12
Ada perubahan dalam diri Rey sejak tadi siang. Dia memang pendiam, tapi sekarang lebih diam lagi. Entah sudah berapa kali dia ke halaman belakang untuk merokok. Seolah ada yang mengganggu pikirannya. Untung hanya kami berdua di rumah. Apa masih tentang Naina? Tanyaku dalam hati. Kebingunganku terjawab saat dia selesai mandi dan duduk di sisi ranjang.
"Apa keluarga kamu selalu menilai seseorang dari latar belakang seseorang?"
"Mau dari mana lagi untuk tahu karakter, sikap dan kepribadian? Tapi kurasa semua keluarga pasti memberi penilaian saat ada anggota baru yang akan masuk."
"Waktu aku?"
"Kasus kita berbeda. Lagian waktu itu aku hamil, dan kamu bersedia tanggung jawab. Ini bukan lagi tentang aku, tapi juga bayi yang kukandung."
"Menurut kamu apa latar belakang seseorang itu penting?"
"Buatku sebatas bisa jadi pertimbangan. DNA itu kan, terbawa. Selain pada perilaku juga membawa bibit lain termasuk penyakit. Meski masih ada faktor lain yang penting dalam pertumbuhan seorang anak. Kamu kenapa sih? Lagian ini bukan tentang kamu, kenapa harus cemas?"
"Kalau misal aku berasal dari keluarga seperti suami sepupu kamu itu?"
Aku tertawa. "Jangan jadi paranoid. Maaf, kamu—maksudku yatim piatu. Tinggal di panti asuhan sejak kecil. Dari sisi ekonomi, selama ini kamu sudah membuktikan dengan kerja keras. Kamu bisa berhasil seperti sekarang dan itu tidak mudah. Jadi anggap saja tetap ada sisi positif yang diturunkan oleh kedua orang tua kamu. Misal mungkin mereka pekerja keras, pantang menyerah, memiliki sikap kepemimpinan yang baik. Jangan mikir yang negatifnya saja."
"Apa kamu selalu seperti ini pada muridmu?"
"Ya, setiap orang memiliki kekurangan. Tapi jangan fokus kesitu, akhirnya jadi putus asa dan nggak maju. Tugasku adalah menemukan bakat mereka meski kadang orang tua nggak suka. Misal muridku suka menggambar, orang tuanya langsung bilang kalau mereka keturunan arsitek. Padahal bisa saja anaknya kepingin jadi pelukis."
"Muridmu pasti anak-anak yang bahagia."
"Anak-anak itu nggak seribet kita orang dewasa. Pikiran mereka belum terkontaminasi. Dunia mereka hanya main dan makan. Belajar dianggap main, kadang makan juga sambil main. Tapi seiring waktu usia bertambah. Mereka akan tumbuh sesuai tuntutan lingkungan. Banyak yang akhirnya stres karena tidak sanggup memenuhi standar orang tua. Karena itu psikolog anak sama larisnya dengan psikolog untuk orang dewasa."
Rey hanya mengangguk kemudian berbaring. Satu hal, saat menginap di sini ia selalu tidur mengenakan pakaian lengkap. Perlahan matanya tertutup. Kini aku berbaring miring.
"Apa papa dan mama menginap?" tanyanya masih dengan mata terpejam.
"Kayaknya enggak. Tapi mereka bawa kunci sendiri. Kenapa?"
"Mau jalan-jalan besok?"
"Ke mana?"
"Tempat yang kamu suka."
"Kamu ada tempat favorit?"
Rey menggeleng.
"Kamu mikirin sesuatu?"
"Ya, aku takut akan masa depan."
"Takut kenapa?"
"Takut disingkirkan, sendirian dan kelaparan."
Kali ini nafas Rey menderu, seakan bebannya begitu berat. Kusentuh lengannya, matanya terbuka.
"Sepertinya kamu salah menikahi orang." Lanjutnya.
"Kamu menyesal?"
"Tidak, aku takut kamu nanti yang menyesal."
"Mau cerita?"
Ia menatap mataku kemudian bangkit dan mencium keningku lama sekali. Hingga kurasakan airmatanya jatuh.
"Aku tidak ingin pernikahan kita berakhir. Aku ingin seperti ini terus."
"Kita harus sama-sama berusaha, tidak bisa sendirian."
"Aku akan berusaha, jangan pernah menyerah untukku." misiknya.
