Bab 4

    Denting sendok beradu menyentuh permukaan piring. Anshara tersenyum, saat tiba-tiba Willy mengarahkan sendok pada mulutnya. 

    “Ansha sudah besar, Pa. Nggak perlu disuapin,” ucapnya. Namun, Willy terus mengarahkan satu sendok nasi goreng itu. “Mmmm.” Anshara menutup mulutnya. 

    “Kamu tetap bayinya papa,” ucap Willy, dia tidak merasa pegal kala harus menahan sendok itu. “Ayo bayinya papa, makan dulu, a,” pintanya.

    Anshara merengut. Dia tidak suka dipanggil ‘bayinya papa’. Dia sudah besar, dia lebih suka kalau Willy memanggilnya, ‘anak gadisnya papa’. Namun, sepertinya itu tidak akan terjadi, Willy tetap saja memanggilnya seperti itu. 

    Anshara tidak tega membiarkan ayahnya terus menganjurkan sendok ke dekat mulutnya. Akhirnya Anshara pun membuka mulut. 

    “Gimana, enak?” tanya Willy seraya tersenyum dan kembali mengambilkan satu sendok nasi. Sementara Anshara menatap nasinya yang masih utuh.

    Leia hanya tersenyum menyaksikan pemandangan indah ini. Dia tahu suaminya itu sangat menyayangi Anshara seperti anak kandungnya sendiri. Andai Tuhan ciptakan Anshara sebagai anak yang lahir dari rahimnya, mungkin mereka tidak akan merasa takut kalau suatu saat nanti Anshara akan bertanya asal-usul dan mencari orang tua kandungnya.

    Anshara kembali mengunyah saat Willy menyuapinya lagi. Dia kemudian menciduk satu sendok nasi dan menyuapi ayahnya. “Papa juga harus makan,” ucap Anshara. 

    Willy mengangguk. Dia kemudian tersenyum seraya berkata, “Nak, apapun yang terjadi jangan tinggalkan mama. Kalau suatu saat Papa nggak ada di samping kalian lagi, kamu harus jagain mama untuk papa.”

    Anshara tersenyum, kemudian menoleh pada Leia. Semburat senyum juga terbit di wajah sang ibu. “Anshara janji.”

    Willy mengangguk dan mendekatkan lagi satu sendok nasi ke mulut Anshara. Tak biasanya memang Willy bersikap seperti ini. TIba-tiba Anshara menahan tangan Willy saat beberapa butiran nasi terjatuh. 

    Dia terperangah saat beberapa kejadian yang akan menimpa ayahnya hadir di depan mata. Hingga Anshara segera menjauhkan tangannya dari tangan Willy. 

    ‘Ini tidak mungkin.’ Anshara kemudian bangkit. ‘Papa akan baik-baik saja.’ Hatinya terus bergolak mengumandangkan hal-hal yang membentuk pikiran positif. Dia hanya tidak ingin dengan dia mengucapkannya, hal itu akan menjadi doa dan Tuhan mengabulkan apa yang tercetus dari mulutnya. Anshara hanya tidak ingin itu terjadi. 

    ***

    Desau angin membawa gemericik, sejuknya menusuk permukaan kulit. Anshara merasakan setiap energi itu masuk ke dalam tubuhnya. Kelopak matanya tertutup rapat, helaan demi helaan napas mengirim udara memenuhi rongga dadanya. 

    Beberapa menit berselang Anshara membuka matanya dan menatap dedaunan bergoyang yang tertiup angin. Tak terjadi apapun seperti saat dia menerbangkan Theana beberapa hari yang lalu. Terkadang omongan orang membuat Anshara tidak mengenali dirinya sendiri. 

    “Kamu sedang apa?” tanya Leia sembari menyipitkan mata. 

    Anshara kemudian menoleh pada ibunya yang sedang berdiri di depan pintu. “Mama.”

    Leia mendekat dan duduk di atas kursi kayu depan rumahnya. “Kenapa harus di lantai, ‘kan dingin?”

    Anshara kemudian bangkit dan mendekat. Suara derit kaki kursi sedikit memekik kala Anshara menggeser kemudian mendudukinya. Dia menoleh menatap sang ibu yang ikut menikmati hujan. Anshara sebenarnya ingin menceritakan semua kejadian yang menimpanya akhir-akhir ini. Namun, apakah Leia juga tidak akan menganggapnya aneh?

    “Kamu kenapa?” Leia kemudian menoleh seraya tersenyum. “Ada masalah?” tanyanya.

    Anshara menarik napas. Sepertinya dia harus cerita, mungkin ibunya tahu sesuatu tentang ini atau mungkin juga pernah mengalaminya. 

    “Ansha kenapa ya, Ma?” Pertanyaan membingungkan itu tiba-tiba ke luar dari mulut Anshara.

    “Kok balik nanya?” Kening Leia mengernyit. Akhir-akhir ini memang Leia sering melihat Anshara seperti ini, tak banyak bicara, dia curiga putrinya itu menyembunyikan sesuatu darinya. “Teman kamu ada yang jahat?”

