#3

Aku baru menyadari
bahwa aku merasa patah pada setiap bagian yang belum tumbuh.

-setiase-

Siapa yang pertama bilang bahwa hanya laki-laki yang boleh berjuang? Bukankah kita sama-sama diberikan sepotong hati untuk bisa merasakan mana yang harus diperjuangkan dan mana yang sebaiknya dibiarkan? Memang sih pada dasarnya, pandangan masyarakat bilang laki-laki harus memperjuangkan perasaanya. Lalu, bagaimana jika saat melihat perasaannya sendiri saja dia tidak mampu?

Siapa yang pertama bilang bahwa perempuan hanya boleh menunggu?  Apakah kita bisa dipaksa untuk tetap diam saat ingin bergerak? Jika tidak, apakah hatimu juga dapat dipaksa diam saja untuk menunggu seseorang yang bahkan belum tentu mengejar kita? Kalau kita hanya berdiri di utara sambil menunggu dia mengejar, padahal dia lari ke arah lain, sampai kapan perasaan itu harus dibiarkan tanpa pernah mencoba diutarakan?

Siapa yang pertama bilang bahwa menghindar artinya menolak? Bukankah semua punya waktunya sendiri untuk menyadari perasaannya? Ada yang butuh waktu sebentar untuk akhirnya mengakui juga, ada yang butuh waktu lama untuk berani mengungkapkan, dan bahkan ada yang sama sekali tidak berani membalas meski telah diberi kesempatan berpikir sangat lama, tentunya karena beberapa alasan.

Siapa yang pertama bilang bahwa perempuan tidak boleh mengambil langkah duluan? Beberapa perasaan bisa datang karena undangan. Banyak perempuan di luar sana yang tidak mendapat apa-apa, baik jawaban, balasan, atau penolakan sekalipun hanya karena mereka tidak berani mengambil langkah duluan. Setidaknya dengan mencoba melangkah, kita tidak akan hanya diam tanpa tau perasaan kita terbalaskan atau terabaikan.

Siapa yang pertama bilang bahwa perempuan yang memperjuangkan perasaannya adalah perempuan gampangan? Apakah mengungkapkan perasaan  segampang itu? bukankah justru butuh keberanian dan usaha lebih untuk bisa melakukannya? Seharusnya, menganggap perempuan yang berjuang sebagai perempuan gampangan adalah hal terakhir yang menjadi keputusan.

Tapi kalau sudah kuketuk masih tak kunjung dibuka, artinya apa? Apakah aku harus tetap mencoba? Apakah aku harus terpaksa mendobrak? Atau justru aku harus pergi saja? Jangan bingung! Sebagai tuan rumah harusnya kamu bilang, mau kau persilahkan aku masuk, kau suruh aku menunggu di luar, atau kau usir saja aku. Bilang Angkasa, jangan diam saja. Kalau begini, bagaimana bisa aku menerka apa yang sedang kau pikirkan? bukankah aku juga manusia biasa? Maaf, suaramu tidak bisa kudengar jika kau belum berbicara.

***

Awalnya, gadis itu bermain ponsel seperti biasa sambil tiduran di karpet ruang keluarga. Dengan masih menggunakan sheetmask, ia asik bermain instagram dan sesekali dengan diam-diam merekam Jesi yang daritadi sibuk berkomentar karena kesal dengan film yang dia tonton.

"Jes!!!!" Gadis itu tiba-tiba bangkit dari rebahannya saat Instagram story miliknya barusan dikomen oleh seseorang.

Jesi memegangi dadanya sebentar sebelum memukul Antara dengan bantal sofa, "Kaget!"

"Jes!"

"Apa sih njir?!"

"Ngerjain tugas diluar yuk!"

Gadis itu menggeleng tegas, "Ogah! orang udah pake baju begini diajak keluar."

"Ayo ah!" Antara membuang maskernya di tempat sampah dan menarik tangan gadis itu agar berdiri, "Biar tugas kita cepet kelar."

"Biir tigis kiti cipit kilir, nggak! alasan doang idup lo."

"Lagi rajin ini ayo!"

"Kerjain sana sendiri kalo gitu," Jesi bukannya bangkit, justru semakin mencari posisi nyamannya.

