#24

Sekali lagi.
Kutanam sayang,
pada apa-apa yang kau sayat.

-setiase-

Sudah dua hari ini Angkasa jarang ada kabar, mungkin ia baru akan menghubungi Antara saat gadis itu akan tidur, atau bahkan sering saat Antara sudah terlelap. Sudah dua hari ini juga ia tidak masuk sekolah, teman-temannya pun tidak menemukan cowok itu datang ke basecamp atau warung Bang Amin. Antara pun bingung harus mencari tahu bagaimana lagi, niat menunggu Angkasa cerita, tapi sepertinya cowok itu enggan membuka suara terkait urusan apa yang membuatnya menghilang.

"Kemana sih!"

Antara mondar mandir di kamarnya sambil memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi. Mulai dari kakak iparnya melahirkan, Kak Rainata yang sakitnya kambuh, Biru yang meminta bantuan untuk urusan pekerjaan, mamanya sakit, atau salah satu dari mereka terkena musibah. Tidak mungkin kan, Angkasa sampai tidak sekolah kalau bukan karena hal yang sangat mendesak?

"Duduk napa sih! pusing gue lihat lo mondar mandir hampir sejam."

"Kepikiran nih gue."

"Udah nggak usah terlalu dibawa pusing, mungkin dia emang lagi nyelesain urusan penting banget, yang jelas dia masih ngabarin lo kan?"

Antara mengangguk, "Iya malem doang, gue khawatir tau!"

"Seenggaknya nggak ilang-ilang banget lah."

Ting

Antara terdiam sebentar sebelum kaki jenjangnya langsung melangkah cepat menyambar ponselnya yang ada di atas meja belajar. Dilihatnya nomor Angkasa tertera di panggilan telefon. Membuat gadis itu menghembuskan nafas sekali lagi sebelum mengangkat sambungan.

"Halo?"

"Udah makan?"

"Belum, kamu dimana sih? udah makan?"

"Gue diluar."

"Ha?" Antara buru-buru membuka pintu balkon dan langsung mendapati Angkasa yang melambaikan tangan dari atas motor.

"Pake jaket, Tar."

"Iya lupa, lagian di kamar doang daritadi."

"Celana lo kurang bahan apa gimana?"

"Iya iya ih! kamu ngapain?"

Angkasa terlihat mengangkat bungkusan plastik di tangannya, "Nih makan."

"Makasih, kamu nggak mampir?"

"Nggak dulu, gue taruh sini ya."

Antara mengamati Angkasa yang kini meletakkan kantong plastik itu di pegangan gerbang. Memastikan menggantungnya disana dengan benar agar tidak jatuh lalu kembali mendongak menatap Antara yang kini masih berdiri di teras balkonnya.

"Kalo ketemu lagi-"

"Kapan?"

Angkasa dari jauh terlihat tersenyum, "Kalo ketemu lagi, jangan lupa nagih peluk ke gue."

"Sekarang mau kemana?"

"Gue pergi dulu ya, Tar."

Antara terdiam, bukannya menjawab pertanyaan gadis itu, Angkasa justru langsung mengakhiri percakapan mereka. Melihat itu, Angkasa menunduk sebentar sebelum menghembuskan nafas berat. Bahkan dari seberang telepon, Antara sangat tau bahwa cowok itu masih tidak ingin mengucapkan apa-apa soal masalahnya.

"Aku nggak tau,"

Angkasa mendongak mendengar Antara bersuara. "Aku nggak tau apa masalah kamu, aku nggak tau alasan apa yang bikin kamu kayak gini. Tapi satu yang harus kamu tau Kas, aku disini kalo kamu pengen cerita, aku disini kalo kamu kangen, aku disini kalo kamu butuh apa-apa."

"Semangat ya mas pacar!"

"Makasih."

Dan setelah Antara menutup sambungan lalu melambaikan tangan, Angkasa mulai menyalakan motor kemudian pergi meninggalkan rumah gadis itu. Kemanapun Angkasa pergi, Antara akan tetap disini kan?

***

Baru saja gadis itu akan makan, Antara dikejutkan dengan suara ketukan dari pintu utama. Jesi yang saat itu juga sibuk mengunyah makanannya bertukar pandangan dengan Antara. Dahinya berkerut ketika ketukannya kembali terdengar, kali ini dibarengi dengan suara wanita yang memanggil nama Galista, yang mana hal itu langsung disadari oleh keduanya bahwa orang yang dihindari Antara kembali bertamu malam ini.

"Gue bukain apa gimana?" tanya Jesi yang melihat Antara masih terdiam di kursinya.

