3

Cast Rey udah nemu. Cast Jingga belum. Rencana sih Bea Alonso. Tapi belum pas banget.

***

Kutatap perempuan yang tidur di sebelahku. Ini pertama kali bercinta dengan perempuan mabuk. Aku tertawa kecil, terasa aneh sebenarnya karena tidak mendapat perlawanan yang berarti. Sama sekali tidak menyenangkan kecuali sekadar melepas hasrat yang sudah ada diujung kepala. Aku berpikir, bahwa ia adalah newbie. Dan minum karena merasa kurang nyaman. Ketika menyadari bahwa ia masih perawan aku bertanya dalam hati, apa bayarannya tidak terlalu murah? Kenapa ia tidak meminta harga lebih tinggi?

Sebuah pengalaman bercinta pertama kali bersama perempuan lain. Ini bukan sesuatu yang menyenangkan. Isi kepalaku masih penuh dengan Naina. Dari awalnya yang berharap bisa kembali, hingga sekarang mulai muncul marah serta keinginan untuk membalas perbuatannya. Setelah apa yang saling kami beri bagi kehidupan masing-masing. Rasa itu membuatku tidak bisa berhenti untuk berpikir.

Pintu kamar diketuk, dengan malas kuraih bathrobe. Seorang perempuan cantik bergaun merah menatapku penuh penyesalan.

"Saya, Anjani. Maaf terlambat. Tadi taksinya mogok dua kali."

"Maksudnya?"

"Ini kamar 246, kan? Tadi saya dihubungi untuk menemani mas malam ini."

"Maaf, mungkin anda salah kamar. Tamu saya sudah datang sejak tadi."

Perempuan itu tampak bingung lalu segera menghubungi seseorang.

"Mas, saya tadi dihubungi oleh teman yang menjadi bar tender di sini."

Aku terkesiap! Jadi siapa perempuan yang barusan kutiduri. Belum habis rasa bingungku, dari kejauhan terlihat sekelompok orang berbondong menuju kamar bersama dua orang security hotel. Rey, masalah besar sudah menunggumu!

Seorang security segera mendekat.

"Maaf, pak. Kami sedang mencari putri bapak ini. Berdasarkan pengamatan melalui CCTV, tadi dia masuk ke kamar bapak."

Kupijat kening untuk mengurangi rasa gugup. Aku kini berada dalam masalah besar! Tapi aku tidak mungkin mengelak karena sudah merusak anak gadis orang.

"Maaf, apa kita bisa bicara di dalam?" tanyaku pada kedua orang tua yang sejak tadi menunjukkan wajah cemas.

"Sebaiknya dibicarakan baik-baik dulu, Pak." jawab salah seorang security.

Kami masuk ke dalam ruanganku. Beruntung ada ruang tamu tersendiri sehingga mereka tak perlu melihat anaknya dalam keadaan tak pantas. Sekilas kutatap kedua orang tua yang ada di depanku. Aku mengerti kegelisahan mereka.

"Di mana Jingga?" tanya perempuan yang kuperkirakan adalah istrinya.

"Di kamar."

"Kamu belum ngapa-ngapain anak saya, kan?"

Aku hanya menatap ke arah lain. Hingga kemudian mengembuskan nafas kasar. Tidak bisa menjawab apapun. Karena memang ini salahku.

"Kamu—"

Kini aku hanya menunduk.

"Saya minta maaf." jawabku sambil mencoba menatap wajah ayahnya. Kutemukan luka besar menganga pada bola mata tua itu. Kupejamkan mata, karena tidak tega melihat. Dia tidak berkata apa-apa, tapi tatapan itu kini membuatku merasa menjadi laki-laki paling brengsek sedunia. Entah darimana datangnya pikiran tak masuk akal dalam kepalaku.

'Dia tidak tahu siapa kamu Rey. Ini kesempatan untuk membalas rasa sakitmu pada Naina. Kamu bisa menunjukkan padanya bahwa hidupmu tidak akan lagi sehancur dua bulan sejak perpisahan kalian. Kelihatannya mereka orang baik-baik dan polos. Ayolah, ini kesempatan besar untuk memulai semuanya. Tanpa perlu menunjukkan siapa kamu sebenarnya. Bahkan gadis itu masih perawan, sebagai tanda ia sangat menjaga dirinya. Tunggu apa lagi? Mereka tidak mengenalmu dan juga latar belakangmu.'

