8
Aku tiba di rumah sudah hampir jam delapan malam. Ada begitu banyak makanan titipan mama. Rendang daging, kering tempe teri, ayam ungkep, bumbu kuning, merah dan putih. Lengkap sekali. Kususun belanjaan di dalam lemari pendingin. Mama juga memberikan beberapa kotak plastik yang biasa digunakan untuk tempat menyimpan makanan agar lebih rapi.
Selesai membereskan semua, aku mandi. Yakin kalau jam segini Rey pasti sudah makan sebelum pulang kantor. Jadi aku lebih santai sekarang. Kubuka laptop untuk menyiapkan rencana mengajar besok sambil ngemil peyek buatan mama. Tadi pekerjaan rumah anak-anak sudah selesai diperiksa. Jadi setelah ini tinggal istirahat. Rumah begitu sepi. Sedikit takut juga sebenarnya karena sama sekali tidak ada suara. Kecuali sesekali kendaraan warga kompleks melintas.
Pukul sepuluh lewat, mobil Rey memasuki garasi. Kubukakan pintu, dia seperti terkejut. Tampilannya berantakan dengan lengan kemeja digulung. Apalagi dia mengenakan kemeja dan celana berwarna hitam. Kulit yang sedikit gelap membuatnya jadi sedikit menyeramkan.
"Kamu bisa keluarkan mobil dulu? Besok aku duluan yang berangkat." ujarku.
"Biar besok aku yang keluarkan mobil kamu. Masak apa?"
"Ada titipan dari mama tadi. Memangnya kamu belum makan?"
Ia menggeleng. Aku bergegas ke dapur untuk menghangatkan rendang. Tahu begini dari tadi aku masak. Kutumis baby kailan dengan bawang putih. Tak sampai sepuluh menit semua selesai. untung aku masih bangun. Lagian siapa suruh hampir tengah malam begini nggak makan? Sayang Rey tak langsung memasuki dapur. Ia kembali membawa makanan kucing. Dan seperti biasa menunggu kucing-kucing kampung sambil duduk di halaman. Selesai memberi makan barulah ia kembali untuk makan malam. Kutunggui dia sampai selesai.
"Kamu nggak mandi dulu biar segar?"
"Aku jarang mandi malam."
"Jangan tidur sama aku kalau kamu nggak mandi. Bau rokok tahu nggak?"
"Nanti aku mandi kalau begitu. Terima kasih sudah memasak." jawabnya datar.
"Kamu sudah makan obat?" tanyanya lagi.
"Sudah."
"Bagaimana hari ini?"
"Seperti biasa. Anak-anak senang bisa ketemu aku lagi. Beberapa orang tua memberikan kado pernikahan. Aku jadi nggak enak. Apa suvenir pernikahan kemarin masih bisa dipesan?"
"Kamu butuh berapa?"
"Sepuluh, nggak usah semewah kemarin. Yang biasa saja."
"Besok aku suruh seseorang mengantar ke sekolah kamu."
"Kamu nggak biasa makan vitamin tertentu?" tanyaku.
"Enggak, kenapa?"
"Pernah MCU?"
"Enggak."
"Kamu harus check up untuk memastikan kalau kesehatan kamu aman."
"Kenapa sih, dengan kesehatan? Kamu takut jadi janda?" tanyanya pelan. Untuk yang satu ini, dia benar-benar berbeda dengan Anton yang akan berteriak kalau sedang marah atau kesal.
"Sudah kubilang, aku hanya malas mengurus orang sakit dalam usia muda."
"Jadi kalau aku sakit kamu nggak mau merawat aku?"
"Ya, kurawatlah. Aku bukan istri durhaka. Bisa diomelin papa dan mama kalau aku begitu. Tapi kamu juga jangan ngeyel. Harus jaga kesehatan, jangan terlalu banyak merokok dan makan makanan instan." teriakku.
"Ada kamu yang memasak sekarang." jawabnya santai.
"Sudah malam, kamu capek seharian. Aku juga begitu, kita tidur sekarang. Jangan lupa mandi." Aku segera membereskan meja makan. Diluar dugaan ia menunggu sampai selesai. Cukup gentle sebenarnya.
Kami melangkah beriringan menuju kamar. Kumatikan lampu utama terlebih dahulu. Dia menatap sekeliling keningnya berkerut meilhat perubahan yang ada.
