#21

Aku pikir aku sudah mengetahui tentang apa-apa yang menyangkut kamu. Dan sekarang, aku tau aku salah berpikir demikian.

-setiase-

Jesi jengkel bukan main karena sikap Antara pagi ini. Bagaimana tidak, tanpa menjelaskan apapun, entah kesurupan angin dari mana, tiba-tiba gadis dengan predikat 'murid biang onar' itu membangunkannya pagi-pagi sekali. Lalu menyeretnya berangkat ke sekolah padahal dia sendiri tahu jam segini pasti hanya ada tukang kebun!

"Ini saya yang telat atau kamu yang sudah tobat, Tara?" tanya Pak Ammar, guru agama yang langsung melirik jam tangannya untuk memastikan.

"Eh Assalamualaikum cikgu!"

"Waalaikumsalam, hari ini salah makan ya nak?"

"Berdosa banget bapak ini, saya telat nanti dihukum, saya berangkat pagi malah difitnah."

Pak Ammar celingak-celinguk mencari seseorang dan hanya mendapati sosok Jesi yang terlihat berjalan dari ujung koridor dengan muka kusut. "Allahuakbar! mimpi apa saya pagi-pagi udah lihat sepaket lengkap anak tobat begini?"

"Tuh pak, manusia aneh!" Jesi menunjuk Antara yang malah nyengir. "Oiya ngomong-ngomong bapak bisa kan ya nyembuhin orang ketempelan?"

"Mulutnya!" Antara memukul pelan lengan sahabatnya.

"Ya sudah sana, saya masuk dulu." Pamit Pak Ammar lalu kemudian menghilang di balik pintu ruang guru.

Antara memang sengaja berangkat pagi sekali untuk menghindari Angkasa. Ia masih malu bertemu dengan cowok itu karena kejadian semalam, bisa-bisanya dia mencium pipi Angkasa dan membuat cowok itu berkata bahwa ia harus bertanggung jawab! Lagipula sudah lama kan dia tidak datang pagi ke sekolah. Kapan ya terakhir? wah sepertinya tidak pernah.

"Jes, kayaknya kita harus bikin perayaan deh hari ini."

"Apa lagi sih?"

"Jangan marah-marah mulu dong!" Antara mengikat rambutnya dengan semangat. "Kalau dipikir-pikir, ini pertama kali kita berangkat pagi ke sekolah kan! jadi harus dirayain dong nyet?!"

"Lo aja kali! gue mah udah beberapa kali."

"Yah nggak seru!"

Jesi menepuk-nepuk pundak Antara dengan senyum sumringah, "Eh eh ada Bu Lia nyet!"

Antara menoleh ke arah mata Jesi memandang. Dilihatnya seorang wanita dengan rambut ikal dan kacamata khasnya sedang berjalan dengan hak tingginya yang selalu bersuara. Antara tersenyum lebar saat wanita tersebut bersitatap dengannya. Melebarkan matanya seolah baru saja melihat pertunjukan langka.

"Demi apapun, kalian kenapa bisa ada disini?!"

"Loh, kan kita sekolah disini, gimana sih buk?"

"Nggak mungkin," Bu Lia berjalan memutari mereka. "Ini pasti halusinasi saya saja kan?"

"Ini masih jam 6 pagi!"

"Dan kalian sudah ada disini jam 6 pagi!"

"Aduh ibuk berisik ah."

Jesi terkekeh geli, "Ke kelas dulu ya buk, mau belajar."

"Ha?!"

"Iya bu, Antara pamit ya, nanti ada ujian soalnya, jadi harus persiapan."

"Gimana gimana?! tolong diulang."

Setelahnya Antara malah melambaikan tangan dan menggandeng Jesi untuk segera berlari dari tempatnya berdiri. Meninggalkan guru BK yang hampir setiap minggu tidak pernah absen menghukum mereka. Serba salah kan jadinya kalo begini? berangkat pagi salah, telat juga malah dimarahin.

***

"ANTARA GALISTA!!"

"ANJIR KAGET!" Antara langsung membuka mata dan memegangi dadanya yang berdegup kencang.

"Kamu daritadi ngapain aja?!"

