XVII. Inikah Akhirnya?

#Lala pov

Mentari pagi sedang bersinar cerah membiaskan cahayanya keseluruh pelosok nusantara. Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, memberikan semua apa yang umatNya butuhkan. Tidak pernah terfikirkan andai saja Allah memberi apa yang kita mau tanpa peduli kita butuh apa tidak. Allah adalah penulis skenario yang sempurna untuk semua makhluk ciptaanNya, bahwa apa saja yang terjadi tiap detiknya dimuka bumi ini sudah diatur olehNya sedemikian rupa.

Diri ini masih terus belajar dan belajar untuk sebuah kata pasrah, sabar, ikhlas dan ilmu dasar manusia yang lainnya. Tidak munafik jika sekali dua kali pernah merasa lelah bahkan terkadang ingin menyerah saja. Namun beberapa orang selalu mengingatkan bahwa kemenangan sudah didepan mata, akan sangat rugi jika berhenti begitu saja

Aku sedang diam didalam kamar, berulang kali kutatap diri dalam cermin. Terusan warna merah jambu dengan kerudung motif bunga yang simple gak banyak gaya. Bukan baju atau kerudungku yang aku khawatirkan, tapi apa aku sudah pantas dan siap untuk pergi sekarang ini dan seperti ini.
Ya, Basri mengajak aku untuk bertemu kedua orang tuanya dirumahnya. Bukan hal yang pertama bagiku bertemu orang tua dari lelaki yang dekat denganku mengingat sebelumnya Wildan dan Adi sudah pernah melakukan hal yang sama.
Namun kali ini rasanya berbeda. Basri akan menyampaikan kepada kedua orang tuanya bahkan keluarganya didepanku bahwa dia ingin menjadikan aku sebagai wanita pilihannya.
Membayangkan saja rasanya keringat dinginku bercucuran lomba untuk keluar,

Ah, aku sangat gugup

Tidak lama kemudian Basri datang kerumahku. Aku membuka pintu untuk lelaki yang kutunggu-tunggu itu. Celana hitam dan kemeja bergaris kecil yang dilipat lengannya hingga siku dengan warna biru muda agak-agak merah salem yang sekilas agak mirip dengan warna gamisku hari ini, tidak ada kesepakatan dari kami untuk memakai baju yang senada hanya kebetulan saja. Entah apa yang berubah dengannya dia terlihat berbeda hari ini. Secara fisik Basri memang jauh lebih bagus dibandingkan Adi. Dia tinggi dan berkulit bersih, dengan wajahnya yang agak-agak arab ditambah hidungnya yang mancung membuatku kadang tidak percaya bahwa dia menginginkanku.

Basri duduk berhadapan denganku dengan ibu disebelah kananku. Aku terkagum padanya yang begitu sopan berbicara pada ibuku. Dia menyampaikan bahwa dia serius padaku lalu ingin meminjamku sebentar untuk hari ini. Dan ibukupun dengan sangat mudah memperbolehkan itu seolah ibu ingin bilang kalau aku tidak usah dikembalikan saja.

Sepanjang perjalanan kami berdua membicarakan banyak hal. Baru kali ini aku dan Basri berboncengan dengan satu motor yang sama. Entah berapa jam perjalanan yang ditempuh hingga pada akhirnya kami masuk kesebuah komplek rumah yang besar dan ramai. Berbelok dan memutar menuju rumahnya yang entah dimana berada dan tidak lama kemudian dia berhenti didepan sebuah rumah

Ya Tuhan, rumah Basri sungguh sangat besar. Kakiku terasa kaku untuk masuk kedalamnya. Rumah yang dari luar sudah terlihat begitu besar meski tertutup dengan pohon-pohon dan tumbuhan yang rindang.
Aku masuk kedalamnya bersama Basri. Kami melewati sebuah garasi yang cukup luas, 2 mobil satu diantaranya merupakan mobil mewah, beberapa motor klasik yang sepertinya sengaja untuk dikolesi pun terpampang manis disana. Aku merasa takut, aku membayangkan orang tua Basri tidak merestui Basri memilihku. Hal yang selalu aku simpulkan mengenai orang kaya. Mereka pastinya menginginkan menantu yang 'sederajat' dengan mereka. Aku seperti punya trauma yang besar mengenai hal ini semenjak hubunganku dengan Adi yang disebabkan hal serupa. Sebenarnya sejak dulu aku enggan berhubungan dengan kaum borjuis.

