XV. Memilih

#Adi pov

Tidak ada alasan untuk tidak bahagia karna Lala sudah menerimaku dikontak BBM nya dan bisa dipastikan sedikit banyak aku tahu bagaimana keadaannya.
Sekali duakali aku masih mengirim bbm padanya sekedar mengomentari gambar profil atau status yang disampaikan disana meski itu jarang sekali dia lakukan, namun aku tidak patah semangat walaupun dia hanya membalasku dengan emoticon atau yang lebih menyedihkan hanya diabaikan begitu saja.

Dan yang kulakukan seperti mencari perhatian darinya. Kadang aku memakai fotoku sendiri yang kuambil saat pergi bersamanya, kadang foto beramai-ramai dengan dia dan teman-temannya, aku juga menulis status menuju tempat didekat rumahnya atau tempat kenangan kita, semua kulakukan hanya ingin memancing dia agar berbicara padaku
Namun aku harus kecewa lagi dan lagi. Dia membiarkanku begitu saja bahkan jarang sekali muncul disana, entah dia sedang apa dan dimana

"Di, kamu ngapain" wanita paruh baya yang aku panggil ibu kini duduk disampingku saat yang kulakukan hanya duduk memandang kosong layar ponselku

"Tidak bu, kenapa?"

"Ibu perhatikan akhir-akhir ini kamu sering murung. Kamu ada masalah?

"Tidak bu, Adi tidak apa-apa"

"Jangan bohong, gelagat kamu aneh nak. Sebentar senyum sebentar murung, ibu khawatir. Kamu bertengkar dengan Maria?"

Aku diam tak menjawab

"Nak, ibu mengenal kamu lebih dari dirimu sendiri jadi kamu tidak bisa bohongi ibu"

"Lala bu" aku memelas menatap wanita yang telah melahirkanku ini

"Lala, kenapa dia?"

"Adi kangen sama Lala bu. Dan dia menghindari Adi, dia menjauh sejauh-jauhnya. Dia seperti tidak mengenal Adi. Sebegitu bencinya sama Adi"

"Dia pasti punya alasan"

"Kalau ditanya dia cuma bilang ada beberapa hal yang harus dia jaga, mungkin dia takut menyinggung Maria atau apa entahlah"

"Sudah ibu duga, Lala gadis yang baik dia tidak mungkin memutus tali silaturahmi dengan orang begitu saja, buktinya dia masih bersikap seperti biasa dengan Budhe Ani dan yang lain. Mungkin dia tidak ingin menyakiti Maria atau bagaimana"

"Mungkin"

Lalu akupun terdiam, melanjutkan tanda tanya dan kerinduanku tentang Lala.

Dia benar-benar telah membenciku, tak sedikitpun menyapa bahkan menoleh keraahku pun tidak. Seribu kali aku mengirim pesan seribu kali juga dia mengabaikannya.

Tuuttt...

Tuutt...

"Halo"

Deg...

Alangkah bahagianya aku mendengar suara disebrang yang mau menjawab telpon dariku. Tuhan jika bisa aku mohon hentikan sejenak bumi agar tidak berputar, aku ingin ini berlangsung lebih lama.

"Halo ini siapa?"

Apa?? Dia bahkan menghapus nomor telponku

"Halo, ini aku. Masa gak ingat sama suaraku?" Jawabku sedikit judes karna dia menghapus nomor telponku

"Iya, aku siapa?"

"Aku Sri... aku.."

"Oalah, ada apa telpon?"

"Gak apa, sombong ya gak pernah balas bbm sama sms ku, disapa ya diem aja kek orang gak kenal"

"Terus aku harus bagaimana? Apa perlu berteriak dan tertawa keras saat kamu menyapa?" Tanya datar

Dan aku tetawa mendengar pembelaan diri darinya yang terdengar lucu

Obrolanpun terjadi cukup lama antara kita berdua. Entah berapa pulsa yang telah aku habiskan karna operator yang berbeda dan aku tidak peduli, namun aku masih menyimpan nomorku dengan operator yang sama dengannya yang dulu hanya kupakai untuk dia saja. Dan kini aku pakai lagi saat nomorku yang tadi kehabisan pulsa, dan dia masih mau menjawab telponku sekedar untuk melanjutkan percakapan yang terputus sebelumnya

Kami berbicara panjang dan lebar tentang dia dan kita dulu kala. Sedikit banyak aku menyinggung tentang hubungan kita dulu, aku meminta maaf atas kesalahanku meski aku tahu itu sulit bagi dia. Aku hanya tidak ingin kehilangan dia meski aku tidak bisa memilikinya. Aku ingin selalu ada saat dia membutuhkan apapun, aku tidak ingin jauh darinya.

