#6
"Aku mundur"
ucapku kesekian kali,
yang akhirnya kulupakan
juga besok pagi.
-setiase-
Arka dan Rafa yang sama-sama sampai di kelas berdesakan di pintu untuk berlomba masuk duluan. Keributan itu disaksikan oleh hampir seluruh penghuni kelas, termasuk Angkasa. Kecuali Darel, karena manusia satu ini masih sibuk terjun ke alam mimpinya tanpa peduli soal apa-apa yang mengusik di luar sana.
"Gue duluan!"
"Gue yang nyampe duluan cot!"
"Minggir nggak lo kambing."
"Lo yang minggir! Awas gue mau lewat!"
Seorang gadis selaku wakil ketua kelas berjalan mendekati mereka, membuka daun pintu yang lain untuk menghentikan kekonyolan dua orang ini. Membuat Arka dan Rafa mengacungkan jempol secara bersamaan sebelum berlari menghampiri Angkasa.
"KAS!"
"PAK BOS!"
Angkasa menoleh dengan mata elangnya, "Apa?"
"Ih ganteng ya pak bos."
Arka memukul punggung Rafa, "Ngomong soal itu dulu!"
"OIYA, GILA PAK BOS, SEORANG ELANG BELIIN BU BOS MINUM!"
"DIA SENYUM KE ANTARA JUGA!" saut Arka tak kalah histeris.
"HABIS ITU BUKAIN KALENG SODANYA!"
Rafa mengangguk dan lanjut mengompori, "PADAHAL ADA JESI!"
"HABIS ITU USAP USAP KEPALA!" ucap keduanya bersamaan lalu menggeleng karena tak habis pikir.
"Terus?"
"Nggak ada terusannya!" Rafa duduk tepat di hadapan cowok itu. "Nanti kalau bu bos ditikung pangkatnya jadi turun, jadi bu tangan kanan. Kan kepanjangan ya Ar?"
Arka hanya mengangguk dan menggoyangkan-goyangkan badan Darel untuk membuat cowok itu bangun. Tanpa peduli dengan Darel yang mengumpat beberapa kali karena merasa terganggu, Arka justru semakin semangat menendangi kaki cowok itu.
"Bangoonnnnnnnn!!"
"Berisik nyet, pergi sana!"
"Gimana Kas?" tanya Arka saat melihat Angkasa tidak juga merespon. "Kita emang temen kalian berdua, tapi kan nggak boleh ada tikung menikung diantara kita ya kan? apalagi soal cewek."
"Ya kan dia bukan cewek gue."
"OIYA ADA LAGI!" Angkasa mendongak saat melihat Rafa sudah berdiri. "TADI ADA YANG BELIIN BU BOS SERAGAM!"
Angkasa melepas salah satu earphone yang dipakainya tanpa mengalihkan pandangan. Merasa Angkasa mulai tertarik, Rafa semakin gencar mendramatisir ceritanya. Apalagi ditambah sautan-sautan dari Arka yang sengaja memancing reaksi temannya yang cuek itu.
"Udah?" tanya Angkasa membuat Rafa mengangkat tangannya untuk hormat.
"Udah! Laporan selesai pak bos!"
"Ya udah sana pergi, ganggu aja."
Belum juga Rafa ingin membalas Angkasa, seseorang berlari masuk ke kelas mereka. Putra, cowok kelas sepuluh yang digadang-gadang menjadi salah satu penerus anggota gengnya Angkasa. Dengan seragam berantakan, ia memberitahukan sesuatu dengan muka panik.
"Kak Elang dikroyok di depan sekolah!"
"Lah, bukannya dia tadi di lapangan sama Antara?" kini Arka ikut serius dan mulai mengenakan ikat kepala hitamnya.
"Nggak tau juga, nanti dah kakak tanya sendiri."
"Cabut." Angkasa bangkit dan langsung diikuti Rafa, Arka, Putra, sekaligus Darel yang langsung terbangun saat mendengar berita barusan.
"Put, tolong bilangin yang lain jangan pada keluar, kalo bisa jangan sampe denger kepala sekolah."
"Siap Kak Rel!"