"Biar gue aja nggak papa."

"Tar,"

Antara yang baru saja berdiri menoleh ke arah Jesi yang kini tersenyum mengamatinya, "It's gonna be alright."

"Thanks bitch," balas Antara lalu tertawa saat melihat Jesi mengacungkan jari tengahnya.

Gadis itu melangkahkan kakinya dengan pelan menuju pintu. Setelah menghembuskan nafasnya sekali lagi, Antara bergerak membuka daun pintu dan melihat mamanya yang kini tersenyum lebar di teras rumah, kali ini beliau sudah rapi dengan balutan baju santainya.

"Kenapa?"

"Galista, ikut mama sebentar boleh?"

"Kemana?"

Mamanya tersenyum, "Mama mau beli apartemen, bisa kamu tempati juga, bisa ikut mama lihat tempatnya?"

"Kenapa nggak sama abang?"

"Dia lagi main dari sore tadi."

Antara merutuki abangnya yang memang kurang ajar itu, "Galista juga lagi banyak tugas."

"Bentar aja nggak bisa ya?"

Gadis itu menatap ujung kuku kakinya sambil berpikir. Dilain sisi dia enggan ikut dan berurusan terlalu banyak dengan mamanya lagi, namun melihat wanita itu pasti akan pergi sendirian, membuatnya juga merasa tidak tega.

"Bentar aja kan?"

"Iya, sana ganti baju dulu."

Antara mengangguk dan mempersilahkan mamanya duduk. Gadis itu berjalan masuk sambil memikirkan apakah keputusannya menerima ajakan wanita itu benar. Sejujurnya sudah lama sekali ia tidak pergi berdua dengan wanita itu, tapi lagi-lagi Antara menghela nafas panjang saat kejadian masa lalu terbesit begitu jelas di ingatannya.

"Jes,"

"Apa?"

"Gue keluar dulu sama mama ya, lo nggak papa sendiri?"

Jesi menghentikan gerakan sendoknya sebentar. "Nggak papa lah, sana buruan ganti baju, nanti kalo butuh gue kabarin aja."

Antara pun mengangguk dan berjalan menaiki tangga menuju kamarnya untuk bersiap-siap. Entah kenapa perasaannya masih saja tidak enak.

___

Suasana mobil begitu asing selama perjalanan. Selain suara kendaraan dari luar, yang terdengar di dalam sana hanya sayup-sayup suara lagu dari radio. Seolah tidak ada yang ingin membuka pembicaraan, setengah perjalanan pun dibiarkan berlalu dengan keheningan semacam itu.

"Galista,"

Antara menoleh ke arah mamanya yang masih fokus menyetir.

"Gimana persiapan ujian kamu minggu depan, Ta?"

"Belum, Ma."

"Kebiasaan suka ngulur waktu," wanita itu terkekeh. "Asal kamu tau, surat panggilan dari sekolah kamu udah satu kardus loh."

"Buang aja."

"Kata ayah suruh biarin aja Ta, buat kenang-kenangan katanya."

Antara mendengus geli, "Hal malu-maluin kok disimpen."

"Malu-maluin kan udah jadi nama belakang mama, Ta."

Wanita itu tertawa kecil, seolah barusan yang ia ucapkan adalah bentuk candaan. Namun Antara tau betul wanita itu sedang menyalahkan dirinya sendiri, seolah mengingatkan juga pada Antara bahwa ucapannya setahun yang lalu memang benar sesuai fakta.

"Mama ngapain beli apart?" tanya Antara mengalihkan topik pembahasan.

"Itung-itung investasi Ta, kita nggak bakal tau kan apa yang terjadi nantinya."

Setelah itu keduanya kembali diam. Antara larut lagi dalam lamunannya, sedangkan wanita di sebelahnya tetap fokus pada jalanan. Sampai pada akhirnya, mobil yang mereka kendarai masuk ke dalam sebuah lingkungan apartemen mewah, bergerak menuju basement, dan terparkir sempurna disana.

"Yuk turun, Ta."

Antara tidak menjawab, gadis itu hanya turun dan mengikuti mamanya berjalan menuju lantai lobby. Sembari mamanya berbicara pada salah satu orang yang bertanggung jawab atas tempat itu, Antara merapatkan jaket dan maskernya. Sejujurnya ia sedang flu dari kemarin, bahkan badannya sempat menggigil gara-gara kehujanan saat pulang sekolah.

"Galista, ayo naik."

"Lantai berapa?"

"15, disitu cuma ada sekitar 3 unit aja katanya," jawab mamanya sambil menekan tombol lift ke lantai yang mereka tuju.