"Jes! Angkasa lagi nongkrong di cafe biasa bareng yang lain, bantuin gue yuk, pengen ketemu."

Jesi menoleh sebentar, "Makin males gue yang ada."

"Plisss?" Antara dengan muka melasnya yang dibuat-buat semakin gencar menarik tangan Jesi agar mengiyakan ajakannya.

"Ya udah lah."

"Yes!!" gadis itu mengepalkan tangannya ke udara dan segera pergi ke kamar untuk siap-siap, begitu juga Jesi yang kini berjalan malas menuju kamar tamu dengan tetap mendumel.

Setelah selesai dengan urusan masing-masing, mobil Antara mulai keluar dari perumahan dan membelah jalanan ibu kota yang ramai seperti biasa. Gadis itu memutar playlist di mobilnya sambil sesekali mengikuti alunan lagu yang berputar.

"Angkasa yang ngasih tau lo Tar?"

"Kalau Angkasa yang ngasih tau, udah gue beliin mobil baru lo Jes."

"Lah, terus?"

"Elang, dia yang bilang kalo Angkasa lagi nongkrong di situ."

"Dia ikut juga?" tanya Jesi membuat Antara mengangguk.

Tak lama kemudian, mobil Antara sudah terparkir rapi di depan cafe yang dimaksud. Kedua gadis itu turun dari sana dan bersikap seolah tidak melihat bahwa ada motor Angkasa dan yang lainnya di parkiran. Saat masuk pun, mereka memilih untuk melihat ke arah yang berlawanan dengan tempat duduk Angkasa dan teman-temannya.

"Itu bukannya Antara sama Jesi?"

Aduh suara siapa itu? Darel ya? peka banget sih.

"Lah! Bu bos!!!!"

Nah makin pinter si Rafa, gitu dong dipanggil.

Antara menoleh dengan tampang polosnya, "Loh? kalian disini juga?"

"Eh Angkasa, kebetulan banget ya? kayaknya kita jodoh deh."

"Aminin nggak nih, Kas?" tanya Arka lalu mengalihkan pandangan ke arah Jesi. "Ada Jesi juga ternyata."

Rafa menyaut, "Lang, bu mantan cantik loh."

"Terus?" ujar Elang sambil menatap Jesi sekilas.

"Kan emang udah daridulu ya Lang? Udah ah, duduk mana kita Tar?"

"Sini neng, duduk sini aja." Arka menyuruh yang lain geser dan membiarkan kedua gadis itu bergabung.

"Kayak ada yang ngomong siapa ya?"

Darel tertawa bersama Rafa, "Setan disini emang pada suka ganggu Jes."

"Sini Jesi sayang, jangan malu-malu."

Jesi pun bergidik dan terpaksa duduk di samping Arka. Kalau bukan demi Antara yang bucin, ogah ini dia kayak gini. Udah ketemu mantan, pake duduk sampingan sama buaya darat, haduh. Sedangkan Antara, gadis itu kini menyuruh Darel dan Rafa pindah melalui isyarat tangannya.

"Gue mau di samping Angkasa dong."

"Ribet banget elah," Darel bangkit dan mengambil kursi di bangku sebelah.

"Hai pacar!" sapa gadis itu saat sudah duduk manis di samping Angkasa. "Seneng nggak ketemu gue?"

"Nggak sih."

"Dih! parah banget."

"Kalian tumben kesini?" tanya Darel sambil menghembuskan asap vape dari mulutnya.

Jesi menunjuk map yang tadi mereka bawa, "Mau nugas, tapi malah ada kalian, gagal deh."

"Hal, hal apa yang mustahil?" saut Rafa tiba-tiba.

"Jesi sama Antara ngerjain tugas?" tanya Darel membuat Rafa menunjuk cowok itu.

"Exactly," Rafa menoleh pada Antara. "Kesambet apaan bu bos mau ngerjain tugas?"

"Orang lagi rajin dibilang kesamber."

"Kesambet Tar," kini Arka yang menanggapi. "Nyimeng ya lo? ngomong diganti-ganti."

"Petir kali ah."

