☔ | Manja

Kamu itu lucu. Kamu juga membuatku candu. Dan kamu, hanya akan tetap menjadi milikku.
–Dimas Bayu Candra

Ara membuka matanya pelan-pelan, saat merasakan sesuatu seperti menindih bagian perutnya. Perempuan bermanik cokelat cerah itu melirik daerah perutnya yang rata. Tangan kekar milik Dimas memeluknya begitu posesif dari belakang, sampai tidak ada jarak diantara keduanya.

Ara memutar badannya menghadap Dimas. Tangan pria itu masih terus mengurung Ara dalam dekapannya. Tangan mulus milik Ara  terulur hendak memindahkan tangan sang suami. Namun, Dimas semakin erat memeluknya, mengikis jarak antara keduanya.

Ara mengulum senyum tipis. "Dimas."

Dimas tidak menjawab. Matanya masih memejam dengan begitu tenang. Dia mendusalkan kepalanya di leher jenjang Ara.

Senyum tipis itu kembali mengembang. Ara meletakkan tangan kanannya di atas kepala Dimas. Mengusap rambut suaminya dengan penuh kasih sayang.

Percakapan tadi malam, bahkan sudah tidak terlintas dalam pikiran Ara.

"Dimas." Perempuan itu menepuk-nepuk pelan pipi Dimas.

"Bentar lagi, ya," pinta Dimas.

Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Hari dimana Ara akan berangkat ke Surabaya untuk menghadiri konferensi pers. Kini waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi.

Pria itu semakin erat memeluk sang istri. Sikap manja Dimas selalu membuat Ara tidak habis pikir. Padahal mereka sudah menikah cukup lama. Namun, sikap Dimas masih saja seperti pasangan yang baru menikah.

Dimas membuka matanya seraya mendongak. "Hari ini take off jam berapa?"

Ara memutar bola matanya. Terlihat jelas dia sedang mengingat jadwal keberangkatannya. "Jam dua siang."

Pria ini tersenyum, lalu beranjak duduk dan turun dari kasurnya. Ara yang melihat hal itu hanya memasang wajah kebingungan. "Dimas ngapain, sih?"

"Kita packing sekarang."

"Nanti aku aja, kamu mandi sana. Emang nggak kerja?" protes Ara seraya berjalan menghampiri Dimas yang tengah meletakkan koper berukuran kecil di atas karpet berbulu.

"Aku izin dulu hari ini. Aku, kan, harus antar kamu ke bandara," kata Dimas yang sudah mulai mencari beberapa setelan baju. Dimas hendak menarik baju berwarna hitam yang sudah terlipat dan tersusun rapih dalam lemari. "Yang ini kayaknya cocok buat—"

Ara terperangah. Sontak pupil matanya melebar dan suaranya menggema di seisi kamar. "Jangan ditarik!"

Bruk!

Semuanya sudah terlambat. Dimas menarik baju hitam itu dan tumpukan baju di atasnya ambruk begitu saja. Beberapa masih dalam keadaan terlipat, dan sebagiannya sudah dalam kondisi berantakan di atas karpet.

Dimas menatap Ara tanpa penuh dosa. Kedua ujung bibirnya tertarik ke atas, memperlihatkan deretan giginya yang rapih. "Maaf," katanya.

"Udah aku bilang, kan, aku aja yang packing sendiri." Ara menghela napas. Perempuan itu menghampiri Dimas. "Kamu mandi aja. Nanti aku siapin sarapan."

Dimas mengangguk setuju. Pria itu langsung menyambar handuk yang tersampir di atas kursi.

Setelah Dimas pergi untuk mandi. Ara membereskan kembali pakaian yang sudah tercecer di atas karpet. "Bikin kerjaan tambah banyak aja, deh," gumam Ara.

Setelah selesai merapihkan kembali isi lemarinya, Ara beranjak ke dapur untuk membuat sarapan. Untung saja Dimas orangnya tidak terlalu banyak memilih. Jadi, apa pun yang dimasak Ara, pasti akan dia makan. Namun, perlu diingat bahwa Dimas tidak terlalu menyukai makanan berkolestrol tinggi. Berbeda dengan Ara yang banyak memilih makanan.

Namun, Ara pun melakukan hal yang sama. Ketika Dimas memasak dia akan memakannya. Bentuk menghargai sesama. Pria yang kini sudah resmi menjadi suaminya memang cukup pandai dalam hal meracik bumbu masakan.

"Sarapan apa hari ini?" tanya Dimas yang baru saja selesai dengan aktifitasnya dan sudah berpakaian rapih. Kemeja berwarna biru langit panjang dan celana hitam panjang.

"Soto mie," sahut Ara.

Dimas mengangguk, dia mulai memindahkan nasi ke atas piring yang berada di depannya. "Oh iya, nanti aku pulang setengah hari. Kita ke Bandara sama-sama."

"Nggak apa-apa, aku bisa pergi bareng sama Audy dan Shila, kok," kata Ara tanpa menoleh. Dia masih sibuk mengolesi roti dengan selai kacang.

Dimas berhenti mengunyah. Kepalanya menghadap samping, menatap Ara yang masih sibuk dengan roti dan selai. "Pokoknya aku yang antar!"

Ara menghela napasnya. Dia meletakkan roti di atas piring. Iris matanya yang berwarna kecoklatan cerah itu bertatapan lurus dengan manik mata Dimas. "Ya udah, terserah kamu aja."

