• Tiga Belas •

SeaTac Airport, Seattle.

10:00 am.

Alexandra kini duduk bersama Shawn--adik angkat Louis--di dalam mobilnya. Ia baru saja selesai menjemput pria berwajah tampan itu dari bandara dan berniat membawanya ke kantor polisi untuk ikut masuk dalam penyelidikan atas kematian Louis.

Shawn tersenyum simpul tatkala Alexandra terus memuji penampilannya yang sekarang. Bagaimana tidak? Shawn tampak lebih tinggi dan berotot jika dibandingkan dengan beberapa tahun lalu. Shawn bahkan merapihkan rambutnya yang ikal dengan gel rambut. Aroma kayu-kayuan segar menyeruak dari tubuhnya, ia sungguh merawat dirinya sekarang.

"Setelah kita selesai di kantor polisi, maukah kau menemaniku mengunjungi Louis?" Wajah Alexandra berubah sendu, tapi wanita bermata biru itu akhirnya tersenyum dan mengangguk. "Dia tidak pernah memberiku kabar atau mengunjungiku ke Inggris, rasanya benar-benar menyedihkan. Namun saat tahu dia berselingkuh darimu, tampaknya kaulah yang paling menderita di sini."

Alexandra mendengkus geli. "Kau tidak berniat mengasihani aku karena takdir yang ironi ini, bukan?"

Kemudian Shawn tertawa dan mengusap puncak kepala Alexandra pelan. "Omong-omong, bagaimana harimu setelah insiden itu terjadi?" tanyanya sembari melipat kedua tangannya di dada dan menatap Alexandra penasaran. "Kau baik-baik saja?"

"Tidak, aku tidak baik-baik saja." Alexandra menatap Shawn sebentar sebelum kembali fokus pada kemudinya. "Tapi Jeff terus berada di sisiku dan aku merasa lebih baik. Selain itu, detektif yang menangani kasus kecelakaan Louis juga bersikap ramah padaku. Meski terkadang, dia sangat menjengkelkan dan mengganggu."

Lagi-lagi Shawn hanya tertawa untuk menanggapi ocehan Alexandra.

Mereka berdua pun sampai di kantor polisi dan segera masuk menuju ruangan Noel di ujung koridor. Alexandra dengan gaun putih selutut dan Shawn dengan kemeja hitam bercorak kotak-kotak. Saat berjalan bersama seperti ini, keduanya tampak sangat serasi dan menarik perhatian orang-orang karena wajah mereka yang memesona.

Setelah mengetuk pintu beberapa kali, Smith lah yang akhirnya muncul dari balik pintu. "Alexandra?" Wajahnya terlihat antusias. "Silakan masuk," katanya lalu memberi jalan bagi Alexandra dan Shawn.

Tidak seperti Smith yang menyambut hangat, Noel justru diam di sofa dan menghunuskan tatapan tajam pada Alexandra dan Shawn--seperti biasa. Butuh beberapa saat sebelum akhirnya Noel berdeham dan berkata, "Sampai kapan kau akan menghalangi pintunya seperti itu?"

Alexandra mendesah pelan sebelum akhirnya duduk bersebrangan dengan Noel. Shawn mengikutinya dan bergabung. Sementara Smith menutup pintunya terlebih dahulu sebelum duduk di sebelah Noel.

"Omong-omong, siapa ini?" Smith melihat Shawn lalu ke Alexandra bergantian. "Kekasih barumu?"

Alexandra tertawa pelan. "Bukan, Smith. Dia Shawn, adik angkat Louis yang baru kembali dari Inggris," terangnya. "Aku langsung membawanya kemari untuk penyelidikan dan dia bersedia."

Smith berdecak takjub. "Kau sangat keren." Ia lalu memandangi Shawn. "Omong-omong, kenapa kau tidak menghadiri pemakaman korb--maksudku Louis?"

Shawn tersenyum tipis. "Aku baru saja kembali dari Inggris hari ini karena harus menyelesaikan ujianku di sana. Aku tidak bisa meninggalkannya dan langsung datang karena sekolah tidak mengizinkan siapapun melewatkan tes akhir."

"Kau pasti lelah. Mau kubawakan sesuatu?" Smith hendak bangkit dari sofa sebelum tangan Noel menahannya. "Ya, Noel?"

"Dia tidak datang untuk bertamu," kata Noel dengan suaranya yang rendah dan dalam. Noel dan Shawn beradu pandang untuk beberapa saat sebelum wajahnya beralih pada Smith. "Duduklah, kita akan mulai menginterogasinya."

Smith tak bisa berkutik dan segera kembali duduk. Sementara Alexandra melotot ke arah Noel yang lagi-lagi bersikap menyebalkan bahkan kepada Shawn yang baru ditemuinya.

"Jadi, namamu adalah?"

"Shawn Fernandez."

Noel mengangkat satu alisnya. "Kau bilang kau tidak datang ke Seattle selama beberapa tahun karena pendidikan. Bisakah aku menghubungi seseorang yang dapat membenarkan alibimu itu, Mr. Fernandez?"

Shawn terkesiap, tapi kemudian senyuman tipis muncul dari kedua sudut bibirnya. "Kau bisa menghubungi orang tuaku atau datang langsung ke sana, Detektif."

"Kau mengatakan itu untuk menghinaku, hm?"

Shawn lagi-lagi tersenyum. "Aku hanya menjawab pertanyaanmu," katanya dengan tenang.

