Bagian 6 END

*****

Setelah berhasil bernegosiasi dengan Sanzu, Ran dan kawan-kawan langsung memulai perjalanan mereka menuju istana. Sepanjang jalan, tak henti-hentinya Rindou menggerutu karena ia harus memegangi rambut Ran agar tidak kotor menyentuh tanah.

Rindou versi manusia ternyata lebih berisik daripada ketika pemuda itu jadi kadal. Mungkinkah menghilangkan sihir Sanzu pada Rindou adalah pilihan yang salah?

Ah, berbicara tentang penyihir merah muda itu, Yuki jadi merasa bersalah pada Manjiro karena telah menjual informasi tentang maniak taiyaki itu pada fanboy setianya. Tapi kesempatan tidak boleh dilewatkan, bukan? Berdoa saja, semoga Yuki tidak bertemu dengan Manjiro dalam waktu dekat. Apalagi Izana, membayangkan kemarahannya saja membuat Yuki bergidik.

Mahkota pangeran kini dipegang oleh Ran karena pria itu tidak percaya pada Yuki. Takut dibawa kabur, katanya.

Tentu saja itu tidak mungkin, karena bagi Yuki hadiah menemukan pangeran lebih menggiurkan daripada dua mahkota tersebut.

"Memangnya tidak apa-apa kau berkeliaran disaat wajahmu terpampang dimana-mana?"

"Tenang saja. Aku sudah menyiapkan sesuatu untuk penyamaranku."

Ran terus menatap Yuki ketika gadis itu merogoh sesuatu dari tas yang melingkar di pinggangnya. Mungkin ia penasaran, penyamaran macam apa yang akan dilakukan Yuki untuk menyembunyikan identitas gadis itu.

Gunakan wig?

Topeng?

Atau - ....

Tapi sepertinya memang benar bahwa kita tidak boleh berharap pada manusia.

Lihat saja apa yang Yuki bilang 'sesuatu untuk penyamarannya'. Sungguh di luar ekspektasi Ran beberapa saat yang lalu.

"Aku tahu kau bodoh, tapi aku tidak menyangka kau sebodoh ini."

"Kenapa? Ini penyamaran hebat tahu."

Penyamaran hebat, katanya?

Memangnya setitik tahi lalat palsu bisa menyamarkan identitas?

Gadis ini memang bodoh.

Dan juga gila.

"Terserah kau sajalah. Ayo cepat, Rindou. Kita tinggalkan saja gadis gila ini."

"Hey!" Yuki berteriak protes. Gadis itu hendak menyusul kedua pangeran jika saja sesuatu (atau lebih tepatnya seseorang) tidak tiba-tiba muncul entah dari mana dan menghalangi jalannya.

"Merindukanku, Yuki?"

Manik sang empunya nama membulat sempurna kala menatap laki-laki di depannya. "I-izana?!"

Mengabaikan keterkejutan gadis berambut putih itu, Izana berkata dengan tajam. "Serahkan mahkotanya."

"M-mahkota apa?" Yuki tertawa canggung. "Dan kenapa kau sendiri? Dimana Manjiro?"

"Berhenti berlagak bodoh. Bukankah kau yang membuat Manjiro kembali dikejar-kejar oleh penyihir gila itu?"

Penyihir gila? Apakah Sanzu sudah mulai bergerak?

'Gercep banget anjir'

"Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan. Haha."

"Dasar pengkhi-...."

"IZANA?!"

Kalimat Izana terputus oleh teriakan di belakang tubuhnya. Ketika menoleh, laki-laki dengan anting hanafuda di kanan kiri telinganya itu mendapati seseorang yang kini menatap shock padanya.

Belum sempat menanyakan siapa orang itu, sebuah pelukan erat ia terima dari laki-laki berhelai pirang panjang yang tadi memanggil namanya.

"Kau hidup, Izana. Ya Tuhan, aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu tanpa harus menyusulmu ke akhirat."

Bukan hanya Izana, bahkan Rindou dan Yuki pun terkejut dengan apa yang Ran lakukan.

Mereka tentu saja bingung.

Ran mengenal Izana? Bukankah ini pertama kalinya mereka bertemu?

"K-kau siapa? Lepaskan aku!" Izana mencoba membebaskan diri dari pelukan maut itu. Namun apalah daya, tangan Ran bagaikan lilitan laba-laba di sekujur tubuh mangsanya. Izana bahkan membutuhkan bantuan Yuki dan Rindou untuk melepaskan Ran yang ternyata sudah menangis terisak-isak.

Serius, ada apa dengan si pirang ini?!

"Kau tidak tahu betapa bahagianya aku bertemu denganmu, Izana." Terjadi jeda ketika Ran mengelap ingus yang meler di hidungnya. "Kau menginginkan mahkota ini kan? Ini, ambil. Jadilah Raja disini, Izana. Wujudkan cita-citamu yang tertunda."

Bukannya terharu, Izana malah ketakutan. Hal itu terbukti dari tubuhnya yang perlahan mundur menjauhi Ran yang terus saja menyodorkan tas berisi mahkota kepadanya.

