empat

Fokusnya masih tertuju pada layar ponsel yang menyala. Sudah tiga menit lamanya Septa memandangi benda pipih itu tanpa henti. Ah, sempat berhenti sebenarnya. Tapi entah kenapa seperti ada magnet yang menarik Septa untuk terus memandangi layar ponselnya. Melihat dan mengamati foto gadis cantik bernama Rania.

Septa kembali menggelengkan kepala. Berusaha menyanggah kemungkinan-kemungkinan tidak masuk akal yang masuk ke dalam pikiran. Rania-Tania? Mungkin itu hanya kebetulan saja. Umur mereka sama. Itu kebetulan yang kedua. Tapi,... Sorot mata Rania? Ah, Septa belum pernah bertemu dengan gadis cilik itu, jadi jangan mengada-ada!

"Huh..." Hembusan napas kasar lolos dari bibir merahnya.

Tak lama satu tangan melingkari pinggang Septa. Hal itu membuatnya terkejut dan reflek mematikan layar ponsel paksa. "Morning baby..." Bisik Nandeka tepat ditelinga kanan Septa.

Sempat merasa geli ssbelum akhirnya menjawab ucapan sang kekasih. "Too." Jawabnya singkat.

Bukan keadaan asing ketika mendapati Nandeka melumat bibir Septa secara tiba-tiba. Cowok yang mempunyai umur tiga tahun di atas Septa itu menghujani ciuman beruntun. Dari mulut hingga leher jenjang kekasihnya. Yang dicium hanya diam tidak nafsu membalas ciuman si lawan.

"Are you okay?" Tanya Nandeka disela adegan ciumannya.

Septa masih diam. Lalu tiba-tiba air matanya luruh begitu saja. Mulutnya bungkam hanya air mata yang mewakili semuanya. Nandeka tidak tau apa yang membuat Septa menangis. Apa mungkin ia sudah menyakitinya? "Maaf."

Nandeka menangkup wajah Septa. Membelainya sembari menatap manik berair itu. "Im sorry..."

Septa menggeleng. Dengan cepat ia menghapus air matanya lalu segera memeluk tubuh Nandeka erat. "Kamu kenapa?" Tanya Nandeka bingung.

"Biarin seperti ini. Lima menit," jawab Septa.

Apa yang terjadi pada kekasihnya? Kenapa tiba-tiba Septa mellow begini? Nandeka harus cari tau. Ia tidak suka melihat Septa seperti itu. Secara paksa Nandeka melepas pelukan Septa dan kembali menatap matanya. "Kamu kenapa?" Tanyanya sekali lagi.

Septa menggeleng lalu memeluk tubuh kekar Nandeka erat. "Aku nggak suka lihat kamu kayak gini, Dee."

Mendengar ucapan Nandeka membuat Septa melepas pelukannya. Kali ini ia benar-benar menghapus air matanya hingga tak tersisa. Tanpa berpamitan Septa mengundurkan diri dari hadapan sang kekasih. Ia menganti pakaian lalu meraih sling bag hitam yang ada di atas ranjang.

"Dee..." Panggil Nandeka berusaha mengejar Septa.

Dengan cepat cowok itu meraih tangan Septa. Menahannya agar tidak meninggalkan Nandeka. "Aku lagi pms kayaknya. Jadi jangan sampai kuku aku nancep di muka kamu."

Oh lagi PMS? Pantas saja! Nandeka mengerdikan bahu. Tak lama kemudian mendekatkan tubuh Septa lalu mengecup keningnya. "Take care. Jangan lupa kabari aku," pesannya.

Setelah mengangguk Septa langsung menghilang dari balik pintu apartemen. Di dalam lift ia berpikir mau ke mana. Septa berpikir apa yang membuatnya jadi sepeti ini? Berpikir terus berpikir sampai akhirnya ia mengirim pesan ke seseorang.

🍁🍁🍁

Mata cowok itu membulat sempurna ketika mendapati seorang cewek -yang tak asing lagi- duduk di sebelah sang Mama. Tomy menggelengkan kepala, tidak mungkin. Ia pasti sedang mimpi atau berhalusinasi. Tidak mungkin cewek itu ada di sini. Di tempat yang sama dengannya, berdampingan dengan mamanya pula.

