Chapter 10
Pos 0-8, Hutan Titan, Sektor 0, Dunia R'lyeh.
17 September 2035.
0700.
"Akhirnya... Selesai juga..." Letnan Jaka meregangkan badannya yang pegal.
Dia baru saja pulang kembali ke Pos 0-8 dan dia sudah dipaksa menulis laporan penuh mengenai pertempuran di Benteng Elfdom... Birokrasi brengsek! Jaka menggeram dengan kesal, setidaknya dia bisa tidur sekarang.
"Baiklah, ini tinggal di tekan 'Enter'... Fuuhh.... Aku bisa tidur." Jaka tersenyum senang dan menutup Laptop yang dia gunakan untuk menulis laporan.
Dia lalu berjalan ke matras yang ada di tendanya dan langsung tidur di sana, lengkap dengan rompi anti peluru yang belum dia lepas sama sekali. Akan butuh waktu yang lama untuk Jaka kembali seperti semula.
....
.....
Miriel merapikan poninya yang sedikit berantakan, dia saat ini bersama dengan delegasi dari Elfdom tengah menuju ke Pos 0-8, tempat para manusia berada. Dia melihag Melian yang ada di sampingnya menunggangi seekor Moose atau Rusa Besar, Moose merupakan salah satu kendaraan utama untuk berpergian bagi bangsa Elfdom.
"Kak, apa tidak apa-apa kita mendatangi mereka sehari setelah pertempuran?" Tanya Miriel kepada kakaknya.
Melian menatap Miriel dengan senyuman. "Kenapa tiba-tiba hmm? Bukannya kamu yang paling semangat untuk datang ke pemukiman manusia ini?"
"K-Kamu juga kan semangat kayak aku!" Miriel tersipu malu.
"Aku bisa menyembunyikan nya dengan baik, dik kecil~" Melian menjulurkan lidahnya dengan mengejek.
"Guhhh...!" Miriel memalingkan wajahnya.
"Anak-anak, jaga sikap saat sampai di Pemukiman manusia nanti, oke?" Henrietta yang ada dibelakang memperingatkan mereka.
"Baiklah Nek." Mereka berdua menjawab dengan bersamaan.
Henrietta lalu melihat ke kanannya dan terdapat Otto Lingenfelter, sang Overseer pemimpin Elfdom, yang merupakan cucunya juga. Otto nampak memasang wajah santai, namun Henrietta tahu di balik wajah santai itu terdapat seorang maniak yang sedang memikirkan beberapa rencana.
"Otto... Menurutmu apakah mereka akan menyambut kita?" Tanya Henrietta.
"Tentu saja Nenek, kita menyelamatkan pasukan mereka kemarin, akan sangat luar biasa angkuh jikalau mereka menolak kita." Balas Otto dengan enteng.
"Hmph, kau dan sifat sombong mu itu benar-benar berasal dari Ayah mu.... Dan juga, kenapa kau membawa itu?" Henrietta menunjuk ke belakang.
Yang ditunjuk oleh Henrietta adalah beberapa ekor mahluk aneh. Mahluk tersebut memiliki ukuran seperti sapi dewasa, memiliki bulu layaknya ayam namun berwana coklat, dua tanduk berwarna merah hitam menghiasi kepala layaknya mahkota.
Mahluk atau hewan itu adalah Bovic, atau nama panjangnya Bovicapra gallinata. Bovic ini adalah hewan ternak yang menjadi tulang punggung pangan untuk masyarakat Elfdom. Memiliki daging yang lezat ketika dipanggang, mempunyai susu yang kaya akan manfaat dan mempunyai telur. Makanya itu masyarakat Elfdom tidak lagi memelihara ayam, sapi ataupun kambing, Bovic telah menyelesaikan masalah itu dan kini hewan-hewan yang dimaksud sebelumnya hanya eksis sebagai hewan peliharaan.
"Hadiah tentunya, aku tidak tahu budaya Manusia secara menyeluruh dan informasi dari mu juga pasti sudah ketinggalan jaman... Tapi aku tahu orang akan suka kalau diberi hadiah, baik Manusia atau tidak." Kata Otto menjelaskan logikanya.
