#17
Kamu butuh pulang,
lalu kusiapkan kamu rumah.
Tinggal pilih,
mau kesini sendiri,
atau saya jemput?
-setiase-
____
"Kemarin jadi jalan, Kas?"
"Kemana bos?"
"Parah banget kita ditinggalin."
"Parah banget kita dicuekin," saut Rafa lagi membuat Arka mengangguk setuju.
"Kas, gue mau tanya deh."
"Daritadi juga lo ngoceh sambil nanya-nanya, kenapa baru bilang sekarang?" tanya Darel yang tentunya langsung disambut umpatan dari Arka.
Angkasa tetap fokus memetik gitarnya. Mengabaikan temannya yang justru kini bertengkar dengan Darel, padahal tadi katanya mau tanya sesuatu. Rafa pun masih terlihat asik dengan es jeruk nipis kesukaannya. Mengabaikan Elang, yang tentu saja sibuk berbaring sambil memilih mendengarkan lagu, tidak peduli seperti biasa.
"Kan, gue jadi lupa kalo tadi mau nanya," Arka mulai kembali mendekati Angkasa. "Jawab ya kalo ditanya!"
"Apa?"
"Lo suka beneran sama Antara?"
"Menurut lo?"
"Ya kalo gue tau nggak bakal nanyain lo anjim."
Angkasa melirik cowok itu sekilas, "Iya."
"Sayang gitu?"
"Nggak tau."
"Kok nggak tau?!" kini justru Rafa yang mendadak sewot.
"Kayak nggak tau aja gengsinya Angkasa segede gajah."
Angkasa menatap sekilas ke arah Darel yang berkomentar sambil tetap memainkan ponsel. Lalu beralih pada Elang yang sudah bangkit dan melepas salah satu airpod dari telinganya. Ikut menatap Angkasa seperti kedua temannya yang lain. Alamat.
"Jangan malu atuh pak bos, kita mah mendukung banget kok kalo pak bos sayang sama ibu negara."
Arka mengangguk setuju, "Jadi sayang nggak nih?"
"Kalo sayang juga bagus Kas, berarti lo bukan cowok brengsek yang cuma mau main-main sama Antara," Darel kini sudah menatap Angkasa tanpa meletakkan ponselnya.
Rafa tertawa sebentar, "Ini ceritanya hari evaluasi Angkasa."
"Kas,"
Angkasa menoleh pada Elang dengan gerakan perlahan, "Apa?"
"Gue rasa kita sama-sama tau, ada tipe orang yang cuma bisa nunjukin tanpa pernah mau ngasih tau."
"Maksudnya gimana sih?" tanya Rafa kini mulai bingung dengan ucapan Elang.
"Dari gue cuma satu, jangan sakitin dia."
Dan Angkasa hanya terdiam, tanpa menjawab apapun, tanpa mendebat apa-apa juga.
***
Gadis itu berkali-kali menahan senyum tanpa peduli bahwa sinar matahari tepat menyorot di tempat dimana ia duduk sekarang. Sambil menatap ujung sepatu yang sengaja ia gerakkan, Antara kembali memutar memori tadi malam. Mengingat-ingat bagaimana detail tiap perlakuan dan ucapan Angkasa yang dulu ia kira hanya akan menjadi mimpi semata.
Sudah setengah jam gadis itu duduk disini sendirian. Bukan karena apa-apa, tapi hari ini, untuk kesekian kali ia kembali menerima hukuman. Menjahili guru dan tidak mengerjakan tugas menjadi alasan yang cukup bagi Pak Agus untuk mengusirnya dari kelas sampai jam pelajaran beliau selesai.
"Tara,"
Baru saja mendongak, gadis itu sudah ditarik berdiri dan digandeng Angkasa menuju bangku di pinggir lapangan. Tempat yang lebih rindang dari tempatnya di hukum tadi. Disini juga Angkasa biasa nongkrong bersama teman-temannya yang lain, atau mungkin tempatnya bolos selain kantin belakang.
"Ngapain disana?"
