SEBELUM
Untuk menyembuhkan luka, kamu harus berhenti menyentuhnya. Dan untuk menyelesaikan masalah, kamu hanya harus berhenti
menyebutnya masalah.
-setiase-
Antara duduk di depan kelas Angkasa sambil menimang-nimang coklat yang sudah ia bungkus rapi. Ralat : maksudnya yang sudah ia pesan dari toko dengan bungkus yang untungnya dibuat serapi mungkin agar tidak mengecewakan pelanggan. Hari ini tanggal 14 Februari, dan kata orang-orang, hari kasih sayang jatuh bertepatan di tanggal itu. Maka untuk merayakannya, Antara berniat akan memberikan bingkisan cantik ini pada manusia paling mustahil di dalam sana.
"Assalamualaikum bidadari!"
Antara mendongak dan tersenyum kepada Rafa. "Angkasa mana?"
"Nggak mau nyariin gue aja?" tanya Arka yang langsung merangkul Antara tanpa canggung.
"Najis!! jauh-jauh sana!"
Perdebatan masih terjadi ketika Angkasa dan Elang keluar dari kelas bersamaan. Elang melirik Antara sekilas, sebelum mencari sosok iblis cantik di belakangnya yang ternyata kali ini tidak ada. Kemana pacarnya?
"Jesi mana?"
Antara mengedikkan bahu acuh. "Tadi sih tidur."
"Uhuy! mau ngapel nih bau-baunya."
Tanpa menggubris Rafa, Elang langsung melenggang pergi meninggalkan mereka. Baru saja Antara mengalihkan pandangan, tangannya yang semula ingin mengulurkan coklat kini harus terhenti saat ponselnya bergetar dalam saku rok seragam.
"Sebentar ganteng, ada panggilan penting dari presiden."
"Idih belagu dia."
Rafa mengangguk atas ucapan Arka. "Berasa presiden nggak punya kerjaan lain aja."
Lima detik, bukan, sedetik setelah gadis itu mendengar informasi dari seseorang di ujung panggilan, tubuhnya mendadak kaku. Ia sudah tidak peduli dengan suara bising dari kedua mulut manusia di samping kiri dan kanannya ini. Darel yang pertama menyadari gelagat Antara. Hingga disaat gadis itu menjatuhkan begitu saja coklat yang tadi ia bawa, Angkasa menoleh. Mengamati Antara yang kini sudah berlari menjauhi mereka untuk menuju parkiran. Mengamati juga setitik air mata yang jatuh saat gadis itu membalikkan tubuhnya beberapa detik yang lalu.
"Coklat gratis," Arka memungut coklat yang dijatuhkan Antara di lantai koridor. "Rejeki anak ganteng begini nih."
"Mau kemana lo, Ar?"
"Mau nembak cewek, mau ikut?"
Darel menggeleng, malas ikut campur dengan kisah percintaan Arka yang rumit. Tapi dia juga malas melihat Angkasa yang kini masih belum mengalihkan pandangan dari objek yang sudah hilang sejak tadi. Jadi dengan amat terpaksa, ia harus membuntuti Rafa yang sudah ngacir untuk antri cilok di warung belakang.
____
"Maaf, tim kami sudah berusaha sebaik mungkin. Tapi Ayah anda tetap tidak berhasil kami selamatkan."
Kalimat itu berulang kali terputar dalam memorinya. Air matanya luruh di koridor rumah sakit kemarin malam. Bahunya berguncang tanpa sandaran. Dalam keheningan yang lalu lalang, Antara membekap mulutnya agar tak menimbulkan suara. Kepalanya satu dua kali dibenturkan dengan sengaja ke tembok yang dingin. Mencoba membangunkan dirinya sendiri yang mungkin saat ini sedang bermimpi. Mimpi buruk.
"Tara, udah waktunya pemakaman."
Gadis itu tersadar dari lamunan saat Jesi mengelus pundaknya. Ia mengedarkan pandangan kesana-kemari. Berusaha mencari sosok yang sejak tadi ia tunggu. Wanita berambut panjang sebahu yang sering menggunakan japit berhias kristal sebagai hiasan saat ia mengucir rambutnya.
"Mama udah dateng?"
Jesi menggeleng sambil terus mengelus bahu sahabatnya. "Mungkin belum, kita anter papa kamu sekarang yuk?"
"Mama gimana?"
"Nanti mungkin nyusul, Tar."