Dilihat dari tempat Tomy berdiri, cewek berdress putih selutut itu seperti sudah akrab dengan Sang Mama. Terlihat ketika Juni mengelus rambut panjang si cewek. Demi Tuhan, jangan...

Kesadaran Tomy kembali ketika sang Mama memanggil nama dan menyuruhnya untuk mendekat. Mau tidak mau ia berjalan mendekat. Dan betapa terjekutnya si cewek ketika mendapati sang pujaan ada di sini. Apakah ini yang namanya jodoh?

Juni beranjak untuk menyambut kehadiran Tomy. Setelah adegan cium pipi kanan kiri, Juni mulai mengenalkan sang putra kehadapan juniornya. "Anja kenalin ini Tomy anak saya." Ucap Juni.

Dengan terpaksa, Tomy menjabat tangan cewek yang ada dihadapannya. "Tomy."

"Wukky Anjani." Katanya tersenyum manis.

Setelah berkenalan, Juni memersilahkan Tomy duduk. "Anjani ini salah satu dokter yang akan kerja di rumah bersalin Mama." Kata Juni mulai berbicara. Lalu selanjutnya dua wanita itu asik berbincang-bincang.

Hell, kenapa bisa Tomy terjebak dalam situasi seperti ini? Harusnya tadi ia menolak menjemput sang Mama. Harusnya tadi Tomy beralasan saja. Tapi, apa mau dikata nasi sudah menjadi bubur. Tidak bisa dirubah lagi. Dan sebenarnya Tomy fine-fine saja kalau Wukky tidak memerhatikannya. Double hell ya dari tadi cewek itu memang memerhatikannya. Tanpa henti.

"Eh bentar saya ke toilet dulu," pamit Juni lalu pergi dari hadapan Tomy dan Wukky.

Jang- sialan! Sekarang cewek itu tersenyum manis ke arahnya. "Jujur gue seneng deh bisa ketemu sama lo lagi." Katanya tersipu.

Tomy hanya membalasnya dengan senyuman tipis. Tipis sekali sampai tidak kentara kalau ia tersenyum. Tapi, tidak apa-apa senyuman itu sudah bisa membuat Wukky melambung ke langit tertinggi. Terbukti dengan jantungnya yang sekarang berdetak puluhan kali lebih cepat. "Elah kenapa sih jantung gua." Batinnya sembari memegang dada.

Sementara Tomy, cowok itu tidak habis pikir. Ternyata ada juga ya dokter model Wukky-Wukky ini. Memang di depan Juni, cewek itu bisa bertingkah layaknya orang normal. Sopan, lemah lembut, pokoknya berbanding terbalik saat berhadapan dengan Tomy. Lagipula Tomy baru tau kalau dokter boleh bertatoo. Ia benar-benar tidak menyangka.

"Tapi, lo Tomy atau kembarannya?" Ucap Wukky.

"Gue gak punya kembaran," Jawab Tomy enteng.

Mata Wukky melebar sempurna. Kan benar apa dugaannya, cowok yang kemarin ditemuinya itu Tomy bukan jelmaan atau kembarannya. Sial, Wukky merasa tertipu. Tapi, tidak bisa berbuat apa-apa. Jadilah ia hanya diam dan menerima kenyataan.

"Padahal gue kemaren mau bikin tatoo baru."

Malas mendengar omongan Wukky, Tomy lebih memilih memainkan ponsel. Ia membuka sosial media dan boom. Berita tentang Septa memenuhi explore Insagramnya. Tomy menyergitkan kening. Demi Tuhan... Apa benar itu Septa?

Tomy membuka akun milik Septa. Hasilnya nihil tidak ada apa-apa. Lalu apa mungkin itu berita hoax? Ah tapi, tidak mungkin. Tomy menggelengkan kepala membuat Wukky penasaran. "Lo sehat?" Tanya cewek itu sekali.

