecewa dihatinya

"Aku minta maaf sama kamu. Aku bukan istri yang subur seperti wanita lain. Seandainya saat itu kamu tidak mau dijodohkan denganku, mungkin saat ini kamu sudah bahagia dengan keluarga kecilmu, mas" suaranya bergetar menahan air mata yang akan jatuh dari mata bulatnya

"Maksudnya? Apa kamu menyesal menikah denganku?"

"Aku bahagia memilikimu mas, sangat bahagia. Meski aku tahu sayangku padamu lebih besar dari sayangmu ke aku. Aku tahu masih ada wanita lain dihatimu dan aku dengan ikhlas menerima semua itu. Karna aku tahu, aku datang disaat yang tidak tepat. Aku datang menghancurkan hubungan kalian, terutama wanita itu. Aku menyakitinya dengan hebat. Aku menghancurkannya hingga tak tersisa. Aku membuat seorang yang begitu tulus dan kuat menjadi rapuh seperti bukan dirinya" aku terus melihat dia yang terisak

"Dan mungkin sekarang ini balasan yang pantas buatku. Mungkin dia rela tapi Allah yang tidak rela" air matanya semakin deras mengalir ke pipi chubby-nya

Aku belum bisa berkata apa-apa. Aku hanya terdiam membenarkan perkataan Maria. Aku juga telah menyakiti wanita itu, wanita yang dimaksud Maria. Wanita yang tidak tahu apa-apa seolah aku buang begitu saja.

Ya Tuhan.. apa masih pantas dia memaafkanku?

Aku sudah berpindah kursi disampingnya dan memeluk tubuhnya yang mulai gemetar. Ada rasa bersalah yang begitu dalam disana

"Yang namanya mati, jodoh, rejeki sudah ada yang atur. Kita bisa berfikir akan menikahi siapa namun Tuhan-lah yang menentukan kita akan menikah dengan siapa. Seperti juga mati, kita tidak bisa memilih kapan, dimana dan bagaimana kita mati. Jika Tuhan sudah berkehendak maka tidak ada satupun yang bisa menghalangi" aku merasakan dia sudah sedikit lebih tenang

"Dan maafkan aku, jika kamu merasa tertekan seperti itu karna sikapku. Aku belum bisa menjadi suami yang baik untukmu. Aku berjanji aku akan berusaha lebih baik lagi. Aku minta maaf" kedua tangannya semakin erat memeluk tubuhku.

"Aku berjanji akan menjadi lebih baik buatmu" lanjutku

"Meski seandainya aku tidak bisa hamil" suaranya tiba-tiba lirih di dadaku

Deg..

Jantungku seperti berhenti berdetak. Jika aku terlambat diberi momongan aku akan terima. Namun aku harus bagaimana jika sama sekali tidak diberi keturunan seumur hidupku

"Apa dokter tadi mengatakan hal seperti itu?" Aku berusaha untuk tetap tenang

"Dokter mengatakan kemungkinanku untuk hamil sangat kecil. Kandunganku tidak subur dan ada peyakit yang cukup serius. Aku harus rajin berobat dan terapi jika ingin hamil namun kemungkinannya kecil"

"Kita berusaha dan berdoa ya. Aku yakin kamu akan hamil nanti" aku sendiri tidak yakin dengan perkataanku. Namun aku harus meyakinkan Maria. Aku harus membesarkan hatinya dan mendukungnya

"Terima kasih, mas" tangisnya semakin pecah didalam pelukanku

Aku sudah tidak peduli dengan yang orang lain pikirkan saat ini. Ketika semua orang datang kesini dengan bahagia dan canda tawa mereka, aku dan istriku justru terlihat memprihatinkan

Hari sudah semakin gelap. Matahari meninggalkan jejak dengan cahaya senjanya yang sudah berubah warna. Lampu-lampu kota sudah mulai terlihat indah dari atas sini. Pemandangan yang indah saat hati kami sedang terluka.

Dari senja ini aku akan belajar lagi mencintai. Mencintai hal yang sudah mencintaiku. Mensyukuri sesuatu yang telah memilihku.

Dan malam ini akan terasa panjang

--

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top