9

Kembali dari luar kota, Rey meminta agar kami menginap di rumah papa dan mama. Wajah datarnya kembali muncul, ada kesedihan yang coba ia simpan. Aku bisa merasakan dari tatapan matanya. Apa ini tentang pekerjaan? Seperti biasa, dia segera bergabung dengan papa. Entahlah, sepertinya dia yang sekarang menjadi kesayangan mereka. Dan anehnya, sosok yang kalau sedang besamaku itu dinginnya minta ampun. Akan segera mencair jika bertemu dengan kedua orang tuaku. Dia dan papa bisa duduk selama berjam-jam. Entah apa yang diobrolkan. Mereka juga kerap makan siang bersama dan pergi memancing. Salah satu hobby papa yang paling kubenci.

Setiap kali ke rumah papa, hal yang tidak pernah dilewatkan Rey adalah mengunjungi sudut halaman. Tempat calon bayi kami dimakamkan. Ia akan berjongkok lama di sana seolah sedang bicara. Hingga saat ini aku tidak tahu bagaimana cara mendekatinya. Seolah ada tembok tinggi menghalangi kami. Tapi disisi lain, ia melakukan tanggung jawab sebagai seorang suami. Dia peduli padaku, bahkan selalu bertanya sebelum kami bercinta. Rey akan diam jika aku menolak. Dia juga masih mengenakan pengaman, karena tidak ingin aku menggunakan kontrasepsi.

Sepulang dari rumah papa malam itu, aku bertanya padanya.

"Rey, mantan kamu sekarang gimana kabarnya?"

"Nggak tahu."

"Kenapa kalian bisa putus?"

"Dia yang meminta berpisah."

"Iya, tapi kenapa?"

"Orang tuanya tidak setuju."

"Masak sih, kamu tuh menantu yang baik, lho. Kayaknya aneh kalau ada orang tua yang nggak setuju bermenantukan kamu. Berapa lama kalian pacaran?"

"Empat tahun."

"Kamu kenapa nggak pernah nanya tentang mantanku?"

"Buat apa? Itu hanya masa lalu."

"Kamu tuh kalau ditanya jawabnya selalu singkat. Yang panjang sedikit, kek."

"Membicarakan mantan bukan hal penting. Tidak ada yang perlu diingat tentang mereka."

"Kantor kamu di mana, sih?"

"Aku sudah pernah kasih kartu nama, kan. Disitu ada alamatnya."

Akhirnya aku berhenti bertanya. Bayangkan betapa menjengkelkannya jika harus berusaha mengajak Rey bicara. Ibarat jalan tidak ada beloknya. Dan wajahnya itu, bisa selalu datar tanpa senyum. Kecuali tersenyum diam-diam setelah lampu kamar kami sudah dipadamkan. Itupun saat kami selesai bercinta setelah mengucapkan terima kasih.

***

Kutatap taman yang sudah mulai menghijau. Rumah ini sudah hampir mirip seperti tempat tinggal yang sesungguhnya. Jingga sangat telaten mengurus rumah. Dia sedang kesal sejak pembicaraan kami tadi. Benarkah aku tidak menarik untuk diajak bicara? Apa yang harus kubicarakan jika bersamanya? Aku memang bukan orang yang mudah untuk beradaptasi. Mungkin karena biasa ditolak. Berbeda dengan Jingga yang terbiasa memancing muridnya untuk bercerita. Kuembuskan rokok yang ketiga malam ini. Mumpung belum mandi. Jingga tidak pernah mau kupeluk jika aku bau rokok. Padahal memeluknya adalah kegiatan favoritku saat malam. Aku selalu berusaha mengikuti kemauannya. Mungkin dengan ini, rumah tangga kami bisa bertahan.

Seekor kucing hitam mendekat. Kuangkat dan letakkan diantara kakiku. Aku bahagia, sudah punya rumah sekarang. Seperti inikah rasanya? Dulu, ketika aku lahir, kakek dan nenek langsung merawatku. Karena sejak mama hamil, jiwanya terganggu. Begitu aku lahir, menurut nenek dua kali mama hampir mencekikku. Pernah juga menyiram dengan air panas. Itu menyebabkan kulit dibagian dadaku terkelupas. Sebenci itu mama padaku. Hingga kemudian kakek dan nenek meninggal satu persatu. Dan omku berlayar ke luar negeri. Aku dititipkan di sebuah panti asuhan. Rumahku sampai selesai SMU.

