☔ | Ditugaskan ke Surabaya
Ketika aku memutuskan untuk pergi. Bukan karena aku tidak lagi ingin berada di sisimu, tapi dengan cara seperti ini jarak akan membuktikan betapa kita akan terus terikat.
–Ara Aquella–
☔
Menjadi seorang wartawan bukanlah hal yang mudah. Dalam beberapa perusahaan pers, wartawan termasuk peran penting dari sebuah berita. Wartawan juga yang lebih sering turun langsung ke lapangan, untuk memawancarai narasumber atau pun menghadiri konferensi pers.
Perusahaan Redaksi Utama sedang melakukan rapat, lengkap dengan seluruh jajarannya.
"Lusa PT. Cocoa akan menggelar konferensi pers mengenai produk terbarunya yang akan rilis pada bulan Januari mendatang, di Surabaya," kata pemimpin redaksi selaku pemimpin rapat siang ini.
Semua karyawan hanya mengangguk antusias. Namun, beberapa berharap semoga tidak diikutsertakan dalam konferensi tersebut. Bukan hanya soal jarak, tetapi juga acara tersebut pasti sangat melelahkan.
"Ini berita yang cukup penting, karena pemilik PT. Cocoa adalah orang terkaya se-Asia. Apalagi cokelat yang akan dirilis oleh PT. Cocoa ini berasal dari Belgia langsung."
"Waww," gumam salah satu karyawan.
"Saya akan mengirim tiga orang untuk menghadiri acara tersebut," sambung Andre, pemimpin redaksi yang masih terus berdiri di depan ruangan dengan begitu tegap.
"Pertama, Ara selaku wartawan. Audy selaku fotografer dan ...," ucap Andre terjeda.
"Shila sebagai kordinator lapangan."
Wanita yang namanya baru saja disebut langsung mengangkat tangan kanannya. "Lho, kok, saya ikut? Tugas saya hanya mengkoordinir wartawan dan fotografer. Hal itu bisa saja saya lakukan di kantor," protes Shila merasa tidak terima dengan keputusan yang belum mendapat persetujuannya.
"Sekali-kali kamu harus terjun ke TKP."
Semua bersorak meneriaki Shila. Pasalnya perempuan ini memang sedikit manja. Dia salah satu karyawan yang masih lajang di kantor ini. Sementara yang lainnya sudah memiliki keluarga. Apalagi selama ini Shila hanya bekerja dalam ruangan, seperti menyampaikan berita melalui siaran televisi.
"Ara, kamu siap, 'kan?"
Merasa namanya terpanggil perempuan itu kembali pada fokusnya yang sempat teralihkan oleh ucapan Shila yang memprotesnya. "Iya, pak, siap."
"Ya sudah, sekarang kalian semua bisa kembali bekerja."
Semua karyawan bangkit dan kembali ke tempatnya masing-masing. Termasuk Ara, yang sedang berjalan menuju meja kerjanya bersama Renata.
"Untung aja aku nggak ikut. Kasihan anak aku tuh, kan masih minum ASI," ungkap Renata jujur.
"Kamu harus bersyukur kalau gitu."
Renata mengangguk. Kakinya terhenti saat hendak memasuki sebuah ruangan tempatnya bekerja.
"Semangat!"
Ara tersenyum tipis. Kepalanya hanya mengangguk. "Pasti."
Ara kembali ke meja kerjanya. Dokumen hasil wawancara tempo hari lalu saja belum selesai dia tulis. Namun, lusa dia harus kembali terjun ke lapangan. Memang terdengar agak mendadak, tetapi mau bagaimana lagi, sebagai seorang wartawan Ara harus siap jika ditugaskan pergi ke luar kota demi menghadiri konferensi pers.
Ara kembali melanjutkan pekerjaannya. Sesekali dia melirik arloji di pergelangan tangannya. Sudah hampir petang. Cuaca di luar juga sedikit mendung. Akhir-akhir ini memang sering kali turun hujan. Penghujung tahun memang identik dengan musim hujan, dan jangan lupakan bunga Flamboyan yang mulai berguguran di tepi jalan, serta genangan air yang tersebar di berbagai penjuru ibu kota.