Dimas tersenyum menang. Sama-sama keras kepala memang.

Pria itu mengusap kepala Ara penuh kasih sayang. "Kamu belum mandi, tapi udah cantik gini." Dimas mencubit gemas pipi istrinya.

"Dimas, sakit!"                               

Setelah selesai sarapan Dimas bergegas berangkat ke kantor. Mengingat waktu sudah cukup siang.

"Tunggu aku pulang, ya," kata Dimas.

Ara hanya mengangguk. Perempuan yang masih menggunakan piyama itu memberikan tas kepada suaminya.

"Aku berangkat."

"Iya."

Dimas menatap Ara tajam. "Ya udah aku berangkat."

Ara masih diam di tempat dengan senyumannya. "Iya, suamiku."

Dimas semakin dongkol. Pria itu mendengus kesal. "Ara!"

Ara tersentak dan kebingungan. Pasalnya sedari tadi Dimas hanya berpamitan, tetapi belum juga beranjak dari depan pintu rumah mereka.

Dimas mencodongkan wajahnya ke depan Ara. Membuat wajah keduanya saling mendekat. Ara justru mundur selangkah. Dimas semakin mendekat, hingga punggung Ara menyentuh gagang pintu.

Perempuan itu mendorong tubuh Dimas. "Dimas, apaan, sih? Sana berangkat!" protes Ara.

Dimas tetap diam. "Ini," ucapnya seraya menepuk-nepuk pipinya dengan jari.

Satu kecupan Ara berikan kepada suaminya itu. Lebih cepat lebih baik. Begitulah ungkapan yang cocok dengan situasi Ara saat ini. Agar Dimas cepat berangkat kerja. Kalau tidak, dia pasti akan telat.

Setelah itu Dimas benar-benar pergi meninggalkan pekarangan rumahnya. Ara kembali masuk dan melangkahkan kakinya menuju kamar.

Menjadi seorang istri memang tidak mudah. Ara lebih memilih untuk mendahulukan kepentingan suaminya. Seperti pagi ini, saat Dimas sudah berangkat kerja. Barulah Ara akan menyiapkan peralatannya untuk pergi ke Surabaya siang nanti.

Hari-hari sebelumnya tidak seperti ini. Biasanya Ara sudah rapih dan siap untuk pergi kerja. Namun, karena pagi ini Dimas begitu manja padanya, sehingga Ara membutuhkan kesabaran ekstra untuk menghadapinya.

Baru saja hendak mandi, tetapi ponselnya yang dia letakkan di atas nakas berbunyi.

"Iya, ada apa?" sahut Ara saat telepon itu tersambung.

"Kamu mau berangkat bareng kami, nggak? Aku dan Shila akan ke kantor sebentar untuk mengambil kamera, setelah itu kami berangkat bersama."

"Nggak usah, Dy. Aku diantar suamiku."

Di seberang sana Audy hanya manggut-manggut mengerti.

"Baiklah, kalau begitu sampai bertemu di Bandara. Jangan lupa, jam dua kita take off."

"Baik, bisa dipahami, Bu Audy," sahut Ara dengan nada yang dimainkan. Seolah-olah Audy adalah atasannya.

Ara menutup teleponnya. Dia kembali meletakkan ponselnya di atas nakas. Perempuan itu segera melanjutkan niatnya untuk pergi mandi.

Sudah pukul dua belas siang. Semua keperluan Ara untuk di bawa ke Surabaya pun sudah siap. Perempuan itu tengah duduk di sofa ruang tengah. Menunggu Dimas pulang. Berada di rumah sendiri cukup membuat Ara bosan. Karena biasanya Ara akan berada di rumah pada saat akhir pekan, begitu juga dengan Dimas.

Tidak lama suara mesin mobil terdengar di pekarangan rumahnya. Ara segera bangkit dari duduknya dan segera beranjak untuk membuka pintu.

"Cepat banget bukain pintunya. Pasti udah nunggu aku pulang, 'kan?" tanya Dimas seraya mulai merangkul Ara.

Sementar perempuan itu mengambil alih tas yang sedang Dimas bawa. "Makan dulu, ya. Aku siapin."

“Nggak usah. Aku langsung ganti baju aja.” Dimas mengelus lengan atas Ara. “Tunggu, ya. Nggak akan lama.”

Ara hanya mengangguk di ujung tangga menatap punggung Dimas menghilang di lantai dua. Tidak butuh waktu lama pria itu kembali turun sambil mengangkat koper milik Ara.

“Udah siap?” Dimas meletakkan koper itu di ujung anak tangga. “Ada yang ketinggalan nggak?”

Ara menggeleng. “Nggak ada, sayang.”

“Ya udah, yuk.”

Intro:

Dimas : Sayang, kopi ini rasa cinta, ya?

Ara : Itu capuccino, Dim.

Dimas : Aromanya bikin tenang, sama kayak kamu. Apa tandanya aku juga sudah mulai mencintai kopi.

Ara : Kalau gitu, talak aku aja.

Dimas : (Trang!)

Hai hai aku kembali. Meski hari ini bukan Sabtu, tapi aku lagi free dan kayaknya harus bnaget deh update chapter ini haha.

Btw, thank you untuk kamu yang sudah mau meluangkan waktu lima menit untuk membaca cerita sederhana ini. Silakan cari tempat ternyaman untuk bisa meresapi setiap kata yang Ara ucapkan dan setiap tindakan yang Dimas lakukan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top