"Pinjem bentar," Elang mengambil map yang ditunjuk Jesi dan melihat isi kertas yang ada di dalamnya.

"Ngerti Lang?"

Elang menggeleng untuk menjawab pertanyaan Jesi, "Nggak."

"Coba gue lihat," Rafa menyambar kertas tadi dengan semangat membuat Darel sengaja ingin membuang asapnya ke muka cowok itu. "Elang aja nggak ngerti, apalagi lo."

"Lah, belum tau dia kalo gue dulu peringkat dua terus."

"Pas SD kan?"

"Pas TK," jawab Rafa sambil membaca soal di dalam kertas satu persatu.

"Lha kan lo nggak TK katanya!"

"Oiya ding, kok lo tau Ar?" Arka melirik kesal cowok itu. "Tapi beneran gue dulu emang peringkat dua terus pas SMP."

Jesi mengamati Rafa yang terlihat serius membaca, "Halu nih kebiasaan, kayak Antara."

"Yee ngeyel, peringkat dua terus gue dari bawah."

"Sama aja bego."

"Lo baca apaan sih Raf? lama bener."

Rafa mengembalikan kertas itu pada Jesi, "Nggak baca sih sebenernya, cuma liat-liat aja."

"Percuma njir."

"Ya udah buruan dikerjain." Darel menatap Jesi dan Antara bergantian.

"Nggak fokus gara-gara ada Angkasa nih."

Angkasa menoleh, "Ya udah gue balik."

"Bercanda ih! baperan banget," Antara pun akhirnya mengambil kertas soal  sekaligus bolpoin dari Jesi. "Ih, nggak mau pake yang ini Jes, nanti tulisan gue jadi jelek."

"Sama aja Tar astaga, gue tampol lo ya lama-lama."

"Kok emosi, santai aje bos."

Sementara yang lain mulai bermain kartu, Antara sibuk mengerjakan satu persatu soal yang dijadikan tugas harian itu. Angkasa di sampingnya sesekali melirik Antara yang sedang memasang wajah serius. Sebenarnya gadis ini bisa, tapi emang dasarnya aja males.

"Masih disitu Tar?" tanya Rafa membuat Antara mendongak dan mendorong pelan lengan cowok itu.

"Masih!"

"Jangan ngasal Tar," Jesi bangkit dan melihat jawaban yang sudah ditulis Antara. "Ih bukan main, coba lo tiap hari gini, udah gue buka itu bisnis kunci jawaban."

"Ngomong mulu, giliran lo ini Jes." saut Darel membuat Jesi kembali fokus pada permainan kartunya.

"Angkasa, boleh minta tolong?"

"Apa?" tanya Angkasa sambil melemparkan kartunya.

"Tolong searching dong ini bener nggak?" tunjuk Antara pada jawaban nomer 6 dan gadis itu mulai menjawab soal yang lainnya.

"Bener."

"Searching lagi dong."

"Apa?" tanya Angkasa siap mengetikkan pertanyaan di ponselnya.

"Cariin cara gimana biar bikin Angkasa Regan sayang sama Antara Galista."

"Jawaban tidak ditemukan."

Rafa tertawa mendengar itu, "Mas Angkasa memang lucknut."

"Lihat gue coba," Angkasa menatap gadis itu dengan tatapan lurus.

"Kenapa sih jahat banget?"

"Apaan?"

"Ngeselin ah Angkasa!" Antara menggerakkan wajah cowok itu untuk membuat Angkasa kembali fokus pada kartu miliknya.

"Malah gue yang grogi dilihatin gitu."

***

Antara yang sudah meletakkan mobilnya di parkiran sekolah tetap bersandar disana untuk menunggu Angkasa. Gadis itu pun mematikan ponsel saat suara deru motor cowok itu mulai terdengar menuju ke arahnya. Angkasa melepas helm, menata kasar rambutnya sebelum mengamati Antara yang berjalan anggun ke arahnya.

"Selamat pagi pacar!"

"Tar,"

"Masuk yuk?"

Angkasa menghembuskan nafas dan menepis pelan tangan Antara yang ingin merangkulnya. "Ini di sekolah."

"Berarti kalo nggak di sekolah boleh?"

"Nggak juga."

