☔ | Kamu kenapa, Ara?

Terkadang beberapa perempuan menyalurkan rasa takut akan kesalahan yang telah dia perbuat melalui air mata.
–Ara Aquella

Sudah dua hari Dimas mengurus diri dan rumah sendirian. Rasa rindu sudah menyergap dalam pikirannya. Untunglah hari ini Ara akan pulang, meski belum pasti jam berapa perempuan itu akan kembali, tetapi Dimas sudah mengantisipasinya dengan membersihkan rumah minimalis yang selama enam bulan ini menemani mereka. Waktu yang masih singkat dalam sebuah pernikahan.

Dimas sedang mengganti sprei dengan warna yang lebih cerah, sebagai penyambutan untuk kedatangan Ara kembali. Sekarang akhir pekan, jadi Dimas bisa berada di rumah sepanjang hari sambil menunggu kabar kepulangan Ara.

Setelah selesai merapihkan kamarnya. Dimas kembali turun, langkahnya menuju dapur. Beberapa bahan masakan sudah tersedia dalam kulkas. Tadi malam Dimas sengaja berbelanja guna memenuhi lemari pendingin untuk satu minggu ini.

Aroma yang dihasilkan dari beberapa bumbu masakan menguat bersamaan dengan uap yang terlihat begitu mengepul di atas permukaan wajan. Sesekali Dimas mencicipi masakan yang dibuatnya itu. Jangan lupakan di sebelah wajan, Dimas sedang membakar sate.

Selesai dengan makanan, Dimas meraih beberapa buah apel yang sudah dia potong-potong untuk membuat jus, lalu meletakkannnya ke dalam lemari pendingin.

Merasa sudah cukup, Dimas kembali naik ke atas hendak mandi, karena dirinya akan segera pergi ke bandara untuk menjemput Ara. Butuh lima belas menit dan Dimas sudah berpakaian rapih.

Suara bel yang ditekan mengalihkan fokus Dimas. Pria itu segera bergegas untuk membukakan pintu. Meski masih terlalu dini, untuk bertamu.

"Siapa sih, pagi-pagi gini udah bertamu?" desis Dimas, yang merasa paginya terganggu.

Dimas benar-benar terkejut saat daun pintu terbuka. Seseorang langsung menerjangnya, membuat tubuh pria itu terhoyong-hoyong saking terkejutnya mendapat serangan dadakan seperti ini.

Seorang perempuan yang sangat familiar bagi Dimas. Perempuan yang sejak tadi sudah ditunggu dan diharapkan kepulangannya.

"Kok, nggak bilang kalau udah sampai Jakarta. Hmm?"

Perempuan itu tak menjawab. Sebaliknya, malah mengeratkan pelukannya dengan getaran di bahunya yang begitu kentara. Dimas tahu kalau saat ini Ara sedang menangis. Diusapnya punggung sang istri, berharap tangisnya segera mereda.

"Kenapa? Capek, ya?" tebak Dimas.

Masih tidak ada jawaban. Dimas yang merasakan bahu Ara semakin bergetar pun merasa panik. Beberapa pertanyaan tiba-tiba saja muncul dalam pikirannya. Apa terjadi sesuatu selama Ara di Surabaya? Hanya itu yang bisa Dimas ambil dari sekian banyak pertanyaan yang muncul dalam kepalanya.

Butuh dua menit untuk Ara berhenti menangis. Dimas segera melepas pelukannya. Tatapannya yang tenang, berpandangan lurus dengan mata Ara yang tersirat akan kesedihan. Di detik berikutnya Dimas tersenyum hangat.

"Kamu duduk dulu. Aku mau bawa koper kamu, sekalian ambil minum." Dimas membantu Ara untuk duduk di sofa ruang tamu.

Tak lama Dimas kembali dengan segelas air putih di tangannya. "Minum dulu." Dimas memberikan gelas itu langsung ke genggaman Ara. "Udah sarapan? Mau sarapan dulu? Atau mau istirahat?" tanya Dimas ragu, melihat wajah Ara yang berantakan dengan air mata, membuat hatinya mencelos.

Ara menggeleng. Tatapan matanya mengunci mata Dimas. Rasa rindu itu tergambar jelas di wajah Dimas. Pria itu menggeser duduknya, mengikis jarak sampai paha keduanya bersentuhan.

Bukan kebahagiaan yang justru terpancar dalam bola jernih milik Ara, melainkan kesedihan. Tanpa ragu Dimas menyibak rambut-rambut kecil yang sudah menempel di kulit putih Ara karena air mata. Diusapnya pelan kedua pipi Ara.