*******

#Lala pov

Drrttt...

Drrtt...

Drrttt....

Berulang kali telpon selulerku berdering, entah siapa disebrang sana yang sedang menghubungiku. Aku yang biasa sangat enggan menerima telpon dari nomor asing, kini kebiasaanku itu hilang disaat jam kerja, karna kebanyakan orang menghubungiku lewat nomor pribadiku tanpa konfirmasi kepadaku terlebih dahulu.

"Halo" sapaku yang pertama kepada si penelpon namun tidak ada jawaban

"Halo ini siapa?" mungkin aku sedikit tidak sabar dan masih tetap diam

Baiklah aku mengikutinya untuk diam juga

"Halo, ini aku. Masa gak ingat sama suaraku?" aku seperti pernah mendengar suara ini namun aku benar-benar tidak tahu siapa

"Iya, aku siapa?" terlihat kesabaranku mulai menipis

"Aku Sri... aku"

Apa?? bukankah cuma si kunyuk saja yang memanggilku dengan nama seperti itu?

Dan, ada apa dia meleponku? apa dia mau membuat perhitungan tentang banyaknya pesan dia yang tak kuhiraukan?

Begitu banyak kalimat yang dia sampaikan hingga tak memberiku kesempatan sedikitpun untuk menjawabnya. Dia membicarakan hubungan kami yang sudah kandas oleh dia sendiri, dengan lembut dia meminta maaf atas semua kesalahan yang pernah dia lakukan padaku. Mungkin terdengar sangat mudah dan gampang baginya, tapi apa pernah dia memikirkan bagaimana jika dia diposisiku? Terhimpit dengan kondisi yang sangat menyakitkan.

Apa pernah dia memikirkan perasaanku? Mendadak pergi seolah aku barang yang sudah tidak terpakai lalu dicampakkan

Kini dia datang dengan sejuta maaf, bisa saja aku memaafkanmu pakdhe namun apa Tuhan rela jika makhlukanya ini kau angkat lalu kau hempaskan begitu saja!!

Tanpa pernah dia tahu bagaimana aku seorang diri jungkir balik menyembuhkan lukaku yang dalam. Dia tidak pernah peduli prosesku yang panjang untuk bangkit kembali. Berapa tetes air mata yang telah terkuras habis hanya untuk menangisi kepergiannya.

Dan sekarang dia datang hanya bermodal maaf??

Kini aku bagai sadar dari pingsan, aku bangkit sebagai diriku sendiri yang baru. Aku lebih kuat untuk menghadapi lelaki pengecut semacam dia. Sebanyak apapun kalimat pencitraan akan dirinya tak sedikitpun membuat hatiku luluh, bahkan tanpa dia jelaskan aku sudah tahu semua yang terjadi padanya. Soni, adik sepupu dia yang rupanya masih baik padaku, dia memberitahuku semua yang terjadi dalam keluarga besar mereka. Dan aku paham bahwa memang aku tidak diinginkan dikeluarganya, lalu untuk apa dia datang dan ingin menjalin hubungan baik denganku saat ini?

