6


Aku termenung menatap Jingga yang masih tertidur. Bayi kami tidak bisa diselamatkan. Sebuah kado pernikahan yang buruk. Kedua mertuaku duduk di sofa, sementara aku memilih menemani di sisi ranjang. Apakah hidupku akan terus semenyedihkan ini? Apakah pernikahan kami bisa bertahan tanpa bayi itu? Aku mulai takut dengan masa depan rumah tangga kami.

Sebenarnya sejak tahu bahwa bayi kami bermasalah, aku ingin agar Jingga istirahat total. Tapi tidak mungkin karena dia harus bekerja. Lagipula kupikir hanya setengah hari. Ia tak lagi mengajar piano. Mungkin juga karena ia begitu sibuk dan stres menjelang pernikahan. Sudahlah, tidak ada yang bisa kusalahkan. Semua datang tiba-tiba.

Kuraih jemari Jingga. Kutatap wajahnya yang pucat. Masih terngiang ditelinga janji yang kuucapkan kemarin. Tentang aku yang akan tetap setia dalam setiap keadaan. Susah, senang, sehat maupun sakit. Janji yang pada awalnya harus kuhapal mati-matian, kini harus kuterapkan. Hari pertama pernikahan kami diisi dengan rasa kehilangan. Apa lagi yang akan terjadi setelah ini? Aku mau marah tapi tidak bisa karena tidak tahu pada siapa. Sepasang jemari menepuk pundakku.

"Kita sarapan dulu. Sudah jam enam."

'Iya, pa. Tapi Jingga?"

"Ada mamamu."

Kutatap ibu mertuaku yang segera mengangguk. Aku bangkit, setelah mencium kening Jingga kami pergi. Papa memeluk bahuku. Tinggi kami memang hampir sama. Entah kenapa aku ingin agar pelukan dibahu ini tetap menjadi milikku, selamanya. Seperti inikah rasanya memiliki seorang papa? Hanya sebuah sentuhan dibahu, tapi membuatku merasa tenang, damai dan tidak sendirian. Aku merindukan ini, sekarang mendapatkan. Aku menginginkan ini—terus—sepanjang hidup.

"Papa tahu ini sulit. Tapi kalian jangan saling menyalahkan."

"Kalau ada yang salah itu adalah saya."

Papa menggeleng. "Jangan menyalahkan diri sendiri. Semoga kalian bisa melalui tahap ini. Papa akan berdoa untuk kalian. Kalau kamu butuh teman bicara, papa akan selalu ada."

Kutatap wajah tua yang terlihat lelah. Aku hanya bisa mengangguk. Papa kembali menepuk bahuku.

***

Rey menyuapiku makan, kini kami hanya tinggal berdua. Papa dan mama baru saja pulang. Entah bagaimana mendeskripsikan perasaanku saat ini. Ada penyesalan besar, kenapa tidak bisa menjaganya. Seharusnya aku bisa melindungi bayi yang tidak bersalah dalam rahimku. Pernikahan baru saja dimulai. Dan sejak awal, aku mencoba menerima kenyataan salah satu tujuan kami menikah adalah karena ada bayi. Tapi sekarang? Apalagi tujuanku? Kenapa harus sekarang? Kenapa tidak dari kemarin-kemarin sehingga aku bisa menolak pernikahan? Ada apa dengan hidupku? Apa yang salah? Tidak mungkin bercerai saat baru menikah satu hari. Ini akan mempermalukan papa dan mama.

"Jangan melamun." Suara Rey menyentak lamunanku.

"Aku cuma bingung."

"Semua sudah terjadi."

"Apakah pernikahan kita ini penting?"

"Kenapa bertanya begitu? Kamu tidak ingat janji pernikahan yang kamu ucapkan kemarin?"

"Aku hanya merasa aneh."

"Semua akan baik-baik saja. Yang penting kamu cepat sembuh." jawabnya pelan.

"Kapan aku boleh pulang?"

"Belum tanya dokter. Kenapa?"

"Aku hanya mengambil cuti tiga hari. Akan selesai hari rabu."

"Semoga nanti kamu sudah pulih. Kemarin darahnya banyak sekali aku sampai takut."

"Di mana dia dimakamkan?"

"Papa membawanya ke rumah mereka."

Aku mengangguk. "Ini hari Minggu, kan?"

"Ya, kenapa?"

"Kamu nggak gereja?"

"Aku Agnostik."

Kutatap matanya. "Aku tidak tahu selama ini. Tapi KTP, kamu?"

"Hanya sebuah keharusan, ini Indonesia."