Jika saja aku tahu keadaan Basri seperti ini mungkin aku akan berulang kali memikirkan untuk menerimanya, selama ini Basri selalu tampil sederhana didepanku. Tidak pernah sedikitpun menunjukkan kepunyaannya padaku. Bahkan dia anak keberapa dari berapa saudara saja seingatku dia belum pernah cerita. Yang aku tahu hanya dia bekerja disebuah perusahaan BUMN sebagai salah satu staff karyawan, itu saja.

"Gugup?"

"Hah? Apa? Eghh.. iya sedikit" aku kaget dengan pertanyaan Basri yang sepertinya bisa membaca sindrom yang kualami

Basri hanya tersenyum dan meremas jemari tanganku dengan kuat seolah ingin menenangkanku.

"Tunggu disini, aku panggilkan umik sama abah ya" lanjutnya meninggalkan aku seorang diri disebuah ruang tamu yang cukup luas

Mampus aku. Aku harus bagaimana??

Percaya atau tidak, jika saja tanganku disayat dengan pisau tidak akan keluar darah setetespun disana.
Aku hanya menundukkan kepala tanpa berani sedikitpun mengangkatnya

"Ini yang namanya Lala?"

Deg!!!

Ini pasti suara ibunya Basri

Aku mengangkat kepala lalu berdiri bermaksud menjabat tangan wanita yang akan menjadi ibu mertuaku ini.

Wanita yang sangat cantik mirip pakistan meski dengan tubuh berisinya. Disampingnya ada lelaki paruh baya yang sudah dipastikan adalah ayah Basri. Meski sudah menua karna usia lelaki ini masih telihat tampan, bisa dipastikan banyak wanita yang mengincarnya diwaktu mudanya dulu.
Lalu Basri mengikuti mereka dari Belakang

"Lala.." aku tersenyum lalu menjabat tangan mereka secara bergantian

Ibu Basri menyambutku dengan hangat lalu mencium kedua pipiku

"Jadi ini yang bikin anak abah tidak pernah tidur? Pantes aja" lelaki yang mirip Basri ini pun tak mau kalah menggodaku

Alhasil baik aku ataupun Basri merah merona wajahnya. Entah kenapa saat ini kami merasa malu saat berhadapan, tidak ada lagi canda tawa yang saling menggoda dan mengejek satu sama lain.

Orang tua Basri cukup ramah, mereka mengajak aku berbicara banyak hal dan menanyaiku seputar hal yang aku ketahui. Tidak terlalu banyak menanyakan tentang siapa keluargaku, bagaimana mereka atau keturunan dari mana asalnya. Cukup pertanyaan tentang seperlunya saja mengenai keluarga besarku.

Hal yang sangat berbeda dengan keluarga Adi. Memang saat bertemu mereka tidaklah menanyakannya secara langsung kepadaku namun dengan diam-diam dari orang sekitarku. Dan bisa dilihat dari sikap ayah Adi saat pertama kali bertemu denganku dengan pandangan seakan aku ini hendak menerkam atau menguliti anak kesayangannya.

"Assalamualaikum"

Suara seorang wanita dari luar yang tiba-tiba masuk kedalam ruangan dimana kami sedang berbicara santai saling mengenal.

What?? Bukankah itu wanita yang pernah diajak Basri ke baksos kapan hari

Ah kenapa harus bertemu disini. Bisa rusak ini mood bahagiaku

"Kak..." Wanita ini langsung berlari dan melingkarkan tangannya dileher Basri yang sedang duduk dari belakang. Seketika aku menunduk malu, betapa dia sangat tidak menghargaiku yang ada didepannya saat ini.

"Fatimah" tegur ibu Basri mengingatkan agar dia menjaga sikapnya. Entah kenapa wanita ini lebih sopan dan anggun saat kami bertemu diacara baksos dulu, sangat berbeda dengan dia yang sekarang

"Maaf umi..." jawabnya memelas

Apa??

Tolong ulangi sekali lagi? Dia memanggil ibu Basri dengan sebutan apa? Bahkan dia memanggil sebutan pada wanita paruh baya ini sama dengan Basri

Basri selalu bisa membaca apa yang ada dihati dan pikiranku hanya dengan melihat perubahan mimik mukaku. Lalu dia berdiri menggandeng tangan wanita itu mengarah kepadaku.