"Masuk akal, kau sudah Berkembang Otto." Ucap Henrietta menganggukkan kepalanya.
"Tuan Overseer! Pemukiman manusia terlihat!" Salah satu prajurit Elfdom melapor dari bagian depan formasi.
Benar saja, mereka melihat sebuah tembok tinggi terbuat dari kayu Hutan dan terdapat dua kendaraan yang dipakai oleh kelompok Letnan Jaka di pertempuran kemarin. Saat kelompok Elfdom memasuki jarak pandang penjaga di depan, suara keras terdengar.
"Berhenti di sana! Ini adalah area yang dilindungi oleh Tentara Nasional Indonesia! Siapa kalian dan apa tujuan kalian?!" Penjaga itu berteriak dari atas kendaraan.
Overseer Otto berdehem lalu merapalkan mantra angin agar suaranya dapat terdengar lebih keras. "Kami adalah para Elf dari Silverhaven, kami berniat melakukan pembicaraan diplomatis dengan pemimpin kalian!"
Tidak ada respon selama beberapa menit sebelum akhirnya penjaga yang tadi membalas. "Silahkan masuk melalui pintu depan!"
Rombongan Elf pun melihat gerbang kayu tersebut terbuka dan mereka langsung berjalan memasukinya. Di dalam mereka dapat melihat lumayan banyak bangunan yang terbuat dari kayu dan lebih banyak kendaraan terbuat dari besi. Miriel dan Melian sendiri nampak sangat semangat berada di pemukiman Manusia, karena selama ini mereka mengira manusia itu hanya kisah dari masa lalu.
"Banyak sekali manusia." Gumam salah satu prajurit Elfdom yang tidak berpartisipasi di Pertempuran kemarin.
"Semuanya, jaga sikap kalian, disini martabat Elfdom dipertaruhkan." Ucap Otto dengan serius.
Mereka semua mengerti maksud dari sang Overseer, mereka pun memasang wajah serius mereka dan menunggu seseorang untuk menjemput mereka menemui pemimpin Manusia.
Saat menunggu, Henrietta memikirkan manusia yang menarik perhatiannya, Jaka, apakah disini dia ditugaskan? Tanya Henrietta dalam pikirannya penuh penasaran. Tak selang lama, sebuah kendaraan yang jikalau Henrietta ingat-ingat, bernama Komodo?
Sosok pria pun keluar dari kendaraan Komodo itu, Henrietta mengenalinya sebagai Sersan Mayor Joshua, tangan kanan dari Letnan Jaka.
"Maaf kami membuat kalian menunggu, kedatangan kalian sedikit membuat pemimpin kami terkejut." Kata Joshua tersenyum kikuk.
"Tidak apa-apa, kami adalah orang yang penyabar." Kata Otto yang tidak terlalu mempermasalahkan nya, salah mereka juga sih tidak memberi kabar akan datang kemari.
"Kalau begitu ayo, Mayor Joko dan Jenderal Bima telah menunggu kalian semua." Joshua lalu kembali naik ke kendaraannya.
Mereka pun berangkat ke Pusat Komando Pos 0-8, sepanjang perjalanan mereka dilihati oleh para prajurit Indonesia yang menghuni Markas militer yang mereka kira sebagai pemukiman ini. Para prajurit Indonesia juga sangat penasaran akan penduduk lokal ini karena fisik mereka yang luar biasa besar, kendaraan mereka yang berupa Rusa Besar atau lebih dikenal luas sebagai Moose dan juga cara berpakaian mereka.
"Anjir, gua kirain Elf bakal cuman pakai sehelai kain doang."
"Iya njir, kayaknya ini Dunia Fantasi gak sama kayak yang biasa kita ketahui deh."
"Gua gak peduli apa yang kalian bilang, mereka semua terlihat stylish."
"Kau bilang gitu gara-gara kau lulusan Tata Busana, tapi aku lebih penasaran sihir apa yang mereka bisa."
"Emang mereka bisa sihir?"
"Aku menanyai salah satu personel dari Peleton Hasanuddin, mereka bilang sihir yang dapat digunakan para Elf sangat luar biasa."
"Bukannya itu membuat mereka semacam.... Senjata atau WMD berjalan?"
"Iya juga ya..."
