#10

Apakah menunggumu
akhirnya menjadi kekeliruan
yang diperbolehkan?

-setiase-

Suara pintu terbuka membuat gadis itu menoleh dan mendapati Jesi masuk ke kamarnya dengan handuk yang masih terpasang di kepala. Jesi heran sendiri saat melihat Antara masih saja duduk di depan lemari sambil membuka pintunya lebar-lebar hanya untuk melihat baju apa yang cocok dipakai hari ini. Bayangkan saja, semua pintu lemari dibuka dan dia terdiam di depannya sambil mengamati satu persatu bajunya.

"Astaga Tar, buruan udah jam berapa ini?"

"Pake baju apa enaknya?"

Jesi tengkurap di kasur Antara sambil ikut mengamati lemari, "Jangan pake rok, kan kalian nanti naik motor. Eh HP lo, Tar."

"Siapa?" Antara menoleh saat ponselnya yang berada di kasur berdering kencang. "Angkasa?"

"Iya nih, angkat cepet."

Antara buru-buru berdiri dan mendekati Jesi yang saat ini menyodorkan ponsel ke arahnya. Gadis itu menarik napas sebentar sebelum menggeser tanda hijau untuk mengangkat panggilan dari Angkasa. Tanggal berapa sekarang? catat ya, tanggal Angkasa pertama kali nelfon Antara!

"Halo?"

"Otw."

Hanya begitu lalu telefon dimatikan. Tapi satu kata yang keluar dari mulut Angkasa barusan langsung membuat Antara kelabakan dan mengambil baju secara asal sebelum berlari ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Jesi yang melihat itu hanya menggeleng tak habis pikir dan segera memasukkan dompet beserta kebutuhan lain ke dalam tas yang akan dibawa Antara.

"Sia-sia kan tadi mikir lama di depan lemari."

___

Setelah mendapat pesan dari Angkasa bahwa cowok itu sudah di depan rumahnya, Antara segera keluar setelah pamit pada Jesi yang saat ini sedang mengeringkan rambut. Gadis itu membuka gerbang dan mendapati Angkasa yang menoleh ke arahnya dengan wajah tampan seperti biasa. Gimanapun Angkasa pokoknya tetep ganteng deh di mata Antara!

"Gila lo senyam senyum?"

"Emang salah kalo mengekspresikan kegembiraan?"

Angkasa menggeleng dan segera memakai helmnya, "Buruan, keburu tutup."

"Beli dimana sih? bukannya seragam kita cuma dijual di sekolah?"

Angkasa tidak menjawab, cowok itu hanya diam dan memastikan dari kaca spion bahwa gadis di belakangnya ini sudah duduk dengan benar. Setelah Antara selesai memakai helm, ia segera menyalakan motor dan mulai meninggalkan rumah gadis itu.

"Seneng deh kalo gini terus!"

Angkasa hanya melirik dan mendapati Antara tersenyum ke arahnya, "Eh ada yang ngelirik."

"Mau turun sini?"

"Dih ngambekan," Antara terkekeh. "Kenapa nggak mau jadi pacar gue aja sih, Kas?"

"Beneran turun?"

"Coba aja kalau berani nurunin."

Dan benar saja, Angkasa dengan santai meminggirkan motor dan menghentikannya di pinggir jalan.

"Buruan turun."

"Nggak mau! kan cuma bercanda tadi!" Antara buru-buru memeluk pinggang Angkasa agar tidak dipaksa turun.

"Malah modus."

Melihat Antara hanya diam, cowok itu menggeleng heran dan kembali melajukan motornya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Bahkan ia tidak peduli pada tangan Antara yang bertengger nyaman di pinggangnya sampai ke tempat tujuan.

"Rumah siapa Kas?"

"Bu Rumi."

Antara turun dari motor dan menunggu Angkasa, "Emang bisa beli di rumahnya?"

"Bisa."

"Eh udah dateng kalian," Antara menoleh saat mendengar suara pintu dibuka bersamaan dengan Bu Rumi yang keluar.

"Ayo masuk."

Angkasa menggeleng sopan, "Di luar aja, Bu."

"Ya udah bentar ya, saya ambilin dulu pesenannya."