____
Ada yang berantem di depan
Ha? Siapa?
Itu tadi Kak Angkasa sama yang lain pada lari-lari
Siapa yang berantem?
Kak Elang dikroyok katanya
Serius? Astaga gantengku!
Eh jangan kesana bahaya, nggak boleh juga sama Putra
Duh Elang gimana?
"Antara!!!!"
Gadis itu menguap sebentar lalu menatap tajam Jesi yang baru saja masuk kelas. Dilihatnya kelas sudah kosong, padahal biasanya meski jam istirahat setidaknya ada beberapa orang yang tinggal di dalam kelas. Antara menatap Jesi yang saat ini berlari ke arahnya dengan muka panik.
"IKUT GUE!!!"
"Apasih? ngomong dulu baik-baik, jangan main tarik-tarik aja."
"Angkasa berantem!!"
"Ha?"
"ELANG DIKROYOK!!"
"HA?!"
"Ha ha ha aja kayak tukang keong. Makanya ayo buru...ANTARA TUNGGUIN!"
Gadis itu sudah berlari lebih dulu diikuti Jesi di belakangnya. Tanpa peduli orang-orang yang menghalangi jalan dan melarangnya kesana, mereka tetap saja menyibak kerumunan agar segera sampai di depan gerbang. Baru saja gadis itu ingin tidur karena lelah berlari, eh sekarang udah lari lagi.
"Giliran soal Angkasa aja lari kenceng banget, tadi saya suruh keliling lapangan pada kayak siput!"
Antara tersenyum menyapa Bu Lia, "Permisi Bu cantik."
Sampai di depan gerbang, Antara melihat Elang sudah duduk di pos satpam. Sampingnya ada Rafa yang mengipasi cowok itu dengan kipas portabel yang Antara yakin dipinjam paksa dari murid perempuan. Antara mendekat, mengamati seluruh bagian wajah Elang. Mulai dari bibirnya yang terluka, hidungnya berdarah, dan sudut matanya pun biru-biru. Untung orang ini jago berantem, kalau tidak bisa lebih parah!
"Lo nggak papa?" Elang hanya menggeleng sebagai jawaban.
"Astaga mantan!!! auu sakit banget ya? Kita bawa aja ke..," belum selesai bicara, Jesi sudah menoleh saat Antara bangkit dan berlari keluar gerbang. "Antara!! lo mau kemana?!"
"Lo disini aja Jes, biar gue susul Antara." saut Rafa membuat Jesi mengangguk dan berganti yang memaksa Elang ke UKS lebih dulu.
"Tar! Bahaya!"
Tanpa menghiraukan panggilan Rafa, gadis itu masih memicingkan mata untuk mencari keberadaan Angkasa. Cowok itu berdiri tidak jauh darinya, membuat border bersama yang lain untuk mengusir mundur komplotan sekolah ujung yang pernah bermasalah dengan Angkasa dan Elang.
"Berantem jangan sekarang! mundur dulu lo pada, sampe ada polisi mampus semua kita tolol!" Arka terlihat mulai emosi.
"Dan, suruh yang lain merapat." saut Darel menyuruh anggota yang lain saat melihat gerombolan siswa sekolah itu tetap memaksa masuk.
"Ar, samping lo renggang, awas."
"Angkasa awas!!" teriakan Antara membuat Angkasa langsung menoleh ke arah seseorang yang saat ini melemparkan batu dari kejauhan tepat ke arah Angkasa.
Angkasa berhasil menghindar, namun batu itu justru melayang lebih jauh ke arah Antara yang terdiam beberapa meter di belakang Angkasa. Melihat itu, Angkasa melepas pegangan border dan segera berdiri tepat di hadapan gadis itu. Rafa yang biasanya tukang rusuh kini pun ikut sigap menggantikan posisi Angkasa sebelum polisi datang.
"Arghh!" batu itu mendarat tepat di bahu kirinya.
"Astaga Angkasa!"
"Lo goblok apa gimana? lo bisa luka lagi Tar!"
Antara terdiam karena masih syok, "Maaf, lo nggak papa?"
"Sini masuk."
