#2

.
.
.

***

Setelah insiden Hinata tertawa lepas sambil memukul punggungku, aku pulang dengan keadaan nyut-nyutan dengan hawa panas di belakang. Astaga, dasar perempuan. Kalau tertawa selalu memukul, terkadang aku heran sendiri meski aku juga perempuan.

Saat ini aku dalam perjalanan menuju rumah. Mentari sudah lama tenggelam dalam buaian garis cakrawala. Meninggalkan singgasana dalam keadaan dingin tak berpenghuni. Rembulan hingga saat ini tidak terlihat. Perjalanan melewati semesta tidak membuatnya untuk singgah kali ini.

Aku sedikit mengeratkan jaket. Udara malam hari selalu menjelajah dengan dingin. Membawa perasaan acuh terhadap setiap makhluk hidup. Meski ruang luas terbentang di atas bumi terlukis kelam, kota tidak pernah padam.

Hiruk pikuk tercipta dengan sempurna dalam balutan cahaya gemerlap. Tokyo akan selalu hidup bahkan ketika pukul menunjukkan waktu sepertiga malam.

Aku mengeluarkan sebiji permen dari kantong jaket. Membuka bungkus plastik tersebut lalu memasukkan isinya kedalam mulut. Rasa asam dan manis melebur memecahkan pun melarutkan setiap butiran zat. Menjelajah setiap rongga mulut dengan bersemangat.

Kendati demikian, Tokyo tidak selamanya indah.

"Berita terkini, organisasi gelap kriminal kelas atas kembali berulah. Mereka berhasil menyelundupkan ratusan senjata api milik negara. Pemerintah berpuaya—"

Salah satu toko yang kulewati berhasil menarik perhatianku. Toko tersebut menyiarkan tayangan televisi mengenai kasus hari ini. Diantara ribuan gemerlap bintang di angaksa, materi gelap akan selalu menemani.

Begitulah kiranya pendapatku mengenai dunia.

Aku kembali mengangkat tungkai kaki. Melanjutkan perjalanan pulang menuju rumah. Yah, yasudah lah. Baik itu organisasi gelap atau sejenisnya, bukanlah urusanku. Meskipun mereka mengganggu dan membuat keresahan atau sejenisnya, aku bisa apa? Panik? Kayang? Freestyle?

Jika tidak salah ingat, Hinata pernah bercerita mengenai salah satu organisasi gelap terkenal. Aku tidak mengingat dengan jelas nama organisasinya. Bantet? Ah, kurasa bukan tetapi hampir mendekati.

Hinata bilang aku harus berhati-hati dengan organisasi gelap bernama Bantet itu. Well, semua organisasi atau orang jahat akan tetapi, gadis tersebut bersikeras untuk memberikan perhatian ekstra pada organisasi Bantet ini agar diriku lebih berhati-hati.

"Hm?" sebelum aku mengambil langkah lebih lanjut, seorang pria(?) pendek dengan surai perak berdiri tegak menghalangi jalanku. Ah, siapa pula pria ini.

Aku tidak bisa melihat dengan jelas wajahnya. Tapi aku yakin jikalau dia tampan. Surai perak miliknya bermandikan cahaya gemintang. Terlihat bersinar meski tidak seterang Mentari pun tidak setenang Rembulan.

Sepertinya dia juga penasaran dengan berita hari ini.

Aku kembali mengambil bungkus permen yang ada di dalam kantong jaketku. Juga, sampah permen sebelumnya. Sebagai orang yang baik, lantas aku berkata. "Permisi," ucapku mengawali pembicaraan.

Dia sedikit menoleh padaku. Kantung mata pria tersebut terlukis dengan tebal. Aku sedikit meringis. Apa dia tidak pernah tidur? Lupakan. Aku memberikan senyuman tipis. "Untukmu." aku memberikan permen jahe khas negara maritim yang sebelumnya aku beli di toko Asia kepada pria tersebut.

Jika seseorang bertanya mengapa aku melakukan hal tersebut maka jawabannya sangat sederhana, aku tidak terlalu menyukai permen jahe. Juga, aku ingin sekalian membuang sampah bungkus permen sebelumnya.

Aku terkadang suka menyimpan sampah makanan pada kantong celana atau tas. Alasannya karena aku terlalu malas untuk mencari tempat sampah sehingga aku berinisiatif untuk menyimpannya sampai menemukan tempat pembuangan tersebut.

Pun aku melanjutkan perjalanan pulang kerumah. Sebelum hal tak terduga terjadi padaku.

.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top