Antara tau itu kebohongan, Antara tau hal itu mustahil, dan Antara tau bahwa 'mungkin' memang belum tentu terjadi. Tapi apakah wanita itu tidak ingin melihat hasil karyanya yang luar biasa untuk terakhir kali?
Dulu rumah besar ini adalah istana paling hangat untuk Antara. Tempat pulang terbaik jika dunia sedang terasa sangat berat. Namun nyatanya, semua disulap begitu saja ketika seorang perempuan yang begitu diratukan oleh Antara mulai menunjukkan gelagat aneh. Hingga puncak kerusakan itu tiba pada malam di hari yang paling ingin ia lupakan. Mamanya pergi bersama laki-laki lain. Meninggalkan papanya yang jatuh sakit setelah itu. Meninggalkan semua kenangan yang sengaja dibakar hidup-hidup bersama orangnya. Disitulah Antara hangus, disitulah hatinya lebur bersama semua hal buruk yang terjadi.
"Bahagia disana ya, Pa. Tunggu sampai aku kesana. Maafin Galista, Pa. Maafin mama juga."
Gadis itu mengusap batu nisan bertuliskan nama papanya dalam diam. Buru-buru ia mengusap air matanya yang meluruh begitu saja. Menghembuskan nafas panjang sebelum beranjak pergi dari sana. Mengucapkan pamit dan tersenyum kecut saat menyadari bahwa sejauh ini, mamanya sama sekali tidak terlihat.
"Fuck!"
***
Antara sengaja bolos sekolah selama tiga hari semenjak kematian ayahnya. Bahkan saat ini ia terlihat ogah-ogahan menyetir ke sekolah. Moodnya sedang tidak baik untuk diajak bercanda. Hingga ketika mobilnya sudah terparkir rapi, gadis itu justru tetap memilih duduk di jok mobil sambil memejamkan mata. Ia mengantuk, tiga hari ini sepertinya tidak cukup untuk membuatnya kembali bugar seperti biasa.
"Nyet!"
Suara benturan kaca mobil membuat Antara mengernyit. Ia membuka sebelah matanya untuk mengintip, memeriksa siapa gerangan manusia menyebalkan di luar sana.
"Ngapain lo?! sini keluar nyet!"
"Mau tidur gue!"
"Buka nggak!"
"Nggak!"
"Gue rusak nih!"
Dengan perasaan dongkol, Antara membuka pintu mobil lumayan kencang. Bahkan Jesi sampai mengumpat karena saking kagetnya, untung dia sempat mundur.
"Lo jangan bolos lagi lah, males gue sendirian mulu."
"Kan ada Elang, pacar lo yang paling bucin sedunia itu."
"Kan di kelas gue sendiri!"
"Sayang,"
"Nah kan," Antara membanting pintu mobilnya saat melirik Elang. "Baru juga mulut gue nutup."
"Turut berduka ya, Tar."
"Makasih ya Elang Garuda Pancasila. Mau ngapain nih? Jesi buat gue hari ini!"
Elang tidak menjawab pertanyaan Antara tapi malah langsung menyampirkan tas slempang Jesi ke bahu gadis itu. Jesi pun tersenyum, memeluk sekilas cowok itu sebelum Antara muntah.
"Nanti olahraga pake baju aku aja."
"Iyaaaaaa."
"Jangan lupa makan."
"Apa lagi?"
"Ya udah, aku kelas dulu."
Elang mengusap puncak kepala Jesi sebelum melirik ke arah Antara. "Jagain!"
"Buset dah, bodyguard gue emang?!"
"Oiya, nanti pulang sama aku aja." Elang melambaikan tangan sambil mundur perlahan. "Kemarin aku lihat skincare kamu ada yang habis, nanti biar bisa beli sekalian."
Antara memasang tampang melas dan pura-pura pusing. Perutnya otomatis melilit saat mendengar ucapan yang keluar dari mulut manusia es yang tidak tau bagaimana cara tersenyum normal. Tambah sakit lagi ketika ia juga menyadari bahwa manusia itu luluh dengan sahabatnya yang tidak tau malu.
"Oke kapten! belajar yang bener ya gantengnya aku!"
"HUEK! YA TUHAN, MAU JADI POT!"
"Iri dengki lo!"
"MAU JADI ADEKNYA ELANG AJA DEH, GAPAPA KOK!"