"Ya udah nggak papa," Antara tersenyum dan menyamai langkah cowok di sampingnya. "Ada Vena tuh, Kas."

"Ya terus?"

"Ngintil mulu kayak anak ayam, nggak ngerti apa Angkasa risih banget dideketin lo! nggak tau malu dasar!"

Antara berhenti melangkah, "Heh aneh! ngomong sama siapa?"

"Loh, lo ngerasa ya?"

"Ya lo aneh! ngomong kok ke kaca, ngomong ke diri sendiri dong? kalo gitu nggak usah dikeras-kerasin juga suaranya."

"Apa sih sewot banget, makanya jangan gampangan jadi cewek, jelas-jelas Angkasa nggak mau masih aja ngebet." Vena mengibaskan rambutnya dan mengenai wajah Antara, membuat gadis itu spontan menarik surai bewarna hitam yang sudah menyentuh wajahnya pagi-pagi begini.

"Sakit kan, sukurin!"

"Antara," gadis itu menoleh saat Angkasa memanggilnya, dilihatnya cowok itu memberi isyarat pada Antara untuk mendekat.

Ia menatap kesal Vena sebelum berjalan menghampiri Angkasa yang masih terdiam. Tanpa basa basi, Antara menarik tangan cowok itu untuk segera pergi dari sana agar emosinya ini tidak meledak lebih jauh.

"Lepasin."

"Udah nih!" Antara menghempaskan tangan Angkasa dengan pandangan kesal. "Lain kali jangan gitu dong Kas. Kok lo jadi belain dia sih, gue nggak suka dikatain kayak tadi."

"Ya kan emang gitu faktanya, nggak usah marah."

Antara terdiam mendengar ucapan Angkasa, "Apa lo bilang?"

"Emang bener kan?"

"Jahat banget sih Kas!"

"Itu tau."

"Angkasa," Gadis itu ditarik Angkasa menjauh dari sana karena koridor mulai ramai dengan orang-orang yang diam-diam menguping pembicaraan mereka. "Mau kemana?"

"Diem."

"Mau lo ajak kawin lari ya gue?"

"Amit-amit."

"Dih! sok-sok an nggak mau!"

Angkasa melepaskan cekalan tangannya saat mereka sudah berada di rooftop sekolah. Gadis itu melihat sekeliling dan mengabaikan Angkasa yang saat ini sudah memilih duduk di salah satu bangku kayu panjang yang dibiarkan di tempat ini bersama barang tak terpakai lainnya.

"Luas banget ternyata gila!"

Antara menoleh, "Ngapain lo ngajak gue kesini? pengen berdua aja ya?"

"Bentar dulu ya pacar, gue masih pengen lihat-lihat."

"Emangnya.."

"Iya gue belum pernah kesini emang, males banget naik tangga."

Angkasa mengeluarkan pod dari tas dan mulai sibuk dengan vapenya, "Nggak ada juga yang mau nanyain itu."

"Oh salah ya, terus tadi mau bilang apa?"

"Emang lo nggak capek gini terus?" tanya Angkasa membuat gadis itu terdiam.

Antara berbalik, kakinya melangkah mendekati Angkasa yang sama sekali tidak melihatnya. Gadis itu meletakkan tas di sembarang tempat sebelum ikut duduk di bangku yang sama dengan Angkasa. Diam sebentar sambil mengamati asap-asap berbentuk bulat yang dibuat cowok itu.

"Kenapa emangnya?"

"Ditanya itu dijawab, bukan balik nanya."

"Kalo gue jawab nggak?" gadis itu menatap Angkasa yang mengedikkan bahunya acuh.

"Ya udah."

"Gue kurang apa sih Kas?"

"Bukan masalah kurang," Angkasa menoleh. "Gue sebagai cowok normal juga ngakuin Tar, lo cantik, tinggi, pinter, gue juga setuju orang-orang disini ngecap lo sebagai primadona."

"Bentar, jam berapa sekarang?"

Angkasa mengerutkan alisnya bingung tapi tetap juga melihat jam, "7.07, kenapa?"

"Hari Jumat 14 April jam 7.07 pagi, akhirnya seorang Angkasa Regan untuk pertama kali ngomong panjang sambil lihatin gue."