Antara melirik Jesi yang sudah mengangkat tanda peace dengan kedua jarinya. Matanya bergerak melirik ke seluruh penjuru kelas yang kini menatapnya, mencari bala bantuan. Namun pada akhirnya, gadis itu terpaksa kembali mendongak menatap wajah Bu Arini, guru matematika paling galak yang anaknya pernah dibuat nangis oleh Antara.

"Maaf."

"Maaf maaf, kamu memangnya nggak bisa ya Tara sekali aja dengerin materi dari saya?"

Antara menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, "Saya dengerin juga percuma buk, nggak bakal masuk."

"Kalau nggak bisa itu belajar! bukan malah tidur! Terus kamu minggu depan ujian mau gimana?"

"Kan ada Jesi buk," jawab Antara sambil menunjuk Jesi dengan muka tanpa dosanya.

"Keluar dari kelas saya, Tara!"

"Tapi buk,"

"Sekarang."

"Baik buk."

Dan akhirnya Antara berakhir di sini. Tepat di depan kios Bi Imah. Kantin sangat sepi sekarang, wajar sih, bel istirahat belum berbunyi tapi Antara justru sudah berkeliaran. Gadis itu membalas pesan dari Jesi dan meletakkan ponselnya dengan bosan.

"Dihukum lagi neng?" tanya perempuan paruh baya yang kini meletakkan gelas es teh di hadapan Antara.

"Diusir ini mah lebih tepatnya Bi Imah."

Bi Imah geleng-geleng kepala, "Mau makan nggak?"

"Nanti dulu deh Antara kesini lagi."

"Ya udah Bi Imah masuk lagi ya, belum selesai gorengnya."

Antara mengacungkan jempol dan bergerak mengambil minumannya. Baru juga minum seteguk, gadis itu sudah buru-buru mengambil ponselnya di atas meja dan bergegas bangkit. Ia meringis saat dilihatnya Bu Lia sudah menoleh ke arahnya dari seberang kantin. Melemparkan tatapan maut andalannya di balik kaca mata yang beliau kenakan.

"Antara!!"

"Bi Imah, nanti aja ya bayarnya!" Antara panik dan segera berlari menghindar.

"Antara berhenti!"

"Mampus mampus mampuss!"

"ANTARA GALISTA!"

"Aduh anjing siapa la-" Antara mengumpati orang yang kini menghalangi jalannya dan tersenyum saat melihat Bu Arini justru berdiri dengan tegap di hadapannya.

"Udah selesai buk ngajarnya?"

"Antara!" Bu Lia buru-buru menjewer telinga gadis itu setelah sempat melempar senyum pada guru matematikanya. "Sini ikut saya."

"Buk sakit sumpah, saya lapor polisi nih, saya lapor Kak Seto ya awas aja."

"Lapor pak RT, pak lurah, pak camat, saya nggak peduli!"

"Ih main-main orang ini." Antara semakin memegangi telinganya saat Bu Lia menarik gadis itu ke lapangan.

"Buk, ayah saya TNI loh."

"Terus?"

"Buk, ayah saya Presiden tapi."

"Terus? Saya harus minta foto gitu sama ayah kamu?!"

Antara melirik wanita itu sinis, "Mau dibawa kemana sih saya? Jangan-jangan ibuk naksir saya ya?!"

"Berdiri sini."

Bu Lia menyuruh Antara berdiri di depan tiang bendera seperti biasa. Setelah menyingkap poni keritingnya, wanita itu menghela nafas berat sambil menatap Antara yang kini juga melihatnya. Tak lupa dalam hati wanita itu berdoa agar anaknya jauh-jauh dari sifat seperti gadis ini.

"Berdiri disini dan renungi kesalahan kamu."

"Waduh, banyak dong buk."

"Nah itu sadar."

"Berdiri sana!" suara lain dari ujung lapangan membuat kedua perempuan itu menoleh.

Dari tempatnya berdiri, Antara dapat melihat Angkasa bersama Darel dan Arka sedang berjalan di depan Pak Budi yang memasang tampang garang bukan main. Angkasa mendongak, dan pandangannya jatuh pada Antara yang kini sedang mengamatinya. Cowok itu langsung tersenyum tipis sambil tetap berjalan mendekati tiang bendera. Tepat di tempat dimana Antara juga sedang dihukum.