____
Antara melamun di depan meja riasnya setelah membaca pesan dari seseorang. Bagai disambar petir, gadis itu menegang saat membaca bahwa mamanya memutuskan untuk menikah lagi. Ia tau mamanya mungkin tidak lagi menemukan kebahagiaan hanya dengan Antara. Satu pemikiran yang sayangnya semakin menyakitinya sendirian.
"Mama mau nikah."
Kalimat itu tanpa sadar ia ucapkan sesekali dalam tidur. Bahkan ketika sedang berjalan di koridor sekolah, gadis itu masih saja melamun tanpa memperdulikan berapa orang yang mengamatinya dengan pandangan aneh.
"Antara!"
Ia berbalik, menatap Elang dan Jesi yang terlihat berbeda dari biasanya.
"Gue mau ngomong."
"Ngomong aja."
"Jangan disini," ucap Elang tegas.
Gadis itu melirik Jesi yang kini hanya mengangguk. "Ya udah, mau dimana?"
Elang langsung menarik tangan gadis itu lumayan kencang. Meninggalkan Jesi yang kini mulai menaiki tangga untuk menuju kelas. Antara menengok sekali lagi, takut sahabatnya berpikir macam-macam. Tapi melihat bahwa Elang menariknya semacam kambing, sepertinya Antara tidak mungkin masuk dalam kriteria calon perebut.
"Pelan-pelan elah."
"Mau ngomong apa sih emang?"
"Anjirlah gue kayak anak kambing begini dah."
Melihat gerombolan Angkasa yang berjalan di seberang lapangan, mulutnya yang tadi dibuat mengomel kini sontak tersenyum lebar. Tangannya yang bebas pun dilambaikan dengan heboh agar bisa mencuri perhatian Angkasa di ujung sana. Lihat kan, Antara adalah salah satu manusia yang jago sandiwara.
"Hai mas pacar!!!"
"Selamat datang di sekolah, jangan lupa senyum!"
"Mas pacar! oi ganteng! tolongin gue!!"
Ia bisa melihat cowok itu hanya meliriknya sekilas tanpa minat, justru Rafa yang dengan senang hati membalas lambaian tangannya sambil menunjuk-nunjuk antusias bersama Arka.
"Tolongin gue diculik sugar daddy nya Jesi nih!!!"
"Diem berisik."
"Buset galak," Antara pasrah dan memutuskan curi-curi pandang saja pada punggung Angkasa yang menjauh. "Angkasa suka apa sih Lang?"
"Bukan lo pokoknya."
"Dia suka warna item ya?"
Antara berusaha memikirkan sesuatu tanpa peduli jawaban Elang sebelumnya. "Ulang tahun Angkasa enaknya ngado apa ya gue? menurut lo apa?"
"Orang ganteng pantesnya dikado apa sih?"
Gadis itu terdiam saat Elang sudah melepaskan cekalan tangannya. Kini mereka ada di lapangan belakang. Tidak ada orang lain selain beberapa murid yang duduk-duduk di warung Bi Imah tepat di pojok belakang lumayan jauh. Jelas tidak akan ada yang bisa mendengar percakapan mereka kali ini. Pembahasan yang lumayan membuat Elang ditampar habis-habisan.
"Nyokap lo mau nikah kan?"
Antara langsung bungkam detik itu juga. "Ngomong apa sih lo?"
"Jangan sok nggak ngerti."
"Dapet darimana lo kabar ngaco kayak gitu?"
"Jawab jujur."
"Kalo lo mau ngomongin hal nggak penting gini, gue mending cabut."
Baru saja Antara berbalik, langkahnya terhenti saat mendengar ucapan Elang.
"Bokap gue juga."
"Terus apa hubungannya sama--" Antara terdiam saat satu kemungkinan terlintas dalam kepalanya. "Jangan bilang kalo--"
"Iya, kita bakal jadi saudara."
"Nggak mungkin."
"Faktanya kayak gitu."
"Lo udah tau ini dari kapan?" tanya Antara yang saat ini sudah mendekati Elang dengan raut datarnya. "Kenapa lo nggak ngomong kalau selama ini yang ngerebut nyokap gue itu bokap lo?!"
"Jaga omongan lo ya, Tar."
"Papa gue meninggal Lang! gara-gara dia! gara-gara dia lebih milih laki-laki lain daripada keluarganya!"
"Lo nggak ngerti, Tar."
Antara tertawa sumbang. "Wah, jadi sekarang lo dan ayah lo yang lebih paham gimana dia?"
