4

Kutatap keluarga Jingga yang duduk diseberang kursi. Entah kenapa suasana seperti ini membuatku merasa benar-benar berada ditengah keluarga sesungguhnya. Wajah, suara dan ucapan mereka yang tetap santun meski kecewa. Apakah ini adalah gambaran keluargaku di masa datang? Suasana yang begitu kurindukan sejak masa kanak-kanak. Mungkin otakku sudah bergeser sekarang. Menodai anak orang malah merasa beruntung. Tapi jujur, jika korbannya bukan Jingga, mungkin aku sudah memilih penyelesaian lain.

"Kami menyesal dengan kejadian tadi malam sehingga membuat kamu terlibat."

Aku tertunduk dengan wajah pura-pura menyesal. Padahal entah apa yang harus disesali. Akting seperti ini dibutuhkan untuk menarik simpati setiap orang. Aku sudah pernah melakukan selama ratusan kali saat berada di panti dulu.

"Saya yang salah, karena tidak bertanya terlebih dahulu."

"Lalu, bagaimana?"

"Saya akan bertanggung jawab dengan menikahinya."

'Karena aku sudah jatuh cinta pada kalian. Tidak masalah kalau kelak kalian tahu tentang kebenaran yang ada. Karena saat jika saat itu tiba, Jingga sudah menjadi milikku.'

"Menikahi Jingga? Tapi kalian belum saling mengenal. Kamu yakin?" tanya salah seorang pria.

"Saya yakin. Saya harus menebus rasa bersalah. Om dan tante jangan takut, saya masih sendiri. Dan saya bisa membuktikan itu. Saya percaya Jingga gadis yang baik."

'Karena Naina tidak mungkin kutunggu. Setidaknya kalian menerimaku tanpa bertanya terlalu jauh tentang latas belakangku.'

"Kalian bicaralah berdua dulu. Kami berharap akan berakhir baik. Ikatan pernikahan itu suci bukan untuk dipermainkan. Jangan sampai salah satu dari kalian menyesal. Tapi ingat juga, jangan membuat keputusan terlalu lama. Maaf, kami takut kalau Jingga hamil."

Baru teringat aku tidak menggunakan pengaman semalam. Seandainya pun dia hamil, pasti tidak masalah. Karena yakin akulah ayah bayi yang dikandungnya. Entahlah, sisi kelam itu muncul kembali. Aku memang bukan orang baik. Tapi aku tidak main-main dengan niatku tadi.

***

"Kamu boleh bertanya apapun tentangku." ucapku sambil menatap wajah kekanakan di seberang meja. Baru kali ini kami bertemu setelah pulang dari Bali. Dia masih mengenakan seragam mengajar di salah satu sekolah elit. Terlihat dari logo di jasnya. Rambutnya diikat satu dan tampak cukup berantakan, namun tidak mengurangi kecantikannya. Mungkin suasana hatinya jauh lebih berantakan lagi.

"Pendidikan terakhir kamu apa?" ia mulai bertanya.

"Tahun lalu baru selesai S2. Kamu?" Sebuah pertanyaan aneh sebenarnya. Kenapa malah bertanya tentang pendidikan?

"S1, untuk pendidikan anak usia dini."

"Kamu suka anak-anak?"

"Ya, sangat."

"Aku kurang suka. Mereka terlalu berisik dan menuntut perhatian." jawabku jujur.

Ia melotot namun tidak berkata apa-apa. "Pekerjaan kamu?" lanjutnya.

"Aku bekerja di sebuah perusahaan percetakan."

"Kamu?!" Ia hampir berteriak. Membuat beberapa orang di sekitar menatap kearah kami. Namun segera ia menyadari.

"Memangnya kenapa? Ada yang salah?" tanyaku sambil meminum es kopi.

"Aku searching harga kamar kamu waktu di Bali. Dan itu sangat mahal. Apa kamu korupsi?"

Aku tersedak. Kutatap wajahnya yang terkesan menyelidik. "Bukan, aku menempati kamar yang awalnya disewa temanku yang ingin menikah. Tapi karena ada masalah, gagal." jawabku asal.

"Aku sepertinya pernah melihat wajah kamu sebelumnya. Tapi di mana, ya?"

Aku hanya mengangkat bahu. Setiap hari aku bertemu banyak orang. Mana mungkin mengingat satu persatu.

"Keluarga kamu sepertinya sangat bersemangat." lanjutku.

"Bukan bersemangat. Mereka hanya memikirkan masa depanku."