Aku bukan wanita yang bodoh yang bisa dia rayu dengan apapun, aku cukup sadar akan posisiku. Bagaimanapun dia bersikap aku akan tetap menjaga jarak dengan dia, ada banyal hal yang tidak bisa aku langkahi begitu saja, sampai berapa ribu kali aku menjelaskannya

"Sudah, jangan telpon lagi, jangan sms atau bbm lagi, gak baik. Nanti istri kamu mikirnya aneh-aneh" ucapku tegas

"Dia sudah tahu semua kok"

"Maksudmu tahu apa? jangan aneh-aneh kamu" jawabku kaget

"Istriku tahu semua tentang kamu, aku sudah menceritakan semua pada dia. Bahwa sebelum menikahinya aku mempunyai hubungan dengan orang kantor disebrang, aku bilang kalau aku masih menyayanginya entah sampai kapan"

Aku terhentak diam. Entah apa yang ada dipikiran istrinya saat itu

"Maria sudah tahu semua tentang kamu La, aku sudah menceritakan semua tentang kamu dan foto kamu pun aku sudah tunjukkan padanya" lanjutnya dengan suara lirih

Kata Adi sontak membuat aliran darahku berhenti sejenak

"Jangan ngawur kamu ya, nanti istrimu mikir kita ada apa-apa. Itu dulu, sekarang kita jalani hidup masing-masing" akupun tak kalah sengit membalas perkataan Adi yang menjelaskan tentangku secara jelas kepada Maria istrinya

"Aku masih menyayangi kamu La, meski aku menikah dengan wanita lain tapi aku masih sayang sama kamu, terserah kamu bilang apa aku tidak peduli."

Aku diam. Dan air mataku mengalir begitu saja tanpa perintah

"Sudah lupakanlah semuanya. Hidupku harus tetap berjalan, dan kamu juga. Jaga istri kamu baik-baik. Lupakan aku, lupakan kita, lupakan semua. Hapus semua nomor telponku, hapus semua tentang aku, jangan ingat-ingat lagi yang bukan-bukan. Dilihat orang juga gak enak"

"Aku tidak peduli dengan omongan orang. mereka hanya melihat tanpa tahu apa-apa"

"Tapi aku peduli, ada banyak hal yang harus aku jaga seorang diri. Sudahlah.."

Dan obrolanpun berakhir..

Ada perasaan sakit, senang, kecewa, sedih, bahagia,marah semua campur aduk menjadi satu. Ada rasa yang tidak bisa diungkapkan dengan perkataan. Sikap dia yang kekeh membuat aku seakan terpojok dengan kenyataan

Ya Tuhan... aku harus segera menikah jika tidak ingin fitnah datang dan menghampiriku

Namun apa daya, yang namanya jodoh, mati, rezeki semua sudah diatur. Aku tidak bisa minta dipercepat atau diperlambat. Semua sudah ditentukan waktunya. lalu aku harus bagaimana? Sampai kapan aku bertahan dengan kesendirian??

**

Entah apa yang ditakutkan Basri, dia tak kunjung melamar atau sekedar menyampaikan bahwa dia ingin menikahiku. Tidak kupungkiri sedikit banyak aku tahu bahwa sikap Basri padaku tidaklah wajar antara seorang teman. Namun aku pasrah, kita tidak tahu dengan siapa kita berjodoh.
Terkadang orang yang kita harapkan bukanlah orang yang berjodoh dengan kita, pun sebaliknya yang bahkan melintas dipikiran saja tidak pernah justru dialah jodoh kita. Semua masih menjadi misteri-Nya

Barang siapa yang datang dulu melamar lalu ibuku mengiyakan, maka dialah orang yang aku terima khitbahnya!!

Aku terkesan seperti sayembara, namun itu hanya ultimatum pada diriku sendiri tanpa sedikitpun aku sebarkan pada umum. Aku tidak mau terlalu berharap kepada manusia takutnya hanya kecewa yang aku terima pada akhirnya. Aku pasrah sepasrah-pasrahnya kepada yang kuasa, aku hanya berusaha menjadi yang terbaik agar dibaikkan pula jodohku. Bukankah banyak hadist yang mengatakan "perbaiki diri sama dengan perbaiki jodoh". Mungkin kalimat itulah yang aku terapkan dalam hidupku saat ini

"Nanti ada tamu, kamu jangan kemana-mana" ucap ibu saat aku mau berangkat kerja

Aku tahu yang ibu maksud. Mungkin tamu tersebut adalah orang yang mau ibu jodohkan lagi padaku. Selama ini banyak yang datang kerumah yang katanya mau melamarku. Jujur aku kaget, bukankah sangat lucu sekali orang yang tidak pernah mengenal tiba-tiba datang lalu melamar?
Namun aku tetap menemui tamu-tamu yang hadir dan dihadirkan kerumah tapi belum ada satupun yang membuatku berkata "baiklah, ini dia orang yang aku cari. Oke penantian cukup sampai disini!!"