"Waduh, definisi jodoh memang cerminan diri!"

Antara menyetujui ucapan Bu Lia yang justru melotot tajam padanya, "Jangan malah senyum senyum ya kamu, saya barusan nyindir!"

"Kalian bertiga berdiri disini sampai jam istirahat selesai nanti, saya lihat dari sana."

"Saya titip awasi Antara juga ya pak." Pak Budi mengangguk pada Bu Lia sebelum wanita itu pamit pergi.

Antara mengalihkan kembali pandangannya kepada Angkasa yang sedang menunduk. Senyum Antara memudar, dengan alis mengerut ia mencoba untuk mengamati seluruh bagian wajah pacarnya yang terlihat berbeda. Perlahan ia putuskan untuk mendekati Angkasa dan menangkup wajahnya.

"Ini kenapa?"

"Kamu berantem?" Angkasa diam saja dan hanya mengamati Antara yang menelisik luka di sudut bibirnya dengan wajah khawatir.

"Angkasa!"

"Ini kenapa aku tanya?"

"Luka."

Antara menghentakkan kakinya dengan kesal, "Iya aku tau! tapi kenapa? berantem? jatuh?"

"Berantem."

Arka melepaskan ikat kepala hitamnya dengan kesal, "Perut gue sakit banget bego. Pacar gue mana ya?"

"Pacar yang mana nih?"

"Mulutnya Darel, pacar gue kan cuma satu Rel."

Darel berlagak ingin muntah, "Satu di kelas ini, satu di kelas sana, satu lagi di kelas atas."

Antara tertawa dan kembali fokus pada Angkasa, "Diobatin ya?"

"Kan lagi dihukum."

"Ya nanti habis dihukum."

"Berantem sama siapa sih?"

"Gengnya Bisma, Tar." jawab Darel membuat Antara mencoba mengingat nama itu. Ah, orang yang pernah memukulnya salah sasaran itu rupanya.

"Kenapa lagi?"

"Daridulu juga musuh bebuyutan kita mah, apalagi gebetan dia pernah jadi pacar gue."

Darel menginjak sepatu Arka kesal. "Kalo itu lo yang dodol, semuanya diembat."

"Dia suka sama lo."

Antara menoleh, "Kok jadi aku?"

"Kan dulu gue udah pernah bilang."

"Makanya Tar, lo tuh jangan cantik-cantik kenapa sih. Kalau nggak keduluan Angkasa nih, gue mah siap juga ngajuin proposal buat jadi pacar."

"Mau mati lo?"

Arka terkekeh saat Angkasa menatapnya tajam, "Ampun bang jago!"

"Lihat nih jadi kayak gini kan!" Antara menunjuk lebam-lebam di wajah Angkasa. "Jelek banget pacar aku."

"Jelek gini juga dipacarin."

"Jangan berantem berantem lagi dong Angkasaaa."

"Kalo berantem lagi kenapa?"

Antara menekan sudut bibir Angkasa dan spontan membuat cowok itu meringis. "Nggak usah peluk-peluk lagi kalo gitu!"

"Ancaman diterima."

"Janji nggak bakal berantem lagi?"

"Tergantung."

"Ish! sama aja."

Angkasa menarik gadis itu agar mendekat, "Kalo mau berantem, nanti gue izin dulu."

"Kalo nggak diizinin?"

"Ya nggak berantem."

"Beneran nggak?"

Angkasa hanya mengangguk. Dengan mata tajamnya, ia masih menatap gadis itu tanpa ingin mengalihkan pandangan. Tidak bisa dipungkiri, gadis ini memang sangat cantik. Matanya, hidungnya, bibirnya, semuanya. Dan Angkasa sedang habis-habisan merutuki kebodohannya yang sudah menolak Antara selama dua tahun terakhir.

"Kas, nanti jadi balapan nggak?"

Pertanyaan dari Darel sontak membuat cowok itu menatapnya tajam. Antara yang mengamati gerak-gerik keduanya pun akhirnya kembali memicingkan mata pada Angkasa. Jangan ditanya, Arka bahkan sudah tertawa terpingkal-pingkal saat melihat Darel dengan tenangnya justru mengedikkan bahu tidak peduli.