"Karena sudah tidak perawan?"

Kembali matanya melotot. Indah! Bola mata hitam dan bening itu menatap marah.

"Kamu terlalu memandang rendah tentang yang satu itu. Mereka hanya takut kalau aku hamil. Lalu kenapa menyatakan siap bertanggung jawab? Kamu bisa pergi sebenarnya."

"Kamu mau seperti itu? Lalu kamu akan dihujat oleh calon suami kamu kelak? Setidaknya bagi perempuan Indonesia, lebih baik jadi janda daripada nggak perawan. Apalagi sampai punya anak diluar nikah. Lagipula kamu aneh, sudah tahu tidak pernah minum. Kenapa tidak menolak saja? Kamu punya hak untuk itu."

"Otakmu terlalu salah dalam menilai sesuatu."

"Aku tidak suka pembicaraan ini, membuang waktu. Pekerjaanku sangat banyak."

"Lalu kamu mau menimpakan kesalahan padaku?"

"Kamu terbiasa menghadapi anak-anak dengan sabar. Sementara aku terbiasa menghadapi klien yang banyak maunya, tanpa tahu apa yang mereka mau sebenarnya. Hanya ada logika di sana, tentang bagaimana caranya agar urusan mereka cepat selesai. Jelas keduanya berbeda."

"Kamu punya pacar?"

"Tiga bulan yang lalu punya. Dia minta putus setelah empat tahun kami bersama."

"Bersama, maksudnya?"

"Kamu sudah dewasa untuk bisa mengartikan sendiri. Aku tidak perlu menjelaskan."

"Kamu masih mencintai dia?"

"Pertemuan kita tidak untuk membahas kehidupan pribadiku bukan?" Aku tak suka dengan pertanyaan itu.

"Kurasa pernikahan tidak cocok untuk kita. Setidaknya aku tidak perlu menghabiskan hidup untuk memahami kamu."

'Ada apa tentang menghabiskan hidup?'

"Kamu pikir pernikahan itu untuk satu bulan? Asal kamu tahu aku lebih memilih untuk tidak perawan seperti ini daripada hanya menikah sekian bulan. Pengalaman teman-temanku yang janda terlalu menyakitkan. Yang penting kamu tutup mulut. Jangan sampai bercerita pada siapapun. Karena aku masih ingin bekerja. semoga kelak aku masih bisa bertemu dengan laki-laki yang mencintaiku apa adanya."

"Itu hanya mimpi. Kamu tidak akan menemukan di dunia nyata. Itu hanya ada di drama korea favoritmu. Bagaimana kalau kamu hamil betulan? Aku tidak akan memberikan tawaran tentang pernikahan sebanyak dua kali."

Kembali ia melotot.

"Aku berencana pergi ke luar negeri untuk tiga bulan. Jangan sampai kamu harus mencariku jika itu terjadi." Lanjutku. Yang ini aku tidak bohong. Aku memang sudah berencana untuk libur panjang.

"Jangan terlalu merendahkanku."

"Aku bertanggung jawab padamu. Karena tidak ingin mengecewakan orang tuamu."

"Aku juga merasa seperti itu."

"Baiklah, aku yang akan mengambil keputusan. Karena kamu bukan tipe orang yang cepat dalam berpikir. Kita akan menikah untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, meski tanpa cinta. Karena cinta itu sama sekali tidak penting dalam hidup. Cukup kita menjalani bersama, jika terjadi sesuatu pun kelak. Tidak perlu merasa sakit. Aku tidak berjanji untuk mencintaimu. Tapi aku akan berusaha menjadi suami, menantu dan anggota baru keluarga kamu yang baik. Aku akan menyayangimu, keluargamu dan rumah tangga kita. Aku mungkin pria brengsek, tapi selalu menepati janji."

Ia mengembuskan nafas kasar. Dalam hati aku tertawa. Tipe perempuan seperti ini memang begitu. Dia tidak akan mampu menolak kebaikan seseorang. Belum-belum aku sudah merasa mengenal karakternya.

"Apakah aku nanti masih boleh bekerja?"

"Tentu saja. Lagi pula aku bekerja dari pagi sampai malam. Kamu akan kesepian sendirian. Tentang pesta dan segala halnya kuserahkan pada keluargamu. Karena aku tidak punya bayangan sama sekali."

"Keluarga ayah atau ibu kamu?"

"Mereka tidak akan datang karena memang sudah tidak ada."

"Apa ada yang kamu sembunyikan?"