"Tapi emang bener sih, gue emang nggak bisa paham sama pikiran dia." Gadis itu menghapus air matanya yang memalukan. "Nggak papa, ambil aja, gue juga nggak butuh. Semoga bahagia ya, semoga dia nggak ninggalin ayah lo juga."
"Tar!"
"Apa?! gue harus apa lagi?!"
"Itu mama lo Tar."
"Terus kenapa?! lo tanya ke dia sekarang coba, masih dianggap anak nggak gue?!"
Elang memejamkan matanya untuk menahan emosi. Perlahan ia mendekati Antara yang kini terguncang. Gadis itu menangis, Elang bisa merasakan seragamnya basah saat Antara berada dalam pelukannya. Dalam elusan pundak yang seirama, Elang mencoba berdamai pada dirinya sendiri untuk kebahagiaan orang tuanya. Kebahagiaannya juga, serta kebahagiaan Antara sebagai adiknya.
"Gue tau lo nggak mungkin bisa terima secepat itu."
"Tapi satu hal yang lo harus tau," Elang melepas pelukannya agar bisa mengamati Antara. "Mulai sekarang, ada gue disini buat lo Tar. Bukan sebagai pacar Jesi, bukan sebagai temennya Angkasa, tapi sebagai abang lo."
"Suatu saat, lo pasti bakal ngerti apa yang sebenernya terjadi di antara keluarga kita. Tapi buat saat ini, biarin mereka bahagia ya?"
"Tugas kita sebagai anak bukan untuk mengekang mereka. Kalau memang ini yang terbaik, kita harus mendukung Tar. Jangan sampai egoisme dan emosi lo bikin semua hal jadi kacau."
Antara menggeleng perlahan. "Lo juga pasti nggak bisa terima ini kan sebenernya?"
"Kata siapa? Bagi gue, kebahagiaan ayah udah lebih dari cukup."
"Dia udah ngasih gue apapun, Tar. Mau nanti gue bales pake harta sebanyak apapun, itu tetep nggak sebanding. Jadi selama gue bisa ngasih kebebasan, ngasih waktu, ngasih dukungan, dan hal lain yang sekiranya bisa gue kasih ke orang tua gue, kenapa nggak?"
Elang mengelus pundak Antara sekali lagi, tidak lupa untuk ikut membantu gadis itu menghapus air matanya. Tidak tega melihatnya masih berdiri, ia menyuruh Antara duduk di bangku pinggir lapangan agar bisa sedikit membuatnya tenang.
"Pikirin lagi ya Galista, nanti gue jemput kalo lo mau dateng ke nikahan mereka."
"Nggak perlu, gue nggak siap."
Cowok itu mengangguk paham, ia jelas tau bahwa tidak semua orang bisa menerima sesuatu dengan baik-baik. Termasuk soal ini, ia pun tidak bisa memaksa Antara untuk ikut berbahagia atas apa yang masih belum bisa ia terima dengan pikiran dewasanya. Tidak semua hal bisa dipaksa kan?
"Ya udah, biar gue aja."
Elang bangkit dan menepuk bahu gadis itu sebelum pamit. Sengaja membiarkan Antara mendapat ruang untuk merenungi keputusannya.
"Lang,"
"Iya?"
"Bilangin ayah lo, jangan nyakitin mama."
Elang mengangguk, senyumnya pun terbit saat berbalik. Dalam hati ia mulai meyakini satu hal, bahwa semuanya akan baik-baik saja seperti seharusnya. Suatu saat nanti, entah kapan, tapi yang jelas akan.
::
Ada satu kalimat dari kawan jauh yang pernah berkata demikian :
"Kamu tidak akan bisa memulai bab selanjutnya dalam hidupmu, jika kamu terus membaca kembali yang terakhir."
Jadi untuk kalian yang sedang bergelut dalam sepuluh, seratus, atau sejuta luka-luka yang belum sembuh serta masalah-masalah yang belum usai. Coba terima pelan-pelan, coba pahami juga alasan dibaliknya. Hingga waktu dimana kamu sudah bisa mendamaikan dirimu sendiri, selesaikan satu persatu dengan hati-hati. Percayalah, semua luka bisa sembuh. Semua masalah bisa hilang. Tergantung, semua hanya tergantung bagaimana kamu menanggapinya.
-setiase
Nb : satu lembar kudedikasikan khusus untuk menjelaskan masalah pribadi Antara yang sebenarnya hanya diceritakan kepadaku saja. Tapi ya sudahlah, aku tidak bisa terus diam saja kan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top