Percakapan tersebut terdengar oleh Henrietta, Miriel, Melian dan Otto. Henrietta tersenyum kecil. "Nampaknya kita cukup terkenal di antara mereka, eh?"
"Benar Nek, soalnya kata Praka Wildan, di dunia mereka tidak ada Ras lain selain Manusia, jadi mereka melihat kita seperti mahluk dari Legenda." Ucap Melian yang mengingat percakapannya dengan Wildan, pengemudi Letnan Jaka.
"Dan bagi kita ini hal yang sama, kita sangat jarang melakukan kontak dengan Ras lain selain Animalia, Sekarang pun Kerajaan Animalia menjadi isolasionis semenjak Raja lama mereka mati. Pedagang Manusia pun terakhir kali datang 13 tahun yang lalu." Kata Otto mengingat apa yang menyebabkan Silverhaven jarang bertemu dengan Ras lain.
"Leonid, dia adalah Raja yang baik dan bijaksana, teman mabuk yang baik juga." Henrietta menganggukkan kepalanya.
"Nek, apa boleh kami tidak berpartisipasi dengan pertemuan dengan Pemimpin manusia? Aku ingin berbicara dengan yang lain lebih banyak lagi." Kata Miriel dengan nada memohon.
"Tentu saja Anak manis, asalkan kau terus bersama Melian dan tidak membuat masalah bagi para Manusia." Ucap Henrietta sambil tersenyum.
"Terimakasih Nek! Ayo kak Mel, kita cari Wildan!" Ucap Miriel dengan semangat.
"Aku sudah menandai dirinya, dia ada di sana." Kedua Saudari ini pun langsung bergegas menuju salah satu bangunan.
"Mereka nampaknya bersenang-senang." Komen Otto melihat kepergian mereka berdua.
"Tentu saja, Kau harus belajar itu sekali-sekali, Otto, tidak akan ada wanita yang menyukai mu jikalau terus-terusan fokus akan pekerjaan." Kata Henrietta menepuk pundak Otto.
Otto hanya diam saja dan tidak menanggapi perkataan Neneknya, membuat Henrietta menghela nafas cukup panjang. Mereka pun akhirnya sampai di depan Pusat Komando. Di sana sudah ada tiga orang yang para Elf duga adalah pemimpin dari Manusia disini.
Yang satunya sebagian Elf kenal, dia adalah Letnan Jaka yang nampaknya lemas dan sedikit pucat, disampingnya terdapat Manusia berkelamin laki-laki yang terlihat cukup tua dengan pakaian mirip prajurit lainnya, bedanya adalah dia tidak memakai zirah di bagian depan seperti yang Jaka dan anak buahnya gunakan.
"Tuan Jaka, senang bisa bertemu kembali." Otto memulai dengan senyumannya.
Jaka membalas dengan sedikit dipaksakan. "Senang bertemu dengan anda juga, Tuan Overseer... Perkenalkan yang di samping saya ini adalah Jenderal Bima Sakti, pemimpin semua prajurit Indonesia yang ada di Dunia kalian."
Otto dan Henrietta melihat si Manusia tua menganggukkan kepalanya. Jaka pun lanjut berkata. "Di samping Pak Bima sendiri adalah Mayor Joko, pemimpin Pos 0-8 ini.'
Mayor Joko yang memakai baret merah juga hanya menganggukkan kepalanya.
"Kalau begitu giliran kami, nama ku adalah Otto Lingenfelter, Overseer dari Elfdom generasi kali ini. Di samping ku adalah Henrietta Lingenfelter, Elf paling tua yang ada di Elfdom." Kata Otto memperkenalkan dirinya dan Henrietta.
"Senang bertemu dengan anda Pak Otto, semoga hubungan antara Ras kita bisa berlangsung dengan baik." Ucap Jenderal Bima menjulurkan tangannya.
Otto menjabat tangan Jenderal Bima. "Tentu Jenderal, aku harap kita dapat menjalin hubungan yang harmonis."
"Mari masuk ke dalam, lebih enak bicara sambil duduk dan minum." Kata Jenderal Bima mengisyaratkan untuk para delegasi masuk ke Pusat Komando.