"Banyak, tapi itu bukan tentang perempuan atau pekerjaan. Seperti kubilang waktu kita di Bali. Aku bukan suami atau ayah. Aku pria lajang. Bicaralah dengan keluargamu, kapan aku bisa menemui mereka. Setelah ini aku harus menemui seseorang yang berkaitan dengan pekerjaan. Apa masih ada yang ingin kamu sampaikan?"

"Bagaimana kalau aku tidak mau menikah denganmu!"

Keras kepala!

"Aku tidak akan bertanggung jawab jika kamu hamil. Bisa saja saat ini bayiku sudah tumbuh di rahimmu. Kamu mau membesarkan sendiri? Bagiku tidak masalah kalau kamu menolak."

Kembali matanya melotot. Aku suka.

***

Entah kenapa aku harus bertemu dengan laki-laki seperti Rey. Kepalaku penuh ketika harus menghadapinya. Angkuh dan terlalu percaya diri. Rasanya benar-benar marah pada diri sendiri. Menyesal dengan apa yang sudah terjadi, tapi mau dibilang apa? Semua salahku. Lebih baik bertemu dengan anak-anak kecil yang sedang menangis dari pada berhadapan dengan Rey. Tinggal dipeluk dan tunggu sebentar anak kecil akan diam. Tapi dia? Seolah menggiring agar menuruti kemauannya. Dengan kemampuan itu, aku tidak yakin dia adalah karyawan biasa.

Sepertinya Rey ingin mengatakan, kalau menikah hayuk, kalau enggak juga nggak apa-apa. Orang gila memang tidak bisa diharapkan. Tetapi benar katanya. Bagaimana kalau aku benar-benar hamil sementara dia pergi ke luar negeri? Akan sehancur apa hidupku? Kemana muka papa dan mama kutaruh? Setelah memikirkan beberapa hari, aku akhirnya setuju. Tidak ada jalan lain.

Rencana ini kusampaikan pada Rey minggu siang saat kami bertemu di sebuah resto.

"Sudah kubilang, menikah denganku adalah keputusan terbaik untuk saat ini."

"Ya, kamu menang. Di mana kita akan tinggal?" tanyaku.

"Di rumahku. Aku tidak suka tinggal dengan mertua. Tidak ada privasi. Berapa lama persiapan pernikahan?"

"Sekitar tiga bulan. Aku juga tidak meminta pesta besar."

"Kamu yakin tiga bulan ke depan perutmu belum besar?"

Aku kembali melotot. "Banyak surat-surat yang harus diurus. Mungkin kamu juga harus memulai dengan meminta pengantar di kelurahan."

"Aku akan meminta pengacara di kantor untuk mengurus."

"Kamu yakin mereka mau mengurusi pernikahan pegawai biasa?"

"Kenapa tidak? Di kantor, kami sudah seperti keluarga. Kalau hanya soal itu, perkara mudah."

"Datanglah ke rumah untuk berbicara pada papa dan mama."

Senyum iblisnya mengembang. "Katakan padaku hadiah pernikahan apa yang kamu inginkan."

Kalimatnya mengatakan seolah aku begitu matrealistis. Dia tidak kenal siapa aku. 'AKu tidak yakin kalau kamu bisa memenuhinya."

"Katakan saja."

"Kesetiaan."

Wajahnya memucat. Dan aku bisa sedikit senang karena kali ini menang. "Kenapa? Kamu nggak bisa kasih itu ke aku?"

"Yang namanya hadiah pastilah sebuah benda."

"Aku tidak pernah menginginkan dan mengoleksi apapun. Jadi tidak tahu mau menjawab apa."

"Berapa penghasilanmu perbulan?" pertanyaannya sukses membuatku tersedak.

"7 jutaan, kenapa?"

"Nanya aja, sambil mikir, apa gaji kita berdua cukup untuk biaya hidup sebulan."

"Kamu mau bilang gaji kamu lima juta per bulan? Lalu fortuner kamu itu berapa biaya perbulannya?" tanyaku tak mau kalah.

"Itu milik kantor." jawabnya marah.

Aku tertawa sekarang. "Kalau aku anak TK mungkin mudah kamu bohongi. Tapi sayang, aku seorang guru. Matamu sudah menunjukkan kebohonganmu. Aku tidak pernah berpikir tentang uang yang banyak. Apalagi benda mewah yang tidak terjangkau oleh penghasilanku. Kamu sudah salah menilai. Jadi berhati-hatilah kedepannya."

Kutinggalkan dia yang menatap tak percaya.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

301221

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top