"Dihukum Pak Agus."
"Lagi?" tanya Angkasa yang kini sudah duduk di sebelahnya.
"Kayaknya emang orang itu punya dendam sama aku deh, Kas."
"Lo sih cari gara-gara."
"Ya abis aku lihat-lihat hidupnya bosenin banget, kan kasihan."
Angkasa menggeleng heran sambil tetap memandang Antara yang kini mulai sadar bahwa sedari tadi mata Angkasa tidak pernah lepas. Gadis itu tersenyum, membalas dengan tatapan juga secara terang-terangan. Hal semacam inilah yang membuat Angkasa heran.
"Masih lama kan?"
"Masih," Antara mengangguk. "Baru aja aku disuruh keluar."
"Ya udah."
Setelah itu tanpa menunggu persetujuan dari Antara, Angkasa menidurkan kepalanya di paha gadis itu. Sambil meletakkan lengan untuk menutupi matanya, Angkasa kembali bergumam.
"Bentar aja Tar, gue ngantuk."
Antara terdiam cukup lama, "Kas?"
"Udah tidur?"
"Udah."
Gadis itu terkekeh, mana ada orang tidur tapi masih bisa menanggapi ucapannya. Dibiarkannya saja Angkasa melanjutkan tidur, kesempatan juga buat dia kan? bisa memperhatikan Angkasa yang terlihat jauh lebih tenang saat terdiam seperti ini. Mata Antara tiba-tiba salah fokus pada seuntai kalung yang tersembunyi di balik kemeja cowok itu. Kalung hitam yang Antara rasa baru ia sadari bahwa benda itu selalu melekat di leher Angkasa.
"Nggak jadi tidur."
"Aduh kaget!"
Angkasa bangun dari pangkuan gadis itu dan tersenyum tipis, "Kenapa?"
"Kaget lah orang tiba-tiba aja bangun!"
"Lagi lihatin apa?"
"Lagi lihatin pacar aku."
"Belum."
"Oh belumm," Antara tersenyum dan sengaja menoel hidung orang di depannya. "Bukan nggak kan?"
"Hai Angkasa!"
"Hai Kas!"
Angkasa terdiam tanpa menoleh sedikitpun. Namun justru gadis itu yang memutar bola mata malas saat dua kakak tingkatnya barusan berjalan sambil sengaja menyapa Angkasa dengan gaya genitnya. Aduh sumpah, Antara alergi banget kalo udah begini!
"Heh!"
"Apa sih?!"
"Jangan macem-macem ya! Angkasa udah punya cewek!"
"Ngarep!" semprot salah satu dari mereka sambil berlari.
Mata gadis itu langsung teralih saat gerombolan dari kelas, entah kelas berapa, sedang berjalan menuju lapangan. Bahkan beberapa murid perempuan terang-terangan mencuri pandang pada Angkasa sambil senyum-senyum nggak jelas. Makin tambah-tambah kan emosinya!
"Iya terusinn, lihatin aja terus cowok gue, belum tau rasanya dicolok tuh mata."
Angkasa terkekeh dan membuat Antara spontan menoleh. Gadis itu langsung menatap tajam cowok di hadapannya, yang justru sedang tersenyum sambil terus menatapnya.
"Ngapain kamu?! seneng kan dilihatin mereka?!"
"Kata siapa?"
"Kata aku!"
"Bukannya," Angkasa mendekati gadis itu sambil menunjuk Antara. "Gue dari tadi cuma lihat kesini?"
"Artinya, gue bukan seneng karena dilihatin, tapi seneng karena ngelihatin lo."
"Angkasa apaan sih?"
"Mau main klaim nggak?"
"Maksudnya?"
Angkasa menyerahkan tangannya pada gadis itu, "Nih pegang."
Antara tersenyum, perlahan ia meletakkan tangannya di sela-sela genggaman jari Angkasa. Mengabaikan para gadis lain yang sudah berbisik-bisik di ujung sana. Gadis itu balas menatap Angkasa yang saat ini belum juga mengalihkan pandangan. Ditatap seperti itu, jelas membuatnya grogi, apalagi dengan genggaman tangan yang ia sadari semakin dikunci oleh Angkasa.