"Tentu, kalian semua tetap disini dan jaga sikap, jangan buat malu ras kita." Ucap Otto menatap tajam prajurit yang mengawal mereka."
"Dimengerti!"
Otto dan Henrietta pun ikut masuk ke dalam Pusat Komando, sedangkan prajurit-prajurit Elfdom yang menjadi pengawal mulai membongkar barang-barang yang mereka bawa dan mengikat Rusa Besar mereka, untung saja masing-masing dari mereka membawa sebuah tongkat kayu untuk mengikat para Moose.
Motorpool Alpha, Pos 0-8.
0900.
Miriel dan Melian berjalan sampai akhirnya sampai di tempat yang salah satu manusia panggil 'Motorpool', nama yang sedikit aneh untum tempat menaruh kendaraan mereka namun Miriel dan Melian tidak terlalu memikirkan nya. Saat masuk mereka bisa melihat deretan kendaraan yang diorganisir sesuai jenisnya dan ada cukup banyak kendaraan disini.
"Dimana kita bisa menemui Wildan?" Tanya Miriel cukup frustasi.
"Bagaimana kalau kita tanya mereka?" Melian menunjuk ke sebuah 'Anoa' yang terdapat banyak orang sedang mencuci kendaraan tersebut.
"Boleh juga tuh Kak, biar aku yang tanya." Miriel jalan mendekati mereka.
Salah satu dari mereka nampak menyadari kehadiran Miriel dan langsung bilang. "Eh cuk, lihat ada Elf."
Mereka sontak langsung melihat kearah Miriel yang tersipu malu dilihat oleh banyak laki-laki. Salah satu dari mereka yang memiliki rambut cepak nampak bertanya ke Miriel. "Butuh apa ya dek?"
"Oh umm... Saya ingin bertanya, arah tempat Praka Wildan dimana ya?" Tanya Miriel.
"Wildan... Yang mana ya?" Tanya prajurit tersebut kebingungan.
"Huh? Kalian tidak tahu dia? Tidak terlalu tinggi, gak terlalu ganteng dan mengendarai kendaraan yang sama kayak kalian." Ucap Miriel sambil merengut.
"Dengar ya dek, di Pos ini aja udah ada 8 orang yang namanya Wildan, belum lagi sama yang ada di Pos ataupun FOB Garuda, jadi kamu harus lebih sedikit... Spesifik." Prajurit tersebut berkata sambil menyilangkan tangannya.
Melian lalu datang dan menepuk pundak adiknya. "Yang adik saya ini maksud adalah Wildan yang dibawah pimpinan Letnan Jaka."
"Ohoooo.... Wildan Wibu, itu noh di deretan Ke-17, ada nomornya di atas atapnya." Kata si prajurit menunjukkan arah.
"Terimakasih tuan, terima ini sebagai imbalan." Melian memberi prajurit itu tiga batu berwarna biru.
Prajurit tersebut nampak bingung namun belum sempat si Prajurit meminta penjelasan, Miriel dan Melian telah pergi menuju ke tempat Wildan.
Wildan sendiri sedang menyiram Anoa yang menjadi kendaraan nya, saat dia akan menaruh selang air, dia dikejutkan wajah Miriel yang muncul sangat dekat dengan wajahnya, membuat Wildan kaget dan terpleset. Namun sebelum kepala Wildan terbentur ke lantai yang terbuat dari semen, dia ditangkap oleh Melian. Bagaimana Wildan tahu? Tidak sulit untuk melupakan wajah cantik Melian dan rambutnya yang terurai itu.
"Hati-hati, Wildan." Melian tersenyum manis.
"Uhhhuh Melian, kenapa kau dan Miriel ada disini?" Wildan bertanya dengan heran.
Melian menarik Wildan agar bisa berdiri dengan baik dan memastikan dia seimbang. Miriel tertawa kikuk. "Maaf membuatmu kaget, Wildan."
"Tidak apa-apa... Tunggu, kenapa kalian bisa ada disini? Bersama siapa kalian?" Tanya Wildan yang baru sadar kalau Miriel dan Melian benar-benar ada di Pos 0-8.
Kedua saudari itu melihat satu sama lain sebelum akhirnya Melian menjawab. "Kami kemari bersama Overseer untuk membicarakan hubungan diplomatik antara Elfdom dan kalian, Manusia, setidaknya itu yang aku dengarkan."
