• Lima •

Downtown Seattle Convention Apartment.

06:00 pm.

Alexandra duduk dengan menyilang kedua kakinya di sebuah sofa panjang berwarna marun. Kakinya yang jenjang dan berbalut stiletto hitam dibiarkan terekspos dengan jelas saat sekali lagi, flash dari kamera sang fotografer berkedip cepat ke arahnya.

Wajahnya yang tak sedikitpun menunjukkan senyuman di depan kamera justru berhasil membangkitkan kesan misterius dan anggun pada pemotretannya kali ini. Mata birunya dipoles eye shadow berwarna gelap sementara bibirnya yang tipis dibuat mencolok dengan gincu merah menyala. Tidak dapat dipungkiri bahwa Alexandra memang memiliki pesona yang tak dapat terbantahkan oleh apapun dan siapapun.

"Sudah cukup," kata sang fotografer padanya.

Wanita yang sudah sejak kecil bergelut di dunia modelling ini pun beranjak dari sofa (yang merupakan properti pemotretan) tersebut dan berpindah pada sofa lain di sudut ruangan. Alexandra lalu membanting tubuhnya asal di sebelah Jeff dan menghela napas panjang.

"Kau lelah?" tanya Jeff.

Jeff sendiri adalah sahabat sekaligus pemilik bisnis apartemen yang kini tengah menjadikan Alexandra dan Stella--rekan satu agensi Alexandra--sebagai model mereka.

Stella mendesah dan menyibak rambut pirangnya yang menjuntai ke bahunya dengan angkuh. "Tentu saja dia lelah. Wajahnya memenuhi hampir setiap detik pemotretan dan kau hanya memberiku dua bagian saja," sindirnya.

Jeff tertawa pendek. "Kau bisa mendapatkan lebih banyak bagian di kolam renang nanti, Stella." Lalu pria dengan tato naga di punggung tangannya itu beralih pada Alexandra. "Kau tampak kurang tidur, Alex. Lihatlah lingkar hitam di bawah matamu itu."

Charlie yang baru saja masuk ke ruangan tersebut langsung duduk di sebelah Stella dan meletakkan sekantung makanan di atas meja. "Dia begitu... karena kelelahan dan berusaha terlalu keras untuk menangkap pelaku pembunuhan Louis." Alexandra sontak melotot ke arah Charlie, "Ups!" hingga membuat pria penyuka merah muda itu menutup mulutnya cepat.

"Apa?! Pembunuhan?" Stella menatap Alexandra dan Charlie bergantian dengan pandangan penasaran sekaligus terkejut. "Bukankah Paman Matthew sudah merilis klarifikasi tentang kematian Louis pada konferensi persnya?"

"Ya. Ada apa ini, Alex? Apa ada sesuatu yang kami tidak tahu di sini?" timpal Jeff penasaran.

Alexandra yang menerima tatapan penuh desakan dari Jeff dan Stella akhirnya hanya bisa mengembuskan napas berat dan memutar kepalanya jenuh. Ini semua karena Charlie dan mulut besarnya itu. "Dari hasil autopsi, mereka menemukan fakta bahwa Louis dianiaya oleh seseorang sebelum dia mengalami kecelakaan," ujarnya berterus terang. "Tapi paman Matthew ingin kami menangkap pelaku secara diam-diam. Jadi, kalian berdua, oh tidak, termasuk kau, Charlie, kalian bertiga harus menutup mulut rapat-rapat dan menyimpan rahasia ini dengan baik."

Jeff mengangguk paham. "Lalu bagaimana kau bisa menangkap pelakunya?"

"Aku bekerja sama dengan seorang detektif menyebalkan yang menemukan jasad Louis malam itu," katanya kesal. "Seandainya bisa memilih, aku pasti akan menyewa polisi yang lebih kompeten dan beretika daripada pria berwajah es itu."

Stella dan Jeff saling bertukar pandang heran, yang justru langsung dimengerti oleh Charlie. Sehingga ia buru-buru menimpali, "Pria itu bilang Alexandra hanya wanita manja dan tak bisa melakukan apa-apa." dengan santainya. I bahkan tidak sadar kalau Alexandra tengah memberengut kesal karena Charlie lagi-lagi membocorkan semuanya.

