• Enam Belas •

(Nicole, 26 tahun. Wanita yang selalu terobsesi dengan Louis.)

Seattle Downtown Center.

05:00 pm.

Alexandra duduk pada sebuah sofa berwarna marun di ruang istirahat yang biasa digunakan para model setelah melakukan pemotretan dengan sabrina blus berwarna merah muda dan denim jeans.

Tak berselang lama, pintu di ruangan tersebut terbuka dan sosok Stella-lah yang muncul di baliknya. Ia beradu tatap dengan Alexandra untuk beberapa detik sebelum wanita dengan gaun putih selutut itu berjalan menghampiri Alexandra.

Mereka kini berhadapan. Mata biru Alexandra menyorotkan kemarahan, sementara Stella tampak lebih gugup dan gusar. Namun wanita berambut pirang itu buru-buru menepis ekspresi cemas di wajahnya dengan duduk di sebrang Alexandra tanpa menunggu sang rival mempersilakannya.

"Apa yang kau inginkan sekarang?" Stella memulai. Ia menyilang kedua tangannya di dada dan mengangkat dagunya angkuh. Meski merasa bersalah, Stella tidak ingin bersikap rendah di hadapan Alexandra. "Aku sibuk, jadi sebaiknya tidak perlu berbasa-basi."

Alexandra menarik napas panjang sebelum memperbaiki posisi duduknya agar lebih tegak. Mata birunya yang meneduhkan seperti hutan hujan, kini tampak menyorotkan gelombang besar yang siap mengombang-ambingkan kapal di lautan. "Katakan semuanya padaku." Suaranya tidak lagi meninggi dan berapi-api, ia jelas berusaha menahan diri kali ini. "Apa yang sebenarnya kau ... apa yang kalian rencanakan di belakangku?"

Stella tertegun. Pertanyaan itu jelas menohok dadanya. Ia sudah seharusnya merasa bersalah dan meminta maaf, tapi gengsinya terlampau tinggi untuk sekadar merendahkan dirinya sendiri. Ia menelan salivanya dengan susah payah sebelum menyahuti pertanyaan Alexandra, "Louis tidak pernah mencintaimu, Alexandra."

Namun wanita berambut brunette itu tak lagi terkejut seperti sebelumnya. Wajahnya datar tak berekspresi.

"Sejak pertama kali bertemu denganmu, yang ia lihat hanya pamor dan popularitasmu," lanjut Stella hati-hati. "Louis berpikir mungkin menjalin hubungan denganmu akan memberikannya setengah dari eksistensimu di dunia hiburan. Namun dia tak pernah bisa memberi hatinya padamu meski sedikit saja."

"Jadi, selama ini dia hanya memanfaatkanku?" tanya Alexandra dengan tenang. "Lalu bagaimana denganmu? Kenapa kau bersikap acuh meski tahu semua kebenarannya? Aku bisa saja melepas Louis untukmu jika kau berkata jujur padaku."

"Aku--"

"Kupikir kita adalah sahabat, Stella," sela Alexandra. Ia kemudian tersenyum getir. "Perasaanku hancur tak bersisa saat mengetahui kebenarannya sekarang."

Stella menggigit bibirnya kuat-kuat. Ia sangat merasa bersalah pada Alexandra. "Aku tidak bisa memberi tahumu karena Louis yang meminta," ucapnya berterus terang. "Aku sangat menyukainya, Alexandra. Aku dibutakan oleh cinta dan semua hal tentangnya."

Namun Alexandra justru tertawa, suaranya terdengar getir meski sudah berusaha menutupinya. "Aku juga merasakan apa yang kau rasakan. Dia memang pria luar biasa yang bisa membuat semua wanita tergila-gila." Alexandra mengangkat satu alisnya. "Bukan begitu, Stella?"

Mata hitam Stella berkaca-kaca. Memori manis yang terjadi di antara dirinya dan Louis mendadak muncul seperti potongan film yang diputar cepat. Ia menciptakan kenangan manis yang tanpa sadar melukai Alexandra di baliknya. "Maafkan aku, Alexandra," ujar Stella lirih. "Tapi aku sangat menyukainya." Isak tangisnya pecah saat itu juga. "Aku terlalu menyukainya sampai tidak sadar selama ini menyakitimu. Aku sungguh menyesalinya, Alexandra."

Alexandra yang hampir menangis segera beranjak dari sofa dan melenggang keluar ruangan. Meninggalkan Stella menangis seorang diri sembari menyesali semua perbuatannya. Sementara itu, saat Alexandra hendak pergi meninggalkan studio pemotretan ibunya tersebut, sosok Jeff muncul dan menghalangi pintu.

"Alexandra?"