Lalu Smith menyela, "Biar aku saja, Noel. Kau tampak emosional hari ini." Ia lalu berpaling pada Shawn. "Bisakah kau menceritakan seperti apa Louis yang kau kenal? Apapun itu, mungkin akan membantu."

Pria berkulit putih gading itu lalu melihat Alexandra tak nyaman sebelum kembali pada Smith. "Aku ... Louis sangat membenciku." Mata hazelnya kini berubah redup. "Dia sering pergi ke club malam dan melupakan Alexandra. Aku selalu menegurnya, tapi kurasa dia tak senang seseorang mencampuri urusan pribadinya." Shawn mengangkat kedua bahunya cepat. "Terdengar rumor juga bahwa aku akan mendapat sebagian saham dari perusahaan ayahku dan Louis sangat tidak ingin hal itu terjadi."

"Apa kau juga membencinya?" tanya Smith.

Shawn menggeleng. "Meski kami tidak sedarah, dia sudah seperti kakak untukku. Aku sangat berterima kasih padanya karena sudah mau menerimaku di dalam keluarga itu."

Smith lalu menggumam pendek. "Omong-omong, kalian berdua dekat?"

"Aku mengenalnya lebih dulu daripada Louis sendiri," jawab Alexandra. "Aku sangat mengenal Shawn."

Smith pun mengangguk paham. "Kurasa tidak ada lagi yang harus kami tanyakan padamu." Ia tersenyum pada Shawn dan Alexandra. "Tapi kami akan menghubungimu kalau-kalau kami butuh bantuan."

"Tentu," balas Shawn ramah. "Bisakah kami pergi sekarang? Kami berencana pergi ke makam Louis setelah ini."

Smith tersenyum dan mengerlingkan matanya jahil pada Alexandra. "Kalian tampaknya benar-benar dekat dan--" ucapannya menggantung di udara saat Noel tiba-tiba berdiri dan berjalan meninggalkan ruangan. "Sialan. Ada apa dengannya?" Smith kembali pada Shawn dan Alexandra. "Sudahlah, kalian bisa pergi. Jangan pikirkan dia."

"Terima kasih, Smith." Alexandra beranjak. "Hubungi aku jika ada sesuatu."

"Tentu."

Alexandra dan Shawn kemudian kembali ke mobil mereka, tanpa sadar bahwa Noel berjalan membuntuti mereka di belakang. Dengan mobil pribadinya, Noel bergerak mengikuti mobil Alexandra menuju ke pemakaman Louis. Noel hanya berjalan di belakang keduanya beberapa meter agar tidak tertangkap basah, tapi tetap bisa mendengar percakapan mereka.

Kemudian terlihat Shawn meletakkan setangkai mawar putih di atas makam Louis sebelum ia berkata, "Maaf karena aku baru mengunjungimu, Louis." Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Aku sudah memaafkanmu, jadi pergilah dengan tenang."

Alexandra yang berdiri di sampingnya tampak tersenyum pahit sebelum menoleh ke arah Shawn. "Kita akan pergi sekarang?"

"Ya." Tangan Shawn yang kokoh lalu menahan tubuh Alexandra untuk pergi. "Alexandra, sebentar."

"Ada apa, Shawn?"

Noel yang penasaran dengan percakapan keduanya pun mengendap-ngendap agar jarak di antara mereka semakin sedikit. Ia bersembunyi di balik pepohonan besar di sisi lain makam Louis dan mulai menguping.

"Louis kini telah tiada. Bisakah kau ... menerimanya?"

Alexandra tercenung beberapa detik sebelum terkikik geli. "Kau ini bicara apa? Ayo kita pulang, langitnya sudah gelap."

"Aku menyukaimu, Alexandra!" seru Shawn. "Ini terdengar gila, tapi aku tidak bisa menahan diri sejak pertemuan pertama kita." Wanita di hadapannya hanya diam dan menatapnya lurus-lurus. "Aku yang lebih dulu menemukanmu, tapi kenapa kau harus dijodohkan dengan Louis yang bahkan sama sekali tidak menganggapmu ada?"

"Shawn...,"

"Aku tidak pergi untuk pendidikan," ucap Shawn. "Aku pergi untuk menyembuhkan perasaanku. Tapi sekarang Louis sudah--"

"Tidak, Shawn," sela Alexandra tegas. "Aku tidak bisa melupakan Louis semudah itu."

"Tapi dia mengkhianatimu."

Tiba-tiba saja Noel datang dan menarik tangan Alexandra menjauh dari Shawn. Mereka lalu berhenti setelah Shawn tak lagi terlihat di belakang sana.

"Apa-apaan!" Alexandra menepis tangan Noel dengan kasar. "Apa yang kau lakukan tadi, Noel?! Shawn akan salah paham."

"Kau harusnya tidak datang dan tidak bersikap baik padanya jika memang tidak suka!" sahut Noel dengan nada kesal. "Kenapa kau selalu menggoda pria-pria ini seperti wanita murahan, Alexandra?!"

Satu tamparan keras kemudian mendarat di pipi Noel. Mata biru Alexandra tak lagi meneduhkan seperti biasanya. Ia menatap Noel lurus-lurus meski pelupuk matanya mulai basah. "Kenapa kau sangat brengsek, Noel?!" Ia mati-matian menahan tangisnya. "Kau bahkan tidak tahu betapa menderitanya aku karena semua ini. Tapi kau," ia menghela napas dan menggeleng tak percaya. "Seharusnya aku tidak membantumu sejak awal. Kau memang tidak tahu diri, Detektif." []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top