Kantor sudah tutup, semua karyawan hampir semuanya sudah pulang. Begitu juga Ara yang sedang sibuk mengemas peralatannya. Setelah selesai dia langsung pergi ke luar hendak memesan taksi, kebetulan rumahnya tidak terlalu jauh. Hanya perlu waktu tempuh sekitar 20 menit.
"Pak, saya pulang duluan, ya."
"Oh, iya, hati-hati Ara," sahut Andre yang sedang merapikan dokumen di mejanya.
Ara hanya mengangguk kecil sambil tersenyum sebagai jawabannya. Ara pergi ke luar kantor. Kini dirinya sedang berada di pekarangan menunggu taksi lewat. Biasanya taksi sering sekali masuk pekarangan kantor karena memberhentikan penumpang, atau sekedar menunggu karyawan yang akan menggunakan jasanya.
"Ara," panggil seseorang.
Ara menoleh. "Iya?". Namun, di detik berikutnya Ara membuka mata dengan sempurna, sampai iris kecokelatannya yang cerah itu terlihat begitu jelas. "Dimas."
Seorang pria berpakaian semi formal berjalan dari arah belakangnya dengan senyum yang mengembang lebar. "Sudah selesai?"
Ara mengangguk antusias. "Hmm." Perempuan itu langsung melingkarkan tangannya di lengan pria yang sudah menjadi suaminya itu.
"Pulang sekarang?"
"Makan sate, boleh?" Ara mendongak, memasang mimik melas agar suaminya menuruti.
"Oke, kita beli sate dulu," Dimas akhirnya pasrah pada permintaan istrinya. "Beli yang di dekat kompleks aja, ya."
Ara mendongak, mendekatkan wajahnya dengan Dimas. "Iya, sayang," ucap Ara seraya mencolek hidung Dimas. Hal itu tentu saja membuat sang suami menggeleng-gelengkan kepalanya.
Pasangan ini mulai memasuki mobil yang terparkir di dekat pos satpam. Selanjutnya, mobil itu melaju dengan kecepatan sedang membelah jalan ibu kota yang cukup ramai.
“Kamu, kok, tumben jemput aku?”
“Masa jemput istri dibilang tumben, Ra?”
“Bukan gitu, biasanya kamu pulang malam soalnya.”
“Kalau boleh milih, sebenernya aku lebih senang antar jemput kamu setiap hari.” Dimas sesekali melirik Ara sambil tersenyum tipis.
“Nggak perlu, aku bisa sendiri.”
“Istri aku ini mandiri banget,” ucap Dimas gemas seraya mencibit pipi sang istri. Sampai perempuan itu meringia kesakitan. Selanjutnya pukulan lah yang Dimas dapatkan dari hasil mencubit pipi Ara.
Setelah melewati persimpangan jalan, Dimas menepikan mobilnya di sebuah warung sate. Pria itu menuruti permintaan istrinya untuk membeli sate terlebih dahulu. Sate maranggi yang tentu saja akan mereka beli. Mengingat itu adalah makanan favorit Ara.
"Mau makan di sini sekalian?" tanya Dimas saat sudah memasuki warung sate.
Ara tampak berpikir sejenak, lalu perempuan bernetra kecokelatan itu mencebikkan bibirnya. "Di rumah aja, ya? Di sini ramai banget."
Dimas mengangguk sambil tersenyum. Pria itu berjalan menghampiri si penjual sate. "Pak, satu porsi di bungkus, ya."
Cukup satu porsi, karena Dimas tidak begitu menyukai makanan itu. Baru dua tusuk saja, pasti Dimas sudah tidak ingin memakannya lagi.
"Baik, Mas. Silakan ditunggu."
Dimas menggandeng Ara untuk menunggu di sebuah tempat duduk sambil menunggu sate yang mereka pesan matang. Mengingat banyaknya pembeli. Membuat warung ini mengantri dan penjualnya harus membakar sate secara mendadak.
"Dimas," ucap Ara seraya mengelus punggung tangan Dimas. Iris matanya yang kecokelatan itu menatap lurus mata Dimas yang bernetra kebiru-biruan.
