14
Vote 1600, kita double up....
***
Hanya aku keluarga yang mengantar mama ke tempat peristirahatan terakhir. Selain petugas pemakaman, seorang pemimpin ibadah tentunya. Sebenarnya yakin ada keluarga kakek dan nenek di sini, tapi aku tidak pernah mengenal mereka. Karena sejak kecil sudah berada di panti. Bagaimana mau menghubungi? Sebelum dimasukkan ke dalam peti, aku masih mencium kening mama. Dia sangat cantik saat mengenakan pakaian putih layaknya pengantin. Gaun yang tidak pernah dikenakannya seumur hidup. Wajahnya dirias dan aku bisa merasakan bahwa mama sudah pergi dengan tenang. Bersama rahasia yang selama ini disimpannya. Makamnya tepat di terletak di samping Om Tris.
Keturunan keluarga mama memang seolah menyimpan kutukan. Kakekku meninggal karena kecelakaan, Nenekku dibunuh oleh perampok yang ingin mencuri di rumahnya. Om Tris meninggal karena HIV. Dan yang terakhir mama menderita gangguan jiwa gangguan. Hanya aku keturunan terakhir Lalu apa yang akan terjadi padaku? Kutatap keempat makam di depanku. Saksi bisu perjalanan sebuah keluarga. Kini tak ada lagi yang membawa langkahku kemari. Kecuali ketika merindukan mereka kelak.
Peti mama sudah dimasukkan ke dalam liang. Perlahan mulai hilang seiring timbunan tanah yang menutupi. Kutaburkan bunga yang sudah disediakan. Diiringi tatapan heran seluruh yang hadir. Mungkin karena aku satu-satunya orang yang mengantar kepergian keluarganya sendirian. Lalu mau bersama siapa lagi? Hingga kemudian nisan sementara diletakkan dibagian kepala. Kuletakkan karangan bunga, lalu mengucapkan terima kasih pada semua orang sambil menyerahkan amplop sebagai ucapan terima kasih. Setelah ini aku akan kembali pulang. Tidak ada yang bisa kulakukan lagi.
"Kek, nek, Om Tris, ma. Aku pulang dulu." Tidak tahu harus mengucapkan apa sebagai kalimat perpisahan. Kumasuki mobil, memutari beberapa tempat tanpa tujuan yang jelas. Hingga akhirnya menuju bandara. Beberapa orang menatap aneh. Karena mungkin satu-satunya penumpang yang tidak membawa apapun dan pakaianku cukup kumal. Tapi kali ini aku tidak peduli.
***
Tiba di Jakarta aku bingung. Bagaimana harus mengatakan ini pada Jingga. Hati kecilku berperang hebat. Antara tetap menyimpan sendirian atau bersikap jujur. Aku lelah dengan hidupku sendiri karena memang sedang malas bicara. Entahlah, tidak ada rasa sedih atau kehilangan. Hanya kosong. Atau karena hidupku terbiasa dengan tumpukan masalah berat, maka peristiwa ini tidak lagi kuanggap ada? Apa yang salah dalam hidupku?
Kutatap bangunan rumahku yang berdiri kokoh. Aku kembali dengan seribu keraguan. Akankah ini benar-benar menjadi rumahku? Tempat tinggal dan juga berlindung sepanjang sisa hidup? Atau hanya persinggahan seperti yang sudah-sudah. Bagaimana kematianku kelak? Mama masih ada yagn mengubur, lalu aku? Apakah ketika waktu itu tiba, Jingga akan ada di sana menangisiku? Aku melangkah turun dari taksi. Jingga membuka pintu, menatap penuh tanya. Apakah aku harus bercerita? Tapi dimulai dari mana?
"Kamu baru pulang?" wajahnya terlihat khawatir.
"Ya."
"Mandi dulu, biar kusiapkan makan malam."
"Kenapa tidak menginap di rumah papa?"
"Papa sedang ke Bandung. Tante Nona datang dari Manado. Besok kita ke sana. Papa mengundang untuk makan malam bersama keluarga besar. Waktu kita menikah, Tante Nona tidak datang karena sedang berada di luar negeri."
Aku mengangguk kemudian memasuki kamar.
"Celana kamu kok kotor sekali? Itu banyak kena lumpur kayaknya."