Bu Rumi masuk ke dalam rumah meninggalkan kedua remaja itu di teras. Angkasa pun menoleh pada Antara yang tumben-tumbenan diam saja sambil mengamati sekeliling. Baru saja Antara ingin bertanya sesuatu pada cowok itu, Bu Rumi sudah keluar dengan membawa paper bag dan rok di kedua tangannya.

"Coba dulu deh, Tar. Ini udah ibu cariin yang pinggangnya ukuran paling kecil, soalnya kan kamu langsing begitu, takut yang lain kebesaran."

Antara mengangguk, "Astaga panjang banget."

"Udah itu aja."

"Iya bener," Bu Rumi pun menyetujui saran Angkasa. "Lagian emang rok sekolah kita normalnya segini. Kamu aja nih yang emang bandel malah dipendekin."

"Kan biar bagus ibuk."

"Itu malah lebih bagus," Angkasa berdiri sambil menyerahkan selembar uang seratusan ke arah Bu Rumi.

"Makasih buk."

Wanita itu mengangguk dan memberikan paper bag pada Antara yang masih mengomel tidak jelas karena rok barunya. Angkasa pun segera mendorong pelan gadis itu agar berjalan menuju motor. Kasian kan telinganya Bu Rumi.

"Ini bisa ditukerin nggak sih?" tanya Antara pada dirinya sendiri sebelum mendongak. "Kas!"

"Apa?"

"Nggak mau ah gue!"

"Udah dibeliin juga."

"Ya udah gini, uangnya gue ganti, ini roknya gue pake pas udah selesai gue pendekin di tukang jahit, gimana?"

"Nggak."

Antara memberengut kesal, "Ayo dong Kas!"

"Mas pacar!" Antara naik ke atas motor sambil menepuk-nepuk bahu Angkasa. "Bukan gue banget ini roknya!"

"Astaga dicuekin lagi gue!"

"Kas?!"

Angkasa hanya diam dan melajukan motornya kembali ke jalan besar. Ia malas menanggapi ocehan Antara yang pasti tidak akan ada habisnya. Jadi, diam akan selalu menjadi pilihan terbaik.

"Dih untung sayang!"

Antara mengamati jalanan, "Mau kemana kita?"

"Ke sana."

"Kemana? ke KUA?" tanya Antara berniat menggoda Angkasa yang justru tidak ditanggapi sama sekali. "Aelah, berasa ngomong sama tiang bendera gue."

___

Disinilah mereka sekarang berada, berjalan bersisian di sebuah pusat perbelanjaan. Sebenarnya Angkasa sendiri tidak terlalu suka berada di antara keramaian seperti ini, tapi karena memang bundanya yang menyuruh, mau tidak mau cowok itu harus terjebak disini bersama daftar belanjaan yang lumayan panjang.

"Berasa belanja bulanan ya kita?"

Angkasa tidak menghiraukan ucapan Antara dan justru memanggil gadis itu, "Tar."

"Apa sayang?

"Tolong ini."

"Bingung kan lo," Antara tertawa sebentar sambil merebut kertas putih yang dipegang Angkasa. "Sini biar gue aja."

"Ke sana dulu aja deh, Kas."

Angkasa mengikuti saja Antara berjalan kemana. Gadis itu sesekali melihat kertas lalu tangannya bergerak memasukkan satu persatu barang ke dalam keranjang yang dibawanya.

"Sini gue bawain," Angkasa merebut keranjang tersebut dari tangan Antara.

"Jus di sebelah mana ya?"

Gadis itu berjalan ke rak sebelah sambil menenteng dua bungkus snack
yang barusan ia ambil, "Ah ketemu!"

Ia mulai berjinjit dan mengambil jus kemasan sesuai rasa yang telah dituliskan oleh bundanya Angkasa. Sedangkan Angkasa sendiri, malah sibuk mengambil gambar gadis itu dan mengirimnya ke grup percakapan.

Rafa Pada dimane?

Darel Basecamp sini

Rafa Mas Elang!

Elang ?

Rafa Nyokap masak nggak? bawain sini kek, Darel laper.

Darel Taik

Elang Otw

Arka Nah mantap, gue otw juga kalo gitu. Nganter ayang beb dulu.

Darel Beliin nasi sekalian, Ar.