'Bagaimana kalau mereka bukan orang baik-baik?'

"Kalian tinggal berpisah saja. Paksa dia menandatangani perjanjian pra nikah agar dia tidak bisa menuntut apapun.'

Namun ada sisi lain yang berkata.

'Jangan lakukan kesalahan untuk kedua kali. Mereka pasti berasal dari keluarga baik-baik. Kamu sudah merusak martabat putrinya. Lakukan apa yang seharusnya menjadi tanggung jawab kamu selaku laki-laki. Siapa tahu ini benar-benar menjadi jalan untukmu bahagia.'

Kedua bisikan itu terngiang di kepalaku. Oh my Lord, apakah aku akan melepaskan kesempatan ini? Entah apa sebabnya aku akhirnya berkata.

"Saya minta maaf sudah salah mengenali putri bapak. Saya akan bertanggung jawab karena tidak bertanya terlebih dahulu. Tapi dia datang memang dalam keadaan mabuk."

Kedua orang tua di depanku menatap tak percaya. Namun sebisa mungkin aku menunjukkan penyesalan yang sebenarnya memang terselip dalam hatiku.

"Tapi kalian tidak saling mengenal."

"Bapak benar, tapi saya berjanji akan benar-benar bertanggung jawab."

"Kamu punya istri?"

"Tidak, saya lajang. Bapak boleh cek kartu keluarga saya."

"Bagaimana ma?" tanyanya sambil menoleh perempuan disebelahnya yang sejak tadi hanya menangis. Aku kasihan melihat mereka.

"Mama juga nggak tahu pa."

"Jingga di mana?"

"Ada di dalam." Jawabku.

"Biarkan kami bicara dengannya dulu."

Aku hanya mengangguk. "Saya permisi mau ke luar sebentar. Bapak dan ibu bisa menunggu sampai dia bangun. Sepertinya dia tidak pernah minum sebelumnya."

Aku bergegas memasuki kamar dan membiarkan pintu terbuka. Lalu ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Aku butuh sendirian sejenak untuk meyakini apa yang sudah kuucapkan tadi. Kuraih dompet sebelum pergi. Setidaknya aku juga harus waspada terhadap orang-orang yang berniat buruk. Meski saat melihat kedua orang tua itu rasanya kecil kemungkinan kalau mereka berniat menipu atau memeras.

Akhirnya aku menuju pinggir tebing. Kutatap laut lepas di depan sana. Kembali mencerna tentang apa yang kukatakan tadi. Aku jatuh cinta pada kedua orang tuanya. Pada tatapan lembut yang tidak menghakimi. Sesuatu yang tak pernah kumiliki. Aku ingin Aku ingin hidup tenang, setelah apa yang terjadi selama ini yang tak pernah ada manisnya. Mungkin ini salah, karena aku akan berbohong. Tapi untukku, ini adalah kesempatan.

***

Kulirik jam dinding. Sudah pukul delapan pagi. Dan kini aku duduk di hadapan papa dan mama. Menyesal sekali telah mencoreng wajahnya di depan keluarga besar. Bagaimana mereka menghadapi para tante dan omku setelah ini? Aku yang selama ini selalu menjadi kebanggaan mereka. Di luar sana keluarga besar kami pasti sudah menunggu. Bagaimana cara orang tuaku bisa berdiri tegak? Ribuan maaf tak akan pernah berarti setelah kejadian ini. Bagaimana kalau orang tua muridku tahu?

Di sampingku duduk juga seorang laki-laki yang baru kutahu namanya, Reynaldi. Pria yang meniduriku semalam.

"Saya tetap pada kalimat saya semalam, Pak. Saya akan bertanggung jawab."

"Bertanggung menurut kamu seperti apa?" tanya papa pada laki-laki itu.

"Saya bersedia menikahinya."

Wajah kedua orang tuaku menegang.

"Tapi kalian belum saling mengenal. Tidak mudah menjalani pernikahan."

"Tapi seperti yang bapak bilang tadi. Setelah ini Jingga tidak akan berharga dimata orang lain. Saya tidak ingin itu terjadi."

Papa menatap curiga pada Rey. "Bagaimana dengan orang tuamu. Belum tentu mereka setuju."

"Bapak tidak perlu khawatir. Kedua orang tua saya sudah meninggal."