Hingga pada akhirnya muncul lah satu orang yang bernama Fikri. Fikriadalah adik dari sahabat kakak pertamaku, usianya enam tahun lebih tua dariku. Dia yang lulusan pondok dan pandai berdakwah ini sedikit membuatku membuka hati untuknya. Hampir semua yang aku inginkan pada seorang lelaki, Fikrimemilik beberapa. Memang, dari sekian orang yang mendekat hanya Fikriyang aku beri kesempatan lebih jauh

Kami dikenalkan dan akhirnya kami saling mengenal. Sifatnya yang dewasa dan mengayomi ini membuatku seakan betah jika bersamanya. Dia yang kerja jauh dari tempat asalnya membuatku berfikir keras bagaimana nanti jika kami menikah. Ah, mungkin aku terlalu jauh menghayalnya.

Fikrimenyampaikan ingin mengkhitbah lalu menikah dalam waktu yang tidak lama. Ibuku dengan mudah menerima lelaki itu menjadi calon menantunya.

Dua bulan kami saling mendalami satu sama lain. Hingga pada akhirnya salah satu kakak perempuanku melihat ada kejanggalan pada Fikri. Hanya tinggal tiga minggu lagi dia datang kerumah membawa rombongan hendak melamar, tiba-tiba kakak ketigaku menolak.
Sebagai anak bungsu dari empat bersaudara, semua kakak dan kakak iparku berperan sebagai orang tuaku. Mereka berperan penuh jika ada lelaki yang mendekat kearahku.

Kakakku berperan sebagai detektif dalam sebuah kasus. Dalam sekejap dia mengetahui semua hal yang selama ini menjadi pertanyaan. Entah bagaimana dan darimana asalnya, kakak ku ini tahu bahwa Fikrimenyembunyikan sesuatu. Dan hingga detik ini aku tidak mengetahui alasan keluargaku yang pada mulanya menerima Fikrilalu menolak pada akhirnya. Awalnya aku tidak mau karena tidak ada alasan yang jelas yang mereka sampaikan padaku, namun begitulah aku tidak bisa menolak perkataan keluarga besarku, termasuk Ibu.

Dengan kata lain aku sendiri lagi, rencana menyempurnakan ibadah ku gagal lagi. Aku hanya berkata pada diri sendiri, jika memang ada hal buruk yang tidak aku ketahui tentang Fikriartinya Allah masih menyayangiku dengan cara menyelamatkanku dari orang yang salah lagi.

Meski harus sakit lagi yang aku terima, kecewa untuk kesekian kalinya. Ya Allah... dosa apa yang pernah aku lakukan??

Mungkin ibadahku kurang kencang...

Ikhtiarku kurang panjang...

Sabarku kurang besar...


*******

#Adi pov

"Rin, Lala kapan nikah?" Aku mengirim pesan singkat kepada Arin, tetanggaku sekaligus salah satu sahabat Lala dikantornya

"Kenapa? tanya orangnya langsung kan enak" Balasnya sepuluh menit kemudian

"Ya aku mau kasih surprise lah sekalian nanya kok undangan buat aku tidak ada?"

Sepertinya Arin sudah tidak bisa dikorek lagi tentang Lala, jika dulu waktu aku mendekati Lala jasanya sangat membantu namun sekarang sepertinya dia enggan aku repotkan.

Aku hanya ingin tahu kabar bahagia mengenai Lala, aku ingin tahu hari besarnya itu. Aku akan ikut bahagia jika itu membuat dia bahagia juga.

Aku yakin lelaki itu adalah lelaki yang beruntung mendapatkan Lala. Bukan lelaki pengecut dan pecundang seperti diriku. Aku harap lelaki itu mencintai dan menyayangi Lala lebih dari yang aku lakukan.

