#13
Selamat.
Selamat pagi,
Selamat malam,
Selamat sudah membuatku suka.
-setiase
Cowok itu duduk terdiam di kursi tunggu. Memang sudah sejak kemarin malam ia memutuskan tidak pulang ke rumah dan tetap disini menunggu kabar baik mengenai keadaan papanya. Ponselnya pun dibiarkan mati setelah ia memberi kabar dan mencoba beberapa kali menelfon seseorang.
Angkasa menghembuskan nafas beratnya sekali lagi. Di sampingnya, Rainata tertidur dengan posisi yang sepertinya memang tidak nyaman. Dengan kaki ditekuk dan hanya berbantalkan jaket milik Angkasa. Perlahan ia mengusap kepala kakak perempuannya dengan sayang sebelum kembali terjun dalam lamunan.
"Angkasa?"
Suara berat itu membuatnya menoleh, dilihatnya laki-laki berpakaian santai berjalan ke arahnya bersama seseorang. Ia menebak kakak laki-lakinya ini pasti tidak tidur. Terlihat dari kantung mata dan ekspresi lelah yang sedikit tertutupi oleh wajah tampannya. Bahkan kalung hitam yang dipakainya sejak SMA itu dibiarkan menggantung di luar kaus hingga menjuntai sampai dada.
"Abang nggak tidur?"
"Nggak bisa," laki-laki itu mengalihkan pandangan dari Rainata dan mengamati sekitar. "Mama mana?"
"Lagi makan di kantin."
"Kamu nggak sekolah, Kas?" tanya perempuan cantik di samping abangnya yang saat ini sudah menyandang gelar sebagai kakak iparnya.
"Lagi males, Kak."
"Pulang dulu sana, ajak Rain juga, biar gantian gue yang jaga."
Angkasa mengangguk dan membangunkan Rainata dengan hati-hati.
___
Di lain sisi, Antara terlihat menyebarkan pandangannya ke seluruh penjuru kantin. Sejak pagi tadi ia sama sekali belum melihat sosok Angkasa. Bahkan motornya saja tidak ada di parkiran. Karena menebak bahwa cowok itu telat, ia akhirnya memutuskan menunggu sampai jam istirahat. Tapi nyatanya, sampai sekarang, Angkasa belum juga menunjukkan batang hidungnya.
"Nyari siapa sih, Nyet?"
Antara menyuruh Jesi diam, "Angkasa nggak masuk apa gimana sih?"
"Tanya aja ke temen-temennya. Elang kan juga bisa lo tanyain."
"Tau nggak sih,"
"Nggak."
"Dih belum!" Antara mengalihkan pandangan ke arah Jesi. "Kemarin malem Angkasa ke rumah, habis itu dia tiba-tiba balik karena papanya kritis."
"Tar,"
"Apa?"
Jesi meletakkan sendoknya, "Kayaknya Angkasa mulai suka sama lo deh, minimal khawatir lah. Soalnya kemarin gue yang ngadu, maksud gue tuh cuma mau ngasih tau, gue nggak sampe mikir kalo dia bakal langsung nyamperin lo."
"Lo jangan bikin gue GR, Jes!"
"Beneran nyet!"
"Dia kemana sih?!" Antara meluruskan kakinya dan meletakkan kepala di atas meja, mengabaikan Jesi yang masih melanjutkan makan.
"Heran gue, Angkasa mulu kepala lo tuh."
"Abis gantengnya sopan banget masuk kepala, hati, semuanya!"
Jesi bergidik, "Antara dan kegilaannya pada Angkasa."
"Eh!"
Antara tiba-tiba bangkit dan sontak membuat Jesi hampir saja tersedak. Gadis itu berlari menghampiri Rafa dan Arka yang barusan masuk kantin. Dari tempat Jesi duduk, ia bisa melihat bahwa Antara langsung pada poinnya, yaitu menanyakan Angkasa. Setelah mendapat jawaban yang tentunya diselingi tingkah konyol Rafa, Antara berjalan kembali ke tempat duduknya dengan ekspresi berbeda.
"Kenapa katanya?"
"Iya, Angkasa nggak masuk," Antara menatap layar ponselnya. "Dia nungguin papanya di rumah sakit kata Arka."
"Ya udah doain aja, Tar."
Gadis itu hanya mengangguk dan mulai berkutat dengan ponselnya sambil menunggu Jesi selesai makan. Entah kenapa ia merasa khawatir dengan Angkasa dan kondisi papanya. Pasalnya, ia pun pernah berada di posisi yang sama dengan cowok itu. Menunggu dengan rasa cemas dan harapan yang bercampur aduk.