"Gimana Elang di sekolah, Ta?"

Antara memutar bola matanya malas, "Mama tanya aja sendiri deh."

"Kalo pacar kamu? Kamu masih sama dia?"

"Masih lah."

"Baik anaknya?"

"Baik."

"Sayang sama kamu?"

"Tanya aja langsung ke anaknya."

Mamanya tertawa dan keluar terlebih dahulu saat pintu lift terbuka. Antara melirik sekitar dan sempat terkagum saat melihat tempatnya yang memang bersih dan terkesan mewah. Saat pintu salah satu unit sudah dibuka oleh mamanya, gadis itu ikut melangkah masuk dan melihat-lihat. Setelah cukup puas berkeliling, mereka memutuskan keluar dengan keputusan akhir mamanya yang sudah yakin untuk membeli tempat itu.

"Mau makan dulu, Ta?"

"Pulang aja."

Pintu lift terbuka dan sontak tubuh Antara terpaku saat melihat siapa orang yang ada di dalam sana. Orang yang ia lihat terlihat menunduk sambil tetap melingkarkan lengannya di pinggang seorang gadis berambut hitam lurus sepinggang. Kalau bukan karena mamanya yang menarik Antara masuk, mungkin gadis itu akan tetap berdiri di tempatnya.

Pintu lift pun tertutup kembali dan Antara berdiri di belakang pasangan tersebut dengan tangan berkeringat. Ia semakin merapatkan jaket yang ia kenakan dan menaikkan tudungnya hingga menutupi rambutnya yang terurai bebas. Matanya tak kunjung lepas dari punggung seseorang yang sedang bersandar di dinding lift dengan kepala yang masih setia tertunduk, seolah tidak peduli siapa saja orang yang berbagi lift dengannya.

"Setelah ini kita makan dulu atau langsung ke rumah sakit?"

Antara menajamkan pendengarannya dan menatap seseorang yang kini menoleh ke arah gadis berambut hitam itu hingga semakin memperjelas bahwa yang ia lihat sungguhan orang yang sangat dikenalnya.

"Makan dulu aja."

Gadis itu sedikit meringis lalu memegangi kepalanya, membuat cowok berbaju hitam disebelahnya dengan sigap menahan pinggang dan menelisik muka gadis itu dengan raut wajah khawatir yang sangat jelas.

"Are you okay?" tanyanya sambil mengelus pipi sang gadis. "Kalau ada yang sakit, bilang aku."

"Cuman pusing aja."

Telapak tangan Antara sudah sangat berkeringat sekarang. Hingga saat mereka sampai di lantai bawah, muda-mudi yang tadi di lift masih setia berjalan di depannya. Antara tak sedetik pun melepaskan pandangan dari mereka, sampai akhirnya ia merasa seolah tersambar petir saat melihat dengan jelas bahwa cowok di depan sana baru saja mengecup kening gadis di sebelahnya dengan singkat sebelum membukakan pintu mobil untuk seseorang yang memang terlihat sedikit pucat.

"Ta, kamu nggak papa?"

"Ma, sebentar."

Antara dengan cepat mencari kontak Angkasa dan menekan panggilan. Tidak berselang lama setelahnya, panggilan tersebut di angkat dan membuat Antara semakin gelagapan memegangi ujung jaketnya.

"Halo?"

"Tara?"

"Ka..kamu dimana?" tanya gadis itu sambil menggigit bibir.

"Di rumah, kenapa?"

Dan gadis itu hanya bisa terdiam dengan air mata yang perlahan-lahan turun membanjiri pipinya, ponselnya masih setia di telinga kanan, dan matanya terus menatap lurus kesana.

Angkasa bilang dia di rumah, padahal di depan sana, berdiri Angkasa, dengan ponsel di telinganya.

Bersama perempuan, yang jelas bukan kakaknya, bukan Kak Rainata, sama sekali tidak sama dengan orang yang Antara lihat di pigura foto ruang keluarga mereka waktu hari pemakaman.

___

Antara terus melamun hari ini, bahkan ketika melewati Bu Lia, ia dengan tidak tau sopan santunnya hanya lewat tanpa menyapa atau menyalimi seperti biasa. Jesi bingung sendiri melihat Antara yang sejak tadi sibuk mencoret-coret buku tulisnya dengan pola berantakan. Kemarin malam, Antara pulang dengan mata sembab, awalnya Jesi mengira gadis itu kembali bertengkar dengan mamanya. Namun saat melihat Antara memeluk sekilas mamanya setelah sekian lama menghindar, Jesi menyimpulkan bahwa penyebab muka buruk rupa sahabatnya bukanlah wanita itu.