"Aku ganti kain gorden dan spreinya. Takut kalau warnanya hitam dan abu-abu semua."
"Terserah kamu. Buat agar kamu merasa nyaman."
"Sabtu nanti aku akan merapikan taman. Jadi hari jumat sepulang dari sekolah aku mau beli tanaman hias."
"Kamu mau aku temani?"
"Aku bisa sendiri. Kamu pasti sibuk di kantor."
"Nggak apa-apa. Jemput aku di kantor. Nanti kita pakai mobilku. Mobil kamu bagasinya sempit begitu." Jawabnya sebelum menghilang dibalik pintu. Tak lama sudah terdengar bunyi guyuran air. Kucoba memejamkan mata. Tapi tak bisa tidur hingga kemudian kurasakan kasur bergerak. Kulirik dia yang sedang menarik selimut.
"Kamu tidur nggak pakai baju? Nggak takut masuk angin?" protesku.
Ia menatap heran. "Selalu seperti ini. Ada masalah dengan kamu?"
"Nggak sih, tapi aneh aja."
Rey menarik selimut kemudian mematikan lampu.
"Apa kamu butuh asisten rumah tangga?"
"Belum, masih bisa sendiri. Apa aku boleh mengajar piano lagi?"
"Sebaiknya tidak usah. Nanti disangka orang aku tidak bisa membiayai kamu."
"Bukan tentang biaya, tapi waktuku banyak kosong."
"Kamu bisa ke kantorku. Di sana banyak pekerjaan kalau mau."
"Kamu kekurangan karyawan?"
"Tidak juga, tapi kalau kamu mau, bantu bisa."
"Enggak ah, nanti aku dikira penguntit suami. Lagian apa nggak malu kalau istri kamu ikutan ngantor? Seakan nggak percaya kalau suaminya kerja."
"Tidurlah sudah malam. Besok kamu bangun pagi. Mau aku peluk?"
"Nggak—nggak usah. Aku nggak biasa dipeluk." Tolakku cepat. Kulirik ia yang tersenyum sambil tertawa kecil. Segera kubalikkan badan.
***
Satu hal yang berubah sejak ada Jingga di rumah adalah aku mulai terbiasa makan makanan sehat. Dia memasak nasi, sayur dan ikan setiap pagi. Bangun pukul 04.30. Disaat itu pula ia masih menyempatkan diri untuk mencuci pakaian. Sementara menyetrika dilakukan sepulang bekerja. Aku pernah melihatnya merajang bumbu pukul sepuluh malam saat pulang kantor.
Masakan Jingga sebenarnya belum bisa dikategorikan sangat enak. Naina jauh lebih jago di dapur. Namun kuakui, Jingga lebih tekun dalam mengerjakan sesuatu. Tidak ada kata tidak sempat dalam kamusnya. Pernah ia bangun kesiangan, dan memasak yang cukup simple. Yakni tumis kangkung, tempe goreng dan dadar telur. Sehingga pagi itu aku bisa sarapan juga. Kadang aku juga meminta dibawakan bekal makan siang. Dengan senang hati Jingga menyiapkan. Hampir tak pernah lagi aku makan daging olahan.
Beruntung hingga sekarang kalimat Naina di kantor saat itu tidak terealisasi. Dia tidak pernah datang lagi. Aku pun tidak berusaha menghubungi. Terutama karena ada rasa tidak enak pada kedua mertuaku. Setiap sabtu malam kami menginap di sana. kehidupanku perlahan mulai berubah. Aku tidak lagi sering minum dan mengunjungi kelab. Semua jauh lebih teratur seiring dengan kebawelan Jingga setiap kali ada aroma aneh yang menguar dari mulut dan tubuhku.
Hubungan dengan papa juga semakin baik. Kami bahkan kerap olah raga bareng. Sebuah rutinitas baru yang sangat kusukai. Aku benar-benar seperti seorang anak laki-laki di tengah keluarga Jingga. Kadang papa mengajak memanggang ikan atau daging. Mama dan istriku yang membuat bumbu. Kami makan bersama di halaman belakang. Duduk di lantai sambil mendengarkan cerita mereka. Aku sendiri lebih suka mendengar. Karena memang tidak punya cerita apapun. Kehidupan di panti tidak layak untuk diceritakan. Hidupku terlalu datar.