"Bicaralah dengan Jingga apa yang dia inginkan."

Papa menatapku lembut. "Berpikirlah sebelum mengambil keputusan. Papa kecewa dengan apa yang terjadi semalam. Tapi tolong jangan habiskan hidupmu untuk menyesali keputusan yang  kamu ambil setelah ini."

Aku mengangguk. Kami kemudian pamit pada Rey untuk kembali ke kamar. Sebelum jauh pria itu memanggilku. Ia membuka dompet sambil mengeluarkan sebuah kartu nama.

"Ini nomor ponsel dan alamat kantorku. Hubungi aku secepatnya. Kita harus bicara berdua. Aku harus check out setelah ini."

Aku hanya mengangguk dan tertunduk sepanjang jalan. Seolah semua orang yang kutemui menuduhku. Ketika tiba di kamar, Dwi segera memelukku.

"Sorry, kalau bukan karena gue, lo nggak akan begini. Seharusnya tadi malam gue antar lo ke kamar." Suaranya terdengar sangat menyesal. Tapi aku jauh lebih menyesal lagi karena sudah memutuskan mengikuti mereka.

Aku hanya menggeleng lemah dan masuk ke kamar mandi. Masih bingung dengan  yang kualami. Menangis adalah jalan satu-satunya untuk melepaskan sesak. Tapi tidak ada lagi yang bisa kulakukan. Sesuatu yang sangat kujaga harus hancur tadi malam karena kebodohanku. Bukankah sebenarnya bisa meminta tolong salah seorang sepupuku untuk mengantar ke kamar? Kenapa harus pulang sendiri? Sementara aku sama sekali tidak bisa mengingat apapun.

Ke luar dari kamar mandi kulihat beberapa sepupuku sudah berada di kamar. Wajah mereka menunjukkan hal yang sama. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Pintu diketuk, Tante Sarah, Adik papa berdiri di pintu kamar.

"Jingga, kita ke kamar tante, ayo. Ada yang mau kami bicarakan."

Aku menurut. Setelah ini aku harus menghadapi sidang keluarga. Ditengah kebahagiaan sepupuku Yohanes yang baru kemarin meresmikan pernikahannya. Dan aku merasa telah melemparkan lumpur kehadapan seluruh keluarga besar. Mereka mengundang kemari dengan niat baik. Tapi apa balasanku?

***

"Kita tidak tahu siapa laki-laki itu. Yang pasti dia menginap di salah satu kamar termahal di sini. Dan jelas bukan laki-laki baik-baik karena dia sebenarnya tengah menunggu perempuan lain untuk menghabiskan malamnya. Lalu apakah kita akan membiarkan Jingga dinikahi laki-laki seperti itu?"

"Kita belum tahu apakah dia mau menikah Jingga. Kita belum bertanya tentang tanggung jawab yang dia janjikan. Sejauh mana? apakah menikahi? Atau dia mau hanya sekadar dalam bentuk uang?" Suara Om Albert terdengar tenang.

"Kalau begitu, lebih baik kita panggil dia kemari. Jangan sampai kabur duluan. Setidaknya kita tahu siapa dia. Aku akan menyuruh Dwi untuk ke kamarnya." Tante Laura berbicara dengan marah.

"Dia akan check out katanya tadi. Biar Jingga hubungi dia, Tan."

Semuanya mengangguk. Aku segera meraih ponsel dan kartu nama pria itu. Benaya Reynaldi. Tidak ada jabatan tertulis di sana. hanya sebuah nama perusahan percetakan yang memang kuketahui. Karena  beberapa sepupu sering membuat undangan dan souvenir di tempat itu. Pada dering ketiga panggilanku diterima.

"Halo." Suara dari sana terdengar tegas. Sedikit berbeda dengan saat kami bersama tadi.

"Aku Jingga, bisakah kamu bertemu dengan keluargaku sebelum pulang?"

"Sebenarnya aku sedang ingin mengembalikan kunci. Sebutkan nomor kamarnya aku akan ke sana." Suaranya terdengar dingin. Membuatku sedikit takut. Segera kusebutkan lalu memutuskan panggilan.

***

Cast abang Benaya Reynaldi sudah ada di story Ig ya. silahkan mampir ke sana.

Happy reading

Maaf untuk typo

281221

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top