🕊️1
Apa itu Warna?
Seharusnya Noe tidak perlu memikirkannya. Sudah sejak lama, sejak Noe berhenti untuk menanyakannya. Noe berdiri dari kursinya. Mengambil tongkat yang selalu menjadi temannya dalam diam.
"Mau kemana Noe?" Tanya seseorang yang dikenalnya.
"Hanya berjalan-jalan." Seru Noe, menatap ke arah belakang dengan senyuman tipisnya.
"Hati-hati. Bunyikan lonceng kalau butuh bantuan." Serunya dengan lembut, Noe hanya mengangguk dan berjalan menjauh dari sana. Membuka pintu dengan mudah dan menutupnya. Meninggalkan wanita yang selalu bersamanya, meksipun Noe tidak bisa melihat dimanakah dirinya berada.
Sudah bertahun-tahun, Noe tinggal di sini. Di rumah untuk berkebutuhan Khusus.
Orang itu adalah Suster, perawat dari anak-anak Tunanetra. Dan dirinya termasuk di dalamnya, Noe menderita Buta Permanen sejak lahir. Sejak Noe di buang oleh orangtuanya saat masih bayi. Mereka memungut Noe dan merawatnya dengan kasih sayang, padahal mereka bisa saja membuang Noe. Noe selalu hidup dalam kegelapan. Dan bertanya berkali-kali, Apa itu Warna? Seperti apakah Warna?
Namun jawaban dari semuanya selalu sama. Suatu hari nanti Noe akan bisa merasakannya.
Kapan?
Hingga Noe berhenti untuk menanyakannya. Hal yang sudah pasti. Noe selamanya tidak akan bisa melihat Warna, Hanya kegelapan dimana-mana. Tidak ada siapapun, Noe bahkan tidak akan bisa melihat dirinya sendiri. Seperti apa rupanya?
Banyak yang mengatakan bahwa Noe sangat Tampan. Namun, Noe tidak bisa melihatnya. Seperti apa Tampan itu? Noe hanya bisa membayangkan semua khayalan dan imajinasi di dalam pemikirannya. Tanpa bisa untuk melihat yang sebenarnya.
Berhalusinasi.
Apa yang bisa Noe lakukan? Selain berimajinasi akan hal yang ingin di ketahui-nya?
.
.
.
.
.
Noe berjalan ke luar rumah, disini Noe hafal sekali lokasinya bahkan tanpa memakai Tongkat penunjuk Arahnya. Dari arah rumah, ada sebuah taman besar mengelilinginya. Noe berjalan ke arah taman. Menikmati udara hangat menyapa kulitnya, Suara rumput yang bergesekan dengan suara langkah kakinya. Seperti apa Matahari di atas sana?
Berhenti memikirkannya Noe.
"Eh Noe? Kau berjalan-jalan lagi?" Tanya seseorang yang juga merupakan Tunanetra dari tempatnya. Noe hanya bisa tersenyum, meksipun Noe tau dia juga tidak bisa melihatnya.
"Iya, aku ingin merasakan sinar matahari." Seru Noe.
"Iya, hangat sekali. Andaikan aku bisa melihatnya hehe." Serunya tertawa, Noe hanya bergumam pelan. Menikmati udara hangat, yang mengeser pelan rambut putih pendeknya, Rasanya sangat Nyaman.
Andaikan...
"Bukankah sebentar lagi kau akan keluar, Nikmati sisa harimu Johann." Seru Noe lagi. Johann adalah Tunanetra, dia kehilangan penglihatan saat kecelakaan. Dan perlahan-lahan, penglihatannya mulai kembali.
Sebentar lagi Johann akan pergi dari Rumah Penampungan ini.
"Aku tidak akan melupakanmu, Noe! Kuharap suatu hari nanti kau juga akan menemukan kebahagiaanmu!" Serunya lagi.
Langkahnya menjauh pergi.