    Anshara menggelengkan kepala. “Beberapa kali Ansha mendapat bayangan setiap tak sengaja memegang tangan seseorang.”

    “Bayangan apa?” Tatapan Leia menelisik wajah Anshara. 

    “Nggak. Nggak ada, Ma.” Anshara kemudian bangkit. Dia memijat tengkuk lehernya sendiri sembari pura-pura menguap dan menutupi mulutnya. “Ansha tidur duluan ya, Ma.”

    Leia menatap Anshara tanpa memberinya persetujuan, karena gadis itu tengah menggantungkan pertanyaannya. “Ini masih terlalu sore, Sha.” Leia kemudian bangkit. “Kamu nggak mau nungguin papa pulang dulu?”

    Anshara tampak berpikir. “ini jam berapa?”

    “Jam tujuh.” Leia mendekat dan mengajaknya masuk. “Apa di tempat ayah kerja juga hujan , ya?”

    Leia mengedikkan bahu. “Di sini gerimis, di sana bisa saja tidak sama sekali, atau bahkan mungkin hujan lebat.”

    Anshara menghela napas. “Semoga saja memang hujan besar.”

    Leia menyipitkan mata menatap Anshara. “Kenapa?”

    “Hemm ….” Anshara tampak bingung. “Nggak. Nggak apa-apa,” ucapnya gugup, kemudian dia berlalu. Sejujurnya dia tidak ingin terlihat aneh, hanya saja dia rasa ibunya sudah terlanjur menganggapnya seperti itu. 

    Memang sudah beberapa kali Anshara mengabaikan intuisinya akan hal itu. Namun, resah telah memporak porandakan damai di hatinya. Perasaan Anshara sedari tadi tidak tenang. 

    Berkali-kali dia mengusap tengkuk lehernya. Dia kemudian menoleh pada Leia yang baru saja menerima telepon. Namun, setelah itu dia benar-benar berlalu dan masuk ke dalam kamar. 

    Tiba-tiba jeritan ibunya membuat Anshara terkesiap. Jantungnya mencelus dengan kondisi mata terbelalak. “Mama?” Anshara segera berlari pada ibunya. “Kenapa?” Dia termenung menatap sang ibu yang duduk menangis di lantai. 

    Anshara kemudian menyeret kakinya dan mendekat. Perlahan dia menekuk lutut dan berjongkok. “Mama kenapa?” Mata Anshara sudah berembun. Firasatnya benar-benar buruk soal ini, apalagi melihat sang ibu menangis histeris. 

    Tiba-tiba Anshara merasakan Leia merengkuh tubuhnya. “Kantor papa kebakaran,” lirihnya. 

    Air mata terjatuh bersamaan dengan Anshara yang menjatuhkan bokongnya. “Papa?”

    Leia semakin mengencangkan tangisnya. “Papa meninggal,” ucap Leia sembari merekatkan pelukannya terhadap Anshara.

    “Papa ….”

    Air mata terus mengiringi kepedihan di hati Anshara. Ini seperti mimpi. Pagi tadi Anshara melihat bayangan soal kejadian yang akan menimpa Willy saat dia tak sengaja menyentuh tangannya. Namun, karena rasa takut membuat Anshara mengabaikan hal itu. 

    Anshara takut dengan dia mengungkapkannya, justru itu akan menjadikannya doa seperti kata Theana. Namun, ternyata hal itu tetap terjadi. Kenapa Anshara sempat meragukan kata ‘peringatan’ seperti apa yang sering dia katakan pada temannya. Kenapa? 

    “Papa …,” lirih Anshara.

    Leia tak melepaskan pelukannya. Dia ingin menangis melewati kepedihan ini dengan sang anak. Namun, Anshara melepaskan pelukan ibunya, lalu dia bangkit. “Ini semua gara-gara Ansha. Iya, Anshara memang keterlaluan,” ucapnya pada diri sendiri. 

Leia terperangah. Dia kemudian mengejar Anshara yang berlari ke luar. “Sha, jangan tinggalin mama, kamu mau ke mana?” teriak Leia dari teras. “Sha …,” panggilnya lagi. Teriakan dan kesedihan membuat kepala Leia berdenyut nyeri.

Sementara Anshara menjerit sekeras-kerasnya ke atas langit, seolah dia ingin memaki alam. “Kenapa?” Dia terengah dan mengumpulkan tenaganya. “Kenapa harus papa?”

Anshara menjatuhkan tubuhnya ke tanah, dia membiarkan tetesan hujan membasahinya. “Papa, maafin Ansha, Pa.” Dia kemudian tertunduk. “Harusnya tadi pagi, Ansha tidak biarkan Papa kerja. Harusnya tadi Ansha katakan semuanya. Harusnya Ansha yakin, papa tidak akan seperti Miss Erina yang menganggap Ansha terlalu banyak berkhayal,” sesalnya terus menerus. 

Sementara itu Leia menangis meluapkan kepahitannya di teras. Dia bukan tak ingin mengajak Anshara berlindung dari hujan. Dia hanya merasa Anshara punya cara tersendiri untuk membuang luka di hatinya. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top