Semakin hari aku semakin penasaran tentang siapa lelaki tersebut? apakah dia lelaki yang selama ini aku cemburui? namun tidak ada satupun yang peduli akan rasa penasaranku.

Setiap hari yang kulakukan hampir sama, termasuk mengikuti Lala. Tiap pagi mampu melihat dia melaju kencang dengan motor maticnya waktu berangkat kerja, itu seperti bekal buatku hingga sore hari nanti. Setiap sore sebelum aku pulang pun terkadang kami beriringan hanya saja Lala sepertinya memang benar-benar tidak paham akan keberadaaanku. Sedangkan aku, dalam jarak seratus meter saja aku tahu bahwa itu dia.

Entah apa yang sedang aku alami, bukannya aku mejauh dan melupakan Lala. Aku justru semakin penasaran dan ingin dekat dengan dia. Hati kecilku mengatakan ini semua salah dan aku paham. Namun yang namanya hati sepertinya tidak punya logika lagi, sudah tahu salah aku masih saja tetap melakukan kebiasaanku itu

Bahkan Maria, istri sahku seperti aku anggap sebagai teman biasa saja. Mungkin Maria mengira aku bisa melupakan Lala dan sudah menerima semua tentang dia karna sikapku yang wajar layaknya seorang suami. Bukan aku ingin menipu atau berpura-pura, mungkin orang lain juga melihat kami sebagai sepasang suami istri yang bahagia, namun tidak seperti yang mereka sangka.


Siang ini aku sedang mencari sesuatu untuk melengkapi kebutuhan hobiku saja. Mungkin kebetulan sekali ada waktu senggang meski panas aku sempatkan untuk keluar.

Aku memarkirkan mobil hitamku dipinggir jalan dimana disana terletak beberapa kios dengan menjual berbagai kebutuhan manusia. Mulai dari yang bisa dimakan, dipakai hingga yang cuma sekedar dipajang saja.

Aku berjalan seorang diri menyusuri tiap sudut jalan keluar masuk dari satu toko ke toko lain. Meski siang bolong namun jalanan dan tempat ini masih ramai. Tempat yang luas namun sempit akan bangunan toko dan resto. Banyak orang yang menghabiskan jam istirahat kantor mereka untuk makan disekitar sini, dan banyak pula yang sekedar mampir untuk melepas dahaga atau lapar karna lelah mengitari tempat yang luas ini.

Seperti diriku yang saat ini duduk dibawah pohon dihalaman sebuah cafe klasik. Aku tidak lapar atau sedang menunggu seseorang. Aku hanya butuh tempat duduk untuk sekedar membuka laptopku, namun rasanya tidak etis kalau aku hanya menumpang duduk saja

Aku mencari pelayan yang biasanya rajin datang menawarkan makan dan minum kepada pelanggan yang baru datang seperti aku. Setelah memesan beberapa makanan ringan dan segelas minuman dingin akupun kembali fokus pada benda kotak yang telah aku buka dihadapanku. Beberapa menit kemudian tanpa sengaja aku menangkap seseorang yang sepertinya aku mengenalnya. Aku memutar otak sekedar mengingat wajah orang asing ini. Dengan tubuh tingginya lelaki mirip arab ini berjalan bingung lalu mendekat ke arahku

"Maaf mas, apa saya boleh duduk disini? tempatnya sudah penuh semua soalnya" sapa dia ramah dan tersenyum kepadaku

Ya Tuhan.. jika saja aku wanita mungkin aku sudah jatuh cinta padanya

"Oh iya mas kosong, silahkan duduk kebetulan saya juga sendiri" Aku mempersilahkan dia untuk menarik kursi didepanku dan mendudukinya

"Terima kasih mas. Mas nya sendirian saja?"

"Iya mas sendirian. Mas nya juga kan?"

"Hehehe iya, kebetulan nyari sesuatu udah muter dari tadi gak nemu juga. Capek yasudahlah istirahat aja dulu"

"Hahaha sama. Oh iya, saya Adi" Aku mengulurkan tangan kearahnya

"Basri, mas"

Deg!!

Basri???

Nama yang sudah tidak asing lagi bagiku. Bukankah dia lelaki yang dekat dengan Lala?