Dimas mendekatkan wajahnya, sementara Ara sudah merasakan hawa panas yang mengisi rongga paru-parunya. Rindu yang menggebu, juga hasrat yang tertahan beberapa hari ini. Tatapannya turun ke hidung lalu bibir Ara, bagian yang selalu Dimas rindukan. Semakin mendekat, bahkan Dimas sudah bisa merasakan embusan lembut napas Ara di bibirnya.

Dimulai dengan kecupan ringan lalu perlahan berubah menjadi luapan rindu yang menggebu-gebu. Atau hanya Dimas yang merasakan itu. Bagi Ara ciuman ini sebagai penghilang noda di bibir dan perasaan bersalahnya. Namun, lama kelamaan keduanya terbakar gairah. Tidak ada yang mau melepaskan. Tangan Dimas menelusup ke belakang leher Ara, sedikit menekan kepala bagian belakang perempuan itu agar pagutan mereka tidak terlepas.

Sekelebat ingatan melintas dalam benak Ara layaknya video yang diputar berulang-ulang, yang menayangkan dirinya terbangun tanpa busana  bersama seorang pria yang bukan suaminya di dalam sebuah kamar hotel. Dimas semakin memperdalam ciumannya. Lidahnya sudah menelusup masuk ke dalam mulut Ara. Namun, perempuan itu tak membalas, dia hanya diam membiarkan Dimas melakukan apa saja di dalam sana. Dia hanya ingin menghilangkan perasaan bersalah, juga sakit hatinya.

Setitik air jernih lolos dari telaga dengan bulat kecokelatan cerah di tengahnya. Detik berikutnya terdengar isakan pelan dari perempuan itu. Bibirnya bergetar, bersamaan dengan kedua bahunya yang naik-turun. Merasakan hal itu, Dimas segera menarik diri agar menjauh. Melepas pagutan, meski rasanya enggan teramat sangat.

Apa ciumannya terlalu kasar dan menuntut? Hanya itu yang dapat Dimas simpulkan. Pria itu mengusap kedua pipi Ara yang sudah kembali basah.

"Ra, maaf. Aku--"

Belum selesai perkataannya. Ara lebih dulu masuk ke dalam pelukan Dimas, menyandarkan kepalanya di dada bidang milik suaminya. Rasa bersalah lagi-lagi menghujam dadanya, meluluhlantakkan perasaannya. "Aku yang harus minta maaf," ucap Ara pilu di sela-sela isakan tangisnya.

Isakannya begitu terdengar pilu di telinga Dimas. Hatinya mencelos saat melihat Ara menangis. "Kamu kenapa?" tanya Dimas lembut. Pria itu semakin mengeratkan pelukannya. Mengecup bahu Ara beberapa kali lalu menghidu aroma tubuh Ara yang sangat dia rindukan. Sudut matanya ikut basah merasakan isakan istrinya. Dimas paling tidak bisa melihat Ara menangis.

"Tenangkan diri kamu dulu," ucap Dimas sambil terus mengusap punggung istrinya.

Melihat perempuan yang selama beberapa bulan ini menemaninya sedang tidur, adalah kebahagiaan tersendiri buatnya. Seperti sekarang, Dimas sedang duduk di pinggir kasur, menatap istrinya yang sedang tidur begitu tenang dan damai. Sejak berhenti menangis perempuan itu langsung tertidur dalam pelukan Dimas. Merasa tidak tega, pria itu langsung membawa sang istri ke dalam kamar.

Tangan kirinya mengunci tubuh Ara, sehingga wajahnya sejajar dengan wajah sang istri dan tangan yang kanan terjulur menyingkirkan rambut-rambut halus yang menutupi wajah cantik istrinya. Wajah yang kini terlihat begitu lelah dan kesedihan yang terpancar.

Sudah hampir petang, tetapi Ara belum juga bangun. Dimas sempat membangunkannya untuk makan siang, tetapi tidur Ara sangat pulas dan Dimas tidak tega jika harus mengusik perempuan yang dia cintai itu.

Tangan Ara menangkap jemari kokoh yang baru saja menyingkirkan beberapa helai rambut. Senyum tipis terlihat jelas di wajahnya dan detik berikutnya, Ara mengerjap lalu membuka matanya pelan-pelan.

"Udah bangun?"

"Hmm." Ara mengangguk dengan senyum yang selalu terlihat memesona di mata Dimas. Jari telunjuknya terjulur, menyusuri hidung lalu turun sampai dagu suaminya. Senyumnya semakin melebar. "Aku kangen." Dua kata yang tidak biasanya Ara ucapkan lebih dulu. Biasanya Dimas lah yang selalu mengucapkan dua kata itu saat salah satu dari mereka baru saja pulang dari berpergian jauh.