"Begitu... Kenapa kalian tidak bersama Nyonya Henrietta ataupun... Si Overseer ini?" Tanya Wildan penasaran.
"Kami berdua tidak suka Politik, jadi kami pikir akan lebih baik kalau kami mencari informasi pada mu." Kata Miriel.
"Begitu... Haha, aku juga kurang menyukai Politik." Wildan tertawa kecil.
"Ngomong-ngomong, mau aku berikan tur pada Pos ini? Walaupun terpencil dari FOB Garuda, Pos 0-8 memiliki fasilitas paling lengkap di R'lyeh." Ucap Wildan dengan cukup bangga.
"R'lyeh... Apa itu?" Tanya Miriel dengan aneh.
"Iya, aku sempat mendengar saat di Benteng beberapa prajurit kalian mengucapkan kata 'R'lyeh', aku saat itu tidak mempertanyakan karena sibuk... Jadi Wildan, bisa tolong beritahu kami arti 'R'lyeh'?" Melian berkata dengan matanya yang seolah-olah bersinar.
"Hmm.. Aku tidak tahu kisah lengkapnya bagaimana, tapi itu adalah nama yang diberikan Ilmuwan dan para Peneliti dari Negara kami untuk Dunia kalian, selain itu juga, R'lyeh merupakan nama sebuah kota yang lama hilang dan hanya dianggap Mitos." Jawab Wildan mencoba mengingat apa saja yang diberitahukan kepada dirinya.
"Jadi itu nama yang kalian berikan pada kami.. . Menarik, tapi Kota yang hilang? Boleh ceritakan lebih lanjut?" Melian yang selalu haus akan pengetahuan langsung bertanya.
"Baahhhh... Ayolah Kak, kita disini untuk melihat-lihat, bukan Belajar lagi." Miriel mengerang dengan keras.
"Pengetahuan adalah-"
"-kekuatan, Iya, kamu sudah mengulangi pernyataan itu berkali-kali sepanjang Abad ini, Kak." Miriel memotong perkataan Melian yang alisnya berkedut.
"Nona-nona, kumohon jangan bertengkar, aku akan jelaskan sambil memberi kalian Tur." Wildan dengan cepat mematikan api pertikaian antara kedua saudari ini.
"Baiklah kalau kau berkata demikian, Wildan." Melian, yang paling dewasa pun menganggukkan kepalanya.
Miriel memasang wajah cemberut tapi kembali tersenyum dan menggandeng tangan kanan Wildan, Melian juga tidak ingin kalah dan menggandeng tangan kiri Wildan. Sekarang Wildan keluar dengan muka menahan malu dan dua wanita cantik di kiri serta kanannya. Hal ini menarik banyak perhatian tentunya, banyak tatapan iri dan respect yang diberikan kepada Wildan.
Yang iri adalah prajurit muda yang tidak memiliki pasangan dan yang respect adalah prajurit-prajurit senior yang sudah biasa digandeng banyak wanita.
"Hey Wildan brengsek! Siapa yang akan mencuci ini semua hah?!" Denis keluar dari belakang Anoa dengan kesal.
"Minta tolong dulu, Den! Nanti aku traktir!" Teriak Wildan.
"Anjing emang tuh anak." Denis mengumpat sebelum akhirnya lanjut mencuci Anoa milik Peleton mereka.
..
....
.....
Pusat Komando, Pos 0-8, Sektor 0, Dunia R'lyeh.
2230.
"Alhamdulillah kelar juga rapatnya." Jaka yang hampir ketiduran sepanjang rapat meregangkan badannya yang tegang dan keram.
"Maafkan kami Jaka, karena harus memaksa diri kamu sampai selarut ini, aku janji akan memberi kamu dan peleton mu liburan selama tiga hari penuh, soal laporan akan aku tunggu revisinya nanti." Jenderal Bima berkata.
"Lah... Harus ada revisi?" Jaka yang sudah terlalu mengantuk, secara tidak sengaja bicara dengan sembarangan.
Jenderal Bima hanya tersenyum kecil sedangkan Mayor Joko hanya menggelengkan kepalanya.
