#5

Saat aku yang hilang,
tapi aku juga yang merasa kehilangan.

-setiase-

Sinar matahari yang menembus melalui celah tirai jendela kamarnya yang belum terbuka membuat gadis itu mengernyit. Ia memegangi kepalanya sejenak saat rasa pusing masih menyerang. Ia terdiam, mencoba mengingat hal apa yang terjadi semalam sampai ia berakhir menyakitkan seperti ini.

Ah dia ingat, ada tragedi penolakan Angkasa dan aksi bodohnya yang kembali mabuk-mabukkan. Sejenak ia menghembuskan nafas dan mengamati pantulan sinar matahari yang ada di lantai kamarnya. Tidak bisakah perasaanya seperti sinar itu? meski tirainya tertutup, tapi ia masih mampu menelusup melalui celah-celah untuk menerangi kamarnya. Bisakah hati Angkasa merasakannya meski hanya sedikit? atau tirainya memang sama sekali tak pernah bisa ditembus oleh Antara?

Cklek

"Udah bangun ternyata," Antara menoleh dan melihat Jesi berdiri di ambang pintu sambil bersedekap dada.

"Makan dulu sana, udah disiapin sama Mbak Nur."

"Jes,"

"Gila ya lo Tar!" Jesi berjalan menghampiri gadis itu. "Coba lo kemarin mabuknya bukan di Colosseum, seandainya di tempat lain yang nggak ada temen gue, bisa abis lo ditangan cowok mesum apalagi om-om genit!"

"Ih mulutnya."

"Ya lo stress nyet!"

Antara bangun dari tidurnya dan mulai mengikat rambut, "Gue kesana juga karena gue udah tau ada Mario, jadi kalau ada apa-apa dia bisa hubungin lo, pinter ya gue gini-gini."

"Pinter pala lu!"

Antara baru menyadari sesuatu, gadis itu belum siap dengan seragamnya. "Lah Jes, lo nggak sekolah?"

"Orang udah telat."

"Terus lo ngapain nggak berangkat?"

"Nggak pengen."

"Ya udah ayo sekolah, gue siap-siap dulu bentar."

"Ini udah jam berapa pinter!" Jesi bangkit dan berkaca di meja rias Antara.

"Tidak ada kata terlambat untuk belajar."

"Nggak gitu konsepnya, Tara." ucap Jesi memilih keluar dari kamar saat Antara sudah masuk ke kamar mandi.

Setelah selesai bersiap dan makan secepat mungkin, keduanya berangkat ke sekolah. Seharusnya betul kata Jesi, mending bolos daripada telat seperti ini. Ujung-ujungnya hukuman lagi, padahal hari ini terlalu cerah untuk disandingkan dengan Bu Lia dan segala bentuknya. Kan sayang, paginya jadi rusak tanpa alasan.

Tin

"Pak!!! bukain dong pak!"

"Astagfirullah Mbak Tara Mbak Jesi! saya lo sampai bosen bukain pintu buat kalian berdua ini, kenapa telat lagi?"

Jesi turun dari mobil dan menyodorkan lembaran kertas ke arah satpam sekolah, membuat Tara mengernyit bingung. Sedangkan satpam sekolahnya terlihat membaca sebentar isi surat dan mengangguk ke arah Jesi sebelum membukakan pintu gerbang untuk mereka berdua.

"Apaan tuh?"

Jesi menahan tawa, "Surat panggilan buat tes SIM, untung masih gue simpen barengan sama surat izin dari sekolah."

"Lah, itu kan udah lama, boong ya lo!" Antara memukul pelan lengan Jesi yang sudah mengemudikan mobilnya masuk ke dalam sekolah.

"Strategi Tar."

Mereka turun dan berjalan keluar dari parkiran. Suasana sekolah sudah sepi karena jam pelajaran memang telah berlangsung. Beberapa murid di dalam kelas yang dilewati mereka sejenak menoleh, ada yang masih heran tapi banyak yang sudah terbiasa dengan pemandangan ini. Kalau bukan gengnya Angkasa ya pasti Jesi dan Antara.

"Nah, kalo ini gue nggak ngerti gimana strategi buat lolos, Tar."

Tidak jauh dari mereka, berdiri Bu Lia dengan tatapan tajam seperti biasa. Antara menoleh ke arah Jesi untuk memberikan aba-aba, mau bagaimanapun mereka harus melarikan diri kali ini. Matahari terlalu cerah untuk hukuman di lapangan, bisa pingsan mereka!