"Tar,"

"Iya iya sorry, lanjutin."

"Lo bisa dapetin siapapun yang lo mau, banyak juga kan yang suka sama lo."

Antara menoleh, "Kata siapa Kas? kata siapa gue bisa dapetin siapapun? buktinya, gue nggak bisa tuh dapetin lo."

"Cari yang lain Tar."

"Gue nggak mau Angkasa, gue nggak bisa."

"Gue nggak suka sama lo Tar."

Antara terdiam, ucapan yang selama ini dihindarinya datang secara tiba-tiba. Membuat gadis itu bingung harus mengucapkan apa pada Angkasa, atau setidaknya harus bersikap bagaimana setelah ini. Yang dia lakukan hanya diam dan menghindari pandangan Angkasa yang sedang menatapnya tajam.

"Semua tingkah laku lo selama ini jadi beban buat gue Tar."

"Gue kasian lihat lo seolah ngemis-ngemis."

Angkasa mengalihkan pandangan, "Gue tau kita sama, sama-sama nakal, sama-sama tukang cari gara-gara di sekolah, tukang rusuh, incerannya Bu Lia, dan sama-sama most wanted. Mungkin bakal jadi pasangan sempurna kayak di cerita-cerita yang katanya pernah lo baca. Tapi gue yang nggak bisa."

"Perasaan orang nggak bisa dipaksa Tar."

"Angkasa,"

Cowok itu mengabaikan Antara, "Jadi jangan marah kalo ada yang ngatain lo ngejar-ngejar gue, faktanya emang gitu."

"Tapi bukan berarti gue cewek gampangan Kas. Nunjukin perasaan itu nggak segampang yang lo kira."

"Sekarang gini," Angkasa meletakkan pod nya. "Lo tau kan susahnya merjuangin orang? sekarang Elang lagi merjuangin lo, kok lo nggak mau sama dia?"

"Nggak bisa," Antara menggeleng.

"Kenapa?"

"Gue nggak suka dan nggak bisa."

"Itu jawaban gue buat lo Tar."

Jangan nangis disini plis, lo kan nggak cengeng Tar.

Gadis itu tersenyum, bahkan matanya pun berhasil tidak menunjukkan bahwa ia sangat tertampar dengan ucapan Angkasa. Masih memperlihatkan gerakan tenang, Antara mengangguk tanda bahwa ia menyetujui jawaban cowok di sebelahnya.

"Terus, lo mau gue gimana?"

"Udahin ya Tar, jangan maksa gue lagi."

Antara menyipitkan matanya berlagak sedang berpikir, "Mau nggak ya? tapi gue kan nggak bisa jauh dari lo."

"Gue nggak bisa deket."

"Angkasa,"

"Masih nggak ngerti juga? gue juga nggak suka gini terus Tar."

"Yaudah iya," Antara mengangguk tepat saat Angkasa bangkit dan mulai berjalan menjauhi gadis itu.

"Mau kemana?"

Angkasa berhenti, "Balik kelas."

"Kan udah telat, mending bolos aja. Nanti kena Bu Lia malah repot, Kas."

Antara tersenyum saat mengamati cowok itu akhirnya berbalik juga. Berjalan kembali ke arahnya dan memilih duduk di bangku lain sambil sibuk dengan ponselnya. Diamatinya Angkasa dari kejauhan, matanya yang setajam belati itu selalu terlihat pas dengan wajah tegasnya. Tapi sayang, hatinya yang dingin itu tidak bisa pas dengan hatinya.

"Pake seragam yang bener napa Kas."

"Ngaca, situ juga begitu."

Antara melihat dirinya sendiri, "Eh iya, kayaknya kita emang jodoh deh."

"Tar, udah."

"Iya bercanda ih." ucap gadis itu sambil tertawa geli, tertawa miris padahal.

"Angkasa, boleh gue minta sesuatu?"

"Jangan aneh-aneh."

"Nggak," Antara bangkit dan mengambil tasnya. "Follback gue dong di Instagram."