Arka Aku bukan bonekamu, bisa kau suruh-suruh, dengan seenak jidatmu~

Rafa @Angkasa dimane bos? sini

Angkasa Belanja

Rafa aku tidak percaya

Rafa aku tidak melihatmu

Angkasa send a picture

Rafa CUY! SAPA TUH?!

Arka WTF! ANGKASA MULAI BERGERAK

Elang -_-

Darel Tara bukan?

Rafa HAH?! GIMANA? PAK BOS! JANGAN MENGHILANG!

Antara meletakkan barang yang ia pegang ke keranjang, membuat Angkasa mendongak dan memasukkan ponselnya ke dalam saku jaket. Gadis itu berjalan lagi dan berhenti di depan lemari pendingin, menelisik satu persatu minuman disana untuk mencari susu cair.

"Mas pacar, coba lo telfon nyokap lo dulu deh, ini yang dipesen rasa apa?"

"Ambil terserah, sama aja."

Antara melirik kesal, "Ya udah ini aja ya."

"Sini."

Setelah membayar, Angkasa menerima telfon sambil menenteng kantung belanjaan lumayan besar. Antara pun hanya memperhatikan cowok itu sampai ia memasukkan lagi ponselnya.

"Tunggu sini."

"Lo mau kemana?"

"Ke depan, nitip ini ke abang gue."

Melihat Angkasa pergi, gadis itu akhirnya memilih duduk di salah satu kursi umum. Ia mengerutkan alis saat mendapat spam dari Rafa yang menanyakan posisinya sekarang. Bahkan Arka dan Elang pun juga ikut ingin tau. Baru saja akan mengetik, panggilan masuk dari Angkasa membuatnya mengurungkan niat.

"Halo, dimana Kas?"

"Bisa keluar? gue cariin taksi."

"Loh nggak pulang barengan?"

"Gue ada urusan mendadak."

***

Jesi yang melihat gadis itu turun dari tangga seketika tertawa terbahak-bahak. Membuat Antara yang sejak tadi sibuk membetulkan posisi roknya semakin dibuat kesal. Dengan gerakan cepat, ia segera turun dan mengejar Jesi yang masih saja meneruskan tawa menyebalkannya.

"Diem nggak lo!"

"Aneh banget! udah tobat ya lo?" Jesi menghindari bantal sofa yang dilemparkan Antara.

"Gara-gara Angkasa nih!"

"Eh Tar tunggu!" Jesi menahan gerakan tangan gadis itu yang hendak memukulnya. "Gini aja, rok baru itu nggak boleh langsung dipakai lo, harus dicuci dulu. Mending lo pake yang lama, terus nanti kalau ditanya Angkasa bilang aja masih dicuci."

"Oiya! tumben pinter! gue ganti dulu kalo gitu."

Gadis itu tertawa lagi, "Makanya otak dipake mikir sista, jangan bucin mulu!"

Akhirnya Antara masih seperti yang sebelumnya, menggunakan rok setengah paha dan meninggalkan rok di atas lututnya di rumah. Tapi sebelum sampai di sekolah, gadis itu sudah takut sendiri akan bertemu Angkasa.

"Lo tumben pucet banget, Tar? Sakit ya?"

"Emang iya? Lo bawa lip tint nggak?"

"Di tas gue ada kayaknya," Jesi menyodorkan tasnya. "Oiya Tar, kemarin lo kok nggak pulang sama Angkasa?"

Antara menoleh, "Dia ada urusan mendadak."

"Urusan apa?"

"Nggak tau juga, kumpul sama anak-anak paling. Soalnya kemarin Rafa nanyain gue dimana terus lagi bareng sama Angkasa nggak, gitu."

Jesi pun hanya mengangguk dan mulai menyalip beberapa kendaraan di depannya. Sebisa mungkin harus sampai di sekolah sebelum bel berbunyi. Dia tidak mau lagi dihukum di bawah terik matahari saat rambutnya baru saja dicuci tadi malam. Kan sayang kalo nanti lepek lagi.