Berbekal warisan om, aku kuliah. Sambil bekerja di sebuah percetakan kecil. Mencoba memahami bisnis dan mencari celah keunggulan dan kelemahan mereka. Selesai kuliah, aku membuka percetakan sendiri. Sejak itulah aku mulai mengunjungi mama secara rutin. Tapi dia tidak mengenalku. Satu-satunya nama yang sering disebutnya adalah Airlangga, nama papa. Mungkin juga ia tidak tahu namaku. Setidak berharga itulah aku dimasa lalu.

"Kok belum tidur?" suara Jingga mengagetkan.

"Masih merokok."

"Sudah malam, kamu sepertinya kurang istirahat akhir-akhir ini."

Aku hanya mengangguk. Dia kemudian duduk di kursi yang cukup jauh dariku. Segera kumatikan rokok. Pikiranku memang sedikit terganggu sejak kedatangan Naina. Aku takut kalau kebahagiaan dan ketenangan ini akan berakhir. Bagaimana kalau mantan kekasihku itu nekad? Bagaimana cara memberitahukan Jingga bahwa aku hanya menginginkan pernikahan ini? Aku tidak bisa melepaskan kehidupan yang sekarang.

"Kamu kenapa belum tidur?"

"Besok libur, tanggal merah."

Aku menatapnya sejenak. Aku tidak pernah libur, bahkan dihari minggu sekalipun. Kecuali memang saat mau liburan.

"Kamu sudah punya rencana akhir tahun?" tanyaku.

"Belum, kenapa?"

"Mau ke Bali? Bareng papa dan mama."

"Nanti kutanya kalau mau."

"Tanyalah, kita belum pernah pergi berempat."

Dia hanya mengangguk. Aku tidak tahu harus mengatakan apalagi. Akhirnya aku bangkit.

"Aku mau mandi dulu. Sudah malam kamu harus tidur." Hanya kalimat itu yang terlintas dalam pikiranku.

***

Aku baru saja membereskan meja anak-anak dan peralatan mengajar saat Riany memasuki kelas.

"Mbak, ada yang nyari." ucapnya dengan wajah kesal.

"Siapa?"

Seseorang yang sangat kukenal kini berada tepat di belakang Riany. Anton! Ngapain cecunguk itu datang? Wajah Anton terlihat marah, rahangnya mengeras seakan mau menerkamku. Kalau dulu aku pasti sudah mengikuti kemauannya. Karena malas ribut dan diketahui orang lain. Tapi sekarang berbeda, tidak mungkin punya suami lalu jalan dengan pria lain. Mantan pula!

"Aku mau bicara dengan kamu berdua saja."

Kugaruk hidung untuk memperlihatkan cincin pernikahan. Tapi sepertinya dia tidak ambil peduli.

"Masuk saja. Kita bicara di sini." Kupikir di sini lebih aman. Selain rekan kerja yang masih belum pulang, juga ada security yang kerap berkeliling.

"Di luar saja."

"Maaf, Ton. Aku nggak bisa. Ada janji dengan suamiku setelah ini."

Brak! Terdengar suara pintu dipukul. Reflek aku menggenggam bahu kursi. Wajah Riany pias seketika.

"Kamu bisa merusak pintu, dan harganya lumayan mahal." Aku memperingatkan.

"Kita bicara di luar!" teriaknya sambil menarik kuat tanganku.

"Riany, panggilin satpam!" teriakku. Benar-benar tidak ingin berdua saja dengannya. Aku takut melihat Anton yang seperti ini.

Tak lama dua orang security dan kepala sekolah muncul. Anton melepaskan genggamannya.

"Saya mohon jangan buat keributan di sini. Saya bisa melaporkan tindakan anda kepada yang berwajib. Ingat, ada CCTV di ruangan."

Anton menatapku marah. "Kita belum selesai bicara. Kutunggu kamu di luar."

Tubuhku menggigil seketika. Aku tahu bagaimana Anton kalau sedang marah apalagi cemburu. Ia bisa memukul siapa saja. Jantungku berdetak kencang. Miss Nurmala segera memelukku. Sementara Riany memberikan air putih.

