#4
.
.
.
***
Begitulah kiranya perjalanan ceritaku. Mari kita beralih pada waktu sekarang.
Aku mengerutkan kening. Bocah dengan surai pirang tersebut terlihat tersenyum tidak bersalah. Bola mata kelam bocah tersebut terlihat berbinar cerah. Aku yakin jikalau batu permata rembulan akan merasa tersaingi jika melihat bocah tersebut.
"Bisa kau ulangi?"
"Ayo kita menikah!" ucapnya lagi. Suara bocah tersebut terdengar begitu cerita dan bersemangat. Aku menghela napas singkat. Dia pasti sedang mengalihkan pembicaraan pun perhatian agar aku melupakan kejadian cilok yang terjatuh dan tidak marah.
Yh, bocah.
"G." aku berbalik; membiarkan tungkai kaki bergerak bebas membawa menuju arah pulang. Untuk seorang bocah muda pendek seperti dirinya, dia cukup kuat karena tidak terjatuh ketika menabrak diriku.
"Tunggu!" suara melengking sedikit berat berteriak. Itu adalah suara bocah tadi. Ah, sepertinya dia memanggil temannya. Aku terus berjalan. Tak sabar ingin merasakan empuknya kasur.
Secara tidak sadar, ternyata bocah tadi berlari mengejarku menggunakan kaki kecilnya. Salah satu alisku sedikit berkedut. Apa yang diinginkan bocah ini? Merasa bersalah karena menjatuhkan cilok terakhirku?
Kukira dia sudah berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. Tetapi dia malah mengejarku.
"Aku bisa gelud, lho!" serunya bersemangat.
Maksudnya jika aku tidak memaafkannya, dia akan menonjokku? Ckxkxk, anak-anak jaman sekarang memang mengerikan.
Aku tetap berjalan, tidak peduli dengan celotehan panjang betapa hebatnya dirinya. Yang kuinginkan hanyalah pulang dan tidur. Lagipula, bocah tersebut akan lelah lalu kembali bermain bersama teman-temannya.
Setidaknya kupikir begitu.
Ketika berada di depan komplek perumahan, aku menghentikan langkah kaki. Sedikit melirik kearah bocah berambut pirang yang kini ikut berhenti dan menatapku penuh binar.
Aku mendesis pelan, "Apa yang kau inginkan?"
Apa bocah ini bener-bener akan mengikutiku hingga ke rumah?
"Menikah denganmu!"
Gusti...
Aku sedikit memijit pelipis. Menarik napas dalam-dalam sebelum mengucapkan sebuah kalimat. "Aku tidak tertarik dengan seorang bocah."
"Aku bukan bocah, tahun ini aku akan memasuki sekolah menengah pertama!"
"Dan tahun ini aku akan lulus sekolah menengah atas," balasku jenuh padanya. Tolong katakan padaku jikalau bocah ini bersikeras hanya karena merasa bersalah.
"Aku bisa gelud!"
"Hoo, aku juga bisa silat lidah."
"Aku lebih keren daripada kakakku!"
"Apakah aku terlihat seperti orang yang peduli?"
"Aku ingin menikah denganmu!"
Kuatkan hamba menghadapi bocah tidak jelas ini, Tuhan. Baiklah, mari kita gunakan kalimat Shinichiro.
"Ya, terserah. Belajar yang benar, bocah."
Setelah mengucapkan kalimat tersebut, aku bergegas pulang. Meninggalkan bocah sebelumnya yang entah mengikutiku atau tidak yang jelas aku ingin pulang.
Besok aku akan meminta dua porsi bakso pada Shin.
.
.
.
"Selamat pagi, kakak cantik!"
Kukira pagi ini akan damai, ternyata tidak. Bocah dengan helai pirang kemarin kini berada tepat di depan rumahku. Dengan senyum lebar penuh kebahagiaan.
Tidak, bukan itu. Yang membuat pagi ini menjadi buruk adalah fakta bahwa bocah tersebut datang kerumahku bersama Shin.
"Kau kenal dengan Manjiro?" tanya Shin menghampiriku. Alisku sedikit berkedut menatap pemuda tampan dengan status jamet tersebut. "Apakah aku terlihat mengenal siapa bocah tidak jelas ini?"
"Hoi, bocah yang kau panggil tidak jelas ini adalah salah satu adikku!" seru Shin tidak terima. Ah, jadi begitu. Sekarang aku tahu darimana asal usul perilaku bocah berambut pirang ini.
"Apakah aku terlihat seperti orang yang peduli?" balasku pada Shin. Pemuda tampan tersebut ingin protes tetapi bocah- siapa namanya, Maji? Memotong ucapan Shin.
"Bang Shin jangan terlalu akrab dengan kakak cantik, dia milikku!"
Tuhan, mau log out dari dunia.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top