"1..3!" Antara sudah berlari meninggalkan Jesi yang menyusulnya sambil mengomel. Sekarang, ketiga orang itu berujung kejar-kejaran. Antara dan Jesi berhenti saat tiba di persimpangan koridor, bingung memilih harus kabur kemana.

"Kantin belakang."

Sampai di sana, keduanya melihat gerombolan Angkasa sedang nongkrong sambil makan batagor. Tanpa memperdulikan kejadian semalam, Antara terus berlari ke arah sana bersama Jesi yang berkali-kali menoleh ke belakang untuk memastikan bahwa Bu Lia tidak secepat itu menyusul mereka.

"Bu bos!"

"Buset buset, kalian ngapain elah lari-lari?"

"Telat lah apa lagi, udah keliatan tuh." Darel menunjuk tas di bahu kedua gadis yang saat ini baru menginjak lantai kantin.

Keduanya mengabaikan pertanyaan dari mereka dan lewat begitu saja untuk segera masuk ke kedai milik Bi Imah. Jesi menunjuk bawah meja yang tertutup tirai sebelum menarik Antara agar ikut bersembunyi di dalam sana. Membuat Bi Imah hanya menggeleng heran karena sudah hafal betul dengan kelakuan dua gadis cantik ini.

"Nggak ada habis satu tiba-tiba tiga ya, Tar!"

"Lupa Jes, kan gue bego matematika."

"Nggak segitunya juga geblek!!"

"Huss, jangan kenceng-kenceng ngomongnya."

Setelah dirasa aman, Bi Imah membuka tirai mejanya dan melihat mereka yang masih berdebat. "Neng, ayo keluar, mau sampe kapan disitu?"

Jesi keluar terlebih dahulu baru disusul Antara. Mereka meregangkan badan sebentar dan meminta segelas air putih ke Bi Imah. Setelahnya, kedua gadis itu sama-sama duduk di dalam kedai dengan menghadap ke arah kipas angin.

"Gerah banget gila."

"Capek lari-lari begini, untung masih cantik. Lo sih Tar, kurang ajar emang."

"Dibahas lagi kan, dibilangin gue lupa ada nomer dua diantara satu dan tiga Jesintut, puas?"

Tetttttttt

"Udah bel ganti jam tuh, ayo kelas."

"Makasih ya Bi."

Antara berjalan saja mengikuti Jesi untuk keluar dari kedai. Masih bingung harus bersikap bagaimana saat berhadapan dengan Angkasa. Apalagi ketika dia dan teman-temannya yang masih disana seketika menoleh saat kedua gadis itu melewati pintu.

"Bandel banget bocah dua emang."

"Yee ngaca! lo pada malah bolos kan?" Jesi menjawab Arka dengan nada kesal.

"Lo udah nggak papa, Tar?" Antara merebut minuman Rafa yang masih lumayan penuh dan meminumnya beberapa teguk sebelum menjawab pertanyaan Darel.

"Ngantuk dikit sih, selebihnya nggak papa."

"Bu bos! Yaelahh tinggal dikit kan, nggak mau tau! beliin lagi di kantin depan!"

"Minta punya Darel itu."

Rafa menunjuk gelasnya sendiri, "Ini es jeruk nipis bos!"

"Ya terus?"

"Ya bukan es jeruk manis!" Rafa masih ngotot.

Antara mengedikkan bahu dan melambaikan tangannya, "Udah ah ke kelas dulu ya, bye!"

"Lah Tar,"

Gadis itu menoleh saat Arka memanggilnya, "Tumben nggak salim dulu sama baginda?"

"Siapa?"

"Angkasa lah."

Jesi menoleh ke arah Antara yang tiba-tiba terdiam. "Ayo ah Tar, keburu ada guru."

"Ah iya lupa, duluan ya!"

"Kas," Angkasa menoleh pada Darel. "Kalian berantem apa gimana?"

"Nggak tau."

***

Angkasa dan teman-temannya pindah ke kantin depan saat bel istirahat berbunyi. Memilih duduk di bangku paling pojok seperti biasa. Awalnya Angkasa dan Elang menolak kesini karena terlalu ramai. Tapi justru Rafa dan Arka bersekongkol untuk memaksa mereka pindah. Dengan alasan, Rafa yang ingin membeli es jeruk nipisnya dan Arka yang ingin mencari murid-murid manisnya.