Antara ikut saja saat ditarik kasar oleh Angkasa untuk menjauh dari sana. Cowok itu memaksanya duduk di bangku panjang taman depan. Lalu Angkasa berlutut, menyamakan posisinya agar sejajar dengan Antara.
"Masuk."
"Tapi,"
"Gue minta tolong jangan ngeyel."
Gadis itu pun akhirnya mengangguk dengan tatapan khawatir yang sama, "Hati-hati."
Tanpa mengatakan apa-apa, Angkasa bangkit dan kembali keluar untuk membantu teman-temannya. Antara meringis saat melihat bahu kiri cowok itu sedikit kotor karena batu, namun sang empunya malah berjalan santai seolah tidak merasakan apa-apa. Di lain sisi, meski diam seribu bahasa, Angkasa sedang mati-matian menahan emosinya. Bagaimana bisa Elang dilukai seperti itu?!
***
Elang terdiam saat kedua tangan lentik itu dengan telaten mengobati lukanya. Setelah berhasil memaksanya ke UKS, gadis itu kesal sendiri saat tidak ada anak PMR yang bertugas disini. Otomatis hanya tinggal dia kan yang harus memberikan pengobatan pertama? Padahal kalau boleh memilih, mending dia membelikan minum daripada harus berkutat dengan obat-obatan seperti ini.
"Kalo sakit bilang ya."
Tanpa menatap gadis itu, Elang hanya mengangguk dan sesekali meringis saat merasakan reaksi alkohol dan obat merah di lukanya yang terbilang masih baru.
"Udah pelan loh ini, tahan dulu deh. Jangan manja jadi cowok."
"Lagian kenapa sih kok bisa kayak gini?"
"Bukannya tadi lo bilang mau ke kelas? kok malah ke depan?"
"Yaelah malah diem aja ditanya!" Jesi membuang kapas bekas obat merah dan berganti mengambil salep untuk luka lebamnya.
"Bukannya udah gue bilang, gue nggak mau lihat lo kayak gini lagi Lang, walaupun udah nggak sama gue sekalipun."
Gadis itu melirik sebentar ke arah Elang yang saat ini mengalihkan pandangan. Setelah selesai dengan salep, Jesi tidak sengaja melihat luka lain di tangan Elang. Membuat ia menghembuskan nafas berat sambil menutup salep yang tadi dipakainya.
"Sini tangannya,"
"Nggak usah."
"Sini nyet." paksa Jesi sambil menarik tangan cowok itu dan mengamatinya sebentar.
"Tahan, bentar doang ini."
Sambil membersihkan lukanya, gadis itu tetap mengajak Elang berbicara. "Kepo nih gue, kok lo bisa dikroyok sih?"
"Jes," Gadis itu menoleh ke arah Elang sambil bergerak membuka plaster.
"Apa? Ngomong! ditungguin juga."
"Ya bentar."
"Ya apa? jangan ngeliatin! nggak bakal juga gue baper lagi."
Elang masih juga diam, "Gue pengen amnesia."
"What the hell?" Jesi tertawa mendengar ucapan Elang. "Dimana-mana orang lain pengen ingatannya tetep ada, oon banget."
"Gue.."
"Mas Elanggg!!!!!" suara Rafa menghentikan ucapan Elang. Kedua orang itu menoleh ke arah pintu UKS dan melihat teman-temannya mulai bergantian masuk, termasuk Angkasa dan Antara.
"Kok bisa sih Lang?"
"Bentar dulu Rel, Elang nggak bakal ngomong kalau bukan Angkasa yang nanyain. Mereka kan kayak pengantin baru."
Angkasa duduk di kursi lain tepat di seberang Elang. Cowok itu menatap Elang yang saat ini juga mengamatinya. Dengan pandangan yang sama-sama tajam, Angkasa akhirnya membuka suara setelah sekian lama menunggu orang di hadapannya tak kunjung berbicara duluan.
"Jadi?" suara Angkasa yang dalam seolah tidak memancarkan emosi sama sekali, namun Elang tau betul bahwa cowok itu sedang serius.
"Nggak papa."
"Jangan bilang nggak papa di depan gue kalo nyatanya lo kenapa-kenapa."