Noe hanya diam, dan perlahan berjalan lagi kali ini di pinggiran Rumah ada sebuah sungai kecil, suara air yang terdengar begitu menenangkan. Noe berhenti di depan sebuah aliran sungai, Percikan air menyapu lembut kaki Noe. Noe menunduk, dan mengarahkan jemarinya ke arah Air sungai yang segar. Noe mengerjapkan matanya, dan melihat lagi...Hanya Kegelapan.
"Kebahagiaan?" Gumam Noe, disini. Berada disini selama bertahun-tahun lamanya, Noe tau. Kalau selamanya Noe tidak akan bisa lepas dari tempat ini. Ataupun dari Penyakitnya. Noe terkena Cacat mata sejak lahir, matanya kehilangan saraf yang berfungsi untuk penglihatan.
Dan Noe tidak pernah bisa menggunakan matanya. Matanya hanya sebagai hiasan, Hiasan yang tidak berguna.
Noe memegangi wajahnya, membayangkan dirinya akan berekspresi seperti apa.
Apakah dirinya tersenyum?
Apakah dirinya sedih?
Atau..dirinya tidak berekspresi apa-apa?
Entahlah..Noe tidak harus memikirkan semua itu, Noe sudah tau. Kalau sejak awal, Noe tidak akan pernah sembuh.
Tak!
Tak!
Noe berjalan menjauh dari sana, mengarahkan tongkatnya, menyentuh pelan kelopak bunga yang tumbuh sembarangan. Seakan menghitung bunga liar yang tumbuh di sekitarannya.
Rumah Penampungan ini terletak di pinggiran kota, sangat jauh dan terpencil.
Cocok untuk seseorang dengan gangguan penglihatan disana. Membuat seseorang berhenti untuk bermimpi, Hiduplah seperti seorang Tunanetra pada umumnya. Dan tidak akan merusak pemandangan oleh orang-orang yang melihatnya. Seorang yang Berpenyakitan.
Suara kuas terdengar, saling bersahut-sahutan. Menyentuh lapisan dengan lembut, dan terhenti lagi. Noe tetap berjalan, mengabaikannya. Hingga sebuah suara yang tidak dikenalnya terdengar. Seolah memanggil dirinya--dalam kegelapan yang pekat. Suaranya lembutnya yang menggema dalam ingatannya.
"Matamu indah sekali." Puji suara seorang lelaki. Lelaki yang sama sekali tidak dikenalinya.
"Siapa?" Tanya Noe berbalik ke arah sumber suara. Wajah tampan dengan mata kosong yang berwarna merah.
Sosok itu tersenyum disana, di balik sebuah kanvas yang ada di depannya. Memegangi sebuah kuas di tangan kanannya dengan senyuman tipisnya yang manis.
"Aku Vanitas. Hanya Pelukis Pengelana yang mencari sebuah Objek untuk di lukiskan." Seru lelaki berusia 20 tahun itu, sama dengan Noe. Rambut hitamnya yang perlahan tergerai indah.
Vanitas. Nama yang Asing.
Terlalu asing untuk dikenali, Terlalu asing untuk di sebutkan.
"Vanitas?" ulang Noe. Dengan wajah datarnya, Sebenarnya jarang sekali orang asing disini.
Kling!
Suara anting yang terdengar khas. Vanitas berdiri, mendekat pada Sosok Noe di hadapannya.
Vanitas mengarahkan tangan kirinya, mengusap kedua sisi wajah Noe yang datar. Mata merahnya yang begitu indah, dipadukan dengan rambut putih mempesona. Begitu indah.
"Matamu begitu Indah. Sama seperti mataku yang bersinar dengan warna kebiruan." Seru Vanitas menatap Noe di dalam matanya yang berwarna biru.
Seperti Permata.
"Noe..Bisakah aku melukismu?" Tanya Vanitas tersenyum tipis.
Noe hanya diam disana, terlalu terkejut dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Vanitas. Oleh orang yang baru di temui-nya.
Itulah pertemuan pertamanya dengan Vanitas, Pelukis Manusia aneh yang mendekatinya. Dikala semua orang menjauh darinya.
Atau pantaskah ini disebut sebagai Bagian dari Takdir?
.
.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top