"Kalah kan gue nying," Darel meletakkan ponselnya dengan kesal.

Sementara yang lain bermain game, Angkasa sibuk dengan gitarnya hanya untuk memainkan aransemen lagu tanpa bernyanyi. Arka yang saat ini menemani seseorang makan di bangku sebelah pun merasa seperti didukung backsound dari gitar Angkasa. Jangan ditanya, bucin adalah salah satu cara Arka bertahan hidup. Makhluk sejenis dia kan tidak bernafas dari oksigen.

"Tembak buruan."

"Tolongin gue Mas Elang!!! jangan marah-marah aja. Eh buset, gue dikejar Lang!"

Elang melirik kesal Rafa, "Pindah makanya."

"Jangan bentak aku Mas."

"Eh, inget Karin nggak sih?" tanya Darel berniat untuk menjaili Arka yang saat ini sibuk menggombali gadis di sampingnya.

"Gebetannya temen gue minggu lalu kan itu?"

"Kemana dia, Raf?"

"Sakit tadi katanya si monyet."

Darel menahan tawa saat melihat Arka melotot, "pantesan monyetnya nyari pisang di pohon lain."

"Kamu bukan satu-satunya sayang." saut Darel membuat Arka menahan emosi.

"Nah, jangan percaya Rel, soalnya kata nenek gue di dunia ini itu ada yang cuma gombal tapi bukan kain pel."

Arka sudah tidak tahan, "Eh berisik cot! ganggu aja lo pada."

Rafa meletakkan ponselnya dan bangkit untuk membelikan Elang sebotol minuman, gara-gara dia mereka jadi kalah. Saat melewati Arka, Rafa sengaja memukulkan botol tersebut pada kepala Arka hingga membuat cowok itu mengumpat kesal.

"Bangsat!"

"Sorry Ar, itu bukti spontan keirian gue."

"Mending lo ajak ngomong Angkasa daripada gangguin gue, galau dia."

"Your eyes," jawab Angkasa yang disambung tawa oleh Rafa.

"Tar! Jes!" Darel melambaikan tangan saat melihat Antara dan Jesi baru saja masuk ke kantin. Gadis itu terlihat melambaikan tangan sebentar kemudian berlalu mengikuti Jesi memilih tempat duduk. Padahal biasanya, mereka akan langsung duduk di bangku yang sama dengan gengnya Angkasa.

Angkasa memilih diam, ia mengamati Antara yang saat ini hanya duduk dan memainkan ponselnya di ujung sana ketika Jesi bergegas memesan makanan. Bahkan saat pesanan mereka datang, gadis itu sama sekali tidak melihat ke arah sini. Ia hanya sibuk makan dan sesekali menyauti cerita Jesi yang berceloteh entah tentang apa. Matanya juga menangkap bahwa beberapa siswa di sampingnya sempat mencuri pandang pada Antara.

"Bu bos tumben nggak kesini?"

"Iya, Tara kenapa dah? beda banget. Nyerah nih ceritanya?" saut Darel.

"Eh pak bos, kalian ada permasalahan rumah tangga apa gimana?"

"Diem ah."

Arka menoleh dan menunjuk ke arah tempat yang tadi diduduki Antara dan Jesi. "Liat tuh, mau ngapain mereka?"

Serentak semua menoleh dan mendapati Vena berdiri di samping meja Antara bersama dengan dua temannya yang sudah mirip kacung. Gadis dengan rambut keriting gantung itu tiba-tiba menumpahkan minumannya tepat di kemeja sekolah Tara, membuat Angkasa spontan menghentikan petikan getirnya.

Semua orang di kantin pun melakukan hal yang sama, berhenti dari aktivitas masing-masing dan mulai memusatkan perhatian ke arah pertengkaran itu. Bahkan Vena pun tidak peduli saat Antara menggebrak meja, dengan santai gadis itu justru hendak pergi meninggalkan Antara yang sudah terpancing emosi.

"Kunaon anying?! Bu bosku kok dinistai."

"Wah Jesi ditahan kacungnya Vena! gila mantan lo makin cantik kalo lagi marah begitu, Lang." Arka kini pindah tempat duduk dan bergabung dengan mereka.

"Perang dunia ini," Antara terlihat menarik kasar tangan gadis itu. "Pukul, Tar!"

"Lo mah ngajarin yang nggak bener, Rel." Rafa menunggu dengan cemas soal apa yang akan dilakukan Tara. "Tampar aja, Bu bos! cewek begitu mah jangan dibiarin."