"Goblok banget Darel asli."

"Diem lu Ar!" Darel menyikut perut Arka dan menatap Angkasa sambil tersenyum jail.

Angkasa mengusap kasar wajahnya sendiri, "Anjing lo ya."

"Mau ngapain lagi hmmm?"

"Bercanda tadi."

Antara bersedekap dada dan membalas tatapan Angkasa tak kalah tajamnya, "Mau balapan?"

"Bercanda, Tar."

"Gue nggak bercanda kok, Tar."

"Fak."

Darel segera berpindah posisi di tempat Arka, menjauhi Angkasa yang sudah siap menerjangnya dengan bogeman mentah. Arka yang kembali terbahak pun menurut saja saat posisinya kini berganti di samping Angkasa yang sedang kesal bukan main.

"Mau balapan jam berapa?"

"Nggak jadi balapan."

"Loh kenapa nggak jadi?" tanya Antara sambil memainkan ujung rambutnya. "Padahal tadi aku mau ikut biar bisa lihat pacar terganteng aku lagi balapan loh."

"Nggak usah, nggak jadi."

"Mana bisa begitu, kan udah janji dari kemarin lusa, Kas."

Angkasa mencoba meraih kerah seragam Darel yang tidak ada kapoknya untuk terus mengompori obrolan mereka. "Setan!"

"Tuh kan udah janji."

"Nanti gue batalin Tar," Angkasa kembali menghadap Antara.

"Berangkat aja sana, nggak boleh tau batalin janji."

"Beneran boleh?"

Antara tersenyum dan Angkasa merutuki kebodohannya yang sudah terjebak pertanyaannya sendiri. Buru-buru ia meraih tangan Antara saat melihat gadis itu sudah berniat pergi.

"Mau kemana?"

"Mau pulang terus siap-siap buat ikut kamu ntar malem," Antara melepas pegangan Angkasa di pergelangan tangannya. "Nanti aku pake baju pendek, rok pendek, sama lipstick merah sekalian biar keren!!"

"Nggak boleh!"

"Bye!" gadis itu langsung berlari meninggalkan lapangan dan membuat Angkasa mengumpat berkali-kali. "Darel bangsat!"

"Jadi gimana? Nanti tetep jadi kan?"

"Gue nggak ikut."

"Uhuk!" Arka memukul dadanya berkali-kali. "Setiap Angkasa bucin, pengen banget rasanya gue jedotin dia biar inget gimana dulu dia ogah-ogahan sama Antara."

"Bacot!" Angkasa meliriknya sekilas sebelum berlari menyusul Antara yang sudah hilang entah kemana.

***

Angkasa yang mendengar bel istirahat berbunyi langsung bergegas meninggalkan tongkrongan dan segera menuju kantin untuk mencari Antara. Dengan tenang, ia mengedarkan pandangan dan berhasil menemukan gadis itu disana. Ia duduk berhadapan dengan Jesi yang juga sedang sibuk menyantap makanan. Langkah Angkasa semakin lebar menuju bangku yang diduduki Antara, mengabaikan pandangan orang-orang yang mulai ingin tahu tentang urusannya.

"Tara,"

Gadis itu menoleh saat Angkasa sudah menarik kursi dan duduk di sampingnya. Jesi yang melihatnya pun mengerutkan alis bingung saat mengamati semburat kepanikan di mata tajam yang sedang menatap lurus sahabatnya.

"Apa?"

"Gue nggak ikut, beneran."

"Kenapa nggak ikut? Katanya tadi udah janji."

"Nggak mau."

"Kalau diizinin beneran, bakalan berangkat?"

Angkasa diam saja.

"Kalau aku bilang boleh, berangkat nggak?"

Jesi kaget bukan main saat meja mereka digebrak oleh Antara. Untung saja baksonya tidak menggelinding seperti milik Rafa dulu. Namun di sisi lain, Angkasa masih terlihat tenang-tenang saja saat Antara mengomelinya tanpa henti.

"Inget ya! bukannya aku ngelarang! cuma lihat kondisi kamu dong, udah kayak gini bukannya istirahat malah mau aneh-aneh!"

"Iya maaf."