"Hak miliknya nanti gue kasih kalo udah waktunya ya?"
"Gini aja aku udah seneng kok," Antara tersenyum lagi. "Oiya Angkasa?"
"Kenapa?"
"Boleh aku tanya satu hal?"
"Boleh."
Gadis itu membenarkan posisi duduknya dan terdiam beberapa saat, "Kamu nggak lagi main-main kan sama aku?"
"Maksudnya gini, bukan aku nggak percaya sama kamu ya, cuman aku takut aja. Beberapa orang juga bilang ke aku kalo.."
"Tara,"
"Iya?"
"Yang tau perasaan gue, cuma gue, bukan lo, apalagi orang lain."
"Justru karena itu Kas, aku tuh sering nggak bisa bedain, antara kamu bercanda atau serius."
Jawaban Antara membuat Angkasa menghembuskan nafasnya perlahan. Tangan satunya lagi sengaja ia tangkupkan di atas genggaman tangan mereka. Mencoba menyalurkan penjelasan dari hal-hal yang tidak bisa ia lakukan dengan kata-kata. Angkasa tidak pernah mahir soal ini.
"Lo mau gue gimana?"
"Kok gitu? nggak, aku nggak maksa kamu apa-apa kok, aku cuma ngasih tau apa yang aku rasain."
"Ya udah kalo gitu."
Antara mengangguk saja dan ikut tersenyum saat senyuman tipis dan singkat itu mampir di bibir Angkasa. Entah apa maksudnya, Antara tidak akan pernah tau isi kepala sekaligus hati orang ini.
"Nanti malem ada acara?"
"Nggak tau, kenapa? mau ngajak keluar?" tanya gadis itu antusias.
"Nggak, ya udah di rumah aja."
***
Berkali-kali Antara mengecek ponselnya, memastikan bahwa Angkasa membalas pesan yang terakhir ia kirimkan. Atau barangkali membacanya saja seperti biasa. Tapi sampai malam pun, pesan tersebut masih belum menunjukkan tanda-tanda dibaca oleh orang di seberang sana.
Bosan dengan acara guling-guling di atas kasur saja, Antara memutuskan untuk turun ke bawah mencari Jesi. Biasanya jika tidak bersuara seperti ini, Jesi pasti sibuk dengan laptopnya. Entah mengerjakan apa atau malah nonton drama atau film. Ia mengetuk pintu terlebih dahulu, setelah disahuti dari dalam baru Antara membuka pintunya dan menemukan Jesi sedang tengkurap di depan laptop. Benar kan dugaannya?
"Apa maemunah? kok malah bengong disitu."
"Bosen nih gue,"
"Sini ikut nonton."
"Males ah, lagi nggak mood."
Jesi melirik lagi ke arah Antara yang masih berdiri di ambang pintu kamarnya, "Lo mau masuk nggak sih? mengganggu pemandangan banget lo begitu."
"Nggak mau keluar?"
"Males ah, lagi nggak mood."
"Ye ngikutin gue dia!" Antara melirik ponselnya yang bergetar dan tersenyum kala nama Angkasa masuk notifikasi.
"Nah kan stress sekarang, sana ah Tar! tutup pintunya kalo lo nggak mau masuk!"
"Iya iya bawel!"
Perlahan Antara menutup pintu sambil membaca balasan pesan dari Angkasa. Awalnya biasa saja, namun saat cowok itu kembali mengirimkan pesan, Antara jadi panik sendiri.
Angkasa
Keluar gih
Bentar lagi ada paket dateng
Tanpa bertanya apa maksudnya, Antara buru-buru keluar dari rumah dan menunggu di teras. Ternyata benar, beberapa menit kemudian, satu motor berhenti di depan gerbang rumahnya. Antara pun segera menuju gerbang dan menyapa kurir yang menyerahkan paketnya.
"Atas nama Antara Galista?"
"Iya, saya sendiri."