Kamu baik-baik saja kan, Angkasa?
***
Pukul 19.20
Jesi yang masih memakai celemek masaknya berjalan menuju pintu saat seseorang menekan bel masuk. Gadis itu tidak peduli dengan penampilannya yang bahkan sudah tidak karuan. Tepung di pipinya, ujung rambut terkena krim, dan tangan yang sudah belepotan mentega.
"Iya bentar!!"
Gadis itu membuka pintu dan sedikit terkejut, "Elang?"
"Antara ada?"
"Ada di atas, masuk dulu mantan."
Elang mengangguk dan duduk di ruang tamu. Setelah melepas celemek dan membersihkan diri, Jesi buru-buru ke lantai atas menuju kamar Antara. Karena mendengar suara air mengalir dan lagu yang sengaja disetel lumayan keras, Jesi memutuskan masuk dan melihat Antara tidak berada di atas kasurnya.
"Astaga!"
Jesi menoleh ke arah pintu kamar mandi yang barusan terbuka, "Elang di bawah."
"Ngapain?"
"Nggak tau, gue tunggu bawah ya."
Jesi kembali menuju ruang tamu sambil membawakan Elang sebotol minuman kemasan dari kulkas. Gadis itu duduk bersebrangan dengan Elang yang saat ini menatap kearahnya.
"Bentar, dia baru selesai mandi. Mau ngapain?"
"Nanti aja."
"Eh mantan!" Jesi baru ingat sesuatu. "Gue barusan bikin kue, tapi belum mateng. Nanti mau nyobain nggak?"
"Boleh."
"Tapi nggak tau ya enak atau nggak, barusan nyoba resep baru soalnya."
"Nggak papa."
"Kalian kenapa sih nggak balikan aja?" Keduanya menoleh saat melihat Antara sudah berjalan menuju ruang tamu. "Kenapa, Lang?"
"Buruan siap-siap, lo sekalian, Jes."
"Mau kemana?"
Elang terdiam cukup lama. Ia tidak tau harus mulai bicara dari mana karena memang tidak terbiasa basa basi. Setelah menyisir rambutnya untuk mencoba tenang, Elang berhasil membuka suara.
"Ayahnya Angkasa meninggal."
___
Gadis itu terus diam selama di perjalanan menuju rumah sakit. Bahkan ia mengabaikan obrolan Elang dan Jesi yang sama-sama duduk di depan. Gadis itu sampai tidak mendengar penjelasan Elang mengenai kondisi ayah Angkasa sebelum dinyatakan meninggal oleh dokter.
Bukannya tidak peduli, Antara hanya merasa seolah ditarik lagi ke masa lalunya. Perasaan hancur saat dokter mengatakan kata-kata yang paling tidak ingin didengar oleh siapapun. Buliran yang sejak tadi ditahannya perlahan turun saat mencoba merasakan kembali sakit yang saat ini sedang dirasakan Angkasa juga di ujung sana.
Ia tidak bisa membayangkan bagaimana sikap cowok itu saat mendengarkan kalimat tersebut. Bagaimana dia sedih, bagaimana dia marah, atau bahkan bagaimana saat dia tidak terima. Membayangkannya saja membuat Antara cemas sendiri.
"Tar, ayo turun."
Lamunan gadis itu buyar, ia mengusap pelan air matanya sebelum turun mengikuti Elang dan Jesi. Entah kenapa langkahnya terasa semakin berat saat tubuhnya dibawa semakin masuk melewati ruangan-ruangan dengan bau khas rumah sakit. Salah satu tempat yang membuatnya selalu teringat dengan papanya.
"Lo jalan duluan aja. Ruangannya di ujung."
"Mana?"
"Itu yang ada anak-anak juga."
Antara dapat melihat Arka, Rafa, dan Darel yang sudah berdiri jauh di ujung. Ia belum bisa menemukan Angkasa dari jarak ini. Perlahan namun pasti, Antara akhirnya membulatkan tekad untuk menghampiri mereka. Meski dalam hatinya, ia belum sanggup melihat Angkasa.
"Tara?"
Teman-temannya menoleh saat Antara sudah dekat. Gadis itu tersenyum tipis dan menerima uluran tangan Rafa yang saat ini menyuruhnya mendekat. Beberapa orang yang duduk disana ikut menoleh saat Antara datang. Isakan demi isakan yang bahkan membuat perasaannya ikut sakit.