"La, Fatimah ini adik bungsuku. Kamu kenapa bengong seperti itu. Maaf waktu itu aku belum sempat bilang" guraunya yang bisa kulihat ada rona 'bahagia' diwajahnya karna bisa mengerjaiku

Apa? Jangan bilang kalau telingaku ini budeg.

Tolong kereta api atau mungkin tukang ojek online yang membawaku segera kabur dari sini. Aku malu kepada semua yang bernyawa diruang ini termasuk diriku sendiri. Rasanya cemburuku saat itu sia-sia. Aku tidak akan memaafkanmu wan abud !!

Seperti yang kubilang tadi, Basri memang tahu semua tentang aku, bahkan sikap yang mati-matian aku sembunyikan darinya bisa dilihat juga. Terkadang aku curiga bahwa dia ini keturunan paranormal. Dan Fatimah yang disebelahnya hanya tersenyum jahil lalu duduk disampingku dan memelukku

"Maafkan Fatimah yah kak, Fatimah hanya ikut idenya kak Basri waktu itu. Kak Basri ingin meyakinkan saja kalau kak Lala benar-benar sayang sama kak Basri. Maaf ya kak.."

Seluruh anggota keluarganya diruang tamu ini tertawa seolah ini adalah hal yang sangat lucu. Betapa malunya diriku yang berlebihan ini, mau dititipin dimana nih muka coba. Awas aja wan abud ini !!

Tapi selebihnya, ada rasa bahagia yang aku dapatkan disini. Orang tua Basri bisa menerimaku apa adanya dan semoga ini akan berlangsung selamanya.
Tanpa sengaja mataku dan mata Basri bertemu saat kita duduk berhadapan, dia tersenyum padaku. Wajah arabnya terlihat semakin tampan saja lalu akupun membalas seyumnya.

"Makasih sayang, nyonya Basri Fatahillah" ucapnya pelan dari jauh yang masih bisa kudengar meski samar

Ah, aku bahagia memiliki lelaki ini




*******

#Adi pov

Ini adalah hari kedua aku tidak pulang kerumah. Aku sengaja menghindari Maria, entah kenapa akhir-akhir ini selalu saja ada maslah yang menyulut pertengkaran diantara kami berdua. Aku sudah berusaha menjadi yang terbaik buat dia, menjadi suami pada umumnya meski hatiku belum sepenuhnya kuserahkan pada dia. Dan dia seperti menemukan hobi baru untuk mengajakku perang, Dan tidak pulang sementara waktu adalah pilihan yang tepat buat diri kami masing-masing

Sementara aku sudah menyelesaikan kesibukanku dirumah makan ini, tugas ku selanjutnya adalah pergi ketempat ibu seperti biasa.

"Assalamualaikum" sapaku saat kulihat tempat ini masih sepi belum ada pengunjung sama sekali

"Waalaikumsalam, kamu dari rumah?" sapa bapak yang duduk dibelakang meja kasir dengan secangkir kopi hitamnya

"Dari rumah makan"

"Kamu tidur disana atau gimana? kok subuh begini sudah disini?" ibu tiba-tiba datang dari dapur lalu duduk disebelahku

"Iya" jawabku malas karna aku tahu ini akan membuat bapak marah

"Kenapa lagi?" sahut bapak sudah tidak sabar

"Gak ada apa-apa. Sudahlah pak, gak usah dibahas. Aku lapar bu" Aku berdiri berniat meninggalkan obrolan ini yang sudah bisa ditebak ujung masalahnya

"Kapan kamu dewasanya?" aku bisa merasakan bahwa bapak marah kali ini

Sepatah katapun aku tidak menyahuti perkataan bapak. Aku mengikuti ibu dari belakang menuju dapur untuk mengisi perutku yang keroncongan sedari tadi, ini salah satu alasanku malas berdebat karna tidak ada tenaga untuk membela diri saat ini. Berbeda dengan bapak yang sepertinya siap sekali menerkamku dengan setiap kemarahannya.

Benar sekali tebakanku bukan? Bapak selalu marah setiap melihat aku bertengkar dengan Maria. Sedangkan jika kakakku bertengkar dengan istrinya bapak selalu tenang dan biasa saja, malah kadang bapak bilang ke kakak ku "Sudah ceraikan saja jika kamu tidak sanggup bersama lagi. Buat apa dipaksakan"

"Bapak selalu membela Maria, kenapa?"