Tubuhku menegang. Tanpa menjawab segera masuk ke dalam kamar mandi. Aku belum siap untuk bicara. Kunyalakan shower, air deras segera mengaliri tubuh. Aku masih terus mempertimbangkan, apakah akan jujur atau tidak. Bagaimana nanti kalau Jingga memilih pergi? Apakah Jingga akan minta cerai? Apakah orang tuanya bisa menerimaku? Bagaimana kalau tidak?
"Rey, jangan terlalu lama mandinya. Nanti masuk angin."
"Ya, sebentar." Kuraih sabun dan membersihkan seluruh tubuh. Saat ke luar, pakaianku sudah berada di atas tempat tidur. Baru sadar kalau aku begitu merindukan ruangan ini. Selesai berpakaian, kutemui Jingga di ruang makan.
"Makan dulu, kamu pasti capek."
Aku mengangguk, meski sebenarnya tidak berselera. Ia menemani seperti biasa. Kuhabiskan makanan diatas piring. Setidaknya aku ingin menghargai pekerjaannya.
"Kamu sebenarnya dari mana?" tanya Jingga saat kami baru selesai makan.
Kembali kuputar cincin pernikahan kami. Aku tertunduk, tidak berani menatapnya.
"Aku... sebenarnya..." Seluruh kata-kata yang kusiapkan tersangkut ditenggorokan.
Jemarinya kini menyentuh jemariku.
"Kamu lihat aku. Aku nggak akan marah, asal kamu jujur. Aku nggak suka dibohongi."
Aku masih diam, tidak tahu harus berkata apa.
"Aku yakin kamu bukan ke kantor cabang. Aku baru tahu kalau Atlanta tidak memiliki cabang dimanapun. Jadi kamu ke mana? jangan sampai aku berpikir kalau kamu pergi bersama perempuan lain-"
"Bukan, aku pergi sendiri." Potongku cepat. Aku tidak pernah berpikir menduakannya. Jangan sampai dia berpikir seperti itu.
"Lalu? Kamu ke mana?"
Aku diam tertunduk.
"Kita bicara di kamar." jawabku akhirnya untuk mengulur waktu. Kutunggu sampai Jingga membereskan semua. Langkahnya mengekoriku dari belakang. Kini kami duduk di atas tempat tidur. Kutatap mata polosnya yang penuh tanya. Aku tidak ingin membohonginya lagi. Meski mungkin tidak baik bagi hubungan kami selanjutnya.
"Aku minta maaf."
"Memangnya kamu salah apa?"
Entah kenapa tubuhku terasa menggigil. Tiba-tiba tidak sanggup menceritakan apapun. Bayangan ditolak oleh orang tua Naina kembali datang. Saat telunjuk papinya tepat berada di depan mataku. Saat pria itu meludahi wajahku. Mengatakan kalau aku anak haram dan tidak layak menikahi Naina. Aku tetap bertahan sekian lama dibawah penghinaan keluarganya. Tapi apa yang kudapatkan? Kegagalan! Tidak-aku tidak mau mengalami hal itu lagi.
"Rey," kini kurasakan Jingga menyentuh bahuku.
"Kalau belum siap bercerita, tidak apa-apa. Tapi tolong jangan membuatku menerka. Aku bisa saja salah dan hubungan kita renggang karena kecurigaanku yang tidak beralasan. Apa ini tentang perempuan lain?" Tanyanya lembut.
Kulepaskan tangannya. Kutatap matanya yang bening dan penuh kekhawatiran. Layakkah dia kubohongi? Seseorang yang selalu mempercayai apapun yang kukatakan, tapi kali ini? Kugelengkan kepala. Apakah aku siap untuk kehilangan sekali lagi?
"Tanyalah," jawabku akhirnya. Setidaknya aku akan jujur, sehingga rasa bersalah karena membohonginya itu akan berkurang.
"Kamu dari mana?"
"Makassar."
"Kerja?"
Aku menggeleng, "Tidak. Mamaku sakit lalu meninggal. Aku harus menghadiri pemakamkannya dulu baru pulang."
Kutatap matanya yang membulat tak percaya. Aku sudah pasrah kalaupun harus mengalami kepahitan sekali lagi, biarlah.
"Kamu?"
"Aku berbohong pada kamu dan keluargamu. Saat kita menikah mamaku masih hidup."
"Kenapa kamu berbohong? Apa ada alasan?"
"Mamaku menderita gangguan jiwa sejak aku berada dalam kandungan. Selama ini dirawat di rumah sakit jiwa. Aku mengunjunginya setiap bulan, saat aku mengatakan sedang ke luar kota. Aku takut ditolak seperti dulu. Aku ingin memiliki sebuah keluarga "
"Kenapa?"