Tomy masih fokus membaca caption salah satu akun gossip online. Ya Tuhan... Kenapa ia baru tau sekarang? Kemana saja semalaman. Lalu sekarang bagaimana keadaan Septa? Pasti ia tertekan. "Eh coba gue cek lo. Kayaknya lo tidak sedang baik-baik saja." Ucap Wukky beranjak mendekat ke arah Tomy.

Wukky mengulurkan tangannya untuk mengecek kadar panas kening Tomy. Dan sekarang jantungnya berdebar ribuan kali lebih cepat. "Mampus. Adem panas dah gua ntar malem."

"Gue cek ya?" Tanya Wukky.

Tangan cewek itu semakin mendekat ke kening Tomy. Dan dalam hitungan detik mungkin ia sudah bisa mendaratkan tangannya. Tapi, si cowok sudah lebih dulu menyadarinya. "Ngapain lo?" Tanya Tomy.

Mampus! Wukky nyengir kuda sesaat. "Gue mau ngecek lo."

Dahi Tomy berkerut. "Lah emang gue kenapa?"

Kali ini Wukky tersenyum malu. Ia tidak tau harus menjawab apa. Cewek itu masih tersenyum bahkan ketika Juni kembali dari toilet. "Anja mau ke mana?"

"Enggak ke mana-mana Dok." Jawabnya kembali duduk.

Mereka berdua kembali larut dalam obrolan ringan. Tapi, tidak Tomy. Cowok itu terus membaca gossip tentang Septa. Sampai satu pesan masuk membuatnya pamit undur diri.

"Ma, Tomy pergi dulu. Nanti Mama pulang aku pesenin Grab atau-"

"Nanti pulang bareng saya aja Dok." Sahut Wukky cepat.

Tomy mengangguk setuju. Setelah membuat kesepakatan, akhirnya cowok itu pergi meninggalkan Juni dan Wukky.

🍁🍁🍁

Kurang lebih setengah jam untuk Tomy bisa kembali lagi memarkirkan mobilnya di halaman panti. Ya, ia kembali ke sini lagi. Tapi, tidak sendiri karena ada seorang cewek yang menemani.

"Gue tunggu di sini aja ya?" Ucap Septa duduk manis dikursi penumpang.

"Ikut turun-"

"Abis ini kan kita langsung pergi," potong Septa cepat.

Tomy mengerdikan bahu mengalah. Setelah kepergian Tomy, Septa kembali sendiri dan terdiam. Ia tak bisa menyembunyikan debaran jantungnya. Disamping itu rasa antusias juga ada.

Tidak ada lima menit, Tomy kembali. Di balik kaca mobil, Septa bisa melihat Tomy sedang mengendong seorang gadis cilik berambut panjang dikepang dua. Seulas senyum terbit dari bibir merah Septa. "Rania." Ucapnya tanpa sadar.

*toktoktok*

Terdengar ketukan kaca mobil. Reflek Septa langsung menoleh dan membukanya. Saat itu juga mata Septa bertemu dengan manik Rania. Rasanya... "Hallo Kak Septa namaku Rania." Ucap Tomy mengenalkan.

Septa tersadar lalu membuka pintu mobil. "Hai Rania." Sapanya mengelus pipi Rania.

Belum sempat meraih pipi Rania, gadis berusia enam tahun itu langsung buang muka. Sontak membuat tangan Septa terkepal. Ia kecewa, tapi, tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk itu Septa mengurungkan niatnya.

Melihat ekspresi kecewa Septa membuat Tomy merasa bersalah. Lagian kenapa pula si Rania ini? Kenapa ia seperti tak mau berkenalan dengan Septa? "Rania sayang kenalin ini Kakak Sep-"

"Ayah katanya kita mau jalan-jalan? Aku mau jalan-jalan sekarang." Ucap gadis kecil itu.

Ayah? Batin Septa.

Tomy menganggukan kepala. "Iya kita jalan-jalan ya? Tapi, sama kak Septa jug-"

Dengan cepat Rania menatap Tomy sembari menggelengkan kepala. "Gak mau. Rara mau jalan-jalan berdua sama Ayah aja." Katanya.

Jawaban Rania berhasil membuat Septa ternganga. Kenapa? Kenapa Rania seakan menolak kehadiranya?

Apa ada yang salah dari diri Septa?

#sasaji

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top