Dimas hanya tersenyum menunggu Ara kembali berbicara. Pria itu menepuk-nepuk pelan tangan istrinya.
"Lusa aku harus ke Surabaya."
Dimas membuka matanya hampir sempurna. Membiarkan manik yang berwarna biru itu terlihat sepenuhnya. "Untuk apa?" tanya Dimas. Kini tangannya sudah menggenggam tangan istrinya dengan sangat erat. Seakan tidak ingin kehilangan.
"Konferensi pers." Dimas menggeleng kuat.
"Mas, ini satenya," kata si penjual sate seraya menyerahkan kantung plastik berisi sate yang terbungkus dengan kertas nasi berwarna cokelat gelap.
"Makasih." Dimas memberikan selembar uang berwarna hijau.
Si penjual sate hanya mengangguk ramah. "Sama-sama, Mas."
"Yuk, pulang," ajak Dimas seraya menggenggam tangan Ara lalu keluar dari warung ini.
Ara mendongak, maniknya melirik ke arah Dimas. Terlihat jelas raut wajah suaminya yang sedang tidak bersahabat. Ini pasti karena ucapan Ara, yang mengatakan kalau dia akan pergi ke Surabaya mendadak.
☔
Ara masih terus bungkam sambil menatap jalanan melalui kaca mobil, tak ada bedanya dengan pria yang terlihat duduk tenang di balik kemudi. Pasangan suami istri itu saling terdiam dalam egonya masing-masing.
Hingga mobil itu menepi di depan sebuah rumah minimalis yang berada di Jakarta Selatan.
Perempuan itu turun lebih dulu untuk membuka rumah lalu bergegas menuju dapur untuk menyajikan sate yang sempat dia beli bersama suaminya.
"Dimas, makan dulu," ucapnya ketika melihat pria berpakaian semi formal hendak menuju lantai atas.
"Aku mau mandi dulu."
Ara beranjak dari dapur, menghampiri suaminya. "Aku siapin." Perempuan itu sudah berada beberapa langkah di depan pria itu. Namun, Dimas lebih dulu menahan tangan Ara.
"Kamu makan aja. Aku bisa sendiri." Pria itu segera melangkah menyusuri puluhan anak tangga yang akan membawanya ke lantai dua.
"Hmm," sahut perempuan itu dengan anggukan kepala.
Ara kembali ke dapur. Sate yang sudah diletakkan di piring masih tetap sama jumlahnya, Ara belum memakannya satu pun. Pikirannya tertuju pada Dimas. Perempuan ini yakin kalau Dimas tidak akan mengizinkannya pergi ke Surabaya.
Sudah hampir lima belas menit dia menunggu Dimas di meja makan. Badannya sudah sangat lengket, dia ingin segera mandi. Namun, dia ingin makan terlebih dahulu agar tidurnya nyenyak.
Ara menatap jam dinding yang ada di sekitarnya. Sudah hampir pukul tujuh malam, tetapi Dimas belum juga keluar kamar.
Ara semakin tidak tenang rasanya. Dia segera menyusul Dimas ke kamar. Saat tiba di kamar Ara bisa melihat dengan jelas kalau Dimas sudah tertidur, bahkan sebelum makan malam.
Ara melangkah mendekati pria yang tengah berbaring itu. Matanya sudah terpejam begitu menenangkan. Ara menarik selimut hingga menutupi tubuh Dimas. Matanya tidak lepas dari wajah suaminya.
Perempuan berkulit putih itu mengusap rahang tegas Dimas. Dia menghela napas panjang. "Dimas, kamu udah tidur?"
Tidak ada jawaban. Ara mengusap rambut Dimas penuh kasih sayang lalu mengecup singkat kening suaminya.
"Maafin aku, tapi ini udah menjadi tugas aku, Dim. Lagi pula, aku bisa jaga diri baik-baik, kok. Aku harap kamu nggak marah."
☔
Hai, aku kembali membawa Dimas dan Ara. Kisah cinta romantis dengan bumbu-bumbu manis di setiap partnya:)
Kisah ini memang sangat sederhana. Sesederhana angin mencintai awan, seberapa banyaknya udara merindukan oksigen, dan sekuat batang pohon mempertahankan buahnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top