Dimas meraih tangan Ara yang masih setia menyentuh tiap permukaan wajahnya, lalu mengecupnya cukup lama dan begitu dalam, merasakan rindu yang juga masih bersarang di hatinya.

Ara beranjak duduk dibantu oleh Dimas. Entah kenapa kepalanya begitu berat, seperti ada beban yang menghujam puncak kepalanya.

Melihat ada kernyitan yang begitu dalam di wajah Ara, lantas Dimas bertanya. "Pusing?"

"Sedikit," jawab Ara sambil meringis menahan sakit.

Dimas menangkup kedua pipi Ara. Mengecup puncak kepala perempuannya cukup lama. "Biar nggak pusing lagi."

Sontak saja wajah Ara memerah mendengar bisikan lembut Dimas di puncak kepalanya. Lupa sudah kesedihan yang dia bawa dari Surabaya, semua sudah tergantikan dengan cinta tulus suaminya.

"Kamu belum makan. Aku bawain ke kamar aja, ya." Dimas mengusap sekali lagi puncak kepala Ara. Lalu menjejakkan kakinya ke lantai hendak melangkah pergi.

"Mau makan di bawah aja."

Dimas tersenyum lalu membantu Ara berdiri. Badannya benar-benar lemas, tidak ada energi sama sekali. Mungkin karena efek minuman yang semalam dia konsumsi tanpa sengaja. Ditambah perjalanannya yang lumayan melelahkan.

"Kasihan bidadariku," ucap Dimas seraya langsung membopong Ara menuju dapur.

"Dimas!" rengek Ara memberengut. "Berat badanku naik lima kilo, lho."

Dimas menaikkan sebelah alisnya. "Tapi, masih tetap ...." Seksi, sambungnya dalam hati

"Tetap apa?" Ara memicingkan mata sambil mengalungkan tangannya di leher Dimas. "Kamu mikir yang aneh-aneh, kan?"

"Pikiran kamu, tuh, negatif terus. Padahal aku mau bilang tetap cantik." Dimas langsung menghujani kecupan bertubi-tubi di wajah Ara. Menciptakan sensasi geli hingga wajah Ara benar-benar merona dibuatnya.

Ara mendorong wajah Dimas agar segera menjauh. "Dimas, ish!"

“Diam, nanti jatuh.”

“Kamunya rese!” Ara segera menepuk lengan Dimas.

"Aku nggak suka lihat kamu nangis kayak tadi pagi. Sekarang makan dulu, setelah itu kamu boleh cerita." Dimas menjatuhkan bokong Ara di atas bangku di depan meja makan. Lalu mengeluarkan jus dari dalam kulkas dan menyajikan beberapa hidangan masakan yang sejak tadi pagi dia siapkan untuk Ara. Dan sebelumnya sudah dipanaskan terlebih dahulu.

"Wow!" Ara terperangah melihat begitu banyak makanan tersaji di depannya. "Kamu yang masak?"

"Bukan."

"Terus? Delivery?"

"Suaminya mbak Ara, yang menyiapkan semua ini." Dimas terkekeh seraya meletakkan piring yang berisi nasi di depan Ara. "Silakan dicicipi kanjeng ratu," seloroh Dimas.

Dapat panggilan seperti itu tentu saja pipi Ara berubah memerah tanpa diminta. Dan detik berikutnya perempuan itu benar-benar menikmati makanannya sampai tandas.

"Jadi, gimana?"

Ara terperanjat melihat tatapan Dimas yang tenang, tetapi penuh akan keingintahuan. Perempuan itu kembali meneguk jus apel hijau, entah kenapa sekarang lehernya terasa tercekik, kering sekali. Ara menghela napas sebelum menjawab pertanyaan dari suaminya. "Ng, a-aku ... ini benar-benar nggak sengaja, Dim. Aku harap kamu percaya." Ara menunduk takut. "A-aku minum--"

Ara memainkan jari jemarinya yang masih berada di atas meja. Semoga saja Dimas percaya dan tidak akan bertanya lebih lanjut lagi. Ara benar-benar bingung sekarang. Bagaimana kalau sampai Dimas tahu tentang dirinya dan Allen? Tentang malam yang mungkin kelak akan memporak porandakan rumah tangganya?

"Ya, aku udah tau."

Ara mengangkat kepalanya. Bersikeras untuk menatap bola mata Dimas.

Hallo, akhirnya Dimas dan Ara kembali lagi:)
Bagaimana part ini? Hmm, kira-kira Ara kenapa? Ada yang tau?

Mau tau apa yang sebenarnya terjadi? Jangan sampai ketinggalan. Yuk, masukkan perpus dan tunggu notif dari aku yaa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top