Hujan

Tetesan air turun dari awan yang menjadi penghantar tidur sang udara. Tak peduli hari, waktu, bahkan detik. Tetesan itu dapat turun kapan saja.

Membasahi bekas kepompong yang menjadi tempat tumbuh Kupu - kupu. Kupu - kupu itu rapuh. Rapuh seperti gadis yang tengah bermain di dalam hujan itu.

Ia tertawa namun juga menangis. Hujan menjadi temannya untuk melepaskan dahaga kesedihan di hatinya. Ia masih tertawa seperti anak kecil yang tak pernah melihat hujan.

Setiap detik ia kembangkan tawa untuk dirinya dan sekitar. Sungguh, tak ada yang tahu apa yang ia pikirkan. Pikiran sempit yang keras kepala. Hatinya rapuh bagaikan sayap kupu - kupu yang berterbangan di ladang bunga luas.

Di antara bunga mawar dan matahari, kupu - kupu terbang menjadi penghias gemerlap ladang bunga yang indah. Sama seperti dirinya, kelas tersebut aku sepi bila tak ada dirinya. Darah, air mata, dan keringat yang ia keluarkan bahkan tak cukup untuk memuaskan kelompok lebah.

"Hujan, kenapa kau begitu indah? Walau berapa kali kau jatuh kembali, Bumi akan selalu menerimamu."

Gumamnya takkan terdengar. Hilang di dalam rintisan hujan. Petir takkan membuatnya takut. Ia tak takut bila ada hal yang menerkamnya nanti. Menjemput kematian hampir saja terjadi beberapa pekan lalu.

"Ah, terima kasih telah membersihkan lukaku hujan."

Kedua mata sayunya menatap kedua tangannya yang kini sudah bersih dari decak merah. Akan terlalu pusing bila harus membersihkan sendiri di rumah.

Langkahnya berjalan pelan, tanpa melihat kedepan. Ia tahu persis rumahnya. Setiap langkah selalu ia hitung dari tanah tadi. Bahkan selalu sempurna.

"Dua puluh satu, dua puluh dua ....dua puluh ...tiga?" Ia melihat kaki seorang laki - laki. Ia lalu melihat ke atas tepat di depan orang itu. Menyadari sedikit realita lalu terkejut.

"... ah ...Eh? Rei? Kenapa kau disini? Ada yang bisa kubantu?" Ia mengepakkan senyuman terbaik yang ia punya. Namun, hal itu tak dihiraukan lelaki tadi. Ia menggenggam tangan kanan gadis tadi. Melihat tangannya mempunyai bekas luka.

"Kau kenapa? Apa kau di bully belakangan ini?"

Tidak, ia tak mau ini terjadi. Jangan bertanya hal seperti itu. Gadis ini bahkan sangat takut mendengarnya. Gelengan kepalanya sangat meyakinkan bahwa ia menjadi korban kelompok lebah.

"Yang jujur." Gadis itu hanya menunduk dan memalingkan wajahnya. "Biarkan aku masuk ke rumah..." gumamnya. Ia ingin mencoba mendorong lelaki itu. Tapi, ia terlalu lemah untuk hal itu. Ditambah kedua tangannya terluka.

"Rei, kumohon ...aku tak mau kau masuk lebih dalam ke kehidupanku." Dibalik celah pintu yang hanya terbuka sedikit, Rei sangat ingin tahu keadaannya. "Tolong. Aku mohon sekali. Aku ingin istirahat." Ucapan terakhir yang diucapakan sang kupu - kupu dengan sayapnya yang terluka.

Nadin, namanya Nadin. Ia hanya ingin kebahagiaan. Orang tuanya sudah meninggal beberapa bulan yang lalu. Kehidupannya ditanggung oleh tantenya.

Hanya sebatas keluarga intinya.

Tangannya yang terluka ia balut dengan perban. Hal ini sudah dilakukannya selama dua bulan. Kalau, Rei tidak mendekatinya hal ini tidak akan terjadi.

"Semuanya ...akan baik - baik saja," gumamnya dibalik suara radio yang keluar dari kamarnya. "Semuanya ...akan baik - baik saja..." terus ia ulang seperti kaset rusak. Hingga perbannya selesai ia balut, ia tetap mengulangnya. "Semuanya ...kapan akan menjadi baik?"

Tetesan air mata keluar dari kedua mata berkilapnya. Tangannya yang terbalut menutupi kedua matanya. "Kapan...?"

Sudahlah, Nadin terlalu sering menangis hingga lupa waktu. Kini, mata lembabnya telah terbuka dan melihat mentari. Ia juga membawa photo - photo dan handycam serbaguna. Buku yang kemarin sudah ia susun, sekarang ia bawa ke sekolah setelah bersiap - siap.

"Selamat pagi, Nadin."

"Rei? Untuk apa kau kemari?"