Aku mengangguk tanda mengerti. Ketika satu persatu bagian dirinya terkuak, aku semakin menyadari bahwa kami memiliki banyak perbedaan.

"Kamu cuti sampai kapan?"

"Terserahku."

"Kenapa bisa?"

"Aku yang punya kantor."

Kembali kutatap wajahnya yang datar. Yah, seharusnya memang aku sadar sejak awal. Apalagi mengingat souvenir pernikahan kami yang tidak murah. Saat itu aku hanya ingin sebuah mug dengan lambang cincin pernikahan dan inisial nama kami berdua. Namun saat acara, ternyata ada penambahan. Isinya seperangkat alat makan berbahan keramik dengan kualitas bagus berada di dalam kotak. Yang kutahu harga satu setnya hampir enam ratus ribu. Karena pemilik yayasan tempatku mengajar memberikan benda yang sama saat ulang tahun pernikahan mereka pada tamu undangan VIP. Sampai-sampai para sepupuku terbelalak. Mengatakan bahwa ini salah satu souvenir pernikahan terbaik yang pernah diterima.

"Apa aku masih boleh bekerja?"

"Aku membebaskan kamu melakukan apa yang kamu mau. Anggap ini kesepakatan pertama kita sebagai suami istri."

"Apakah setelah ini aku boleh memakai kontrasepsi?"

"Boleh, Dokter juga mengatakan sebaiknya kamu tidak hamil selama enam bulan kedepan."

"Kita harus bagaimana sekarang?"

Ia meletakkan piring yang sudah kosong. "Kita coba jalani."

"Kalau kita gagal?"

"Jangan berpikir aneh." jawabnya sambil memberikan obat minum untukku.

***

Kutatap gundukan tanah kecil yang ada disudut halaman belakang rumah mertuaku. Di sana calon bayiku bersemayam tanpa kami pernah bertemu. Rasanya semua terlalu singkat. Pertemuan kami, pembahasan tentang pernikahan, lalu kemudian pernikahan. Diakhiri dengan kehilangan. Aku belum puas berbincang dengannya. Menyampaikan bahwa aku mencintainya. Aku ayah yang buruk, sehingga ia memilih pergi.

"Kamu hanya perlu mendoakannya." bisik papa yang masih berdiri di belakangku.

Aku hanya mengangguk. Tidak mungkin membuka rahasiaku di hadapannya sekarang.

"Jingga sangat suka anak kecil. Makanya papa tidak heran kalau dia memilih menjadi guru. Setiap pulang mengajar dia selalu bercerita tentang tingkah muridnya. Sehingga kami tahu siapa saja nama mereka dan bagaimana tingkahnya hari itu."

Aku menunduk. Hubungan kami baru dimulai jadi aku tidak tahu apa dan bagaimana kesehariannya. Lagipula pembicaraan kami hampir selalu berakhir dengan perdebatan. Dia berbeda dengan Naina yang pendiam dan lembut. Tapi itu juga yang membuatku selalu merindukan suara dan pelototan matanya. Hidupku terasa lebih berwarna.

"Sabarlah menghadapinya. Dia manja sebagai anak tunggal. Dulu dia punya adik laki-laki. Tapi meninggal karena kecelakaan. Harapan kami hanya tinggal Jingga."

Kutatap wajah tua yang terlihat sedih. Entah kenapa aku merasa bersalah. Kami kemudian melangkah menuju teras dan duduk di sana.

"Kalau mamamu ada, kita pasti sudah mendapatkan secangkir teh."

Aku berusaha tersenyum. Apakah itu sebuah kebiasaan di keluarga mereka?

"Jingga itu fotokopi mamanya. Pembersih, rajin di dapur dan rapi sekali. Papa selalu menjadi korban omelan mereka."

"Rasanya kita sama pa."

"Kalau begitu papa punya partner in crime sekarang. telinga kita harus siap mendengarkan omelan mereka." Kami tertawa bersama. Meski tahu bahwa itu hanya untuk menutupi kesedihan.

"Kamu kecewa pada Jingga?" tanya papa kemudian.

"Saya tidak tahu mendeskripsikan perasaan untuk saat ini. Tapi saya tidak menyalahkannya."

"Pasti, papa pernah merasakannya. Waktu Wisnu harus meninggal ditangan pengendara mobil yang mabuk. Cuma bedanya kamu belum pernah bertemu dengan putramu. Tapi rasa sayang kita sebagai laki-laki terhadap anak kurang lebih akan sama."

'Apakah benar? Kalau benar, dia tidak akan meninggalkanku begitu saja. Setidaknya ada tanggung jawab yang mengikuti perbuatannya. Meski kini aku berhasil membuktikan sedikit lebih baik darinya. Aku bertanggung jawab terhadap perbuatanku. Tapi apakah ini akan abadi?'