Astaga.. betapa Tuhan membuat rencana bagi seorang manusia. Lelaki yang selama ini tidak aku kenal dan membuatku penasaran kini telah ada dihadapanku. Entah bagaimana aku bersikap. Ada rasa kaget, bahagia dan benci saat melihatnya.

Kami terus berbica mengenai banyak hal. Mulai dari hobi, pengalaman hingga tempat yang pernah kami kunjungi masing-masing. Aku bisa merasakan betapa menyenangkannya seorang Basri. Sungguh beruntung wanita yang bisa mendapatkan lelaki seperti ini, berbeda dengan aku yang membencinya

"Mas Adi sudah menikah?" Kalimat yang baru saja Basri ucapkan saat melirik jari ku

"Alhamdulillah sudah laku mas, hehehehe" balasku sambil menarik jari kananku yang tadinya diam untuk beraktifitas lagi

"Wah, selamat ya mas separuh agama nya sudah ada yang menuhi. Kalau aku ibadahnya masih setengah mas soalnya belum laku hehehehe"

"Bingung milih mungkin sampean. Masa ganteng gini belum ada yang mau?"

"Pada lari semua mas kalau aku dekatin hahahaha"

"Kurang kenceng ikatnya mungkin mas"

Kami berdua pun tertawa kencang, saling menertawakan diri masing-masing lain hingga lupa bahwa kami baru saling kenal kurang dari dua jam

"Tapi ada satu wanita yang begitu aku cintai mas. Semua yang aku inginkan dari seorang perempuan ada pada dia. Wanita yang tangguh dan bertanggung jawab, setia dan sederhana, berprinsip dan patuh. Jaman sekarang sudah jarang wanita yang seperti itu mas. Dia berbeda dari wanita yang lain, dia wanita yang patut dibanggakan. Sudah bertahun-tahun aku bertahan sebagai sahabat dekatnya saja, perasaanku tertimbun bersama ketidak beranian ku mengejarnya. Aku takut setelah dia tahu perasaanku dia akan pergi dan menjauh dariku. Banyak sekali rivalku disana bahkan sudah banyak lelaki yang namanya aku dengar dari mulut dia, lelaki yang sempat mengisi kehidupannya, datang dan pergi membawa luka. Namun aku bersikap datar tanpa mengatakan apa-apa seolah aku memang tulus menjadi sahabatnya, membiarkan dia pergi lalu terluka dengan lelaki lain. Sungguh merugi lelaki itu meminggalkan wanita yang cintanya tulus kepada orang yang dia sayangi. Jika aku adalah lelaki itu, akan aku jaga sebaik-baiknya dia selayaknya barang yang paling berharga yang mahal harganya."

"Iya mas, saya juga benar-benar menyesal" entah kenapa mulut ini memotong begitu saja omongan yang sepertinya belum selesai

"Apa mas? Menyesal? Menyesal kenapa?"

Plaaakk...

Apa aku baru saja keceplosan? Aku memang terbawa suasana. Ketika Basri menggambarkan sosok Lala akupun mengiyakan dalam hati dan membayangkan semua yang aku ingat tentang Lala, gadis yang saat ini ada dipikiran kami berdua

"Oh nggak mas hanya terbawa suasana saja seandainya aku jadi lelaki itu, sepertinya mas Basri sangat mencintai gadis itu. Terus kenapa gak dinikahi langsung saja mas?"

"Sudah terlambat mas"

"Maksudnya?"

"Sudah diambil orang lain. Kemarin ketemu dia bercerita bahwa dia mau dilamar oleh seorang pria. Aku melihat wajahnya sangat bahagia, aku pun bahagia jika dia bahagia"

Apa??

Jadi kabar tentang pernikahan Lala memang benar?

Dan lelaki yang membuatku cemburu ini bukan calon suaminya?

Lantas siapa lelaki yang menikah dengan Lalaku?

Aku sungguh ingin tahu, ingin memastikan bahwa lelaki yang menikah dengan Lala adalah lelaki baik-baik. Terkadang aku khawatir dengan sikap lugunya itu, dengan gampang dia menganggap semua orang itu baik.

kamu orang baik La, semoga menemukan yang benar-benar baik..



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top