"Bukan membela Maria, memang kamunya saja yang seperti anak kecil. Maria itu wanita baik-baik jadi tidak mungkin membuat kesalahan"

Hah!! dengusku kesal

Dari sudut mana bapak menyebut Maria tidak berbuat salah

"Asal bapak tahu pak, Adi sudah berusaha mengalah dan tidak pernah membicarakan masalah anak lagi dengan menantu kesayangan bapak itu. Tapi dia selalu saja menemukan cara untuk berdebat denganku"

Hanya kalimat itu yang aku sampaikan. namun jawaban dari bapak begitu panjang dan lebar membeberkan semua kebaikan Maria dan kejelekanku.

Bapak ini ketutup mata hatinya atau memang sengaja menutup hati?

Aku memutuskan pergi meski nasi dipiring yang diambilkan ibu tadi belum sempat masuk kemulutku sebutirpun. Aku hanya menghindari bertengkar dengan bapak. Bagaimanapun beliau orang tua, aku sangat takut sekali durhaka kepada keduanya

"Di, mau kemana?" sahut dari dalam dapur yang sedikit berlari saat mobilku sudah bergerak mendekati jalan raya, dan aku terus memacu gas agar semakin jauh. Aku hanya ingin menenangkan diri beberapa waktu dulu

Aku terus melaju tanpa tujuan. Dengan sejuta pikiran yang tidak tenang dan nyaman

Hingga entah angin apa yang membawaku kemari. Tanpa kusadari aku sudah berada ditepian pantai yang tidak jauh dari taman kota. Aku hanya duduk manis didalam mobilku tanpa ingin melakukan apapun. Angin pantai yang segar menggodaku untuk keluar. Baiklah, aku akan duduk dikursi panjang yang ada dibawah pohon dekat bibir pantai.

Aku lelah dengan semuanya..

Aku memandang laut lepas yang tenang dan damai. Beberapa orang bermain dengan bahagia di pantai yang bersih ini. Ya, pantai ini tetap terjaga meski letaknya ada ditengah kota. Anak-anak kecil juga bermain pasir dengan canda tawa tanpa beban dipundaknya, aku hanya tersenyum menyaksikan setiap dari mereka. Tiba-tiba aku ingin mengabadikan momen ini. Aku mengambil kamera yang selalu ada didalam mobilku

Aku terlalu asyik mengambil gambar anak-anak bahkan orang dewasa dengan berbagai ekspresi dipantai ini. Sepertinya aku sudah lupa dengan kejadian beberapa menit yang lalu. Aku sudah tidak mau terlalu memikirkannya

Aku melihat seorang wanita sedang duduk dikursi panjang seperti yang kulakukan sebelumnya. Namun bedanya dia terlihat santai dengan buku ditangannya. Wanita yang anggun dengan rok panjang dan jilbab sederhananya. Dia terlihat sangat serius hingga tak peduli lagi dengan sekitarnya. Bahkan dia tidak menyadari ketika aku mengambil beberapa gambarnya dengan wajah yang tidak nampak menimbulkan siluet yang indah dan elegan

Aku masih terus memburu gambarnya dari berbagai angel kamera. Namun sang objek tetap dengan posisinya. Menunduk fokus dengan buku yang sepertinya menarik ditangannya. Beberapa saat kemudian kepala wanita ini menengadah merasakan hembusan angin yang cukup sejuk

Aku terdiam sejenak. Jantungku berhenti berdetak saat aku melihat wajah manisnya. Wajah sederhana tanpa polesan make up layaknya wanita lain pada umunya. Wajah yang begitu ramah dan membuat tenang bagi siapa saja yang melihatnya.

Lala, entah sedang apa dia sendiri di tepi pantai ini. Ingin sekalk aku berlari mendekatnya melampiaskan seluruh rasa rinduku padanya, sudah berminggu-minggu aku tidak menemukannya. Meski kami tidak pernah bertemu sejak aku menikah namun terkadang aku masih bisa melihatnya dari jauh atau melihatnya secara abstrak dijalan raya saat dia berangkat atau pulang kerja. Dan sudah beberapa minggu aku tidak bisa menemukan dia seperti itu. Di media sosialnya dia menghilang, dia didunia nyata dia tidak kutemukan, aku hampir setiap hari menanyakan pada diri sendiri entah sedang apa dan dimana dia saat ini.
Dan kebingunganku kala itu kini terbayar sudah. Wanita yang selalu membuatku merindukannya saat ini didepanku. Tanpa menyadari kehadiranku. Biarlah seperti ini agar cukup puas aku untuk menikmati

Sementara aku masih dibalik pohon memerhatikan setiap gerak geriknya, dia bersiap-siap seperti akan pergi dari sini. Dalam hati aku tidak rela. Dia tidak boleh pergi. Meninggalkan aku dan kerinduanku lagi.