Jemarinya mengelus pipiku. Hingga kemudian berbaring dan memelukku erat. Kuelus rambut hitam tebalnya. Membiarkannya berada dalam pelukanku. Ada apa dengannya? Tapi seperti biasa, dia tak lagi bercerita. Tak lama terdengar dengkur halusnya. Rey memang mudah tidur apalagi kalau rambutnya kuelus. Kadang kupikir dia seperti seorang anak kecil yang butuh perhatian. Sayang ia selalu memasang tembok tinggi diantara kami. Sehingga siapapun tidak bisa masuk.
***
Pagi hari sepulang gereja, kami berempat menuju sebuah mal. Aku, Jingga beserta kedua orang tuanya. Kali ini aku berjalan bersisian dengan papa. Awalnya aku berjalan bersisian dengan Jingga, hingga kemudian ia berkata.
"Aku sama mama mau ke konter kosmetik dulu. Kamu sama papa cari tempat untuk nunggu aja, takutnya lama."
Aku dan papa segera mengangguk. Sejak tadi memang sebenarnya sudah capek berkeliling. Papa segera menggandeng tangan memasuki gerai kopi ternama. Ada rasa haru yang tak bisa terungkapkan. Seperti inikah memiliki seorang papa? Bisa ngopi dan menghabiskan hari libur bersama. Bahagianya memiliki sebuah keluarga. Kupesan cold brew untukku dan black tea latte sesuai pesanan papa. Sebagai kudapan menunggu makan siang kupilih smoked beef mushroom and cheese panini.
"Kamu traktir papa, nih?" ucap papa begitu makanan dan minuman kami terhidang karena tadi aku menolak saat papa ingin membayar.
"Ya, kita jarang ke luar."
"Mereka bakalan lama. Kamu tahu kalau perempuan sudah ke mal? Bisa seharian nggak selesai-selesai. Ada saja belanjaan yang kurang. Kalau dulu, papa akan antar mereka, lalu pulang. Setelah itu jemput kalau mereka sudah selesai. Percayalah, papa bahkan bisa tidur nyenyak seharian di rumah."
Aku tertawa. Ini pertama kali kami pergi berempat. Dan aku tidak pernah menemani Jingga belanja. Semua kebutuhan rumah sudah terpenuhi saat aku pulang kantor.
"Bagaimana pernikahan kalian?"
"Baik, Pa."
"Apa Jingga terlalu keras kepala untuk kamu?"
"Tidak juga, dia istri yang baik."
"Jingga itu manja. Maklum dia anak kami satu-satunya. Meski memang sangat mandiri. Papa masih tidak percaya kalau dia sudah menikah sekarang. Waktu berlalu begitu cepat, kelak kalian akan punya anak. Dan kamu juga pasti tidak sadar kalau anakmu tumbuh cepat sekali."
Aku mengangguk sambil menelan saliva.
"Maaf kalau papa jujur, awalnya papa takut sekali melepaskannya menikah dengan kamu. Karena kami sama sekali belum mengenalmu. Hanya saja kehamilan Jingga saat itu membuat kami tidak punya alasan untuk menolak. Bahkan dalam tiga bulan itu kami terus mengamati sambil berdoa. Takut kalau kamu menyakitinya. Tapi semoga kekhawatiran kami tidak pernah terjadi. Jadilah suami yang baik dan setia. Banyak masalah dalam rumah tangga, tapi kalau kita tetap tenang dan berkepala dingin, semua akan selesai." Ucap papa sambil menepuk lenganku.
Aku tersenyum sambil mengangguk.
"Bagaimana pekerjaan kamu?"
"Sejauh ini stabil."
"Kamu hebat, masih muda sudah berani berbisnis. Papa dulu paling takut."
"Itu satu-satunya jalan bagi saya untuk tidak berada dibawah perintah. Dan juga kemungkinan suksesnya lebih besar."
"Kamu berani mencoba, itu hebat."
"Karena aku ingin hidup lebih baik. Jadi harus belajar lebih keras. Kegiatan papa sekarang?"
"Masih kerja, tiga tahun lagi pensiun. Sesekali membantu mamamu jualan bibit bunga."
"Jingga juga ahli dalam menanam."
"Ya, mereka sangat mirip. Oh ya, quiche buatan Jingga enak sekali. Kamu sudah coba?" ucap papa sambil memakan rotinya.
"Dia belum pernah masak itu di rumah. Tapi masakan lainnya enak."
"Dulu dia jarang memasak. Sebelum menikah hampir setiap hari mamanya menceramahi. Dia penurut, asal kamu juga tidak terlalu keras."