"Seperti yang dikatakan keluarga kamu, bahwa keturunan seseorang sangat penting. Aku bukan keturunan orang baik-baik dan sehat. Kalau aku bercerita, keluargamu pasti menolak."
Bahu Jingga luruh, aku tahu ia kecewa. Tapi aku tidak mungkin mundur.
"Tentang kamu tinggal yang pernah di panti asuhan?"
"Aku jujur, sejak kakek dan nenekku meninggal. Dan omku, satu-satunya keluarga yang tersisa harus bekerja di luar negeri sebagai pelaut. Tidak ada yang merawatku, saat itu usiaku kira-kira empat tahun."
"Kenapa ingin menikahiku?"
"Aku sudah merusak kamu dengan kejadian tak sengaja saat itu. Aku putus asa karena diputuskan oleh Naina. Aku ingin keluar dari masa lalu yang buruk. Kulihat keluargamu sangat harmonis, dan aku ingin merasakan kebahagiaan sebagai anggota keluarga."
"Apa lagi yang kamu simpan?"
"Tanyalah, karena ada ribuan yang kusimpan. Dan tidak tahu memulai dari mana."
"Papamu?"
"Laki-laki tak bertanggung jawab. Istrinya entah berapa, pemilik beberapa buah bar. Sering keluar masuk penjara. Bahkan namanya masuk dalam daftar orang yang akan menerima hukuman mati karena kasus produksi narkoba. Saat ini dia masih berada di Nusa Kambangan."
Jingga kini memilih memunggungiku. Kutatap tubuhnya dari belakang. Kenapa aku merasa sakit? Saat ini aku ingin dipeluk, semua terasa menyesakkan. Aku tidak siap, kalau setelah ini dia juga menolakku. Menyesal karena sudah jujur. Tapi mau berbohong sampai kapan?
"Ingga, tolong, jangan sampaikan pada papa dan mama." ucapku sebelum keluar dari kamar. Aku kembali kalah.
***
Kudengar langkah pelan milik Rey ke luar. Meninggalkanku sendirian di kamar. Sedikit lega karena memang sedang tidak ingin membahas apapun lagi dengannya. Aku terlalu kaget. Apa yang harus kulakukan sekarang? Tadinya berharap bahwa dugaanku benar. Rey sedang bersama kekasihnya. Karena Naina saat itu mengkonfrontasiku di supermarket. Dalam pikiranku mereka sedang berdua menghabiskan waktu.
Kureka kembali kejadian bulan-bulan sebelumnya. Selalu ada hari sabtu minggu dimana Rey pamit ke luar kota. Pertanyaan Naina mengusik ketenanganku, hingga aku bertanya pada Dennis, supir yang selalu mengantar. Dia yang mengatakan kalau Atlanta tidak memiliki cabang. Aku benar-benar berpikir bahwa Rey kembali pada mantannya. Apalagi kalau kupancing jarang sekali dia mau berbagi cerita tentang kisah percintaan dimasa lalu.
Tak lama terdengar suara mobil ke luar. Tidak seperti biasanya, Rey selalu pamit. Aku tidak tahu harus berkata apapun lagi. Bagaimana kalau keluarga besarku tahu? Bagaimana perasan papa dan mama nanti? aku merutuki diri sendiri, menyesal kenapa harus mabuk. Kenapa hidupku harus seperti ini? Rasanya ingin marah karena dibohongi.
Pagi hari aku bangun seperti biasa. Rey belum kembali ke kamar. Apa dia tidak pulang? Bergegas aku ke luar kamar, di ruang tamu juga tidak ada. Kuintip ke luar jendela. Mobilnya terparkir di depan rumah. Jendela mobil terbuka dan dia ada di dalam menatap ke arahku. Tidak tahu harus melakukan apa, kubuka jendela, tidak mungkin membuka pintu karena sepertinya dia membawa kunci.
Kulangkahkan kaki ke dapur. Mencoba melakukan rutinitas pagi. Tak lama terdengar pintu depan dibuka. Kubuatkan segelas susu dan roti saat Rey memasuki area dapur. Kami sama-sama diam. Aku yang masih kecewa! Saat kutoleh kebelakang, Rey tengah meminum susunya. Kuembuskan nafas pelan, aku belum sanggup berpikir.
***
Maaf untuk typo
190122
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top