Wanita bertubuh ramping itu langsung memeluk Jeff dan menangis di dalam pelukannya. Ia terisak sementara kedua tangan kekar Jeff mendekapnya erat. Sesekali tangannya yang dihiasi tato bergambar naga mengusap rambut Alexandra pelan. "Alexandra, mari kita pergi ke suatu tempat dan menenangkan pikiran."

Alexandra merenggangkan jarak di antara mereka dan menatap sahabatnya sendu. "Baiklah."

Jeff membawa Alexandra pergi ke Alki beach. Alki beach sendiri menawarkan bermil-mil pasir dan kerang serta pemandangan indah yang menghadap ke perairan Puget Sound yang tenang hingga pusat kota Seattle juga Pulau Bainbridge dan Pulau Vashon. Mereka berdua duduk di atas hamparan rumput dengan hidangan seafood segar dari kafe setempat.

"Langitnya indah," kata Alexandra seraya menatap matahari terbenam di hadapannya. "Sudah lama sejak terakhir kali kita melihat matahari tenggelam, Jeff." Wajah cantiknya pun berpaling pada Jeff yang duduk di sebelahnya dan tersenyum. "Terima kasih sudah membawaku ke sini."

Jeff tersenyum simpul. "Ini tampak seperti kembali ke masa lalu, bukan?"

Alexandra terkekeh pelan. "Ya, ya, kau benar." Ia lalu menjentikkan jarinya di udara. "Pertama kali kita ke sini dan memesan kerang, kulitmu memerah dan orang tua kita panik. Wajahmu benar-benar menyedihkan saat itu, Jeff," godanya.

Pria dengan kulit kecokelatan khas Amerika Latin itu pun ikut tertawa. "Saat itu aku bahkan tidak tahu bahwa aku memiliki alergi kerang. Tubuhnya benar-benar gatal dan itu menyebalkan, kau tahu," ucapnya.

"Tapi hari itu ... aku jadi tahu kalau impianmu adalah menjadi seorang arsitek, Jeff." Alexandra menatap Jeff sendu. "Sayang sekali, kau kini justru tumbuh menjadi pengusaha yang sukses. Sejujurnya aku kecewa padamu karena hal itu."

Jeff mengedikkan kedua bahunya, "Ya, aku juga kecewa pada diriku sendiri." dan terkikik geli. "Tapi aku juga kecewa padamu, Alex."

Alexandra mengernyitkan keningnya tak mengerti sementara raut Jeff berubah serius. "Aku menyukaimu sejak pertemuan pertama kita, tapi kau justru bersama--"

"Jeff, bisakah kau tidak membahasnya sekarang?" potong Alexandra. Ia mengangkat kedua bahunya cepat dan menggeleng pelan. "Terakhir kali seseorang menyatakan perasaan padaku, orang lain menghinaku sebagai wanita murahan."

Jeff tercenung untuk beberapa saat sebelum kedua sudut bibirnya terangkat ke atas. "Baiklah. Bagaimana jika berfoto sebagai kenang-kenangan?"

"Tentu."


Seattle Department Police.

07:00 pm.

"Noel, apa kau akan pulang sekarang?"

Smith masuk ke dalam ruangan Noel dan duduk di sofa seperti biasa. Ia bahkan tak lagi mengetuk pintu dan meminta izin untuk melakukannya karena sudah terlalu sering.

"Kurasa begitu. Aku merasa lelah dan kepalaku mulai pening," jawabnya seadanya.

Smith yang tengah membuka laman sosial media miliknya tiba-tiba berseru, "Noel, lihat!" hingga rekannya itu terkejut dan buru-buru duduk di sebelah Smith. "Alexandra berkencan dengan Jeff!"

Noel menatap layar ponsel Smith tak percaya. "Mereka--"

"Tampak serasi, bukan?" Smith tersenyum dan mengedipkan satu matanya jahil pada Noel. Namun satu pukulan keras di bahu justru menjadi balasan untuknya. "Hey, apa-apaan!"

Noel berdiri dan menatap Smith tak senang. "Mereka sama sekali tidak serasi dan jangan sekali-kali mengatakan hal itu lagi di depanku. Mengerti?"

Tanpa menunggu jawaban, Noel bergegas pergi menuju apartement Alexandra. Ia memarkirkan mobilnya di pinggir jalan dan berlari kecil menuju ke dalam.

"Alexandra?" Noel berusaha mendorong gerbang apartement di hadapannya, tapi kondisi pagar besi yang menjulang tinggi itu dalam keadaan terkunci rapat. "Alexandra!" Ia pun menendang gerbang dan mencebik. "Sial. Kenapa wanita itu selalu bersama pria yang tidak kusukai dan terus membuatku khawatir? Apa yang sebenarnya sedang kau pikirkan, Noel?! Benar-benar sial." []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top