"Benar Jaka, ada Revisi karena jujur saja, Bahasa Indonesia mu itu jelek sekali untuk orang Indonesia." Komen Jenderal Bima sambil menyilangkan tangannya.
Jaka meringis, mendengar itu langsung dari atasannya benar-benar menohok hatinya, bukan salah dirinya kalau Grammar itu sangat sulit! Apalagi format untuk menulis Laporan sangatlah ribet dan otak Jaka yang sudah penuh kapasitasnya tidak dapat secata penuh digunakan.
"Aku pastikan revisi itu akan segera tiba di Komputer anda, Pak." Kata Jaka dengan lesu.
"Silahkan istirahat." Bima berkata.
Atas izin dari atasannya, Jaka berbalik dan langsung berjalan ke kamar pribadinya. Jenderal Bima sendiri langsung melihat beberapa kertas yang merupakan 'Perjanjian R'lyeh : Pakta 1'.
"Anda tidak curiga pada mereka, pak?" Tanya Mayor Joko dengan penasaran.
"Hmm tidak terlalu, tapi kita harus tetap berpikir secara terbuka dan menunjukkan sifat terbaik kita kepada mereka, buat Kontak Pertama tanpa darah yang ditumpahkan baik itu dari pihak kita atau mereka." Kata Jenderal Bima dengan serius.
"Heh... Jadi perjanjian ini hanya yang pertama?" Yang Mayor Joko maksud itu adalah beberapa kertas yang merupakan 'Perjanjian R'lyeh : Pakta 1'.
"Pertama dari sekian banyak lagi yang akan mendatang, aku berpikir ini akan menjadi awal kerjasama yang baik dan kooperatif." Jenderal Bima tersenyum tipis.
Perjanjian R'lyeh : Pakta 1 ini berisi, antara lain :
-Elfdom mengakui secara sadar dan ikhlas memberikan Benteng di Utara Hutan Titan tempat pertempuran melawan pasukan besar 'Dreamweaver' kepada Republik Indonesia untuk keperluan baik Militer ataupun Penelitian.
-Elfdom dan Republik Indonesia menandatangani perjanjian Non-Agresi, masing-masing Aset Militer kedua Negara tidak boleh mendekati perbatasan masing-masing negara sejauh 20 kilometer.
-Pengukuhan Wilayah Republik Indonesia di dunia R'lyeh, secara resmi ukuran wilayah yang Republik Indonesia klaim sebagai wilayah kedaulatan mereka adalah 72.981 KM² atau seluas wilayah Sumatera Utara.
-Pedagang dari Elfdom diperbolehkan untuk menjual barang-barang mereka di wilayah Indonesia asalkan memiliki Izin khusus baik dari Indonesia ataupun Elfdom, begitu juga sebaliknya, Pedagang Indonesia yang disponsori Pemerintah diizinkan berdagang di Silverhaven.
Kurang lebih itu adalah isi dari Perjanjian R'lyeh : Pakta 1, dalam beberapa hari kedepan Tim Diplomatik akan dikirim kemari untuk membangun Gedung Kedutaan di Silverhaven. Jenderal Bima pun menghela nafas panjang.
"Apakah helikopter ku sudah siap?" Tanya Jenderal Bima.
"Tentu saja Jenderal, Terimakasih sekali lagi telah datang dan membantu mengatasi masalah ini, kami tidak tahu bisa apa tanpa anda." Mayor Joko berkata.
"Omong kosong Joko, aku percaya pada kamu dan semua prajurit yang ada di Pos ini... Oh dan juga, aku punya sedikit permintaan kecil." Kata Jenderal Bima.
"Apa itu pak?"
"Perhatikan terus Jaka dan anak buahnya, mereka akan menjadi sesuatu yang besar di Sejarah baru Bumi." Kata Jenderal Bima sebelum akhirnya pergi menuju landasan Helikopter di Pos 0-8.
Mayor Joko diam sambil melihat kepergian sang Jenderal, dia lalu kembali melihat ke Bendera Indonesia yang ada di kantornya.
"... Aku butuh kenaikan gaji." Gerutu Mayor Joko sebelum akhirnya kembali melakukan pekerjaannya.
...
.....