"Jadi harusnya kamu bisa ngerti dong, ini udah luka begini, aku bukannya doain yang jelek jelek ya, cuman kan namanya balapan pasti kebut-kebutan, nanti kalo ada apa-apa gimana?!"

"Iya maaf."

"Aku tuh khawatir tau! bukannya mau ngebatesin kamu main sama temen kamu, cuma kalo bahaya ya jelas aku nggak terima!"

"Iya maaf Tara."

"Aduh capek marah-marah," Antara segera meminum es jeruknya. "Ya udah sini diobatin dulu lukanya."

"Mau kemana lo?"

"Ngurusin pacar dulu ya," Antara melempar ciuman jauh pada Jesi yang kini masih mengunyah baksonya. "Bidadari nggak bisa nih kalo lihat pangerannya babak belur begini."

"Najis!"

Gadis itu tertawa dan berjalan bersisian dengan Angkasa menuju UKS. Sampai disana, cowok itu langsung duduk di sofa dan memperhatikan Antara yang kini mulai berkutat dengan obat-obatan. Angkasa pun memutuskan untuk merebahkan kepala saat Antara sudah duduk di sampingnya dan mulai menuangkan alkohol ke atas kapas.

"Kalo sakit bilang ya?"

"Pelan-pelan."

"Iya ini udah pelan mas pacarrr."

Cowok itu mengaduh lagi, "Pelan sayang."

"Aduh maaf maaf, masih sakit?"

Angkasa menggeleng dan merogoh saku celana seragamnya. Antara menunduk saat cowok itu mengeluarkan satu lembar kertas dan menyerahkannya pada Antara. Membuat gadis itu menatapnya bingung.

"Apa ini?"

"Kertas."

Antara memutar bola matanya malas. "Iya tau, tapi buat apa?"

"Ini tiket."

"Tiket?"

"Tiket gratis seharian bareng Angkasa."

"Ha? gimana maksudnya?"

Angkasa tersenyum dan mengambil tangan Antara untuk meletakkan kertas itu disana. "Ini sogokan apa gimana?"

"Enak aja."

"Ya abis tumben tumbenan kamu kayak gini."

"Ya emang nggak boleh ngasih hadiah ke pacar?"

Antara membalik kertas yang dia bawa dan membaca tulisan disana dengan senyum sumringah. Angkasa dan coretan tangannya yang asal-asalan itu justru berhasil membuat jantungnya berdetak cepat. Padahal ini bukan acara kejutan dengan setangkai bunga atau kembang api seperti drama yang dia tonton semalam, tapi Antara tidak bisa melunturkan senyumnya.

"Ini jadi diobatin nggak sih?"

"Oiya lupa," Antara tertawa dan meletakkan kertas itu di saku roknya. "Kan lagi mendalami baca tulisannya."

"Lama."

"Udah nih!"

Angkasa meringis saat Antara sengaja menekan kapasnya. Sebelum gadis itu sibuk membereskan peralatan yang tadi dia gunakan, Angkasa segera menahan lengannya dan merebahkan kepala di paha Antara. Dia mulai memejamkan mata saat Antara ternyata justru mengelus pelan rambut cowok itu.

"Tidur bentar."

"Lama juga boleh."

"Diem ah berisik."

Antara membekap mulut Angkasa dengan kesal sebelum tangannya berpindah untuk memainkan ponsel. Gadis itu melirik ke bawah dan tersenyum saat mendengar nafas teratur Angkasa. Jika seperti ini, Angkasa jadi semakin menakjubkan, apalagi karena sorot mata tajamnya yang sudah pasti tersembunyi di balik kelopak yang tertutup tenang.

"Ganteng banget pacar gue."

Ting

Tiba-tiba ponsel Angkasa yang tergeletak di atas meja berdenting, kali ini dua kali. Karena penasaran, gadis itu berusaha meraih benda tersebut dan mulai membuka notifikasi yang muncul di layar ponsel Angkasa. Perlu dicatat, sepertinya ini pertama kali Antara membuka ponsel cowok itu.

R
Kalo lusa bisa?
Aku kangen :)

::

Tidak mau berkata apapun dulu, karena satu pernyataan kadang juga bisa menimbulkan segudang pertanyaan.

Btw, aku mau bikin mie, ada yang mau?

-Setiase
Di dapur.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top