"Kau gila." Izana bergumam sebelum berbalik meninggalkan tempat itu.

Urusan dengan Yuki bisa mereka selesaikan nanti, yang penting harus menjauh dari si pirang aneh itu dulu.

Tanpa melihat ke belakang, Izana terus berlari tanpa menghiraukan Ran yang terus memanggil namanya di belakang sana.

"Hiduplah yang damai disini, Izana! Jangan mati lagi!" Ran melambaikan sapu tangan yang entah ia dapat dari mana. Dengan dramatis, laki-laki berambut panjang itu mengelap air mata yang sebenarnya tidak ada.

Di belakang Ran, Rindou dan Yuki saling bertukar pandang.

"Kau yakin kakakmu tidak gila?"

"Aku juga tidak tahu."

.
.
.
.

Perjalanan pun berlanjut.

Setelah mendaki gunung dan lewati lembah, akhirnya ketiganya sampai di istana.

Prajurit yang berjaga akan menangkap Yuki begitu mereka melihat gadis itu jika saja gadis bermata biru tersebut tidak segera mengatakan bahwa ia membawa kedua pangeran bersamanya.

Tentu saja para prajurit tidak langsung percaya. Bagaimana jika mereka penipu? Namun kecurigaan itu lenyap saat Ran dan Rindou menunjukkan tanda lahir berbentuk matahari yang dimiliki kedua pangeran di bahu mereka.

Prajurit itu lantas pergi memberitahukan berita bahagia ini pada Raja dan Ratu mereka.

Keterkejutan terlihat jelas di wajah Raja Wakasa ketika berita itu sampai padanya. Ratu Harumi bahkan tak hentinya meneteskan air mata saat ia dan suami tercintanya pergi untuk menemui kedua putra mereka yang sudah lama menghilang.

Keduanya ingin segera menemui putra mereka. Memeluk, mencium, dan menanyakan dimana keberadaan kedua pangeran selama ini.

Kira-kira bagaimana reaksi Raja dan Ratu jika mereka mengetahui bahwa kedua putra tercinta mereka menghilang bertahun-tahun lamanya hanyalah karena kegabutan seorang penyihir?

Apakah mereka akan kesal hingga tiba-tiba melayang menembus lapisan awan?

.....

Oke, lupakan reaksi apa yang akan diberikan Raja dan Ratu. Yang penting sekarang pangeran sudah ditemukan dan orangtua serta rakyat mereka tidak akan sedih lagi.

Sesuai apa yang tertulis dalam sayembara, penemu pangeran akan diberikan hadiah. Namun karena Yuki adalah buronan kerajaan, jadilah hadiah yang diterima gadis itu hanyalah kebebasan. Tak ada peti berisi koin emas, tunjangan hari tua, sertifikat tanah, dan lain sebagainya.

Saat Yuki meratapi nasibnya yang masih akan menjadi gembel setelah ini, pangeran Ran meminta sesuatu yang mengejutkan kepada kedua orangtuanya.

"Biarkan dia tinggal di istana karena aku akan menjadikannya pelayanku selamanya."

Selamanya.

Selamanya.

Selamanya.

Selamanya.

Selamanya.

Kata itu menggema di kepala Yuki bak kaset rusak.

Menjadi pembantu pangeran selamanya?

Yang benar saja!

"Emoh aku, mas!"

Yah, sepertinya itu adalah akhir dari kisah pangeran yang hilang karena kegabutan seorang penyihir.

Gaje ya? Memang.

.
.
.
.
.
.
.
.

TAMAT

.
.
.
.
.
.
.
.

Tapi bo'ong

.
.
.
.
.
.
.
.
.

Di sebuah ruangan yang hanya diterangi cahaya dari televisi, dua makhluk tengah saling berdebat satu sama lain.

"Cepat lakukan, Rindou."

"Kau saja. Aku tidak berani."

"Cih! Haitani Rindou yang agung takut untuk membangunkan kakaknya?"

"Kau tidak tahu saja Ran lebih seram dari raja iblis sekalipun jika tidurnya diganggu."

"Haruskah kita siram dengan air panas?"

"Kau gila?"

"Kurasa Ran yang gila karena dia terus saja berbicara aneh dalam tidurnya."

Perdebatan pun terus berlanjut.

Film Disney yang mereka tonton sudah berakhir beberapa menit yang lalu, dan sepanjang film diputar ternyata Ran malah tidur dengan lelapnya.

Tidak lelap juga sih sebenarnya. Karena terkadang Haitani yang lebih tua akan meringis, bahkan sampai menangis! Oh, jangan lupakan beberapa kata yang keluar dari mulutnya ketika ia mengigau.

Rindou dan Yuki bahkan sampai heran. Dan mereka tidak tidak bisa untuk tidak bertanya-tanya.

Mimpi macam apa yang dialami seorang Haitani Ran saat itu?

.
.
.
.

TAMAT beneran

Words : 1115
Senin, 29 Agustus 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top