"Mengantarmu ke sekolah."

Nadin hanya berdehem mendengar kalimatnya. Selama perjalanan, tak ada kata dari Nadin yang terdengar. Ia takut berbuat kesalahan.

Di depan pintu kelas, visinya melihat kelompok lebah. Oh lebah, gadis bodoh yang terlalu memanfaatkan orang.

"Oh, hai Nadin. Kau tadi di temani oleh Rei ya?"

Pergilah

"Kemari dulu sayang. Teman - teman baikmu ini ingin mendengar harimu."

Enyahlah

Nadin berjalan perlahan ke arah Nicole, sang ratu lebah dengan kepopuleran luar biasa.

"Duduk sini, manis."

Dagu Nicole ia sandarkan di atas telapak tangannya, sedangkan Nadin hanya terduduk di depannya. Gaya angkuh Nicole memang sudah muak dilihat.

"Eh, orang tuamu itu udah gak ada ya. Jangan sok - sok banget jalan sama Rei. Apa yang mau kau kasih ke Rei."

Cukup.

Rambut Nadin ditarik kasar oleh Nicole. Gadis itu memang tak beradab.

"Kasian banget ya, ayah dan ibumu itu kecelakaan gara - gara kamu. Hahaha, apa kau tak diajarkan beradab sama orang tuamu? Malu malu in banget."

"Nicole. Cukup."

Nicole malah asik menertawai Nadin. Semua orang yang berada dikelas hanya melihat perilaku kasar Nicole. Ya, tanpa membantu. Mereka tahu kalau mereka membantu, mereka juga bakal dapat masalah dari genk Nicole.

Tangan Nadin mendarat kasar di wajah mulus Nicole yang penuh make up itu. Meninggalkan bekas merah membiru.

"HEY! Apa - apaan ini!?"

"Dengernya, aku sudah cukup menjadi budak yang selalu kau kasari." Nadin menyeringai dengan manisnya. "Kupu - kupu ini telah menjadi kuat, Ayah."

Semua siswa hanya terdiam, terkejut melihat Nadin yang dulunya sangat pendiam dan rapuh. Rei, melangkah pelan dan menyaksikan hal ini. Beberapa orang dari kelas lain juga menyaksikannya.

"Kita cabut yuk," ucap anggota genk Nicole. Perlahan meninggalkan Nicole. "Hey, apaan! Jangan tinggalin aku."

"Duduk." Nadin hanya bergumam dingin. Nicole terdiam dan tak jadi bangkit. "Kau tahu? Aku sudah muak dan sangar cukup dengan tingkahmu."

"Aku sudah cukup mengumpulkan bukti untuk membuatmu keluar dari sekolah ini."

Mata Nicole membulat besar. "Panggilkan guru BP," ucap Rei kepada salah satu siswa. "Aku sudah membawanya hari ini."

Hanya menunggu beberapa menit, guru BP langsung datang. "Nadin, ada apa? Nicole kamu kenapa?"

Guru BP sangat bingung melihat kedua orang yang sangat terbalik perannya hari ini.

"Bu, maukah kau melihat rekaman ini dan beberapa photo ini? Mungkin Ibu akan sangat terkejut. Sangat - sangat terkejut tepatnya."

Seluruh siswa mengelilingi guru BP dan juga ingin melihat rekaman dan photo - photo itu. "Mau kemana? Kan belum kusuruh pergi. Duduk." Nicole benar - benar tak bisa bergerak.

Seluruh siswa menatap rendah Nicole. Benar, semuanya telah shock melihat semua bukti yang dibawa Nadin.

"Nicole, ikut ibu ke kantor kepala sekolah."

"Tunggu Bu," Nadin membuka pembalut tangannya. "Mungkin ibu mau lihat ini juga."

"Nadin, tanganmu?"

"Ya, saya terluka dibuatnya Bu. Bukan cuma saya kok bu. Ada beberapa siswa juga."

Semua masalah sudah selesai sekarang. Nicole sudah dibawa ke kantor kepala sekolah dengan hasil mengeluarkan anak itu dari sekolah ini. Fitnah kepada Nadin, kini telah hilang seluruhnya.

"Nadin, aku gak percaya kau ngelakuin ini semua." Nadin hanya tersenyum mendengar perkataan Rei. "Kau tahu? Ayahku adalah seorang dektektif dikepolisian. Ibuku seorang jenius yang pandai menulis sastra."

"Pasti ada waktu bagiku dimana aku harus mengumpulkan bukti baginya."

Kedua insan itu hanya terlebur dalam tawa dan canda. Keluh kesah telah lenyap dibawa waktu yang terus berjalan. Benar, bila Nadin tidak secerdik itu. Mungkin, penderitaannya terus berlangsung.

"Sepulang sekolah, kita pergi makan ke kafe dekat sekolah yuk!"

1106 kata

Selesai.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top