Cowok itu mengamati Antara sebentar sebelum berkutat lagi dengan ponselnya. Tidak lama kemudian, tangannya mengulurkan ponsel ke arah Antara untuk memperlihatkan bahwa ia sudah menuruti permintaan gadis itu. Angkasa melihat Antara tersenyum dan mengacungkan kedua jarinya.

"Ada yang kedua, boleh kan?"

"Jangan macem-macem."

Antara tertawa lagi, "Nggak bakal."

"Apa?"

"Hari ini aja, anterin gue pulang ya?"

"Nggak."

"Kan sekali ini aja, katanya nggak mau gue kejar-kejar lagi!"

"Mobil lo?" tanya Angkasa membuat gadis itu menjetikkan jarinya.

"Ada Nona Jesi yang terhormat, kan dia lagi tinggal di rumah gue dari kemaren."

"Ya udah."

"Yes!!" Antara mengeluarkan jarinya yang ketiga. "Yang terakhir."

"Udah."

"Terakhir! sabar apa hih, gue ngejar lo udah hampir dua tahun, masak nurutin tiga permintaan doang aja susahnya minta ampun."

"Apa lagi?"

"Besok jalan ya?"

Sontak permintaan itu membuat Angkasa terdiam dan menatap datar gadis itu. "Lo dikasih hati, minta jantung ya."

"Kan belum lo kasih hati gimana sih," ujar Antara. "Boleh ya? kalo sampe nggak lo tepatin, berarti gue masih boleh ngejar. Tapi kalo lo tepatin, gue berhenti, gampang kan?"

"Deal, tapi nggak kalo nonton."

"Yah, padahal gue udah beli tiket, gimana dong?"

"Batalin aja lah."

"Pokoknya gue tunggu besok ya! Bye Pacar!" ucap gadis itu sebelum pergi meninggalkan Angkasa disana sendirian. Melihat Antara sudah pergi, cowok itu pun melemparkan batu sembarangan untuk melampiaskan kekesalannya.

"Anjing lah."

Sedangkan Antara masih berada di tangga paling atas untuk bisa mendengar umpatan kesal dari Angkasa.

Segitunya ya lo males sama gue?

Ting

Gadis itu melihat ponselnya dan membaca pesan pribadi dari Elang sambil menuruni tangga dengan hati-hati.

Elang :
Tar, lo nggak papa?

Nggak papa lah
Selama masih ada Angkasa gue
baik-baik aja, Lang. wkwk

Elang :
Bucin, lihat bawah.

"Lah, kok lo disini?" ujar gadis itu saat melihat Elang sudah berdiri di tangga paling bawah. Sambil bersandar di tembok, ia melambaikan tangan pada Antara yang mulai berjalan mendekatinya.

"Angkasa diatas kan?"

"Iya."

"Lo nggak papa?"

"Gue papa, Lang." ucap gadis itu sambil menghembuskan nafas beratnya.

"Jangan cengeng, sekarang mending kabur dulu dari Bu Lia. Gue mau ke kelas, ada tugas."

"Makasih ya Lang."

"Gue balik ya."

Gadis itu mengangguk dan mengamati Elang yang berjalan menjauhinya. Dengan malas, Antara berbalik menuju kantin belakang untuk mencari tempat persembunyian. Tapi di belokan koridor arah tangga lantai satu, gadis ini justru berpapasan dengan Bu Lia yang sejak tadi memang mencari dua murid kesayangannya.

"Mampus."

"Antara Galista!!"

Jurus seribu bayangan Antara, ayo!

"SELAMAT PAGI IBUK, ADA BANJIR!!!!" teriak gadis itu sambil berlari menghindari kejaran manusia paling kejam seantero sekolah.

Lindungi hambamu ini Ya Tuhan.

::

Kamu mengusirnya Angkasa?
Baik, aku bertepuk tangan seperti ini karena kamu akhirnya sudah selesai, tapi bukan berarti aku menyukainya.

Aku tidak menyukaimu Angkasa.
Kamu menyelesaikan apa-apa yang belum dimulai.
Kamu mematikan apa-apa yang belum dihidupkan.
Dan parahnya, kamu menulis jawaban tanpa memberikan alasan.

Selamat, kamu akan segera kehilangan Antara.

Setiase.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top