"Baik, ini silahkan, Mbak."
Antara mengangguk dan mengambil alih paket yang disodorkan kurir, "Makasih ya, Mas."
Setelah sampai dalam rumah, gadis itu segera membuka paket yang dikirimkan. Alisnya mengerut bingung karena memikirkan kemungkinan isi dari kotak bewarna coklat yang sedang ia buka. Berukuran lumayan besar dengan tali coklat klasik yang memang dibentuk menyerupai pita.
Ketika dibuka, ia menemukan empat kotak dessert box berbeda rasa dan sebuah kartu bewarna hitam. Di atasnya tertulis deretan kata yang sepertinya digores dengan tinta emas, yang mana ia yakini bukan Angkasa yang menulis. Gadis itu tersenyum dan mengeluarkan satu persatu dessert box yang memang akhir-akhir ini ia sukai.
"Jes!!!!"
"Jesi! Sini dulu!"
"Apa?" Jesi terlihat juga setelah ia dengar tadi sempat mengomel sebentar. "Wih gila, apa nih?"
"Dari Angkasa."
"Ampunnn, bagi ya Tar? mumpung gue lagi nonton nih."
"Iya, lainnya sekalian tolong taruh kulkas ya?"
"Aman," mata gadis itu teralih saat Antara mulai mengambil selembar kartu hitam. "Apaan lagi tuh?"
"Nggak tau juga, ini mau baca."
Jesi pun mendekat dan ikut membaca tulisan yang ada di dalamnya. Terdiam beberapa saat lalu terkejut bersamaan dengan Antara yang saat ini perlahan menoleh ke arahnya. Sekali lagi, untuk meyakinkan diri sendiri, mereka membaca ulang tulisan bewarna emas itu dan kembali terkejut saat mendapati bahwa mereka memang tidak salah baca.
Tara,
Dimakan ya. Oh iya, gue tiba-tiba nemu surat dari lo hari ini. Surat yang nggak tau lo kirim kapan, soal minta izin mau jadi pacar gue.
Sorry nggak bisa diterima.
Tapi hari ini, gue aja yang gantian ngajuin surat izinnya. Silahkan dipikir jawabannya, Tara.
"Tar?"
"Jes?"
"Gimana anjim, lo pikirin itu!"
"Gimana dong?! aduh tangan gue gemeter!" Antara meletakkan kartu tadi dan menoleh ke arah Jesi yang sedang menatapnya.
"Ini yang dari dulu lo tunggu-tunggu nyet!"
"Gue jantungan, Jes! Ahhh malu banget!"
"Eh, Angkasa nelpon tuh!" Jesi menunjuk ponsel Antara yang layarnya berkedip beberapa kali, menampilkan nama Angkasa dan foto profil yang selalu disebut sok ganteng oleh Jesi.
"Angkat woi!"
"Nanti kalo gue pingsan gimana?"
"Gue tinggal lah."
"Jahat banget pacarnya Elang."
"Mantan bego!"
Antara perlahan mengambil ponselnya dan menghembuskan nafas sekali lagi. Dengan setengah ragu, gadis itu akhirnya menjawab panggilan Angkasa dan menempelkan benda itu ke telinganya dengan hati-hati.
"Halo?"
"Udah dipikirin?"
"Emm, udah."
"Bisa kasih tau jawabannya apa?"
Antara melirik Jesi yang sudah menggenggam erat tangannya, ikut merasakan kegugupan yang dialami gadis itu.
"Tara?"
"Iya masih denger, jadi gini, aku.."
"Jangan disini."
"Ha? tadi katanya mau tau jawaban aku!" Terdengar suara nafas Angkasa saja dari ujung telefon, membuat perasaan Antara semakin gugup.
"Keluar sini, gue mau denger langsung, kira-kira hak miliknya mau diambil atau nggak."
::
Surat penyerahan hak milik sudah ditawarkan, lalu bagaimana dengan yang ditawari? dan bagaimana dengan yang menawarkan?
Setiase
- dalam keadaan yang
semakin pusing
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top