"Rey, kamu kenapa?" papa mengagetkanku.

"Nggak apa-apa."

Papa kembali menepuk bahuku lalu meremasnya pelan.

"Hidup itu ya, seperti ini. Kadang tidak sesuai dengan keinginan kita. Tapi percayalah, sudah ada yang atur. Kamu jalani saja dengan niat yang baik. Kalian harus saling lebih mengenal dan menjalin hubungan lebih baik lagi."

"Terima kasih pa."

"Papa cuma minta satu hal. Sayangi Jingga. Dia milikmu sekarang, seseorang yang mendampingi hidupmu. Dia bukan perempuan sempurna. Kalian adalah sebuah tim dalam membina keluarga. Banyak rembukan, saling menopang, menolong. Memang tidak mudah, tapi itulah pernikahan. Tidak ada yang bisa berjalan sesuai kemauan sendiri. Kadang kita harus membuang mimpi agar bisa melebur bersama pasangan."

"Aku akan ingat pesan papa."

'Lalu pesan siapa lagi yang harus kuingat? Tidak ada orang lain yang menasehati tentang pernikahan. Anggaplah ini sebuah keberuntungan. Meski aku tidak merasa berbuat apa-apa.'

***

Tiga hari kemudian aku pulang ke rumah. Kali ini diantar oleh papa dan mama juga. Rumah sudah lebih bersih dan rapi. Setidaknya tumpukan sampah dan piring kotor tidak ada lagi. Juga ada foto pernikahan kami bersama kedua orang tuaku di ruang tamu. Selebihnya tidak ada yang berubah.

"Nanti, sebelum kamu sembuh benar, mama akan mengirimkan makanan. Jadi, jangan masak dulu. Kamu belum boleh capek kata dokter. Ingat jangan gendong murid-muridmu dulu. Mereka berat-berat semua."

Mama kembali mengingatkanku untuk kesekian kali. Aku hanya mengangguk. Mereka pulang setelah cukup lama berada di sini. Kini aku berjalan pelan menuju halaman samping yang terlihat gersang. Rey mengikuti dari belakang.

"Apa aku boleh menata rumah ini atau menanam sesuatu?"

"Terserah kamu. Ini rumah kita."

"Apa mantan kamu tinggal di sini juga dulu?"

Rey me-rolling matanya. Sepertinya tak suka dengan pertanyaanku. Tapi aku ingin tahu. Setidaknya jejak perempuan itu pasti ada di sini.

"Tinggal tidak, tapi sering kemari."

"Kalian tidur di mana?"

"Kamu cemburu?"

"Cuma nanya."

"Di kamar lantai dua."

"Kalau begitu kita tidur di kamar bawah saja."

"Aku sudah bilang kalau di bawah beberapa temanku—"

"Kamu sudah pernah mengatakannya. Jadi nggak usah menjelaskan lagi. Aku tidak masalah kalau temanmu datang. Aku bisa menginap di rumah papa dengan alasan kangen. Kamu tidak setiap hari menerima tamu, kan?"

"Tidak."

"Kamu merokok?"

"Ya."

"Banyak?"

"Sekitar dua sampai tiga bungkus perhari."

"Aku tahu ini rumah kamu. Kalau boleh kuminta jangan merokok di dekatku apalagi di kamar. Nafasku langsung sesak kalau mencium bau nikotin."

"Kalau aku melakukan itu?"

"Aku akan pindah kamar sampai bau asap rokok hilang. Satu lagi, rokok bisa menyebabkan penyakit kanker, jantung dan impotensi. Kuharap kamu sehat supaya aku nggak perlu merawat orang sakit dalam usia muda."

Kulihat ia mengembuskan nafas kasar mungkin karena kesal padaku.

"Kamu pulang kerja jam berapa?" tanyanya.

"Sekitar jam dua siang. Kemarin aku tidak mengajar piano lagi atas saran dokter. Tapi nanti akan kusesuaikan dengan jam kerja kamu."

"Aku akan sering pulang malam karena pekerjaan. Kalau kamu perlu cari saja di kantor. Aku tidak akan kemana-mana. Sepertinya kamu disiplin tentang segala sesuatu."

"Aku seorang guru, jadi harus menjadi contoh buat murid-muridku."

"Bagaimana dengan mabuk waktu di Bali?" tanyanya sambil melirikku.

Kutinggalkan ia yang tersenyum penuh kemenangan.


***

Happy reading

Maaf untuk typo

3121

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top