Pandangan Antara akhirnya teralihkan pada Angkasa yang sedang menunduk diam. Ia tidak duduk di kursi tunggu seperti yang lain dan memilih tenggelam dalam lantai rumah sakit yang dingin. Keadaan cowok itu berantakan, tangannya bergetar. Kepalanya yang selalu terangkat kini menunduk dalam-dalam. Gelang hitam berukir Angkasa dengan tato kecil di pergelangan tangannya itu kini semakin terlihat mengerikan saat bersanding dengan jemarinya yang terkepal.
Antara melangkah dan mendekati cowok itu, berjongkok di sampingnya sebelum menarik pelan kepala Angkasa agar tenggelam dalam pelukannya.
"Angkasa,"
"Sakit ya?"
"Kalau gitu nangis aja nggak papa, nggak ada yang bisa lihat."
"Bahkan aku pun nggak akan tau."
Perlahan bahu Antara terasa basah. Angkasa yang ia tau bermulut pedas, malam ini menumpahkan air mata berharganya disana. Tanpa mengucapkan apapun, bahunya semakin bergetar. Antara mengeratkan pelukan sambil mengelus pelan punggung tegap cowok itu.
"Tar,"
Suara serak itu membuat Antara terdiam, "Iya, Angkasa?"
"Tolong."
Angkasa semakin bersembunyi di ceruk leher gadis itu, "Tolong hapus ingatan gue tentang papa."
"Jangan biarin gue sakit kayak gini." Antara masih diam, menunggu Angkasa menumpahkan semuanya.
"Semua hal tentang papa, makin gue inget makin sakit, Tar."
"Gue.."
Angkasa memberi jeda cukup lama, "ternyata nggak bisa kehilangan dia."
"Memang nggak pernah ada istilah baik-baik aja saat kita ditinggalin seseorang, Kas."
Antara mengelus lagi punggung cowok itu, menyalurkan ketenangan dan mencoba membuatnya kuat kembali.
"Lihat deh, ada mama kamu, kakak kamu, mau aku kasih tau sesuatu? abang kamu ganteng ya, dia kayaknya mau nangis tapi ditahan gitu, justru minjemin pundaknya buat kakak perempuan kamu."
"Jangan larut ya Kas, ada banyak orang yang harus kamu jaga. Mungkin, papa kamu udah waktunya istirahat jagain kalian, dan sekarang waktunya kamu dan abang kamu yang gantiin."
Angkasa terdiam dan mendengarkan Antara, "Dulu aku juga pernah ada di posisi ini. Tanpa mama atau siapapun, jadi aku bisa nangis semau aku. Jangan ditiru ya, nggak baik."
"Suatu saat, semua nggak akan semenyakitkan ini."
"Sebenernya papa kamu nggak pergi tau, beliau bakal tetep disini, sampai kapanpun, di hati kalian."
Tanpa membalas ucapan Antara, Angkasa justru membalas pelukan gadis itu. Melingkarkan lengannya di pinggang Antara yang berhasil dibuat mati kutu. Orang-orang yang melihat mereka pun memancarkan ekspresi berbeda-beda. Ada yang bingung, kaget, dan bahkan menahan senyum.
"Makasih, Tar."
Bahkan justru lo yang ada di saat gue ada di titik terendah.
"Makasih udah ada disini."
"Makasih udah sayang sama gue."
Antara hanya tersenyum dalam pelukan Angkasa sebagai jawaban.
***
Gadis itu menyisir rambutnya di dalam mobil yang dikendarai Jesi. Setelah ibadah penguburan papa Angkasa selesai, cowok itu menyuruh teman-temannya datang ke rumah setelah pulang sekolah. Antara pun sudah siap dengan kemeja hitam yang sama dan riasan setipis mungkin. Setelah mobil mereka terparkir di halaman, gadis itu turun bersama Jesi.
"Bu bos!"
"Sini gabung," Antara tersenyum dan duduk di samping Darel.
"Cuma kita yang disini?"
Arka mengangguk, "temen deketnya doang, yang lain belum tau."
"Angkasa mana?"
"Masih di dalem," Elang yang gantian menjawab. "Nemuin temen papanya."
"Tadi Angkasa nggak papa kan?" tanya Antara lagi dan membuat Rafa menggeleng.
"Daritadi diem terus, jadi takut dedek lihatnya."