Elang menghembuskan nafas beratnya sebelum akhirnya bercerita soal kronologi kejadian barusan. Ia baru saja ingin pergi ke kelas saat tiba-tiba mendapat panggilan masuk yang mengajaknya bertemu di depan gerbang. Mulanya Elang sudah punya firasat akan terjadi pertengkaran, tapi tidak sampai berpikir Reyhan akan membawa anggota sebanyak itu disaat bel pulang pun belum berbunyi. Kalau belum tau siapa Reyhan, cowok itu adalah salah satu provokator tawuran yang pernah masuk rumah sakit karena ulah Elang. Mungkin karena itulah, ia menyimpan dendam pada geng Angkasa.
"Tadi polisi dateng?"
Angkasa menggeleng, "Belum."
"Sorry."
Angkasa hanya terdiam, membuat Elang dan temannya yang lain paham betul ketua gengnya itu sedang menahan marah. Angkasa memang tidak peduli pada apapun, tapi dia selalu loyal pada semua hal yang dia sayangi. Karena itulah, Elang tau sifat Angkasa yang sebenarnya memang belum ditunjukkan secara gamblang pada siapapun di luar anggota mereka, termasuk Antara dan Jesi sekalipun.
"Nggak usah dibales." ucap Elang saat menebak Angkasa sedang menyusun rencana balas dendam sendirian di dalam kepalanya.
Rengekan Rafa membuat perhatian mereka seketika terpecah dan spontan menoleh ke arahnya. Cowok itu berlaga seolah mengusap air mata dan hendak memeluk Arka yang sekarang langsung membuka lebar ketiaknya yang berkeringat.
"Iuhh." Rafa menjauh dan menutupi hidungnya.
"Lo ngapain sih Raf?!"
Rafa melirik kesal Arka, "Gue kan nggak suka yang serius-serius kayak gini."
"Gue ke kantin aja lah, pada ikut nggak?" tawar Darel membuat hampir dari mereka semua mengangguk.
"Gue mau beli es jeruk nipis dulu ah."
"Ituuuu mulu!" saut Darel sambil memakai sepatunya.
"Biar nggak sariawan."
"Lo nggak ada yang lain selain makan telur dadar sama minum es jeruk nipis, Raf?" tanya Arka penasaran.
"Loh ada lagi nyuk, telur puyuh, telur ceplok, telur kecap, banyak."
"Halo neraka? setannya kabur nih," ucap Arka berlaga telfon sambil berjalan menuju pintu diikuti yang lain termasuk Elang dan Angkasa.
"Kalian nggak ikut?" tanya Darel membuat Antara dan Jesi kompak menggeleng.
"Beneran? Bolos lo ini."
"Iya aelah! udah ah sana buruan, orang mau kuis malah diajak bolos!"
Arka mengangkat kedua tangannya, "Ampun dah! pantesan diputusin Elang lo, marah-marah mulu kerjaannya."
"Angkasa," suara Antara berhasil menghentikan perdebatan Jesi dan Arka sekaligus membuat Angkasa menoleh.
"Bahu lo memar, nanti jangan lupa diobatin ya."
"Kalau nggak bu bos aja yang ngobatin sekarang," Rafa mendorong-dorong Angkasa agar kembali masuk.
"Gue bisa sendiri."
"Bisa apa? lo kan bisanya cuma nyuekin orang, Kas." saut Arka malah ikut-ikutan mendorong Angkasa.
Antara tersenyum, "Dia emang bisa sendiri kok, ayo Jes."
"Ayo!"
"Angkasa, beneran jangan lupa ya, sekarang giliran gue yang minta tolong." ucap Antara saat melewati cowok itu sambil menarik Jesi yang sengaja menabrak lengan Rafa.
"Minggir nyet!"
"Bye Bu Bos."
"Hati-hati juga ya Sri!"
Jesi pun menoleh dan memberikan jari tengahnya pada Arka sambil melotot sebal.
___
"Tar."
Antara menoleh saat Jesi memanggilnya pelan, "Udah belom?"
"Tinggal nomer 4."
"Nih gue udah, nomer 8 sini bagi."