"Tadi bilang gue nggak bener tolil!"

"Lah kurang ajar!" saut Rafa yang saat ini melihat rambut Antara ditarik kasar oleh Vena. "Kok kita malah disini aja, tolongin kek! Ini Elang sama Pak bos juga kenapa malah diem."

Namun sebelum salah satu dari mereka bergerak, Bu Lia sudah datang lebih dulu dengan membawa tongkat yang menjadi ciri khasnya. Wanita itu terlihat menahan kesal luar biasa dan menyuruh Antara, Jesi, juga Vena dan teman-temannya untuk mengikutinya ke ruang BP. Diikuti Elang yang barusan bangkit dan langsung menyusul mereka. Menyisakan yang lain serta Angkasa yang saat ini meletakkan gitarnya dengan kasar.

"Hareudang hareudang hareudang, panas panas panas."

"Ada yang malu tapi bukan putri, ada yang khawatir tapi..nggak ada sambungannya deng."

Tanpa menghiraukan Rafa, Angkasa bangkit dan keluar dari kantin entah kemana. Membuat Darel dan Arka pun memutuskan berpencar menyusul Elang dan Angkasa secara bersamaan. Meninggalkan Rafa yang saat ini membawa gitar milik sahabatnya sambil mengomel keluar dari kerumunan kantin.

"Es jeruk nipis gue belum abis loh teman-teman."

___

Gadis-gadis itu duduk sambil mendengarkan celotehan marah dari Bu Lia. Bahkan beberapa murid terlihat mengintip di balik jendela untuk mencari infomasi tentang apa yang terjadi di dalam ruangan itu. Jarang ada yang berani masuk ke ruangan eksekusi ini meski hanya sekedar menulis pelanggaran seragam, tapi berbeda dengan Tara dan Jesi. Kedua gadis itu justru seperti menyerahkan diri untuk bisa masuk ke ruangan ini setiap harinya.

"Saya sudah selesai dengan Vena, Ratna, dan Clarissa. Setelah tanda tangani surat pelanggaran ini, kalian segera kembali ke kelas dan beritahu orang tua kalian untuk datang besok."

"Baik, Bu."

Wanita itu beralih menatap Antara dan Jesi yang saat ini juga mengamati beliau. Bu Lia menghembuskan nafas beratnya sekali lagi sebelum memijit pelipis pelan, pusing merasakan kelakuan dua gadis cantik selama dua tahun belakangan ini.

"Saya mau tanya, kalian ini tidak capek bikin ulah terus?"

"Saya juga sebenernya nggak mau buk, tapi nggak tau ini kenapa saraf saya bergerak diluar kendali."

"Antara Galista!"

"Baik Bu, maaf."

Bu Lia mengacungkan dua buku pelanggaran ke depan mereka, "Disaat buku pelanggaran yang di depan diisi bermacam murid. Kalian bahkan saya buatkan buku pelanggaran khusus saking banyaknya!"

"Kalian dan geng Angkasa maksud saya."

Jesi menahan tawa dan kakinya langsung ditendang pelan oleh Antara. Gadis itu tersenyum paksa saat melihat Bu Lia bangkit dan menyuruh keduanya meninggalkan ruangan tanpa melihat sedikitpun. Sepertinya wanita itu sudah muak sendiri.

"Jangan ketawa dodol." Antara menatap tajam gadis di sampingnya.

"Lo lihat mukanya nggak, Tar? gimana gue nggak pengen ketawa?"

"Untung hukuman nggak ditambah."

Antara melihat Elang yang berjalan menghampiri mereka, "Lang!"

"Kalian nggak papa?"

"Kalian apa yang di sebelah aja nih?" Antara melirik Jesi yang langsung dibalas cubitan oleh gadis itu.

"Dihukum lagi?"

"Iya lah!" Jesi menarik tangan Antara. "Udah minggir sana mantan."

"Tar, are you okay?"

Antara mengangguk dan segera melambaikan tangan pada Elang. Gadis itu mengikuti Jesi menuju lapangan untuk melaksanakan hukuman. Dengan tampang kesal karena matahari sedang tinggi-tingginya, mereka berdiri di tempat teduh sambil meratapi nasib. Membayangkan berlari dengan cuaca panas seperti ini sungguh bukan hal yang diharapkan.

"Kabur aja gimana?"

"Tuh liat," Antara menunjuk dengan dagunya ke arah Bu Lia berdiri. "Ada Bagong lagi ngelihatin."