Aku mengangguk sambil tersenyum. Cukup lama kami berada di sini. Hampir dua jam saat Jingga menghubungi dan bertanya mau makan siang di mana. Bersama papa aku bisa betah duduk berlama-lama.
***
Sepulang dari mal, aku dan Rey langsung mengantar papa. Tidak mampir lagi, kami langsung kembali ke rumah.
"Mobil kamu kapan terakhir servis?" tanya Rey.
"Sebelum kita menikah. Papa yang bawa ke bengkel waktu itu."
"Aki kapan terakhir di ganti?"
"Kalau nggak salah sudah hampir tujuh bulan."
"Biasanya ganti di bengkel mana?"
"Waktu itu digantiin seseorang di jalan tol—" kalimatku segera berhenti. Kutatap Rey yang tengah meraih sendal rumah. "Dulu rambut kamu panjang nggak, sih? Terus brewokan gitu?"
"Iya, kenapa?"
"Kamu pernah mengganti aki mobil orang nggak di jalan tol waktu lagi hujan."
Dia terdiam sesaat kemudian mengangguk.
"Yang kamu perbaiki itu mobilku. Terima kasih sudah membuatku bisa pulang malam itu." pekikku girang karena seolah bertemu dengan pangeran bertopeng yang menjadi penolong. Sayang, seperti biasa ia hanya tersenyum kecil. Kemudian meninggalkanku sambil mencari makanan kucing. Bayangkan aku sudah se-excited ini, dan dia masih dengan mode sok cool-nya? Menyebalkan!
Kutatap dia dari jendela depan. Kucing-kucing itu kembali datang. Dengan telaten Rey menambahkan makanan. Mengelus kepala mereka satu persatu. Seakan dia menikmati dunianya sendiri. Wajahnya kembali murung. Selesai dari sana ia naik ke lantai dua. Kuikuti dari belakang.
"Kamu mau makan malam pakai apa?"
"Masak mie instan saja. Kamu sudah capek."
Da segera memasuki ruang kerja, sementara aku memilih untuk duduk di balkon. Menatap rumah tetangga di malam hari. Sesuatu yang tak pernah kulakukan, karena takut naik ke atas. Hanya rumah kami yang dindingnya dicat warna abu tua. Sementara tetangga lain terlihat cerah. Akhirnya aku turun ke lantai satu. Sudah jam delapan malam. Kumasakkan mie goreng dengan tambahan sayur dan daging. Sekalian ada serat, protein dan karbo. Tak butuh waktu lama, hingga kemudian kubawa sepiring penuh dan mengantar ke atas.
Pintu ruangan kini terbuka, Rey tidak ada di sana. ternyata dia ada di balkon belakang.
"Mie kamu."
"Terima kasih." .awabnya sambil tersenyum. "Kamu?"
"Aku masih kenyang."
Ia memakan dengan perlahan sambil menatapku. Hingga memberikan suapan. Aku kaget, hingga tak sengaja menepis tangannya. Piring itu kini jatuh ke lantai. Rey kaget, apalagi aku.
"Maaf, nggak sengaja." ucapku penuh sesal sambil berjongkok membersihkan lantai.
"Kamu nggak salah, mungkin memang belum waktunya." jawabnya pelan lalu membantuku.
"Kubuatkan yang baru ya,"
"Nggak usah, nanti aku akan masak sendiri."
"Enggak, kamu belum kenyang."
Aku segera melangkah turun.
"Nggak usah, Ingga. Aku bisa memasak sendiri. Istirahat saja mungkin kamu lelah."
Kuhentikan langkah. Dia mendahului sambil membuang pecahan kaca dan sisa makanan. Aku menunggu, ia kembali sambil mengacak rambutku.
"Maaf, aku benar-benar nggak sengaja tadi."
"Jangan dipikirkan, tidur yuk, sudah malam. Besok kamu harus kerja."
Aku yang masih merasa bersalah hanya mengikuti langkahnya memasuki kamar. Seperti biasa Rey akan mandi sebelum tidur. Kutunggu untuk mengeringkan rambutnya. Sambil kubuka ponsel yang sejak tadi siang tidak tersentuh. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal memasuki ponselku.
Kamu menikah dengan orang yang salah, Jingga.
Kuembuskan nafas kasar. Pikiranku tertuju pada Anton karena mantan kekasih Rey pasti tidak mengetahui nomorku.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
15122
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top