____


Dan benar seperti dugaan Jesi, sekarang Antara terbaring di ranjang UKS setelah bel istirahat berbunyi. Perutnya sejak tadi melilit tidak karuan. Gadis itu sudah dipaksa makan namun tetap menolak. Alhasil ia hanya meringkuk di atas sana sampai akhirnya ketiduran. Dan bangun bangun, yang dia lihat bukan Jesi namun justru Angkasa.

"Jesi mana?"

"Tuh," tunjuk Angkasa pada seorang gadis yang juga ikut tidur di ranjang sebelah.

"Elang kesini tadi?"

Angkasa terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Kenapa?"

"Dia bilang apa? Dia nggak marah kan?"

"Kenapa malah nanyain Elang?"

"Soalnya..,"

"Dia mantan Jesi, Tar." Angkasa membuka bungkusan bewarna putih yang Antara yakin adalah bubur. "Terus lo mau deket sama mantannya temen lo sendiri?"

"Bukan gitu, tapi kan.."

"Makan dulu aja."

Antara menggeleng, "Nanti aja, Kas."

"Ya udah deh, suapin ya kalo gitu."

"Yang sakit bukan tangan lo kan?" sindir Angkasa membuat gadis itu justru tersenyum.

"Galak banget sih," Antara pun duduk dan mulai makan.

"Terakhir makan kapan?"

"Kemarin pulang sekolah."

Angkasa menghembuskan nafas beratnya, "Kok bisa?"

"Lupa sayang," jawab gadis itu sambil memasukkan suapan bubur ke dalam mulutnya sendiri. "Gue niatnya mau sekalian ngajak lo makan bareng kemarin malem, eh ternyata lo nggak bisa."

"Tolong dong minum."

"Ambil sendiri."

"Kan jauh!" protes gadis itu membuat Angkasa sempat melirik tajam namun tetap membuka botol air mineral dan menyodorkannya ke arah Antara yang sedang tersenyum.

"Gue rela deh sakit tiap hari biar diperhatiin kayak gini."

"Sinting."

"Jadi yang bener aku yang sinting atau kamu aja yang penting?"

"Maag bisa mempengaruhi kerja otak ya?" tanya Angkasa membuat gadis itu tertawa dan menutup botolnya.

"Nggak bisa banget diajak romantisan dikit."

"Males."

Antara tersenyum mengejek, "Oiya, tolong kabarin Elang dong Kas. Kasih tau gue udah nggak papa."

"Tar,"

"Kenapa?"

"Nggak jadi."

"Nggak boleh! Harus jadi, mau ngomong apa?"

"Kabarin sendiri, gue tunggu diluar," Angkasa menyerahkan ponsel Antara sebelum keluar dari bilik.

Niat awalnya yang ingin menghubungi Elang pun akhirnya diurungkan. Gadis itu menyuruh Angkasa kembali masuk dan meletakkan ponselnya diatas rak sebelah ranjang.

"Udah?"

"Nggak jadi deh."

"Sorry."

Antara mengernyit bingung, "Sorry kenapa?"

"Kemaren gue tinggal."

"Ah itu, nggak papa santai aja. Lagian kan emang lo lagi ada urusan, gue kalo seandainya Jesi kenapa-napa juga bakalan mentingin temen gue."

Angkasa hanya terdiam dan mengamati Antara yang kembali melanjutkan makan. Ada sesuatu yang mengganjal dalam perasaan cowok itu, namun ia belum bisa menjelaskan secara terus terang untuk saat ini. Hanya saja, entah kenapa, ia merasa bersalah.

"Tar?"

"Kenapa? awas ya kalo nggak jadi lagi!"

"Boleh gue minta tolong?" tanya Angkasa membuat gadis itu menghentikan gerakan tangannya dan meletakkan styrofoam yang tadi ia pegang ke atas pangkuan.

"Minta tolong apa? jangan suruh bantuin kerjain matematika ya. Angkat tangan deh kalo itu."

"Bukan."

"Terus?"

Angkasa terdiam sebentar sebelum kembali menatap gadis itu. Mata setajam pisau yang dimilikinya seakan menusuk kedua netra bewarna coklat muda milik gadis itu. Mengunci pergerakan matanya agar tidak lari kemana-mana.

"Tolong jangan suka sama Elang."

::

Permintaan tolong ini apakah bagian dari rasa takutmu?

Angkasa! jangan diam saja.

-Setiase

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top