"Kita korban, malah kita yang kena."

"Mana baju gue basah lagi."

"Lengket tuh pasti," saut Jesi sambil mengikat rambutnya bersiap lari. "Dilihatin lagi sama anak-anak, aduh untung urat malu gue udah putus."

"Udah sinting apa ya Vena tuh, bukannya sibuk mikirin ujian malah nggak ada kerjaan cari masalah ke adek kelas!" sungut Antara sambil berlari kecil menyusul Jesi.

Cantik-cantik tapi bandel banget

Gara-gara berantem tadi?

Rambutnya kok masih bisa pada bagus begitu?

Alamat gosong tuh, ati-ati kalian

Itu pacarnya Kak Angkasa bukan?

Iya Kak Antara, cocok ya?

Suara-suara itu membuat Antara berhenti sambil mengatur nafas. Keringatnya mulai bercucuran karena matahari memang begitu menyengat. Dalam diamnya, gadis itu mengukir senyum bangga saat beberapa murid menyematkan sendiri status Antara sebagai seorang pacar Angkasa Regan.

Bahkan disaat Angkasanya sendiri tidak sudi. Tapi ngomong-ngomong, Angkasa mana? kangen juga ternyata.

"Antara!"

Gadis itu mengerutkan dahinya bingung, "Iya?"

Cowok bermata hitam berlari kecil menuju ke arahnya. Dengan seragam rapi seperti murid lain, ia menyerahkan paper bag milik koperasi sekolah dan dua botol minuman dingin yang sepertinya barusan dibeli.

"Dari siapa?"

Cowok tadi menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Disuruh ngasih aja pokoknya."

"Dari siapa gue tanya?"

"Ee..itu..siapa ya, gue lupa namanya."

Antara menaikkan satu alisnya dan memandang curiga pada Adit. Seseorang yang namanya dilihat Antara melalui bet itu hanya nyengir tanpa dosa sebelum berjalan menjauh meninggalkan lapangan. Antara membawa dua benda itu sambil mendekati Jesi yang saat ini juga istirahat di pinggir lapangan.

"Udah masuk itu Bu Lia," Jesi menoleh. "Apaan tuh, Tar?"

"Nggak tau."

"Buka coba," Antara pun mengeluarkan sesuatu dari paper bag dan melihat isinya.

"Kemeja sekolah."

"Dari siapa, Tar?"

"Kalo gue tau gue juga nggak bakal bingung, Jes."

"Elang kayaknya," tebak Jesi membuat Antara mengangguk. "Kalau nggak, emang yang ngasih lo aja pura-pura dititipin, padahal dia yang ngasih."

"Nggak mungkin nyet."

Tanpa ingin meneruskan perdebatan, gadis itu segera meraih ponselnya dan mengetikkan pesan pada Elang. Berniat mengucapkan terimakasih karena sudah membelikan kemeja baru. Tidak lama kemudian, notifikasi balasan muncul dan membuat dahi Antara berkerut semakin bingung.

Elang
Kemeja apaan?
Gue baru mau jalan ke lapangan, bawain minum.

"Lah, ini udah ada minum."

"Kenapa?" tanya Jesi yang sudah menghabiskan sebotol air mineral dingin yang tadi diberikan Antara.

"Bukan Elang woi, dia aja barusan mau kesini."

"Tuh kan udah gue bilang, emang dasar si cowok tadi aja yang ngasih tapi dia nggak berani ngaku."

Antara mengangguk dan mulai sibuk dengan minumannya. Mata coklat gadis itu menangkap sosok Angkasa yang berjalan di koridor. Ia terdiam, mengamati cowok yang saat ini terlihat santai melewati siswi-siswi yang beberapa kali terlihat curi-curi pandang dan malu-malu. Membuat Antara ingin memukul satu persatu kepala mereka.

"Wah cowok gue digodain."

"Angkasa ya?"

"Iya lah siapa lagi?" Antara masih mengamati Angkasa yang sudah menaiki tangga menuju kelasnya. "Yah ilang deh."

"Lo yakin mau berhenti, Tar?"

"Disuruhnya begitu sih. Tapi kok makin dilupain makin inget! Makin diilangin juga makin lengket di pikiran tau nggak."

Jesi tak habis pikir dengan sahabatnya itu. "Gila lo emang, tapi kayaknya Angkasa malah seneng-seneng aja lo ilang."