"Lala..." entah ini akan membuat aku bahagia atau menyesal, tidak kusadari kakiku mendekat kearahnya sebelum dia lebih jauh lagi. Ragaku bertindak lebih cepat dari otakku.

Dia terdiam. Mungkin jijik melihat aku yang seperti orang mabuk berjalan pelan kearahnya dengan tatapan iba. Aku tidak peduli apa yang ada dipikiran Lala saat ini. Aku hanya tidak ingin kehilangan dia untuk saat ini. Setidaknya aku bisa mengobati rinduku meski nantinya akan ada rindu yang lebih besar lagi setelah ini.

"Mas Adi?" Suaranya..... dia masih memanggilku dengan sebutan itu. Dan aku juga merindukan dia memanggilku dengan sebutan Pakde, hanya dia yang bisa memanggilku seperti itu

"Kamu ngapain disini?" Aku terlihat kacau saat didepannya ditambah dengan pertanyaan bodoh itu. Jelas-jelas ini tempat umum kenapa aku tidak bisa berbicara yang lebih berbobot dari ini misalnya La aku kangen sama kamu atau apa.

"Jagain laut mas bantu ibu mentri hahaha" Tuhan.... abadikan tawa dan senyum ini dalam hati dan pikiranku
Lala menjawab pertanyaan konyolku dengan guyonannya. Aku mengira dia tidak akan mau membagi canda tawanya lagi untukku

Akupun duduk disebelahnya dengan jarak kurang lebih satu meter. Dulu kita tidak pernah dengan jarak sejauh ini dan saat ini satu meter sudah yang paling dekat dan aku mensyukurinya
Kami menatap lurus kearah laut didepan kami dan aku sesekali menikmatinya dari samping. Aku akan memuaskan melihatnya setelah beberapa tahun tidak dapat aku lakukan.
Kami berbicara banyak hal mengenai diri kami. Bukan, hanya mengenai dia. Aku terus menanyakan tentang dirinya karna tidak ada hal membanggakan dan ingin aku ceritakan padanya mengenai diriku selain rinduku yang semakin menggebu

"Kapan undangannya? Jangan lupa buat aku juga" mendadak aku mengeluarkan pertanyaan itu saat kami kehabisan topik pembicaraan

"Insyaallah.. doain aja tukang cetak undangannya gak antri biar bisa cepat dibagi" guraunya masih enggan terbuka padaku. Namun aku tahu ada rona bahagia disana seperti hal itu tidak akan lama lagi terjadi

"Aku serius. Aku ingin tahu hari bahagia kamu"

"Aku setiap hari bahagia mas hahaha"

"Siapa orang itu? Apa aku mengenalnya?" Ada rasa sakit dan cemburu saat aku menanyakan ini

"Tunggu saja. Kita bisa merencakan sesuatu namun Allah SWT lah yang menentukan segalanya, nanti kamu juga tahu" jawaban ini seolah menyindirku secara halus

"Tapi sudah ada calon, kan?"

"Calon lurah? banyak.... harusnya kamu nanyanya apa sudah ada yang mengkhitbah? Gitu.. "

"Aku hanya ingin tahu siapa orang yang beruntung itu. Aku hanya ingin tahu hari paling bahagiamu itu" hatiku dihantam sakit untuk kesekian kalinya lagi

Dia hanya tersenyum melihatku yang menatapnya dengan penuh kerinduan. Aku sudah tidak peduli lagi dengan apa yang dia pikirkan tentangku saat ini

Tidak lama kemudian dia memutuskan untuk pergi. Aku seperti tidak rela membiarkannya meninggalkanku sendiri disini. Namun aku bisa apa?

Dengan perasaan bahagia aku memandangi punggungnya hingga hilang dikeramaian. Aku ingin sekali mengantarnya sampai ketempat yang dia maksud namun dia pasti akan menolaknya
Ada perasaan kecewa yang dia tinggalkan untukku. Kenapa dia selalu menyembunyikan mengenai dirinya dariku, sebegitu bencinya padaku hingga dia tidak bisa menganggapku sebagai salah satu orang yang pantas mengetahui kebahagiaannya.

Namun aku akan terus mendoakanya dan menyayanginya. Dia salah satu orang yang berpengaruh dalam hidupku.

..

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top