Jaka berjalan tanpa arah dengan tubuh sangat lesu, dia benar-benar kelelahan sampai dia lupa arah ke kamar pribadinya. Dia berhenti di dekat salah satu lampu jalan untuk menyeimbangkan tubuhnya, saat dia akan lanjut berjalan bahunya tiba-tiba ditepuk.
Saat Jaka balik melihat kebelakang dia melihat Henrietta dengan senyuman lembut. "Hey Nona Henri..."
"Kau terlihat tersesat Jaka." Kata Henrietta, itu bukanlah pertanyaan melainkan pernyataan.
Jaka menggigit bibir bagian bawahnya lalu berkata. "Sedikit, ya, aku benar-benar kelelahan sungguh."
Henrietta memasang wajah penuh simpati. "Maafkan kami datang terlalu cepat, aku sudah mencoba membujuk Otto bersama para Tetua, tapi dia bersikeras untuk pergi secepatnya."
"Ya aku tidak menyalahkan kalian... Tapi aku heran akan satu hal, kenapa kalian terlihat tidak kelelahan setelah pertarungan sebelumnya?" Tanya Jaka keheranan.
Henrietta menyeringai kecil. "Kami punya toleransi yang cukup tinggi, Jaka, jangan remehkan para Elf... Sini aku bantu ke tempat mu, tunjukkan saja jalannya."
Jaka nampak enggan untuk beberapa saat sebelum akhirnya pasrah dan mereka berdua berjalan, Jaka dibopong oleh Henrietta, menuju ke Bangunan Perwira yang baru selesai dibangun setelah kepergian Jaka dan Peleton nya.
Tanpa disadari oleh mereka berdua, Melissa dan Doyok yang merupakan anak buah Jaka melihat mereka dari salah satu perempatan. Mereka berdua tidak percaya apa yang mereka lihat saat ini dan memandang satu sama lain dengan tatapan khawatir.
"Kita dalam masalah besar jikalau menyebarkan berita ini, kan?" Melissa berkata dengan gugup.
"Ya... Lebih baik diam untuk sekarang dan tanya ke Letnan langsung... Atau diam selamanya." Balas Doyok yang keringat dingin.
....
......
........
Suatu tempat di Hutan Titan.
3 hari setelah perjalanan.
Marsekal Helena nampak duduk dibawah salah satu pohon raksasa yang bernama Gigantea, dia nampak tengah fokus melakukan sesuatu. Yang Helena lakukan adalah menggunakan sihir kecil yang ada di dalam tubuhnya untuk mengecek pohon yang dia duduki ini.
Jikalau sihirnya tidak salah, Pohon Gigantea yang menaunginya saat ini berumur lebih dari 500 tahun, cukup muda untuk Gigantea tapi lebih tua dari kebanyakan pohon yang eksis diluar Hutan Titan.
"Nona Helena, saya dan Pierre telah berpatroli di sekitar perimeter, tidak ada satupun Dreamweaver ataupun monster liar di sekitar." Lapor Wahid yang mendatangi sang Marsekal Muda.
"Apa kalian sudah memasang Artefak pelindung?" Tanya Helena.
"Tentu Nona, kami telah memasang Artefak tersebut." Wahid menjawab.
"Mhm... Bagus kalau begitu, Ngomong-ngomong Michel sudah selesai memasak?" Tanya Helena yang mencium bau yang sangat lezat.
"Sudah selesai, Nona, saya juga diperintahkan Tuan Pierre untuk menjemput anda." Kata Wahid menawarkan tangannya.
Helena pun menggapai tangan Wahid yang besar dan kasar. Mereka berdua berjalan menuju ke api unggun yang telah dibangun oleh Pierre. Michel nampak tengah makan dan berbicara dengan suaminya, Pierre, sebelum akhirnya menyadari kehadiran Helena.
"Lena! Ayo mari makan sebelum dingin." Michel dengan sigap menuangkan sup hangat yang dia masak ke salah satu mangkuk.
Dengan senang hati Helena menerima mangkuk tersebut dan perlahan mulai makan. Dia senang membawa Michel karena dia adalah salah satu dari beberapa orang yang benar-benar Helena anggap sebagai sahabat. Pierre dan Wahid tentu adalah orang yang dekat dengan Helena, tapi loyalitas mereka membuat sebuah jurang yang sangat sulit dilewati.