Hingga akhirnya setelah sebulan lewat, saatnya aku harus ke luar kota. Jumat itu aku meminta ijin untuk tidak mengunjungi papa dan mama pada akhir minggu. Kumasukkan beberapa baju ke dalam sebuah koper kecil.
"Kamu tugas dari kantor?" tanya Jingga yang membantu persiapan.
Aku sebenarnya lebih suka jika ia tidak bertanya. Tapi akhirnya mengangguk.
"Berapa hari?"
"Cuma dua."
"Kok sabtu minggu, sih?"
"Sudah rutin, ke salah satu cabang."
"Jabatan kamu apa, di sana?"
"Aku pemilik Atlanta. Jadi wajar kalau mengunjungi kantor cabang."
Ia mengangguk setelah membelalakkan mata. Terlihat sangat lucu. "Bukannya kalau sabtu dan minggu kantor tutup, ya. Kamu kerja keras banget, pantesan bisa menyewa kamar dua puluh juta semalam."
Aku hanya menggeleng. Heran kenapa perempuan memorinya bagus sekali untuk mengingat hal yang membuat mereka penasaran?
***
Kumasuki halaman rumah sakit jiwa yang kerap kukunjungi selama hampir seusiaku. Suasana tenang segera terasa. Beberapa perawat menyapa. Sebelumnya aku bertemu dokter yang merawat mama. Dia mengatakan semua stabil. Mama sudah jarang mengamuk namun harus tetap berada dibawah pengawasan. Kumasuki sebuah ruangan yang sudah sangat kukenal. Dan tersenyum melihat mamaku di sana. Seperti biasa, ia duduk dengan tenang menatap ke luar jendela. Disaat seperti ini ia terlihat sehat. Namun matanya yang kosong tak sekalipun menatapku. Aku menarik sebuah bangku lalu duduk di sampingnya.
"Hai, ma."
Aku tahu tidak akan pernah ada jawaban. Kusentuh tangannya, tidak ada reaksi apapun.
"Ma, aku sudah menikah. Nama menantu mama, Jingga."
Kutatap wajahnya, tidak ada perubahan. Dan kini akupun tidak tahu harus berkata apa lagi. Aku hanya duduk dan tetap mengelus punggung tangannya. Menikmati kebersamaan kami yang singkat. mama sudah lama di sini. Pada awalnya dia sering histeris dan berteriak di luar rumah. Bahkan kerap mengganggu tetangga dengan melempari rumah mereka. Membuat warga di sekitar rumah nenek resah lalu melaporkan pada ketua RT. Omku yang merupakan saudara mama satu-satunya kemudian membawanya untuk dirawat. Dulu omku seorang pelaut. Dialah yang membayar seluruh biaya rumah sakit. Tapi sejak punya penghasilan sendiri aku yang membayar. Lagi pula omku itu sudah meninggal tanpa sempat menikah.
Aku pernah membuka salah satu rahasia ini pada keluarga Naina. Saat itu ingin menjadi laki-laki jujur. Sayang, inilah yang menjadi penyebab mereka tidak mengijinkan putrinya menjalin hubungan denganku. Dan kali ini aku memutuskan untuk tidak membuka lagi pada siapapun. Aku tidak mau sendirian dan kehilangan lagi. Aku layak untuk bahagia dan tidak direndahkan orang. Aku sudah berhasil, mampu menghidupi sebuah keluarga. Tapi berapa lama bisa menyimpan rahasia ini? Bagaimana kalau ada yang memberitahu keluarga Jingga. Siapa yang mau bermenantukan anak orang yang memiliki gangguan jiwa?
Kutatap wajah mama yang putih. Masih tersisa kecantikan yang tak lekang oleh waktu. Sesuatu yang membuatnya harus mengalami penderitaan seperti ini. Sudah hampir seharian aku di sini. Menyuapi mama, memberinya obat. Membimbingnya ke tempat tidur. Kulirik jam tangan, sudah sore ternyata.
"Ma, aku pamit. Bulan depan aku akan datang lagi."
Selesai bersama mama, aku mengunjungi makam om, serta kakek nenekku. Sebuah rutinitas bulanan yang sudah kulakukan selama beberapa tahun. Terutama saat penghasilanku meningkat. Di sinilah kulepas seluruh topeng yang kukenakan sepanjang waktu. Entah berapa lapis agar tak ada yang tahu.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
7122
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top