"Keliatan ya?" tanya gadis itu mengusap keringatnya. "Mana kangen lagi sama Angkasa!"

"Baru juga satu hari mundur."

Keduanya menoleh saat suara Elang menginterupsi. Antara menepuk tempat di sebelahnya untuk menyuruh cowok itu duduk. Diamatinya Elang dengan wajah tanpa senyuman seperti biasa. Meski begitu, ia dan Jesi termasuk orang paling beruntung di sekolah ini. Selain bisa dekat dengan geng Angkasa, mereka bahkan bisa duduk bersama dengan Elang! Bahkan Jesi adalah mantannya!

"Angkasa baik-baik aja kan?"

"Kalian kenapa emang?"

"Gue udah diusir," Antara mendekatkan dirinya ke telinga Elang agar percakapan mereka tidak sampai terdengar murid-murid lain di pinggir lapangan. "Ditolak mentah-mentah lo tau!"

"Sukurin."

"Elang kurang ajar!"

"Ya makanya Tar, kan udah gue bilang, cowok itu ada yang semakin dikejar semakin pergi, semakin diperjuangin semakin ngegampangin, apalagi modelan kayak Angkasa."

"Lo nggak tau apa-apa soal Angkasa, Jes."

Jesi menoleh, "Iya iya maaf kaki tangannya Tuan Angkasa."

"Apa sih," Elang meliriknya sinis.

"Udah! Kok kalian malah yang berantem."

"Bu bos!" Antara mendongak dan melihat Rafa yang berjalan riang menuju ke arah mereka sambil membawa gitar milik Angkasa.

"Eits, ada Mas Elang."

Rafa duduk bersila di depan Antara, "Gue nggak punya temen. Angkasa digangguin malah marah-marah, Darel diajak main malah tidur, Arka dicariin taunya bucin. Ya udah gue jalan-jalan, eh nemu kalian."

"Nemu nemu, lo pikir kita apaan." Jesi melirik sebal cowok itu.

"Ini pada ngapain dah? arisan apa gimana duduk begini di pinggir?"

"Lagi dihukum, tapi kita udah capek."

Rafa melihat paper bag di samping Antara dan merebut benda itu untuk melihat isinya. Sedetik setelah mengetahui bahwa hanya ada seragam, ekspresi yang awalnya antusias kini tertekuk malas. Padahal dia sudah berharap ada makanan atau setidaknya camilan gitu.

"Gue kira ada kacang."

"Seragam siapa bu bos?" tanya Rafa menyerahkan kembali benda itu pada Antara.

"Nggak tau juga nih, gue kira dari Elang, ternyata bukan."

Cowok itu mengangguk saja dan sesekali melirik saat Elang berbicara kepada Antara. Ia berceloteh sambil mengamati bagaimana Elang mengusap sekilas rambut gadis itu dengan sayang. Menunggu respon cemburu dari Jesi yang anehnya tidak terlihat sama sekali. Bahkan tanpa mereka sadari, Arka pun menyaksikan hal yang sama seperti Rafa dari pinggir lapangan.

"Gue balik aja deh, mau mabar sama anak kelas."

"Akhirnya pergi juga nih orang, daripada ngoceh mulu nggak jelas."

"Yee sensi amat kutil kuda!" Rafa menjulurkan lidah dan berbalik untuk menepukkan pantatnya hingga debu di lapangan yang menempel di celananya beterbangan ke arah wajah Jesi.

"Monyet!!"

"Manggil siapa lo?"

"Lo nyet! Bisa jerawatan gue!"

"Apa?!!!" Rafa meletakkan tangan untuk menutupi kuping sambil berlari menjauh. "Gue nggak denger!!"

"Bangsat!!"

Di persimpangan tangga, cowok itu bertemu dengan Arka yang berlari menghampirinya. Rafa spontan membuka lebar kedua tangannya seolah ingin memeluk cowok itu untuk menyambut kedatangannya.

"Lo ngapain sih cot?!"

"Mau peluk, biar kayak di sinetron."

"Najis," Arka menarik Rafa menaiki tangga dengan cepat. "Gue mau laporan sama Angkasa."

"OH YA!! GUE JUGA MAU NGADU KE PAK BOS!"

"Soal siapa?"

"MAS ELANG!"

::

Angkasa?
Kamu baik-baik saja?
Maaf kemarin marah.
Kamu sama sekali tidak merasa kehilangan sesuatu?

Setiase
Di samping Angkasa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top