"Dia benar," tukas Stella cepat. Alexandra kemudian bersedekap dan menatap Stella dengan tajam sehingga ia berubah gugup. "Maksudku tidak begitu." Stella buru-buru mengoreksi. "Bukankah lebih baik kau menunggu dan membiarkan polisi yang melakukannya? Sebagai sahabat, aku melihat situasi ini mungkin akan berbahaya untukmu, Alex."

"Aku harus menangkap pembunuhnya dengan tanganku sendiri," kata Alexandra lugas. Ia lalu menyibak rambut brunettenya yang bergelombang ke punggung. "Pembunuh itu telah menghabisi nyawa seseorang yang paling kucintai. Apa menurut kalian, menunggu adalah jawabannya?"

"Tapi Stella benar." Jeff terdengar serius sekarang. "Melakukan penyelidikan terhadap pelaku pembunuhan mungkin akan membahayakan untukmu. Bagaimana jika aku bergabung?"

Stella tercengang. "Apa?"

"Ini terdengar mengerikan, bukan?" Charlie menambahkan.

Jeff kemudian mengedikkan kedua bahunya cepat. "Jika melakukannya sendiri mungkin akan sangat berbahaya. Setidaknya jika aku bergabung, aku bisa membantumu atau tetap di sisimu saat pelakunya terlihat." Semua orang di sekelilingnya kini memandang Jeff tak percaya. "Aku ahli bela diri dan meretas sistem komputer. Mungkin akan berguna dalam penyelidikan rahasia ini. Bagaimana?"

Charlie berdecak beberapa kali sembari menepuk tangannya di udara. "Kalian berdua memang sangat serasi dan berpikiran liar." Lalu ia memukul kepala Jeff dengan selembaran iklan yang ada di atas meja. "Tapi jika kalian berdua tewas dalam penyelidikan, apa yang harus aku lakukan, bodoh?!" Ia menyilang kedua tangannya di dada dan menatap mereka bergantian. "Pikirkan baik-baik resikonya sebelum kalian bertindak."

"Hey, kenapa kau sangat cemas?" Stella menyenggol lengan Charlie dengan lengannya dan mengerlingkan matanya jahil. "Jika Alexandra tewas dalam penyelidikan, kau bisa menjadikanku satu-satunya model di agensi ini."

Satu selembaran iklan kembali melayang. Namun kali ini ke arah kepala Stella. Charlie mengumpat, "Bodoh! Jaga mulutmu itu sebelum aku merobeknya."

Stella pun mengusap kepalanya dan merajuk, "Kau kejam sekali padaku, Charlie."

Jeff kembali tersenyum dan menatap Alexandra. "Kau bisa menghubungi detektif itu dan mengatakan keinginanku. Bukankah semakin banyak orang yang mencari, akan lebih mudah untuk menemukan pelakunya?"

"Tapi kurasa dia tidak akan mudah menerimanya." Alexandra melirik Charlie dan mengangkat kedua bahunya. "Dia seperti ... ketua geng yang sadis dan tidak berperasaan."

Lagi-lagi Jeff dibuat tertawa oleh ucapan polos yang keluar dari mulut Alexandra. "Kau bisa mencoba menghubunginya sekarang, Alex."

Wanita berambut pirang di hadapannya pun menambahkan, "Kurasa aku akan merasa lebih tenang kalau Jeff berada di sisimu." Ia lalu beralih pada Charlie. "Bukan begitu, Manajer?"

Charlie mendapati ketiga orang di sekelilingnya memandang penuh harap ke arahnya, hingga ia kian merasa risih. "Kurasa aku tidak punya pilihan saat kalian mendesakku dengan tatapan mengerikan itu," ucapnya diakhiri dengan dengusan pendek.

Alexandra tersenyum dan segera meraih ponselnya dari dalam tas. Ia menekan beberapa tombol di sana dan mencoba menghubungi Noel.

Beberapa kali sampai akhirnya Alexandra merasa bahwa ini akan berakhir sia-sia. "Dia tidak menggubris panggilanku. Dia benar-benar mengerikan seperti ketua geng!" ucap Alexandra seraya membanting ponselnya ke sofa. Ia langsung bersedekap dan melihat ketiga orang di sekitarnya. "Sekarang bagaimana?"

Jeff kemudian mengusap puncak kepala Alexandra. "Jangan buru-buru, kau bisa berbicara dengannya nanti. Bagaimana, kalian setuju bukan?" Ia tersenyum lebar tatkala melihat Alexandra, Stella dan Charlie bergantian dari tempatnya. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top