"Antara! Jesi! nggak ada kerjasama ya, ngomongin apa kalian?" tanya Pak Irwan membuat Antara cengengesan.
"Ngomongin sila ke tiga, Pak. Kita kan emang diajarin harus bersatu apapun yang terjadi."
Pak Irwan menghembuskan nafas pelan dan kembali sibuk dengan laptopnya. Setelah dirasa aman, mereka mulai bertukar kertas jawaban dan membacanya sekilas sebelum buru-buru mengembalikannya.
"Ayo ah."
"Duluan aja, biar nggak ketahuan." ucap Antara membuat Jesi bangkit sambil menenteng totebag miliknya.
Setelah selesai, Antara mengemasi alat tulis ke dalam tas punggung kecilnya dan menyampirkan benda itu di bahu kanan sebelum berjalan ke depan untuk mengumpulkan kertas jawaban. Baru saja gadis itu meletakkan kertas di meja Pak Irwan, laki-laki itu menyuruhnya berbalik.
"Kenapa Pak?"
"Tulis nama yang bener, Antara."
"Itu udah bener seratus persen, Pak."
Pak Irwan menunjuk ke bagian nama Antara, "Jadi nama kamu sekarang Antara Galista pacarnya Angkasa?"
"Pulang dulu ya Pak."
Seluruh kelas hanya menggeleng heran karena sudah biasa mendengar hal seperti ini, karena setiap kuis maupun tugas, Antara selalu menamai dirinya sendiri dengan hal yang sama. Kalau nggak, pasti dinamai Antara Galista Regan. Kecuali Ujian Semester, baru gadis itu serius menuliskan nama aslinya.
"Lama banget sih lo perasaan."
"Pak Irwan tuh nanyain nama lagi."
"Ya lo sih aneh anjir!"
Antara melepas ikatan rambutnya, "Eh itu Angkasa kan? duh harus gimana nih."
"Please deh."
"Lihat muka gue coba," Antara menoleh ke arah Jesi yang saat ini mengamatinya. "Berantakan nggak?"
"Nggak nyet."
"Kangen, Jes."
"Astaga Tara," Jesi memukul pelan lengan Antara. "Baru satu hari udah berapa kali lo ngomong kangen?!"
"Dia tadi luka tau!"
"Angkasa!" Jesi berteriak saat Antara refleks menginjak kakinya. "Shit, sakit!"
"Lo ngapain sih manggil-manggil?
tuh kan dia liat sini. Nggak ada akhlak lo emang!"
"Tadi lo bilang kangen!"
Antara memejamkan matanya menahan emosi. Tanpa peduli Jesi yang masih mengomel, gadis itu berjalan saja menuju parkiran yang mau tidak mau harus melewati Angkasa yang sudah berdiri di samping motornya.
"Hai, Kas." sapa gadis itu dan langsung berjalan menuju mobilnya.
"Tar, Tara!!"
"Tunggu nyet!" Jesi menghentikan langkah saat melewati Angkasa. "Ada yang kangen tuh, jangan jahat-jahat lo makanya!"
Angkasa mengamati kedua orang itu dengan alis mengkerut. Setelahnya ia hanya mengedikkan bahu dan hendak meletakkan ponselnya di saku kemeja sebelah kiri. Namun, tangannya tidak sengaja menemukan sesuatu. Dikeluarkanlah kertas putih berukuran kecil itu dari sana dan membuang bon pembelian ke tempat sampah dengan tampang datar seperti biasa.
***
Setelah adegan Jesi yang memanggil Angkasa tiba-tiba, ini sudah hari ketiga setelahnya. Genap empat hari Antara menjauh, genap empat hari pula gadis itu terus uring-uringan. Entah di sekolah, di rumah, di luar, atau bahkan di club sekalipun. Jesi bahkan sudah tidak lagi bisa menghitung berapa jumlah kata 'Angkasa' dan 'kangen' yang diucapkan sahabatnya. Baik saat sadar maupun mabuk.
"Kantin yuk."
Antara mengambil ponsel di kolong mejanya sebelum bangkit dengan malas, "Laper gue pura-pura bahagia terus."