"Pipel!" Jesi sampai terjingkat saat suara Arka begitu nyaring di jendela samping tempatnya duduk. "Eh Tar, Angkasa udah masuk tuh, sana!"

"Nah tuh, ayo cari vitamin A dulu deh! biar nggak letih lesu gini."

"Ntar aja deh, gue ngantuk."

Arka mengode Jesi lewat tatapan mata saat melihat Antara justru tenggelam di balik jaket dan memilih tidur, yang mana hanya dibalas gelengan oleh gadis itu. Bahkan hingga bel istirahat berbunyi, Antara masih belum menyadari bahwa sejak tadi Angkasa sudah duduk di samping bangkunya sambil menghadap gadis itu. Membuat beberapa siswi disana merasa iri dengan Antara.

"Bangun."

Antara menggeliat saat bahunya diguncang pelan, "Ntar dulu, Jes."

"Ini gue, Angkasa." Antara yang mendengar jawaban cowok itu langsung bangkit dan menatap panik ke arahnya.

"Ngapain disini?"

"Nungguin lo, ayo makan."

"Makan sendiri aja, gue nggak laper."

Angkasa mengernyitkan alis saat mendengar ada yang berbeda dari cara bicara Antara, namun ia tetap biasa saja, entah kenapa ia merasa mood pacarnya sedang sangat tidak baik hari ini.

"Kata Jesi daritadi belum sarapan kan? dibuat makan dulu perutnya."

"Nanti aja."

"Jangan ngeyel."

Angkasa langsung saja menarik tangan gadis itu keluar kelas, yang dengan jelas berusaha ditolak Antara. Gadis itu berkali-kali mencoba untuk melepaskan cekalan tangan Angkasa di pergelangan tangannya, namun hasilnya nihil. Alhasil disinilah mereka sekarang berada, berjalan menghampiri teman-temannya yang lain di bangku pojok kantin seperti biasanya.

"Nggak laper, Kas."

"Tetep harus makan, kalo nggak, bisa sakit."

Jesi menepuk sebelah bangkunya, "Sini Tar."

"Duduk sini dulu, gue beliin makannya."

Rafa mencibir saat melihat Angkasa sudah melenggang ke kios nasi goreng, "Biasanya bos yang nyuruh-nyuruh kita, eh sekarang tiba-tiba, wusss, ilang jiwa bosnya."

"Angkasa kan bucin." Darel menyahut sambil masih melanjutkan mabarnya dengan Elang.

Antara akhirnya duduk di samping Jesi, namun ia masih saja diam saat Angkasa sudah menyusul di sebelahnya sambil meletakkan piring berisi nasi goreng tepat di depan gadis itu. Antara pun perlahan menoleh dan menatap cowok itu tepat di kedua bola matanya. Cukup lama ia berpikir dan akhirnya Antara tersenyum lagi, seceria biasanya, semanis biasanya.

Dalam hati, ia baru saja memutuskan dua hal terbodoh di dunia ini. Pertama, ia akan terus menganggap semuanya baik-baik saja. Kedua, meski Angkasa bercabang sekalipun, Antara akan tetap bertahan mencintainya, di sampingnya, dan bersikap bodoh agar Angkasa tidak lagi meninggalkannya. Menurut Antara, melihat Angkasa di sebelahnya adalah prioritas paling utama. Meski mungkin ia akan merasakan sakit yang lebih besar daripada semalam, ia akan menerimanya. Antara, akan menikmati waktunya bersama Angkasa sebaik mungkin.

"Wah gila nih orang, tadi diem mulu kayak orang sariawan, giliran ketemu Angkasa aja senyum-senyum."

Gadis itu melirik Arka sinis, "Diem deh lu!"

"Udah jangan didengerin, makan dulu."

"Makasih mas pacar!" Antara kembali tersenyum dan melemparkan ciuman jauh pada Angkasa yang kini menarik sudut bibirnya.

Namun tanpa disadari yang lain, Jesi dan Elang sama-sama menyadari bahwa senyuman Antara tidak terbit secerah biasanya. Senyuman itu jelas hanya dibuat-buat.

::

Aku ingin mencintaimu dengan secukupnya.
Aku ingin mencintaimu dengan terlihat tidak berlebihan.
Namun ternyata, secukup-cukupnya aku tetaplah se-berlebihan itu.

-setiase

::

Maaf gais, jangan marah kalo belum jantungan-jantungan banget.
Tapi btw,
Alfaapril lagi ada diskon, nggak ada yg mau beliin saya coklat?




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top