"Kenapa dia bisa masuk? Bukankah ada aturan kalau tamu harus menunggu di lobby atau di kantor?" teriak Miss Nurmala gusar. Riany kerjaku itu menunduk.

"Dia memaksa dan langsung mengikuti saya dari belakang tadi."

"Nggak apa-apa, Miss." Aku mencoba membela Riany.

"Kamu yakin mau pulang sendiri?"

Aku menggeleng ragu. "Saya akan menghubungi suami."

"Begitu lebih baik. Kamu tunggu di kantor saja. Saya paling benci laki-laki yang kasar pada perempuan. Kamu harus hati-hati setelah ini. Dia bisa nekat dan mencelakai kamu."

Aku mengangguk. Mereka mengiringi langkahku ke kantor. Dari sana kulihat mobil Anton masih berada di seberang jalan. Segera kuhubungi Rey.

"Ada apa? Maaf aku mau meeting."

Aku diam sejenak, jadi tidak enak mengganggunya. Apakah aku harus menceritakan semuanya?

"Jingga?"

"Mantan pacarku barusan datang. Dia memaksa untuk bicara di luar. Sepertinya dia marah dan beberapa kali membanting pintu kelas tadi."

Kudengar helaan nafas.

"Aku tidak bisa menjemput. Tapi kamu jangan pulang dulu. Aku akan minta karyawan untuk menjemput. Kasih kunci mobil kamu ke dia, lalu kamu naik mobilku. Akan kuhubungi kalau mereka sudah jalan. Ingat, jangan pulang ke rumah. Meski pengamanan di sana ketat."

"Ya." jawabku sambil mengembuskan nafas lega. Meski sebenarnya tubuhku gemetar. Satu jam kemudian mobil Rey sudah berada di halaman sekolah. Miss Nurmala mengantar sampai ke lobby. Dari jauh masih kulihat mobil Anton parkir. Namun mencoba tidak peduli segera kunaiki mobil Rey. Beruntung kaca mobil sangat gelap. Masih kulihat mantanku itu mengepalkan tangan, ia tahu aku menaiki mobil yang berbeda.

Sesampai di kantor Rey, seorang resepsionis segera mengantar ke ruangan. Beberapa orang menatapku sambil tersenyum dan mengangguk. Kubalas dengan senyum kaku. Karena sebenarnya sungkan. Apa nanti kata orang kalau ada istri yang datang ke kantor suami. Minta dijemput dengan pengawalan pula. Apa aku tidak berlebihan? Tapi mengingat mata Anton tadi, rasanya aku memang benar-benar harus waspada.

***

"Mantan kamu itu kenapa sebenarnya?" tanya Rey saat kami sudah memasuki ruangan.

"Nggak tahu, tiba-tiba dia datang sambil marah-marah."

"Kalian sudah benar-benar putus?"

"Sudah, dia bahkan yang mutusin."

"Apa dulu dia juga seperti itu?"

"Kadang kalau cemburu atau sedang stress dengan pekerjaan."

"Pernah sampai mencelakai kamu?"

"Maksudnya?"

"Memukul atau melakukan tindakan yang membahayakan nyawa."

Kuremas jemari yang kini bergetar.

"Jingga, apa papa dan mama tahu?"

Kugelengkan kepala. Sepertinya dia sudah menebak jawabanku.

"Kenapa tidak pernah cerita ke mereka?"

"Aku malu, lagi pula tidak pernah sampai parah. Palingan hanya mencengkram lenganku kuat sampai biru."

"Kamu pernah melawan?"

"Dulu pernah, tapi setelah itu dia baik kembali."

"Kamu harus berhati-hati kalau begitu. Apa dia tahu kita sudah menikah?"

"Sepertinya. Aku memang tidak mengundang karena dia dipindahkan ke Surabaya. Lagian buat apa juga."

"Mungkin dia cemburu."

"Nggak tahu, karena dia yang meminta pisah."

"Untuk sementara, aku akan meminta petugas keamanan kantor untuk menjemput kamu bekerja. Berangkatnya aku yang antar. Setidaknya mereka bisa beladiri. Jadi tidak perlu takut kalau sedang berada di luar."

"Terima kasih."

"Kita pulang saja sekarang. Pekerjaanku sudah selesai. Kamu butuh istirahat."

Aku segera bangkit, mengikuti langkahnya ke luar ruangan.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

9122

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top