"Senyum napa, Tar."
"Apa cuma gue kali ya yang ngerasa kehilangan? Angkasa gimana ya Jes?" tanya Tara sambil berjalan menuju kantin.
"Mana gue tau, dipikir gue maknya Angkasa."
Antara yang mendengar jawaban Jesi melirik kesal gadis itu dan terus murung sampai dirinya sudah berdiri di pintu masuk kantin. Seperti biasa, tempat ini selalu ramai saat jam istirahat. Kedua gadis yang saat ini menjadi pusat perhatian itu menoleh kesana kemari mencari tempat duduk kosong yang memang hanya tinggal sedikit karena dipenuhi oleh murid lainnya.
"Duduk mana nih?"
Jesi menunjuk meja dekat penjual jus buah, "Udah sana dulu, biar gue pesenin."
Antara segera duduk dan meletakkan ponselnya di atas meja. Tanpa menghiraukan tatapan mata dan lirikan dari beberapa orang disana, gadis itu justru sibuk mencari keberadaan Angkasa. Bangku pojok yang biasanya diduduki mereka pun kini hanya ada Putra dan teman-temannya. Merasa Angkasa memang tidak ada di kantin depan, ia menghembuskan nafas kecewa dan mulai menyibukkan diri bermain Instagram.
"Kak Antara!"
Antara menoleh saat suara Putra mendekatinya, "Sini duduk."
"Sendirian?"
"Tuh sama Jesi," gadis itu menunjuk Jesi yang sudah berdiri di samping gerobak. "Put, Angkasa lagi di kantin belakang ya?"
"Nggak, bos lagi bolos di warung Bang Amin sama yang lain."
Putra mendekat untuk berbisik, "Ada masalah apa sih lo, Kak?"
"Nggak ada sih."
"Hai Putra," sapa Jesi meletakkan pesanan mereka. "Nih, Tar."
"Ngomongin Angkasa?"
Jesi mencibir saat gadis itu menggangguk, "Mending kalo lo ketemu Angkasa, kirimin foto dia ke Tara deh, Put. Kasian nih anak udah hampir mati."
"Apa sih, Jes!"
"Siap deh, ya udah gue balik sono lagi ya, Kak."
"Makasih ya, Put."
Putra mengangguk dan melambaikan tangan pada kedua gadis itu. Antara sendiri mulai beralih fokus pada makanannya. Bakso panas kantin sekolah dengan siraman kuah cabe itu selalu berhasil membuat perutnya semakin keroncongan.
"Tumben cepet."
"Jalur dalem biasa."
Antara mulai menyisihkan anak rambut ke belakang telinga bersiap makan. Saat asik mengunyah, ponselnya tiba-tiba bergetar. Awalnya Antara ingin mengabaikan panggilan tersebut, namun saat melihat nama yang tertera disana seketika membuat gadis itu tersedak dan langsung mengambil minum yang disodorkan Jesi.
"Hati-hati makanya, kayak orang nggak makan setahun aja lo."
Antara pun mengangkat panggilan setelah selesai minum dan memberanikan diri untuk membuka suara terlebih dulu.
"Halo?"
"Siapa?" tanya Jesi tanpa suara yang hanya dibalas Antara dengan meletakkan jari telunjuk ke mulutnya sendiri.
"Halo Angkasa?"
"..."
"Kepencet kali ya?"
"Buruan pak bos, aelah lama amat, keburu ditutup itu." suara Rafa terdengar menyauti dari jauh.
"Kas?"
"..."
"Gue tutup ya?"
"Bentar,"
"Buruan, gue lagi makan."
Jesi yang duduk di hadapannya mencibir habis-habisan. Pake sok-sok an nutup telfon, padahal ia tau Antara sedang senang bukan main. Terlihat jelas dari gerakan gadis itu yang saat ini bahkan menahan senyum dan memegangi dadanya yang mungkin sedang serangan jantung.
"Tar?"
"Gimana?"
"Besok berangkat sama pulangnya bareng gue aja."
::
Teman-temanmu saja mendukung
Kenapa hatimu tidak?
Setiase,
Dan rasa penasarannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top