Michel sendiri adalah seorang Maid yang sedari kecil sudah menemani Helena. Beda umur mereka berdua kurang lebih 3 tahun, jadi Helena selalu menganggap Michel sebagai kakak yang tidak akan pernah dia miliki. Pada saat Helena memasuki Akademi Militer di umur 18 Tahun, Michel pun juga ikut memasuki Militer dan menemani Helena terus sebagai orang paling terpercaya nya setelah Tornautz.
"Michel, masakanmu selalu yang terbaik." Helena berkata sambil tersenyum sumringah.
Michel tertawa malu, sedangkan Wahid menyeringai kecil. "Tuan Pierre beruntung bisa memakan makanan semacam ini setiap hari."
"Diamlah." Pierre berkata dengan wajah datar namun pipinya merah merona, begitu juga sang Istri.
Helena tertawa melihat hal itu, sebelum akhirnya melihat Wahid. "Wahid, berapa lama lagi kita akan tiba Kota Silverhaven?"
Wahid berhenti makan sejenak dan melihat semua mata kini menatapnya. "Kemungkinan besar sore nanti, aku bisa merasakan secara samar-samar kekuatan sihir pelindung yang melindungi kota mereka, seharusnya juga kita sudah memasuki rute patroli mereka."
"Pierre, kau ingat kata dari Tornautz?" Tanya Helena.
"Sebisa mungkin mencari Elf bernama Henrietta Lingenfelter." Jawab Pierre dengan cepat dan singkat.
"Baguslah kalau kau masih ingat, baiklah semuanya... 15 menit setelah makan kita langsung berangkat, oke?"
"Siap, Marsekal!" Pierre, Michel dan Wahid menjawab di saat yang bersamaan.
Setelah 15 menit beres-beres perlengkapan, mereka berempat melanjutkan perjalanan menuju Kota Silverhaven, tempat para Elf tinggal.
Saat baru saja beberapa menit perjalanan dimulai, Wahid nampak merengut sambil melihat ke langit. Pierre nampak menyadari itu dan bertanya. "Ada apa Wahid?"
"Hmm... Rasanya sangat aneh, seperti ada yang memperhatikan kita." Jawab Wahid merasa kurang nyaman.
"Monster?" Tanya Michel, menggenggam erat Flintlock yang ada di dekat pinggangnya.
"Mustahil, aku pasti sudah mendeteksi salah satu dari mereka kalau memang dekat dengan kita." Helena merengut juga sambil menyiapkan Musket yang dia bawa.
Momen menegangkan berlalu dengan keempat dari mereka melihat ke segala arah dengan waspada. Wahid terus saja melihat ke langit dan memfokuskan pendengarannya, terdengar seperti suara lebah yang sangat banyak, tapi tidak ada tanda-tanda sarangnya di dekat mereka.
"Semuanya, lanjutkan perjalanan ke Silverhaven! Abaikan suara atau apapun itu!" Perintah Helena sambil memacu kudanya.
Mereka berempat langsung memacu kuda mereka secepat yang dapat kuda-kuda itu bisa. Kuda yang dinaiki oleh Helena dan anak buahnya ini adalah kuda yang bisa dibilang sudah punah di Bumi, namanya adalah 'Destrier'.
Tingginya yang mencapai 165cm rata-rata nya dan memiliki perawakan kuat serta perkasa, menjadikan Destrier sebagai keturunan Kuda Perang yang paling perkasa sampai sekarang. Destrier yang Helena naiki adalah jenis khusus yang mencapai 170cm, benar-benar monster dalam pertarungan Kavaleri dan bulunya yang anggun, menambah pesona dari sang penunggang.
"Ayo Nero! Lebih cepat!"
Sosok makhluk ataupun benda yang mengikuti Helena dan kelompoknya nampak mengambang di udara, tidak bergerak sama sekali namun sesekali menyesuaikan 'mata' nya ke mereka. Tidak bisa dilihat oleh Helena dan kelompoknya, di samping makhluk atau benda itu ada bendera Merah dan Putih.
TBC.
Sampai jumpa lain waktu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top