"Sehari-hari udah serem, tambah serem ya, Raf?"
Cowok itu mengangguk, "Eh gimana kemarin? enak kan dipeluk Angkasa bu bos?"
"Hus!"
"Kalian masuk aja."
Semuanya menoleh saat suara berat Angkasa muncul dari pintu. Cowok itu berdiri dengan menggunakan kemeja hitam dan rambut yang tidak dirapikan. Dua kancing teratasnya sengaja dibuka, yang bukannya berantakan tapi justru memberikan kesan khas Angkasa.
"Kecuali Antara."
"Aku?"
"Iya."
"Tak akan kuganggu dirimu dan pengantinmu mas!" Rafa menepuk pundak Angkasa jail sebelum berlari masuk mengikuti yang lain. Takut serigalanya ngamuk!
"Sini."
Antara menepuk kursi di sebelahnya saat Angkasa berjalan mendekat. Alhasil kini keduanya duduk bersisian di teras rumah Angkasa dengan pikiran masing-masing.
"Mau cerita?"
"Nggak ada."
"Berat ya tadi ngelepasin papa?"
Angkasa mengangguk, "Boleh gue ngevape?"
"Boleh."
Gadis itu mengamati Angkasa yang barusan menghembuskan asapnya ke arah yang berlawanan. Cowok itu terlihat lelah, perlahan ia bersandar di punggung kursi dan menatap Antara yang saat ini juga sedang mengamatinya.
"Nih," Angkasa terdiam sebentar sebelum menerima coklat dari Antara.
"Biar moodnya balik."
"Apalagi makanya di depan aku, udah coklatnya manis, akunya manis, komplit kan?"
"Diabetes."
"Udah deh, buruan dimakan."
Cowok itu meletakkan vapenya dan beralih membuka bungkus coklat dari Antara. Angkasa mematahkan coklatnya dan memberikan sebagian kepada gadis itu.
"Biar makan barengan."
"Yah, tambah manis dong aku ntar."
"Terserah," Antara terkekeh saat melihat cowok itu kesal sendiri.
"Lihat coba, Kas."
"Apanya?"
Antara tersenyum manis ke arah Angkasa, "Makin manis kan gara-gara habis makan coklat?"
"Nggak boleh."
Senyum Antara pudar, "Senyum itu ibadah! kok nggak boleh!"
"Nggak boleh kalo ke orang lain. Mau ke Elang atau siapapun."
Gadis itu terdiam, coklat yang dikunyahnya pun seketika leleh saat melihat Angkasa menatapnya serius.
"Ke gue aja."
"Kenapa?"
Angkasa tersenyum, cowok itu mendekati Antara dan mengusap bekas coklat di sudut bibirnya. Jangan ditanya bagaimana Antara, gadis itu sudah grogi setengah mati. Apalagi saat Angkasa bukannya kembali menjauh tapi justru tetap di posisinya sambil menatap kedua mata gadis itu.
"Grogi?"
"Ya iyalah!" Antara mendorong cowok itu agar menjauh, sudah ia duga Angkasa hanya mengerjainya!
"Tuh kan kamu mah suka gitu!"
"Tar,"
"Apa lagi?!"
"Gue suka lo panggil gitu, jangan diganti."
"Panggil apa? kamu?" tanya gadis itu membuat Angkasa mengangguk.
"Selamat ya,"
Cowok itu bangkit dan menarik gadis itu agar ikut berdiri. "Doa lo terkabul, kayaknya gue suka sama lo."
Keterkejutan Antara membuat Angkasa tersenyum. Bahkan mereka berdua sampai tidak menyadari bahwa di ambang pintu berdiri seorang laki-laki tampan yang saat ini ikut tersenyum melihat mereka.
"Jadi ceritanya hari ini ada proklamasi?"
"Apa sih bang," Angkasa berbalik dan menutupi Antara yang masih menahan malu. "Sana masuk."
"Nggak mau dikenalin ke gue?"
"Nggak."
Antara buru-buru mengulurkan tangan dan mengabaikan Angkasa yang memang kadang suka kurang ajar.
"Antara, Kak."
"Gue Biru."
::
Nama : Antara Galista
Hobi : Mencintai Angkasa
Cita-cita : Perasaannya terbalaskan.
Setiase
Tengah hari.
Kira-kira ada yang ingin berkenalan dengan kakaknya Angkasa? Biru?
Silahkan datang ke sebelah, cerita Biru sudah dihidangkan dengan segelas es teh manis. Terimakasih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top